Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Senin, 30 Mei 2022

STRATEGI SETAN

"MEWASPADAI  SETRATEGI SETAN"

Sejak awal Allah SWT mengingatkan bahwa ada musuh nyata bagi manusia bernama syaitan. “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. ” (QS. Al-Baqarah: 168)

Sejak awal pula secara terang terangan setan telah mendeklarasikan diri untuk menyesatkan seluruh  manusia. "Iblis menjawab, ‘Demi kekuasaan-Mu! Aku akan menyesatkan manusia semuanya.’" (QS. Shâd:82)

Setiap ada kebaikan maka setan berupaya mengahalang-halangi dengan berbagai upaya agar manusia menjauhi kebenaran itu. “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”
(QS.Al-An’am: 112).

Di antara upaya setan itu sebagaimana dalam ayat diatas, menipu manusia dengan memutar balikan fakta antara kebenaran dan kebatilan. Ibnu Qayyim menyebutnya "Talbisul Iblis" atau penyamaran iblis.
Agar manusia mengingkari kebanaran (al hak) dan tertarik dengan keburukan (al bathil), "Yaraunal haqqa bathilan wayaraunal bathila haqqan."

Setrategi penyesatan setan tersebut
antara lain;

Pertama. "Tahsinal al bahtil", mencitrakan baik terhadap kebathilan. Setan membuat framming dan narasi indah tentang kebatilan sehingga banyak manusia tergoda dan terperangkap.

Ketika Adam dan Hawa di Surga, mereka bebas bersenang- senang dan memakan apa saja yang ada kecuali mereka dilarang menyentuh sebuah pohon (syajarah).
Setan mendekati Adam dan Hawa membisiki mereka dengan narasi indah tentang pohon tersebut, bahwa jika Adam dan Hawa menyentuhnya, memakan buahnya maka mereka akan mendapat kehidupan abadi  (Al khaldi) di surga dan meraih kerajaan (al mulki) yang tak akan runtuh. 
Akhirnya Adam dan Hawa pun tergoda untuk mencicipi buah pohon tersebut yang mengakibatkan keduanya terusir dari Surga.
"Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan mengatakan" Maukah aku tunjukan kepada kamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa ?" (Q.S .Thaha : 120).

Dewasa ini era sekularisme yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan.
Dengan alasan
Demokrasi menolak diterapkannya hukum syariat. Dengan narasi HAM dan Kebebasan mendukung berkembangnya Seks bebas dan kaum LGBT, bahkan di beberapa negara atas nama kebebasan melindungi penghinaan dan pelecehan terhadap agama. Berbungkus moderasi pencampuradukan agama digalakan.
Atas nama toleransi beragama aliran sesat dan menyimpang dilindungi dan dibiarkan berkembang.
Semuanya nampak seakan indah, modern dan berperadaban. Padahal menyesatkan manusia dan membawa malapetaka kehidupan.

Langkah penyesatan setan
Kedua adalah :
"Taqbihul haq" atau stigmatisasi  terhadap kebenaran (al Haq). Kebenaran dicitraburukan menjadi suatu yang rendahan, ketinggalan zaman atau suatu yang menakutkan bahkan sebuah kejahatan.

Rasulullah dan para pengikutnya disebut kelompok sufaha, tak punya wawasan.
Rasul sendiri disebut majnun (berfikir irasional), kahin (paranormal yang suka meramal masa depan), sahir (berbicara  halusinasi), bahkan disebut abtar (orang yang tidak punya masa depan) dll.
Semua itu agar manusia menjauhi dakwah Rasulullah SAW. "Apabila dikatakan kepada mereka," berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman ". Mereka berkata, " Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh (sufaha) beriman ? " Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidakmengetahuinya ," (Q.S. Al-Baqarah : 13).

Saat ini, umat Islam diintimidasi dengan istilah-istilah yang menakutkan.
Radikal, ekstrimis, bahkan teroris disematkan kepada mereka yang taat menjalankan agama, aktivis masjid, hafidz Qur'an, para penggerak penegakan syariat Islam.

