Boleh Fasakh/Menggugat pernikahan karena empat sebab.👇👇👇
Setiap istri pasti mengharapkan pernikahannya menjadi keluarga yang sakinah, sejahtera dan berjalan dengan baik dengan sang suami. Namun kadang harapan tersebut terhempas di tengah jalan karena sang suami terkena penyakit fatal seperti kelainan kejiwaan atau gila. Dalam kondisi demikian, kadang seorang istri tidak bisa bertahan sehingga ada keinginan menikah dengan orang lain. Jika suami gila, bolehkah istri menikah lagi?
Istri tidak bisa langsung menikah dengan orang lain kecuali ikatan pernikahan dengan suami pertama sudah putus. Sebelum ditalak oleh suaminya, dia tetap berstatus sebagai istri sah meskipun suaminya gila. Karena itu, dia tidak boleh menikah dengan orang lain hanya karena suaminya gila.
Meski demikian, Islam menawarkan alternatif dalam kasus seperti ini. Jika suami gila, maka istri boleh mengajukan gugat cerai dengan suami kepada hakim atau pengadilan agama. Dalam Islam, menggugat cerai suami ke hakim atau pengadilan agama disebut dengan faskhun nikah.
Disebutkan bahwa salah satu alasan yang dibenarkan seorang istri menggugat cerai suaminya ke hakim adalah penyakit gila yang menimpa suami. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Syuja’ dalam kita Taqrib berikut;
ويردّ الرجل بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص والجبّ والعنّة
“Seorang laki-laki atau suami boleh dikembalikan atau digugat cerai dengan adanya lima aib; gila, terkena penyakit lepra, terkena barash atau penyakit kulit, penisnya terputus atau impoten.”
Juga disebutkan dalam kitab Alfiqhu ‘alal Mazahibil Arba’ah sebagai berikut;
أما البرص والجذام والجنون فإنها تجعل لأحد الزوجين الحق في طلب الفسخ في الحال سواء كان الزوج صغيرا أو كبيرا
“Adapun penyakit barash atau penyakit kulit, lepra dan gila, semuanya memberikan hak kepada suami atau istri untuk menggugat cerai pada waktu itu juga, baik suami masih anak kecil atau sudah dewasa.”
Berdasarkan keterangan ini, istri dibenarkan secara syar’i menggugat cerai suami ke hakim jika suami gila. Setelah hakim menjatuhkan putusan bahwa ikatan pernikahan di antara istri dan suaminya telah putus dan setelah lewat masa iddah, maka istri boleh menikah lagi dengan orang lain.
Mendengar kata kusta, apa yang ada di pikiran Anda? Barangkali dari penyakit satu ini terbayang gambaran berikut: kumuh, miskin, terpinggirkan, sangat menular, serta mesti dijauhi.
Penyakit kusta berasal dari bahasa India kustha, dan dalam berbagai budaya bangsa telah dikenal bahkan sejak era sebelum Masehi. Dulu ia dikira sebagai kutukan Tuhan. Dalam tradisi Islam, kita dapat sangat sering mengetahui bahwa kusta atau lepra ini adalah salah satu penyakit yang cukup diwaspadai. Nabi Muhammad sendiri dalam sebuah hadits mengajarkan doa secara khusus perihal lepra ini,
عن أنس – رضي الله عنه – : أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : “ اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، والجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ" . رواه أَبُو داود بإسناد صحيحٍ .
Artinya: Diriwayatkan dari Anas -radliyallahu anhu- bahwa Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam berdoa: “Ya Allah, aku berlindung padamu dari belang, gila, kusta dan penyakit-penyakit buruk”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad sahih.
Lafal-lafal teks hadits banyak menyebutkan kata البرص dan الجذام bersamaan, karena gambarannya yang serupa. Ibnul Manzhur dalam Lisanul Arab menyebutkan bahwa makna (البرص) al-barash adalah penyakit dengan gambaran putih di kulit. Dalam literatur medis terkini, ia dikenal dengan albino – yang muncul akibat proses genetik, dan tidak menular lewat kontak.
