Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 23 Juni 2024

OBAT ALAMI RADANG TENGGOROKAN

8 Rekomendasi Obat Radang Tenggorokan Alami yang Aman

1. Madu
2. Air Garam
3. Air Lemon
4. Kunyit
5. Cuka Sari Apel
6. Sari Akar Licorice
7. Teh Jahe
8. Bawang Putih

Radang tenggorokan adalah suatu kondisi yang cukup umum di masyarakat. Anda dapat mencoba menggunakan obat radang tenggorokan alami sebagai salah satu langkah penanganan untuk membantu meredakan gejala radang tenggorokan.

Terdapat beberapa rekomendasi obat alami untuk dijadikan sebagai alternatif cara mengobati radang tenggorokan yang dinilai aman. Simak ulasannya dalam artikel berikut.

8 Rekomendasi Obat Radang Tenggorokan Alami yang Aman

Radang tenggorokan dapat sangat mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan ketidaknyamanan. Untuk menghindari kondisi tersebut, terdapat berbagai cara untuk mencegah radang tenggorokan, salah satunya adalah dengan mengonsumsi obat alami. Obat alami adalah cara mengatasi radang tenggorokan yang tergolong aman untuk dilakukan apabila gejalanya tidak terlalu parah dan dikonsumsi dalam jumlah yang tepat.

Anda dapat mengonsumsi obat alami ini dengan mudah di rumah lantaran bahan-bahannya tidak sulit untuk ditemukan. Berikut adalah beberapa obat radang tenggorokan alami yang dapat Anda coba di rumah.

1. Madu
 
Radang tenggorokan bisa menjadi gejala dari penyakit GERD, yaitu gangguan pada sistem pencernaan. Maka dari itu, madu dapat dijadikan pilihan sebagai obat radang tenggorokan alami karena dinilai aman untuk saluran pencernaan tersebut.

Madu memiliki sifat antioksidan, antimikroba, serta antiinflamasi yang diketahui dapat mengatasi radang tenggorokan secara efektif. Anda dapat mengonsumsi madu secara langsung atau dengan mencampurkannya ke dalam teh serta minuman sehat lainnya.

2. Air Garam
 
Air garam merupakan bahan alami untuk obat radang tenggorokan berikutnya. Benar, air garam merupakan larutan yang bersifat antiseptik sehingga dapat memperlambat serta menghentikan pertumbuhan bakteri yang menyebabkan radang tenggorokan.

Selain itu, air garam juga bisa mencairkan lendir yang sudah menumpuk karena hidung tersumbat atau dahak. Anda dapat melarutkan satu sendok teh garam beryodium pada satu gelas air hangat. Kemudian, berkumurlah menggunakan air garam hangat tersebut selama 30 detik.

Anda dapat melakukannya sebanyak 3 sampai 4 kali setiap hari hingga radang tenggorokan mereda.

3. Air Lemon

Perasan air lemon kaya akan vitamin C yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan mempercepat pemulihan radang tenggorokan. Di samping vitamin C, perasan air lemon juga mengandung senyawa astringen yang mampu meredakan peradangan serta pembengkakan pada tenggorokan.

4. Kunyit

Karena memiliki senyawa bersifat antibakteri, kunyit dapat dijadikan sebagai obat radang tenggorokan alami. Anda bisa menumbuk lalu merebus 1 ruas rempah kuning tersebut di dalam air agar bisa mendapatkan sarinya.

Kemudian, minumlah ramuan herbal tersebut satu kali sehari. Anda juga dapat mencampurkan madu serta perasan air lemon ke dalam larutan sari kunyit agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.

5. Cuka Sari Apel

Obat radang tenggorokan alami berikutnya yaitu cuka sari apel. Cuka sari apel memiliki senyawa antimikroba sehingga dapat meredakan sakit yang ditimbulkan dari radang tenggorokan. 

Untuk menggunakannya, Anda dapat melarutkan 1 sampai 2 sendok makan cuka sari apel ke dalam segelas air. Lalu, berkumurlah dengan larutan cuka sari apel tersebut setiap 3 sampai 4 jam sekali secara rutin.

6. Sari Akar Licorice

Licorice atau biasa dikenal dengan sebutan akar manis merupakan salah satu jenis tanaman herbal yang memiliki beragam manfaat. Benar, sari akar licorice ini bisa dijadikan sebagai obat radang tenggorokan alami.