Upaya stigmatisasi, pencitraburukan kebenaran bertujuan melahirkan sikap islamophobia; sikap benci, sinis pada Islam, agar manusia menjauhi kebenaran itu, menjauhi tuntunan Nabi, menjauhi syari'at Islam dan menjauhi petunjuk al-Qur'an.
"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup" (Q.S. Al-Baqarah:217).

Demikianlah strategi setan baik dari kalangan jin maupun manusia yang berupaya menyesatkan dari jalan kebenaran.
Allahu A'lam Bishawab.

KETIKA TIDAK ADA ALAT BERSUCI

Tayamumnya tidak sah sedangkan kedudukan shalatnya hanya semata mata lihurmatil waktu (memuliakan waktu), bisa sah jika bawa debu dari darat.
- syarah bajuri juz 1 shohifah 201:

تتمة علي قاقدالطهورين وهماالماءوالتراب ان يصلي الفرض لحرمة الوقت ويعيده إذاوجداحدهما
Bagi orang yang tidak mendapatkan alat bersuci yaitu air dan debu,maka ia wajib shalat fardhu demi menghormati waktu dan wajib mengulanginya kembali jika mendapatkan salah satu dari keduanya.
[ Almajmu' juz 2 shohifah 245 ].

اماالحكم المسألة فمذهبنأنه لايصح التيمم إلابترابهذاهوالمعروف في المذهب وبه قطع الأصحاب وتظاهرت عليه نصوص الشفعي وحكي الرفعي عن ابن عبدالله الحناطي بالحاء المهملة والنون انه حكي في جوازالتيمم بالذريرة والنورة والزرنيخ والاحجارالمدقوقة والقواريرالمسحوقة وأشبههاقولين للشفعي وهذانقل غريب ضعيف شاذمردودوانمااذكره للتنبيه عليه لئلايغتربه والصحيح في المذهب انه لايجوزإلابتراب وبه قال احمدوابن المنذروداودقال الازهروالقاضي ابوالطيب هوقول اكثرالفقهاءوقال ابوحنيفة ومالك يجوزبكل اجزاءالارض حبي بصخرة مغسولة وقال بعض اصحاب مالك جوزبكل مااتصل بالارض كالخشب والثلج ثلاثة اقوال لاصحاب ماف احدهايجوز

Tayamum yang biasa dilakukan dipesawat, atau di bus dengan menggunakan media kursi atau kaca dianggap tidak sah karena meski ada debunya tapi tidak memenuhi sarat untuk tayamum, kedudukan sholat dalam keadaan seperti itu semata-mata hanya untuk lihurmatil waqti.
(referensi ahkamul fuqoha keputusan muktamar NU KE-28 di pondok almunawir krapyak tgl 26-29 robiul akhi 1410H/25-28 Nopember 1989M).

Salah satu kitab rujukannya adalah albajuri 1 hal 102 :

تتمة على فاقد الطهورين وهما الماء والتراب ان يصلى الفرض لحرمة الوقت ويعيده اذا وجد احدهما......
"Bagi orang yang tidak mendapatkan air dan debu,maka ia harus melaksanakan sholat fardhu demi menghormati waktu dan kemudian mengulanginya kembali jika telah mendapatkan salah satu dari keduanya.
Wallohu a'lam.

TANAH YANG BOLEH DIPAKAI TAYAMUM

Tentang media tanah yang bagaimana yang dibolehkan untuk bertayammum, para ulama ada yang mengharuskan tanah yang sesungguhnya dan bukan debu-debu yang menempel. Namun ada juga yang agak luas membolehkan tayammum pakai debu-debu yang menempel.

Kalau pun kita mau pakai pendapat yang membolehkan tayammum pakai debu itu, maka yang harus diperhatikan apakah debu itu memang betul-betul ada dan menempel di dinding rumah kita. Ini yang sebenarnya jadi masalah, yaitu biasanya tembok rumah kita seringkali dibersihkan, apalagi pesawat terbang, tentunya selalu dibersihkan. Tidak masuk akal kalau dinding pesawat dan kursinya dibiarkan kotor berdebu. Pasti para penumpang akan merasa tidak nyaman, bahkan boleh jadi bersin-bersin sepanjang perjalanan.