Sedangkan (الجذام) judzam sendiri berasal dari kata jadzama – yajdzamu yang semakna dengan qatha’a -yaqtha’u (قطع – يقطع ), artinya memotong/terpotong. Hal ini penting diketahui karena kondisi penderita kusta yang sudah lanjut, sebagaimana nanti akan disinggung di bawah, adalah adanya bagian tubuh yang buntung tanpa rasa sakit, terutama di tangan dan kaki – dari sinilah kata al-judzam berasal.
Nabi bersabda,
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ
"Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas" (HR al-Bukhari).
Hal ini menunjukkan bahwa kusta adalah penyakit yang cukup ditakuti sedari dulu. Namun di sisi lain, Nabi juga disebutkan pernah membaiat penderita kusta, bahkan makan bersama. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi
أَنَّ رَسُوْلَ الله: أَخَذَ بِيَدِ مَجْذُوْمٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ فِيْ اْلقَصْعَةِ ثُمَّ قَالَ كُلْ بِاسْمِ اللهِ ثِقَةً بِاللهِ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ
"Sesungguhnya Rasulullah saw. memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukannya bersama tangan Beliau ke dalam piring. Kemudian Beliau mengatakan: "makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya" (HR at-Turmudzi).
Dalam literatur fiqih pun, kondisi kusta menjadi salah satu hal yang memperbolehkan batalnya nikah (faskhun nikah).
Dicatat dari Syekh Abu Syuja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb berikut aib nikah yang bisa menjadi alasan dibatalkannya pernikahan.
وترد المرأة بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص والرتق والقرن ويرد الرجل بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص الجب والعنة.
Artinya: “Seorang perempuan bisa dibatalkan pernikahannya karena lima aib, yakni: gila, judzam (kusta), barash (albino), rataq, dan qarn. Sedangkan lelaki bisa dibatalkan pernikahannya karena lima aib, yakni gila, judzam, barash, al-jubb (tiadanya alat kelamin), dan al-‘anat (impotensi).”
Selain itu, dalam kitab Hasyiyatul Jumal misalnya, penderita kusta tidak boleh turut serta ikut shalat berjamaah karena takut menular.
فقد نقل القاضي عياض عن العلماء منع الأجذم والأبرص من المسجد، ومن اختلاطهما بالناس
Artinya: Dikutip dari (perkataan) Qadli Iyadh, dari para ulama bahwa penderita kusta dan belang (al-barash) dilarang masuk masjid, serta dilarang berkumpul dengan orang-orang.
Agaknya pengetahuan tentang kusta yang berkembang di masa hidup ulama kala itu belum memadai, yang sayangnya, berujung pengucilan penderita kusta. Hemat penulis, keterangan dari ulama fiqih di atas sejalan dengan konteks zaman itu, dan di masa sekarang kurang relevan – mengingat keilmuan penyebab dan terapi penyakit telah ditemukan.
Kaidah al-ijtihâd lâ yunqadlu bil ijtihad, ijtihad atau pendapat ulama yang sudah ada tidak batal sebab adanya pendapat lainnya, tetap berlaku namun mesti disikapi dengan cermat. Nah, dengan segala pendapat dan pandangann ulama akan penyakit ini, berikut hal-hal yang perlu diketahui tentang kusta.
Kusta atau lepra (disebut juga Morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium leprae. Mekanisme penularannya belum diketahui pasti, namun yang paling umum diketahui adalah ia menular dengan kontak kulit yang lama dan erat. Sekadar interaksi yang tidak intens belum tentu memicu penularan kuman kusta.
Penyakit kusta bersifat kronik, yaitu infeksinya sudah berlangsung lama dalam tubuh – sehingga muncul gejalanya bisa sekian bulan bahkan tahun kemudian, sesuai masa tunas kuman lepra ini.
Berdasarkan keterangan buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI, bakteri ini pertama kali menyerang saraf tepi, lalu kulit, saluran napas bagian atas, serta dapat berlanjut ke organ lain, kecuali sistem saraf pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang.
Karena itu, meski jarang menyebabkan kematian, hal yang paling ditakutkan dari kusta adalah kecacatan serta stigma dan diskriminasi dari masyarakat.
Kusta adalah penyakit yang dapat diobati. Angka kejadian penyakit ini sudah menurun sangat drastis di negara-negara endemis kusta, termasuk Indonesia. Faktor-faktor penunjang munculnya penyakit ini antara lain tinggal di area endemis, adanya keluarga serumah penderita kusta, serta kemiskinan (malnutrisi) yang berimbas pada kurang baiknya sistem imun.