Lantaran, minuman herbal tersebut membantu mengencerkan sekresi lendir sehingga dapat membuat tenggorokan terasa lebih lega. Selain itu, sari akar licorice juga bisa mengurangi peradangan yang terjadi pada tenggorokan.

7. Teh Jahe
 
Rekomendasi obat radang tenggorokan alami selanjutnya yaitu teh jahe. Teh jahe memiliki kandungan gingerol yang bersifat antiinflamasi serta analgesik sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan dari radang tenggorokan. Konsumsi teh jahe hangat untuk melegakan radang tenggorokan dengan lebih optimal.

8. Bawang Putih
 
Selain sebagai obat alami untuk meredakan sakit gigi, bawang putih juga bisa membantu mengatasi nyeri pada radang tenggorokan. Bawang putih diketahui memiliki senyawa allicin yang bersifat antimikroba sehingga mampu mengatasi radang tenggorokan karena infeksi bakteri.

Anda dapat mengunyah bawang putih secara langsung untuk dijadikan sebagai obat radang tenggorokan alami. 

Demikian rekomendasi obat radang tenggorokan alami yang aman dan bisa Anda temukan dengan mudah.

Perlu diingat, penggunaan obat alami ini adalah untuk membantu meringankan gejala ringan. Apabila gejala yang dirasakan cukup parah dan penggunaan obat alami tersebut tidak efektif, disarankan untuk segera berkonsultasi dengan dokter.

Kunjungi Siloam Hospital terdekat untuk mendapatkan hasil diagnosis yang tepat. Anda dapat menggunakan fitur Cari Dokter untuk mendapatkan jadwal dan membuat janji temu dengan dokter terkait.Selain itu, Anda juga bisa menggunakan aplikasi MySiloam untuk mengakses berbagai fitur kesehatan secara mudah dan cepat. Segera miliki aplikasinya sekarang dan jaga selalu kesehatan Anda.

HUKUM PEREMPUAN HAID MASUK MASJID

Hukum Masuk Masjid Perempuan Haid dalam Pandangan Mazhab Syafi'i

Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.

Pada seri sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan orang yang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. Sedangkan pada sesi kali ini, kita mengangkat pandangan mazhab Syafi’i perihal solusi untuk ustadzah TPQ yang harus mengajar di dalam masjid dalam keadaan junub atau haid.

Dalam Kitab Bahrul Mazhab pada bab li'an, Imam Ar-Ruyani (wafat 502 H)–seorang ulama paruh akhir abad ke-5 Hijriyah yang bermazhab Syafi'i–merekam sebuah pendapat tentang kebolehan orang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid dari Imam Al-Muzani (Isma'il bin Yahya Al-Muzani, wafat 264 H), salah seorang murid Imam Syafi'i yang paling masyhur.

Al-Muzani berpendapat bahwa perempuan haid tidak dilarang masuk masjid sebagaimana tidak terlarangnya bagi perempuan musyrik.

قال المزني: رَحِمَهُ اللَّهُ - : " إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى " .هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ الحَائِضَ لَا تُمْنَعُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَالْمُشْرِكَةِ

Artinya, “Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja, dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Begitulah pendapat Imam Al-Muzani bahwa muslimah yang haid tidak terlarang masuk masjid sebagaimana perempuan musyrik. (Imam Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahrul Mazhab, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2002 M] juz 10, halaman 339).

Di sini, Imam Al-Muzani tidak menganggap masalah terkait muslimah yang haid untuk masuk masjid sebagaimana wanita yang tidak beriman boleh-boleh saja memasukinya yang mungkin saja juga sedang haid. Wanita tidak beriman saja boleh, apalagi wanita beriman? Demikian kiranya argumentasi Imam Al-Muzani.

Pendapat Imam Al-Muzani yang direkam oleh Imam Ar-Ruyani tersebut juga dapat ditelusuri dalam kutipan ulama periode sebelumnya, yakni Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), seorang pemuka mazhab Syafi'i yang juga hakim agung pada ujung kekuasaan dinasti Abbasiyah–yang mensyarahi Kitab Mukhtasor-nya Imam Al-Muzani.

“Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Imam Al-Mawardi berkata, ‘Statemen Imam Al-Muzani ini menjelaskan pendapatnya tentang kebolehan masuk masjid bagi muslim yang junub dan muslimah yang haid, sebagaimana kebolehan masuk masjid bagi kafir dzimmi meskipun ada orang junub dan haid di antara mereka.’” (Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtasar Al-Muzani).

Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.

Namun demikian, bila masih ada cara lain semisal dengan pengajar pengganti atau beralih lokasi, alangkah baiknya cara tersebut yang diprioritaskan agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama. Allahu a'lam.

Sabtu, 22 Juni 2024

HUKUM BUNUH DIRI DALAM ISLAM.

Hukum Bunuh Diri dalam islam

Bismillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas masalah bunuh diri dalam islam. Semoga pembahasan bunuh diri dalam islam ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Ketika menghadapi cobaan hidup, sebagian orang mengambil “jalan pintas” dengan cara bunuh diri. Padahal bunuh diri bukanlah solusi dan bukanlah jalan pintas, bahkan bunuh diri adalah dosa yang sangat besar dalam Islam.

Besarnya dosa bunuh diri
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, “Bunuh diri adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30).


Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Maka bunuh diri dalam islam itu adalah dosa besar yang paling buruk. Namun Ahlussunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa orang yang bunuh diri itu tidak kafir. Jika ia muslim, maka ia tetap dishalatkan dengan baik karena ia seorang Muslim yang bertauhid dan beriman kepada Allah, dan juga sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil” 

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

كان فيمن كان قبلكم رجل به جرح فجزع فأخذ سكيناً فحز بها يده فما رقأ الدم حتى مات . قال الله تعالى : بادرني عبدي بنفسه حرمت عليه الجنة

“Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta’ala berfirman: ”Hambaku mendahuluiku dengan dirinya, maka aku haramkan baginya surga” (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).

Ngerinya adzab bagi orang yang bunuh diri
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن قتل نفسه بشيء في الدنيا عذب به يوم القيامة

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

من قتلَ نفسَهُ بحديدةٍ فحديدتُهُ في يدهِ يتوجَّأُ بها في بطنِهِ في نارِ جهنَّمَ خالدًا مُخلَّدًا فيها أبدًا ومن قتَلَ نفسَهُ بسَمٍّ فسَمُّهُ في يدهِ يتحسَّاهُ في نارِ جهنَّمَ خالدًا مُخلَّدًا فيها أبدًا من تردَّى من جبلٍ فقتلَ نفسَهُ فَهوَ يتردَّى في نارِ جَهنَّمَ خالدًا مخلَّدًا فيها أبدًا

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu kelak akan berada di tangannya dan akan dia gunakan untuk menikam perutnya sendiri di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka kelak ia akan meminumnya sedikit-demi sedikit di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, maka dia akan dijatuhkan dari tempat yang tinggi di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-selamanya” (HR. Bukhari no. 5778, Muslim no. 109).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di neraka Jahannam. Artinya seseorang yang bunuh diri pasti akan masuk neraka Jahannam” (Syarhu Al Kabair, 109).

Maka orang yang bunuh diri akan mengalami dua kengerian :

Ia akan masuk neraka Jahannam yang merupakan neraka terburuk dan terngeri. Dalam Al Qur’an sering kali disebutkan tentang Jahannam: لَبِئْسَ الْمِهَادُ
“seburuk-buruk tempat” بِئْسَ الْمَصِيرُ
“seburuk-buruk tempat kembali”
Ia akan terus diadzab dengan cara yang sama dengan cara ia bunuh diri secara terus-menerus di neraka
Baca Juga: Lulus Ataukah Mati Bunuh Diri?

Apakah orang yang bunuh diri kafir?
Orang yang mati dalam keadaan Muslim, bukan dalam keadaan Musyrik, maka ia tidak akan kekal di neraka jika ia masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (Qs. An Nisa: 48).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنُ شعيرةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إله إلا الله ، وفي قلبِه وزنُ بُرَّةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنِ ذرَّةٍ مِن خيرٍ

“akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji gandum kebaikan. akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji burr kebaikan.  akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji sawi kebaikan” (HR. Bukhari no. 44).