Sayangnya banyak orang yang kurang memperhatikan masalah ini. Sebenarnya debu yang dimaksud tidak tidak ada, tetapi tetap saja orang-orang 'berpantomim' berpura-pura lagi tayammum, padahal tidak ada medianya. Lucunya, kelakuan seperti ini luput dari perhatian kita, ditambah lagi banyak 'ustadz-ustadz' amatiran yang membiarkan saja tindakan keliru ini. Malah ikut-ikutan berpantomim tayammum ria.

Semua itu dengan catatan bahwa seandainya kita pakai pendapat yang membolehkan bertayammum dengan debu. Sementara cukup banyak ulama yang tidak membolehkan tayammum kecuali dengan menggunakan media tanah yang sebenarnya. Maka kalau kita pakai pendapat yang satu lagi ini, tentu saja sejak awal bertayammum pakai tembok rumah atau dinding dan kursi pesawat tidak sah sejak awal.

Berikut ini adalah rinciannya disusun sesuai dengan urutan masing-masing mazhab :

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Marghinani (w.593 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi sebagai berikut :

ويجوز التيمم عند أبي حنيفة ومحمد رحمهما الله بكل ما كان من جنس الأرض كالتراب والرمل والحجر والجص

Tayammum diperbolehkan dengan menggunakan semua jenis tanah seperti debu, pasir, batu dan kapur …[1]

Dalam kitabnya yang lain, yaitu Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, beliau juga menuliskan sebagai berikut :

أن الصعيد اسم لوجه الأرض سمي به لصعوده والطيب يحتمل الطاهر

Sesungguhnya shoid adalah sesuatu yang ada dipermukaan tanah, dinamakan demikian karena debu itu bertebaran.[2]

Al-Qadhi Zaadah (w.1087 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Majma’ Al-Anhur fii Syarhi Multaqa Al-Abhur sebagai berikut :

الصعيد اسم لوجه الأرض ترابا وغيره

Shaid adalah debu yang terdapat di permukaan bumi dan lainnya.[3]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Juzai Al-Kalbi (w.741 H.), salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya القوانين الفقهية sebagai berikut :

والصعيد هو التراب ويجوز التيمم بما صعد على الأرض من أنواعها كالحجارة والحصى والرمل والجص

Sha’id adalah debu, dan diperbolehkan tayammum dengan semua permukaan yang naik (lebih tinggi) dari tanah, seperti bebatuan, kerikil, pasir dan kapur.[4]

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah

Al-Mawardi (w.450 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya الحاوي الكبير sebagai berikut :

التيمم مختص بالترابِ ذي الغبار، ولا يجوز بما سواه من نورة أو كحل

Tayammum khusus dengan tanah yang berunsur debu, dan tidak boleh selain dari itu. [5]

An-Nawawi  (w.676 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya المجموع شرح المهذب sebagai berikut :

لا يصح التيمم إلا بتراب هذا هو المعروف في المذهب

“Tidak sah tayammum kecuali menggunakan tanah, ini adalah pendapat yang ma’ruf dalam madzhab.[6]

Al-Hishni  (w.829 H.), salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya كفاية الأخيار sebagai berikut :

وهو يقع على التّراب وعلى كل ما على وجه الأرض

Sha'id adalah yang mengandung unsur-unsur tanah dan semua yang ada di permukaan tanah (bumi). [7]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Al-Khiraqi (w.334 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Mukhtshar Al-Khiraqi sebagai berikut :

يضرب بيديه على الصعيد الطيب وهو التراب

Menepukan kedua tangan pada sho'id yang suci yaitu tanah.[8]

Ibnu Qudamah (w.620 H.), salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya الكافي في فقه الإمام أحمد sebagai berikut :

ولا يجوز التيمم إلا بتراب طاهر له غبار يعلق باليد؛ لقوله تعالى: {فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه} [المائدة: 6] وما لا غبار له لا يمسح شيء منه.