Kemampuan invasi bakteri ini sebenarnya rendah, sehingga penderita yang terinfeksi kuman lepra ini belum tentu menunjukkan gejala yang parah. Beda gambaran infeksi dan kondisi gejala penyakit ini disebabkan oleh respons imun seluler yang berbeda-beda.
Gejala berikut perlu dicermati untuk diagnosis kusta: adanya gambaran bercak yang kemerahan/lebih gelap dibanding sekitarnya, dan di bercak tersebut terasa kering, lalu ada baal, kesemutan, atau hilang rasa. Selain itu, gejala yang perlu dicermati adalah ketika sering dikeluhkan ada kesemutan, nyeri atau hilang sensasi rasa di tangan atau kaki, diikuti kesulitan menggerakkan otot, jari atau persendian di tangan atau kaki. Hal ini menggambarkan bahwa sakit kusta menyerang sistem saraf tepi. Dapat juga dikeluhkan alis atau rambut rontok serta pandangan buram. Pada taraf lanjut, banyak keluhan gejala lainnya yang dapat menjadi informasi organ tertentu yang telah diserang.
Mutilasi atau putusnya bagian tubuh, sebagaimana gambaran kusta dalam literatur Islam klasik itu diakibatkan bagian tubuh yang ada sudah mati rasa, serta tidak berfungsi kembali. Ketika sudah mati rasa itulah kerap ada luka yang tidak nyeri dan sulit sembuh, serta bagian tersebut tidak dapat berfungsi normal dan buntung sedikit demi sedikit.
Berat ringannya gejala kusta ini ditinjau dari gambaran dan jumlah bercak, kerusakan saraf, serta hasil laboratorium. Pemeriksaan laboratorium paling utama untuk kusta adalah kerok daerah kulit yang memiliki kelainan. Hasil bakteri yang ditemukan adalah jenis bakteri berbentuk batang yang tahan asam (BTA).
Pengobatan kusta bisa diakses di puskesmas atau RS terdekat. WHO menetapkan terapi kusta mesti diminum rutin tiap hari selama sekurang-kurangnya 6 bulan tergantung jenis kusta yang didapat. Bercak kulit yang ada, hendaknya dijaga agar tidak digaruk, tergesek, ataupun terbentur. Bila muncul bercak baru, bercak semakin melebar atau menebal, atau muncul demam dan nyeri pada tubuh mesti segera kembali ke dokter.
Tujuan utama pengobatan kusta adalah memutus rantai penularan serta mengobati dan menyembuhkan penderita. Penyakit yang terdeteksi sedari awal, dapat mencegah kecacatan yang menjadi beban dan stigma bagi penderita kusta. Setelah dimulai pengobatan, kuman kusta ini akan sudah sangat berkurang kemampuan menularnya.
Penderita kusta hendaknya dijauhkan dari stigma dan diskriminasi dalam ruang kerja maupun kehidupan bermasyarakat. Pengucilan tersebut membuat penderita kusta baik dengan atau tanpa disabilitas ini kehilangan semangat hidup, produktivitas, yang mestinya tanpa stigma dan diskriminasi – ditunjang dengan dukungan moral maupun fisik dari berbagai pihak – bisa membuat mereka berdaya.
Tentu stigma dan diskriminasi ini menepikan hak-hak mereka dalam kehidupan sosial. Para penderita juga punya hak bermasyarakat dan bekerja. Memahami kondisi penyakit ini kiranya memperbaiki sudut pandang kita atas para penderitanya. Kusta bisa diobati dan dicegah kecacatannya, dan tentu ia bukan adzab atau kutukan.
Sejumlah Ketentuan Fasakh Pernikahan dalam Kajian Fiqih.
Jika didapati salah satu cacat, penyakit, atau sebab lainnya setelah menikah, baik pada istri maupun pada suami, baik setelah hubungan badan maupun belum, baik cacat yang menghalangi hubungan badan maupun yang tidak, maka ada hak fasakh bagi keduanya, dengan catatan fasakh dilakukan di hadapan hakim atau diputuskan oleh hakim.