Hadits-hadits semacam ini sangat banyak.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “namun orang yang bunuh diri tidaklah keluar dari Islam jika memang ia Muslim sebelum melakukan bunuh diri. Bunuh diri tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun nasibnya di akhirat tahta masyiatillah (tergantung pada kehendak Allah) sebagaimana maksiat yang lainnya. Jika Allah berkehendak, Allah bisa mengampuninya dan memasukkannya ke surga karena keislamannya dan keimanannya. Dan jika Allah berkehendak, Allah juga bisa mengadzabnya di neraka atas kejahatan yang ia lakukan, yaitu pembunuhan. Lalu setelah bersih dosa-dosanya dengan adzab yang ia terima, Allah pun mengeluarkannya dari neraka untuk dimasukkan ke surga. Maka orang tua dari orang yang bunuh diri hendaknya banyak-banyak berdoa kebaikan dan rahmat baginya, banyak-banyak bersedekah untuknya, semoga Allah meringankan perkaranya dan memberikan rahmat kepadanya jika memang ia seorang Muslim”

Karena orang yang bunuh diri tidak kafir, maka jenazahnya tetap dimandikan dan dishalatkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Orang bunuh diri tidaklah kafir, bahkan ia tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, didoakan baginya ampunan, sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap seorang yang misyqash (semacam pisau). Jenazah orang tersebut didatangkan kepada Rasulullah namun beliau tidak mau menshalatkannya, dan beliau bersabda kepada para sahabat: shalatkan ia. Lalu para sahabat pun menyalatkannya. Ini menunjukkan bahwa lelaki yang bunuh diri tersebut tidaklah kafir, sehingga ia pun tidak berhak mendapatkan kekekalan di neraka. Yang disebutkan dalam hadits yang terdapat lafadz bahwa ia kekal di neraka, jika memang lafadz tersebut mahfuzh dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, maka maksudnya adalah ancaman dan peringatan keras terhadap amalan ini (bunuh diri)” (Syarhu Al Kabair, 110).

Dalil-dalil yang berbicara mengenai amalan dosa yang bukan syirik, yang mengandung kalimat semacam “tidak masuk surga orang yang demikian dan demikian” atau “diharamkan masuk surga orang yang demikian dan demikian”, maka maknanya sebagaimana dijelaskan Syaikh Musthafa Al Adawi tidak lepas dari dua kemungkinan:

Orang yang melakukan dosa besar tersebut tidak masuk surga bersama golongan orang-orang yang masuk surga pertama kali. Ia mendapatkan adzab atas dosa yang ia lakukan (jika Allah tidak mengampuni dosanya), baru setelah itu dikeluarkan dari neraka dan masuk surga.
Orang yang melakukan dosa besar tersebut tidak masuk pada jenis surga tertentu dari surga-surga yang ada (Mafatihul Fiqhi, 1/20).
Bunuh diri bukan solusi
Ketika seseorang menghadapi suatu permasalahan, akal yang sehat tentu akan setuju bahwa bunuh diri bukanlah solusi dari permasalahan tersebut. Apapun permasalahannya, selama-lamanya bunuh diri bukanlah solusi. Bunuh diri hanyalah bentuk lari dari permasalahan, bahkan justru ia akan menambah permasalahan-permasalahan yang lain bagi orang yang ditinggalkannya.

Ketahuilah bahwa setiap masalah yang kita hadapi itu pasti ada solusinya. Karena Allah Ta’ala tidak akan membebani sesuatu kepada kita kecuali masih dalam batas kemampuan kita. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286).

Dan solusi dalam permasalahan hidup itu pasti akan bisa didapatkan jika kita kembali kepada Allah, kembali kepada agama, mendekatkan diri kepada Rabb kita dengan menjalankan berbagai ketaatan dan menjauhi segala larangan. Karena demikianlah janji Allah Ta’ala Ia adalah sebaik-sebaik penepat janji:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS. Ath Thalaq: 2).

Bunuh diri bukan mengakhiri kehidupan
Kematian bukanlah akhir. Bahkan ia adalah awal kehidupan akhirat yang lebih kekal. Allah Ta’ala berfirman:

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al A’la: 17).