Dan tidak diperbolehkan tayammum kecuali menggunakan tanah suci yang debunya dapat menempel pada tangan, berdasarkan pada firman Allah ta’ala “maka bertayamumlah dengan debu yang suci, usaplah wajahmu dan kedua tanganmu dengan debu itu” (al-maidah:6) dana pa yang tidak ada debunya tidak dapat digunakan untuk mengusap.[9]

Ibnu Hazm (w.456 H.), salah satu ulama mazhab Adzh-Dzhahiriyah menuliskan di dalam kitabnya المحلى بالآثار sebagai berikut :

أنه لا يجوز التيمم إلا بما نص عليه الله تعالى ورسوله - صلى الله عليه وسلم - ولم يأت النص إلا بما ذكرنا من الصعيد، وهو وجه الأرض.... وبالأرض - وهي معروفة - وبالتراب فقط فوجدنا التراب سواء كان منزوعا عن الأرض، محمولا في ثوب أو في إناء أو على وجه إنسان أو عرق فرس أو لبد أو كان لبنا أو طابية أو رضاض آجر أو غير ذلك فإنه تراب لا يسقط عنه هذا الاسم، فكان التيمم به على كل حال جائزا

Tidak diperbolehkan tayammum kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya - saw - tidak ada teks kecuali yang telah kami sebutkan bahwa So'id adalah permukaan bumi.. tanah dan debu baik yang diambil dari bumi, terbawa oleh baju, bejana, wajah manusia, pacuan kuda atau yang lainnya termasuk dalam katagori debu dan diperbolehkan untuk bertayamum dengan itu semua.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1] Al-Marghinani Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, jilid 1 hal. 28
[2] Al-Marghinani Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi, jilid 1 hal. 28
[3] Al-Qadhi Zaadah Majma’ Al-Anhur fii Syarhi Multaqa Al-Abhur , jilid 1 hal. 39
[4]
ابن جزي الكلبي القوانين الفقهية, hal. 30
الماوردي الحاوي الكبير
[5] , jilid 1 hal. 237
الإمام النووي المجموع شرح المهذب
[6] , jilid 2 hal. 213
[7]
الحضني كفاية الأخيار 57.jilid 1 hal,.
[8] Al-Khiraqi Mukhtshar Al-Khiraqi, jilid 1 hal. 15
ابن قدامة الكافي في فقه الإمام أحمد
[9] , jilid 1 hal. 129
ابن حزم المحلى بالآثار
[10], jilid 1 hal. 378

Adab dulu baru ilmu

الأدب قبل العلم
Dahulukan ahlak sebelum ilmu
بالأدب تفهم العلم
Dengan ahlaklah kamu bisa memahami ilmu.
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki berkata :

أغضب من الطالب الذی لا یحترم أستاذه ولوکان الأستاذ صاحبه

“Aku murka terhadap penuntut (ilmu) yang tidak menghormati ustadznya, meskipun ustadz tersebut adalah temannya sendiri”.

Imam Nawawi berkata :

ینبغی للمتعلم ان یتواضع لمعلمه ویتأدب معه وإن کان أصغر منه سنا وأقل شھرة ونسبا وصلاحا ؛ لتواضعه یدرک العلم

“Seyogyanya bagi seorang pelajar tawadlu’ (rendah hati) kepada gurunya dan menjaga tata krama ketika bersamanya, meskipun gurunya tersebut lebih muda, tidak begitu terkenal, nasabnya lebih rendah dan (mungkin) keshalehannya kalah dengan muridnya. Dengan tawadlu’ (rendah hati), niscaya ilmu akan ia dapatkan”.

Beliau juga berkata :

عقوق الوالدین تمحوه التوبة وعقوق الأستاذین لا یمحوه شیئ ألبتة

“Dosa durhaka kepada kedua orang tua bisa dihapus dengan bertaubat, sedangkan dosa durhaka kepada guru sedikitpun tidak akan bisa dihapus”

قال سيدي الشيخ محمد بن علي باعطية الدوعني:
من نادى شيخه باسمه لم يمت حتى يذوق الفقر المعنوي من العلم.