Jika ada pasangan yang sepakat untuk memfasakh pernikahannya tanpa hakim maka fasakhnya tidak tercapai, terutama fasakh yang disebabkan oleh cacat, penyakit, atau sebab yang membutuhkan pertimbangan hakim dan juga tim medis. Demikian yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam Kitab I‘anatuth Thalibin.
إنما يصح الخيار فورا في فسخ النكاح إن كان حاصلا بحضور الحاكم، وذلك لأن الفسخ بالعيوب المذكورة أمر مجتهد فيه كالفسخ بإعسار فتوقف ثبوتها على مزيد نظر واجتهاد، وهو لا يكون إلا من الحاكم
فلو تراضيا بالفسخ بها من غير حاكم لم ينفذ
Artinya, “Khiyar dalam fasakh
nikah hanya sah jika dihadiri oleh penguasa (hakim).
Pasalnya, fasakh karena cacat-cacat tersebut di atas merupakan perkara ijtihadi. Begitu pula fasakh yang terjadi karena kesulitan memberi nafkah. Maka penetapannya membutuhkan pandangan dan ijtihad lebih jauh. Walhasil, tidak sah fasakh kecuali atas putusan hakim. Sehingga seandainya suami-istri sepakat untuk fasakh karena suatu cacat tanpa hakim maka tetap tidak terlaksana,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I‘anatuth Thalibin, jilid III, halaman 383).
Lain halnya fasakh yang diakibatkan oleh sebab yang jelas. Ia dapat dilakukan tanpa melalui keputusan hakim. Contohnya fasakh karena ada hubungan mahram antara kedua mempelai. Hal ini ditegaskan dalam pendapat Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah. (Lihat Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 115).
Demikian halnya fasakh boleh dilakukan tanpa hakim ketika syarat fasakh diajukan sewaktu akad. Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus di hadapan hakim.
ويجوز لكل من الزوجين خيار بخلف شرط وقع في العقد لا قبله كأن شرط في أحد الزوجين حرية أو نسب أو جمال أو يسار أو بكارة أو شباب أو سلامة من عيوب كزوجتك بشرط أنها بكر أو حرة مثلا فإن بان أدنى مما شرط فله فسخ ولو بلا قاض
Artinya, “Diperbolehkan bagi suami atau istri mengambil hak khiyar (fasakh) yang diikuti dengan syarat sewaktu akad, bukan sebelum akad. Seperti halnya disyaratkan pada salah seorang suami atau istri harus merdeka, berketurunan terpandang, berparas cantik atau tampan, berasal dari kalangan berada, masih perawan atau masih perjaka, atau selamat dari cacat. Saat akad, si wali mengatakan, ‘Aku nikahkan engkau dengan syarat dia masih perawan atau merdeka,’ misalnya. Maka jika terbukti si perempuan tidak memenuhi syarat, maka suami boleh memfasakh nikahnya walaupun tanpa hakim.” (Lihat Syekh Zainudddin Al-Malaibari, Fathul Mu‘in, halaman 106).
Hanya saja ada pengecualian dalam cacat lemah syahwat. Jika cacat itu terjadi setelah hubungan badan, kemudian terjadi fasakh, maka hak istri berupa mahar menjadi gugur karena sudah tercapainya tujuan pernikahan, yaitu hubungan badan. Begitu pula bila cacat yang dialami istri memungkinkan untuk dihilangkan, seperti dengan proses operasi, dan ia rela dengan proses itu, maka tidak ada hak fasakh bagi suaminya. Sebab, tidak ada alasan kuat yang membolehkannya untuk fasakh. Selain itu, sejak penyakit lemah syahwat ditetapkan oleh hakim berdasarkan pengakuan suami atau sumpah istri, maka hakim harus memberikan tempo selama satu tahun qamariyah guna memberikan kemungkinan sembuhnya penyakit tersebut seiring perjalanan musim dan waktu. Jika sembuh, maka fasakh batal. Jika tidak, maka fasakh dijatuhkan. Kemudian, jika ada pasangan yang sudah mengetahui cacat atau penyakit pasangannya, namun ia tetap diam dan tidak segera mengajukan fasakh, maka hak fasakhnya gugur kecuali jika ia tidak tahu bahwa ada hak fasakh yang diberikan kepada dirinya. Demikian sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi dalam mengambil hak fasakh, baik oleh suami maupun oleh istri.
Wallahu a’lam