Utsman bin Affan radhiallahu’anhu berkata:

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « إن القبر أول منازل الآخرة فمن نجا منه فما بعده أيسر منه ، ومن لم ينج منه فما بعده أشد منه » قال : فقال عثمان رضي الله عنه : ما رأيت منظرا قط إلا والقبر أفظع منه

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Alam kubur adalah awal perjalanan akhirat, barang siapa yang berhasil di alam kubur, maka setelahnya lebih mudah. Barang siapa yang tidak berhasil, maka setelahnya lebih berat’ . Utsman Radhiallahu’anhu berkata, ‘Aku tidak pernah memandang sesuatu yang lebih mengerikan dari kuburan’” (HR. Tirmidzi 2308, ia berkata: “hasan gharib”, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Futuhat Rabbaniyyah, 4/192).

Maka orang yang bunuh diri sesungguhnya berpikiran pendek dan dangkal dengan beranggapan bahwa jika ia mati maka berakhirlah semuanya. Justru kehidupan setelah kematian itu adalah kehidupan sesungguhnya yang lebih kekal lebih berat. Jika seseorang yang tidak memiliki bekal yang cukup untuk akhiratnya lalu ia mengakhiri hidupnya di dunia dengan dosa besar, yaitu bunuh diri, maka ia meninggalkan masalah yang jauh lebih kecil di dunia (jika dibandingkan dengan masalah di akhirat), lalu menghadapi masalah yang lebih besar dan lebih berat di akhirat.

Semoga Allah senantiasa memberi kita hidayah agar kita tetap istiqamah di atas jalan yang benar hingga ajal menjemput kita. 

Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaihi.

 

Kamis, 20 Juni 2024

AKIKAH DIPAKAI WALIMAH

Hukum Daging Aqiqah untuk Sajian Walimah.

Pada dasarnya hukum aqiqah dan kurban atau udhiyah adalah sama. Mulai dari niat, jenis hewan, umur, kesehatan, dan lain sebagainnya. Di antara perbedaan dari keduanya adalah terkait dengan kesunahan mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak. Oleh sebagian orang, daging ini dimanfaatkan sebagai sajian walimah. Jadi yang dilakukan adalah melakukan aqiqah sekaligus walimah, di mana daging aqiqahnya dimasak dan dijadikan sajian untuk orang-orang yang menghadiri walimah. 

Lantas sebenarnya bagaimana hukumnya menjadikan daging aqiqah yang sudah dimasak menjadi sajian untuk tamu-tamu walimah? Berikut penjelasannya.

Menjadikan masakan daging aqiqah sebagai sajian walimah memang nampaknya lebih efektif dan efesien. Pasalnya shahibul hajat (yang memiliki hajat) tidak perlu susah payah mengantarkan masakan daging aqiqah. Para tamu akan datang sendiri dengan undangan walimah sehingga tercapailah dua hal sekaligus yakni aqiqah dan walimah.

Namun demikian, aqiqah merupakan ibadah yang hukumnya sunah muakkad dan mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Di antara ketentuannya adalah mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak, kemudian membagikan atau mengirimkannya kepada orang-orang fakir. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (wafat 987 H) yang bermadzhab Syafi'i dalam kitabnya, Fathul Mu'in sebagai berikut: 

والتصدق بمطبوخ يبعثه إلى الفقراء: أحب من ندائهم  إليها ومن التصدق نيئا  

Artinya: "Mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak kemudian mengirimkannya kepada orang-orang fakir lebih disukai daripada mengundang mereka (untuk hadir ke rumah hal ini berdasarkan perkataan Aisyah Ra bahwasanya hal ini hukumnya sunah), dan lebih baik daripada mensedekahkan daging mentah." (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu'in ,[Bairut, Darul Hazm], halaman 304).

Penjelasan ini menyatakan bahwa mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak dan mengirimkan kepada masing-masing penerimanya lebih disukai. Ibarot ini tidak menyebutkan secara jelas hukum mengundang penerima daging aqiqah ke rumah. Dalam penjelasan tersebut hanya menyebutkan lebih disukai (ahabu) mengantar masakan daging aqiqah daripada mengundang orang-orang untuk memakan masakan aqiqah. 