Barang siapa ya memangil gurunya dengan sebutan namanya langsung (tidak mengagungkannya ketika memanggil ) maka dia tak akan meninggal kecuali sudah merasakan hidup yang faqir baik  dalam ilmu maupun material.

Al-habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad berkata :

وأضر شیئ علی المرید تغیر قلب الشیخ علیه، ولو اجتمع علی إصلاحه بعد ذلك مشایخ المشرق والمغرب لم یستطیعه إلا أن یرضي عنه شیخه

“Yang paling berbahaya bagi seorang murid adalah berubahnya hati guru kepada muridnya (dari yang semula ridlo menjadi murka). Andai saja semua guru dari timur dan barat berkumpul untuk memperbaiki keadaan si murid tersebut, maka mereka tidak akan mampu kecuali gurunya tersebut telah ridho kepadanya”.

Perkataan-perkataan di atas sebagai bahan renungan bagi kita semua yang notabene masih berstatus murid. Jika kebetulan kita sebagai guru, maka jangan sekali-kali kita berharap untuk dihormati.

Semoga kita semua bisa benar-benar berbakti kepada guru-guru kita dan semoga kita mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

أسأل الله أن يزرقنا الأدب وحسن الخلق

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar mengaruniakan pada kami adab dan akhlak yang mulia.Aamiin

Kamis, 26 Mei 2022

HUKUM USTADZ/GURU NGAJI MENERIMA AMPLOP

Pertanyaan saya,Bagaimana Islam memandang ketika ada praktik memberi intensif/bisyaroh terhadap Ustadz/Guru Agama,Mubaligh,Qori,Khotib,Muadzin ?...

Mohon penjelasannya.
Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Jawaban :

Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua.
Gejala ini terbilang fenomena baru di mana tidak terjadi di zaman Rasulullah SAW.
Gejala ini muncul di zaman kerajaan Islam sepeninggal Rasulullah.
Pada masa kerajaan Islam, negara mengalokasikan anggaran untuk guru Al-Quran, guru pelajaran agama Islam, para imam, khatib Jumat, muazin di masjid-masjid, dan aktivitas keagamaan lainnya.

Dari situ ulama mutaqaddimin memutuskan bahwa mereka itu semua makruh hukumnya menerima insentif atau bisyarah dari masyarakat karena mereka telah menerimanya dari negara.

Ulama mutaqaddimin memandang insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan sebagai sejenis gratifikasi yang kita kenal sekarang.

Tetapi ketika kondisi berubah, para ulama mengubah pandangan mereka terhadap insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan seperti imam shalat wajib harian, khatib sembahyang Jumat atau sembahyang Id, muazin, guru Al-Quran, guru agama, atau jenis aktivitas keagamaan lainnya.
Ketika kerajaan-kerajaan Islam itu tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk imam dan khatib Jumat, ulama muta’akhirin–salah satunya Ibnu Rusyd–membolehkan mereka menerima amplop atau insentif dari masyarakat seperti diangkat oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:

أفتى المتأخرون من العلماء بجواز أخذ الأجرة على تعليم القرآن الكريم وعلى وظائف الإمامة والخطابة والأذان وسائر الطاعات من صلاة وصيام وحج وهو حكم خولف فيه ما كان مقررا سابقا بين العلماء ومنهم أئمة الحنفية وغيرهم نظرا لتغير الزمان وانقطاع عطاءات المعلمين والقائمين بالشعائر الدينية من بيت المال. فلو اشتغل بالاكتساب من زراعة أو تجارة أو صناعة لزم ضياع القرآن إهمال تلك الشعائر

Artinya, “Ulama muta’akhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Al-Quran, tugas keimaman shalat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti shalat puasa, dan haji. Fatwa ini berbeda dengan hukum yang telah ditetapkan di kalangan ulama pada masa lalu seperti ulama Hanafiyah dan madzhab lainnya.
Fatwa ini didasarkan pada pertimbangan perubahan zaman dan terhentinya anggaran negara (baitul mal) untuk guru agama dan mereka yang aktif pada syiar-syiar kegamaan dengan asumsi bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).