Sementara seorang ulama bermazhab Maliki, Syihabuddin an-Nafrawi (wafat 1126 H) menjelaskan dengan jelas hukum mengundang orang-orang untuk memakan masakan aqiqah dan menjadikanya sebagai sajian walimah seperti walimatul ursy. Dalam kitabnya, Al-Fawakih ad-Dawani ia menjelaskan: 

(وَ) يُسْتَحَبُّ أَنْ (يُؤْكَلَ) أَيْ يُطْعَمَ (مِنْهَا) أَهْلُ الْبَيْتِ وَالْجِيرَانُ (وَيُتَصَدَّقُ) مِنْهَا بَعْدَ الطَّبْخِ وَقَبْلَهُ، وَيُكْرَهُ جَعْلُهَا وَلِيمَةً وَيَدْعُو لَهَا النَّاسَ كَمَا تَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ جَعْلِهِمْ لَهَا كَالْعُرْسِ، وَإِنَّمَا كُرِهَ لِمُخَالَفَةِ فِعْلِ السَّلَفُ، وَلِخَوْفِ الْمُبَاهَاةِ وَالْمُفَاخَرَةِ، بَلْ الْمَطْلُوبُ إطْعَامُ كُلِّ أَحَدٍ فِي مَحَلِّهِ، فَلَوْ وَقَعَ عَمَلُهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَتْ، وَإِنْ كُرِهَتْ، وَلَا يُطَالَبُ بِإِعَادَتِهَا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Artinya, "Disunahkan untuk memberi makan keluarga dan tetangga dari daging aqiqah dan untuk mensedekahkannya setelah dimasak dan sebelumnya. Dimakruhkan menjadikan daging aqiqah sebagai sajian walimah dan mengundang masyarakat sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang menjadikan daging aqiqah sebagai sajian walimah seperti walimatul ursy. Hal ini, dimakruhkan karena menyelisihi perbuatan ulama salaf, dan karena ditakutkan timbulnya rasa membanggakan diri dan sombong. Akan tetapi yang dituntut adalah memberi makan kepada setiap orang yang berada di tempatnya. Apabila menjadikan aqiqah sebagai walimah maka hal itu tetap mencukupi sekalipun hal tersebut dimakruhkan dan ia tidak dituntut untuk mengulangi akikahnya. Wallahu a'lam." (Syihabuddin an-Nafrawi al-Azhari al-Maliki, Al-Fawakih ad-Dawani, [Bairut, Darul Fikr: 1415 H] juz I halaman 393). 

Walhasil, hukum menjadikan daging aqiqah yang sudah dimasak menjadi sajian untuk tamu-tamu walimah adalah makruh. Karena kesunahannya adalah mengantar masakan aqiqah kepada masing-masing penerimannya. Bukan mengundang mereka untuk makan di rumahnya sebagai sajian walimah ursy dan sejenisnya.

Kemakruhan ini karena menyelisihi perbuatan ulama salaf, dan karena ditakutkan akan menimbulkan rasa bangga diri dan sombong. Namun, sekalipun hukumnya makruh, aqiqah yang dilakukan sudah mencukupi dan tidak ada tuntutan untuk mengulangi aqiqahnya. 
Wallahu a'lam bisshawab.

Rabu, 19 Juni 2024

NIKAH ITU IBADAH

Nikah itu Ibadah Istimewa

 "Nikah itu ibadah".

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya bahwa nikah itu termasuk dalam ibadah yang universal itu yang pertama,
Karena perihal akad nikah ada pada setiap agama. 
Berbeda dengan ibadah shalat, atau haji, keduanya tidak ditemukan pada agama Kristen ataupun Yahudi sehingga nikah adalah ibadah universal.

Kedua, nikah adalah ibadah ideal, karena syariat nikah itu membawa misi yang berat yakni "ta'sisul usroh", membentuk sebuah keluarga, dan itu perjuangan berat. 
Hal ini merupakan ibadah, yang juga dibarengi kenikmatan, lahir-batin, jiwa-raga, sehingga dikatakan berat akan tetapi enak, sambungnya.

Dan ketiga nikah juga bagian dari ibadah Perennial ( Perennial adalah Tasawuf. Dalam Islam, tasawuf adalah praktek keagamaan yang penuh dimensi esoterik, hikmah-hikmah abadi agama)
bersifat abadi, langgeng, karena ketika pasangan pengantin ini baik, maka nanti keduanya akan masuk surga. 

Jadi kesimpulannya nikah itu merupakan sebuah ibadah istimewa.

Firman allah swt surat Ar Rum ayat 21 :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٢١﴾

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". 