Rasulullah SAW sendiri mengizinkan sahabatnya untuk menerima insentif dari masyarakat atas praktik ruqyah melalui ayat-ayat Al-Quran. Hadits ini dapat ditemukan pada riwayat Imam Bukhari berikut ini:

عن ابن أبي مليكة عن عبد الله بن عباس أن نفراً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا بماء فيهم لديغٌ - أو سليم فعرض لهم رجلٌ من أهل الماء فقال هل منكم من راقٍ فإن في الماء رجلاً لديغاً أو سليماً فانطلق رجلٌ منهم فقرأ بفاتحة الكتاب على شاء فبرأ فجاء بالشاء إلى أصحابه فكرهوا ذلك وقالوا أخذت على كتاب الله أجراً حتى قدموا المدينة فقالوا يا رسول الله أخذ على كتاب الله أجراً فقال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} إن أحق ما أخذتم عليه أجراً كتاب الله

Artinya, “Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Abdullah bin Abbas bahwa beberapa sahabat Rasulullah  melewati masyarakat yang bermukim di dekat sumber air di mana salah satu penduduknya tersengat binatang berbisa. Seseorang dari masyarakat setempat mendatangi mereka, lalu berkata, ‘Adakah di antara kalian yang bisa berjampi karena ada korban tersengat di air ini?’ Salah seorang dari mereka beranjak lalu berjampi dengan membaca Surat Al-Fatihah dengan upah kambing.
Korban tersengat itu sembuh.
Ia lalu membawa upah kambing yang dijanjikan, tetapi para sahabat Rasulullah enggan menerimanya.

Mereka berkata sampai tiba di Kota Madinah, ‘Apakah kau menerima upah atas pembacaan kitabullah.’ Tiba di MAdinah, mereka mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ia mengambil upah atas bacaan Al-Quran?’ rasulullah SAW menjawab, ‘Sesungguhnya pekerjaan berupah yang paling layak kau ambil adalah kitab Allah,’
” (HR Bukhari).

Dari sini kita dapat memahami bahwa guru Al-Quran, khatib, imam, ahli hikmah yang meruqyah boleh menerima amplop, bisyarah, atau insentif dari masyarakat.
Tetapi pada suatu masa di mana negara mengalokasikan dana untuk syiar keagamaan, mereka makruh menerima amplop dari masyarakat karena bisa dibilang bahwa mereka itu adalah sejenis PNS sehingga tidak boleh dan tidah perlu menerima insentif dari masyarakat.
Sementara ketika kondisi berubah seperti masa Rasulullah, maka mereka boleh menerima pemberian dari masyarakat. Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. 

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb

Minggu, 01 Mei 2022

Hukum Zakat Ke Ustadz

HUKUM ZAKAT KE USTADZ

Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia terutama di desa-desa menjelang Idul Fitri seperti saat ini masyarakat berbondong-bondong memberikan zakat fitrah, termasuk kepada kiai, tokoh agama atau ustadz.

Lantas bagaimana fikih Islam memandang hal ini ?...
Bolehkah memberikan zakat fitrah kepada Kiai, tokoh agama atau ustadz ?...

Menjawab hal ini Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa kiai atau ustadz termasuk dalam ketegori Sabilillah atau mereka yang berjuang di jalan Allah SWT :

وَفِي سَبِيْلِ اللّٰهِ وَهُمْ فِي رَأْيِ الْجُمْهُوْرِ الْغُزَّاةُ المُجَاهِدُوْنَ الَّذِيْنَ لَا حَقَّ لهُم فِي دِيْوَانِ الْجُنْدِ

“Dan golongan Sabilillah. Menurut mayoritas ulama mereka adalah pasukan perang jihad yang tidak memiliki bagian hak dalam buku catatan tentara.” (Tafsir al-Munir, X/273)

Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa Kiai atau ustadz berhak menerima zakat karena telah berjihad dengan mendakwahkan Islam kepada masyarakat, dengan syarat mereka tidak mendapatkan gaji dari pemerintah.

Sebaliknya apabila Kiai atau ustadz tersebut mendapat gaji dari pemerintah, misalnya karena seorang PNS maka ia bukan termasuk Sabilillah dan tidak berhak menerima zakat.

Bagaimana jika kiai atau ustadz tersebut adalah orang yang mampu ?
Memang banyak ulama memberikan syarat tokoh agama atau kiai boleh menerima zakat hanya jika mereka termasuk golongan orang miskin atau tidak mampu.

Namun Imam al-Kharsyi dalam Syarh Mukhtashar Khalil berpendapat bahwa tetap diperbolehkan memberikan zakat kepada Kiai atau ustad walaupun mereka terbilang mampu.

Hal ini dikarenakan kontribusi mereka yang begitu bagi masyarakat terutama kaum muslimin, berikut cuplikan penjelasan Imam al-Kharsyi :

يَجُوْزُ إِعْطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيْهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ الدِّيْنِ

الدِّيْنِ

“Boleh memberikan zakat kepada ahli qiraat, orang alim, pengajar, dan orang yang bermanfaat bagi kaum muslimin meskipun mereka terbilang mampu. Hal ini dikarenakan manfaat mereka yang bersifat umum serta dapat melestarikan agama.” (Syarh Mukhtashar Khalil, II/216).

Keterangan ini juga dikuatkan oleh Imam Ad-Darimi ketika membahas zakat kepada para penuntut ilmu agama atau santri, bahwa mereka boleh menerima zakat disebabkan ilmu tersebut nantinya dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.

Keterangan imam Ad-Darimi ini ditermukan dalam Al-Majmu’ Syarah Muhazzab karya Imam An-Nawawi, dengan redaksi sebagai berikut :

وَالثَّالِثُ إِنْ كَانَ نَجِيْباً يُرْجَى تَفَقُّهُهُ وَنَفْعُ المُسْلِمِيْنَ بِهِ اِسْتَحَقَّ

“Bagian ketiga : andaikan dia (penuntut ilmu) bisa diharapkan ke-faqihan-nya dan bisa memberi manfaat kepada orang-orang islam dengan ilmunya, maka dia berhak menerima zakat“

Apa jenis Zakat kepada kiai atau ustadz ?
Madzhab Maliki berpendapat hukum di atas hanya untuk zakat mal (harta) tidak zakat fitrah, karena zakat fitrah yang diperuntukkan bagi fakir dan miskin.
Karenanya kiai atau ustadz yang mampu tidak boleh menerima zakat.

Namun hal ini dibantah oleh Prof. Dr. Wahbah Az-zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat tidak dibedakan antara zakat mal (harta) dan zakat fitrah.

Wallahu ‘Alam

Bulan Romadhon Bulan Tarbiyyah

Bulan suci Ramadhan sering disebut juga dengan bulan Tarbiyah atau bulan pembelajaran.
Lingkup pembelajaran tersebut begitu luasnya karena menyangkut,Tarbiyah jasadiyah, Tarbiyah fikriyah, Dan tarbiyah qolbiyah.

[1] Tarbiyah jasadiyah terkait dengan larangan bagi yang berpuasa untuk makan, minum dan berhubungan suami istri di siang hari.

[2] Tarbiyah fikriyah menyangkut perubahan pola pikir berdasarkan latihan fisik pada tarbiyah pertama dimana ibadah shaum membentuk kerangka berpikir yang penuh kejujuran, sedangkan tarbiyah tertinggi yaitu tarbiyah qolbiyah terkait dengan upaya penataan hati agar senantiasa bersyukur atas segala nikmat Illahi serta mendasarkan segala aktivitas hidup dengan hati yang bersih dan selalu mengingat Allah SWT sebagai pemberi hidup dan kehidupan."

[3] Tarbiyah hati sangat penting mengingat Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah hadist. Nu’man bin Basyir berkata: saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

Artinya:

” Ketahuilah,sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka jasad tersebut akan menjadi baik, dan sebaliknya apabila dia buruk maka jasad tersebut akan menjadi buruk. Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah “Qolbu” yaitu hati ” (HR Bukhori).

Jika kita pahami secara mendalam hadis tersebut, maka hati sangat berperan dalam kehidupan jiwa manusia, karena hati yang bersih akan melahirkan jiwa yang bersih dan selalu taat serta tunduk terhadap titah dari Sang Ilahi Rabbi.
Sebaliknya jiwa yang kotor disebabkan karena jiwa tersebut memiliki hati yang tidak baik dan selalu melanggar aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Bagi organisasi sekelas Universitas Padjadjaran, tarbiyah qolbiyah dapat diartikan sebagai pembinaan hati dari seluruh civitas akademika untuk menuju sebuah institusi pendidikan tinggi dengan tata kelola yang baik (good university governance). Salah satu unsur tata kelola yang paling sering dikaji adalah akuntabilitas.
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Pengertian akuntabilitas menurut Lawton dan Rose adalah sebagai sebuah proses dimana seorang atau sekelompok orang yang diperlukan untuk membuat laporan aktivitas mereka dan dengan cara yang mereka sudah atau belum ketahui dalam rangka melaksanakan pekerjaan mereka.
Esensi dasar dari akuntabilitas adalah keberanian dan sikap mental individu, tim, dan organisasi untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku dengan mengedepankan kepentingan organisasi secara keseluruhan.

Bagaimana memanfaatkan shaum untuk men-tarbiyah hati agar institusi kita meraih good university governance? Sederhananya, jika pada bulan suci ini kita akan berusaha jujur pada diri sendiri untuk tidak makan/minum di siang hari meskipun situasi memungkinkan, maka dalam melaksanakan dan mempertanggungjawabkan program dan kegiatan kita tidak akan berani untuk melakukan perbuatan yang dilarang, misalnya tidak mengambil jalan pintas dimana sebuah program dan kegiatan diadakan semata-mata agar suatu unit kerja dipandang berjalan lalu menempuh berbagai cara apapun agar kegiatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Namun lebih jauh daripada itu, kita juga fokus pada penyelarasan program dan kegiatan dengan visi dan misi universitas secara keseluruhan dengan memperhatikan aspek efisiensi, demi melaksanakan kewajiban secara amanah.
Tarbiyah hati ini akan berdampak pada pola pikir dan perilaku serta sebagai bentuk pencapaian akuntabilitas yang pada akhirnya akan berdampak pada tata kelola universitas secara keseluruhan. Jika disiplin hati ini dapat kita jalankan selama ramadhan, mudah-mudahan pada bulan-bulan berikutnya dapat membekas dan menjadi kebiasaan bahkan menjadi sebuah organizational culture.

Allahu A'lam

Puasa Mempunyai Tiga Dimensi

PUASA MEMPUNYAI TIGA DIMENSI
By,Ustadz Husni Thamrin (Ugm)
(Khodim PonPes Raudhotul Fata/Rda)

1.Dimensi ritual
Puasa memiliki aturan (syarat, rukun) tertentu yang ditetapkan oleh syara' yang harus dipenuhi.

2.Dimensi sosial
Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus saja, namun harus menahan diri dari segala hal yang merusak di masyarakat. Oleh karena itu, puasa yang sempurna selain menahan diri dari makan, minum dan nafsu seksual tapi mesti juga menahan diri dari perbuatan keji, dan merusak sosial, menahan nafsu, menahan lidah dari perkataan yang melukai orang lain.

3.Dimensi emosional
Seperti tersebut dalam hadist Nabi Muhammad SAW, bahwa pemuda yang sudah masanya menikah tapi belum mampu maka dianjurkan puasa. Hal ini berarti kaitannya dengan emosional.

Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda! siapa di antaramu sudah sanggup menanggung kewajiban maka hendaklah kawin dan siapa yang belum sanggup maka hendaklah berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu menahan nafsu." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam tingkatan sufi, orang yang berhasil puasanya tidak akan terikat dan tergantung oleh hal-hal yang bersifat bendawi.
Islam membina kehidupan manusia yang diawali dengan tauhid. Dari tauhid tumbuh iman dan akidah yang kemudian membuahkan amal ibadah dan amal saleh.
Allahu A'lam