Nikah  itu menjadi salah satu ayat Allah, berarti hari ini kita lagi menyaksikan manifestasi dari ayat Allah, Allah sedang ber-"Tajalli", bermanifes menampakkan tanda-tanda kebesaran Allah Swt.

Karena hanya Allah Dzat yang tidak butuh pasangan, tidak butuh sandaran. 

Allah lah "Adz-Dzatul Muthlaqah al-Mujarradah anin nisab wal idhaafat." Dzat absolut yang tidak butuh pada penisbatan dan penyandaran. 

"The absolute one existence without relation, without articulation". 

Ini maknanya bahwa selain Allah itu butuh pasangan. Oleh karena itu, ketika ada pernikahan, manifestasi Allah semakin nampak kita rasakan.

Kemudian Kiai Said menjelaskan bahwa kata (خَلَقَ) "kholaqo", menciptakan, ini menunjukkan jodohnya kita merupakan creat Allah, monopoli Allah. 

Kata ini merupakan fi'il madhi (kata kerja) yang memiliki dua mashdar (kosakata), pertama ;   (خَلْقٌ) "kholqun", bersifat temporal, parsial, dimensial dan fisik. 

Dan kedua (خُلُقٌ) "khuluqun", immaterial, ideal dan psikis. Semuanya menjadi penting agar bisa mempertemukan keduanya.

Akan tetapi yang terpenting adalah (خُلُقٌ) "khuluq", kata jamaknya adalah (أَخْلاَقٌ) "akhlaq", karena ia akan sampai ke akhirat.

Berikutnya adalah kata (لِّتَسْكُنُوا) "litaskunuu", sakan artinya umah-umah, sehingga orang Jawa menyebut nikah dengan umah-umah. 

Hal ini mengisyaratkan bahwa selain berkeluarga, kemudian memiliki rumah atau terlebih dahulu mengontrak, juga harus ada ketenangan, semua menjadi tidak ada
 
artinya kalau tidak sakinah.

Sakinah itu langsung dari Allah, masuk dalam hati sanubari seseorang.

Sebagaimana Al Qur'an Surat Al Fath ayat 4,

 "Huwalladżī anzalas-sakīnata fī qulụbil-mu`minīna liyazdādū īmānam ma'a īmānihim."

Artinya: "Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)".

Allah ketika mengutarakan jodoh memakai kata "kholaqo", bahwa jodoh adalah ciptaan-Nya, creat and monopoli-Nya.

Namun ketika menyebut keluarga yang sakinah, Allah menggunakan bahasa "ja'ala", menjadikan, dan untuk jadi, perlu kemauan dan usaha. Dengan demikian kita akan mendapatkan (مَّوَدَّةً) "mawaddah". Kata ini berasal dari asma Allah "Al Wadud", Allah menyayangi hamba-Nya yang saleh.

Begitu juga suami menggauli istri dengan baik, sebaliknya istri melayani suaminya dengan baik, maka keduanya akan mendapatkan apa yang disebut mawaddah. 
Penggunaan istilah ini lebih pada tinjauan yang bersifat fisik, sehingga bagi pasangan mungkin hanya sampai pada usia 65 tahunan.

Kemudian akan mendapat (رَحْمَةً) "rahmat", sifat Allah Ar Rahman, Allah sendiri adalah tadbirul rahmat bagi seluruh alam ini sehingga pasangan suami istri juga akan mendapatkan rahmat hingga tua nanti.

Ilustrasi mengenai hakikat perjalanan hidup ini, bahwa kita sedang menjalani rahasia Allah. 
Ketika seseorang menjadi Presiden, ibunya pun sebelumnya tidak tahu.

Apakah kita kelak akan menjadi seorang Presiden, Jenderal,Konglomerat, kita tidak akan tahu. 
Itu rahasia Allah.

Kita sedang menempuh lorong yang masih gelap, tidak jelas. 
Terkadang terang benderang, terkadang gelap gulita, kadang jalan ini rata, terkadang juga menanjak. 
Silih berganti antara bahagia dan susah, dan perjalanan ini masih panjang. 
Trima kasih
Semoga bermanfa'at,Aamiin

Minggu, 16 Juni 2024

PISAU LEPAS SAAT NYEMBELIH

Jika pisau lepas saat menyembelih, apakah hewan sembelihannya jadi haram dimakan ?...
Lalu batalkah Qurbannya ?...

Oleh : Ust Husni Ugm
Pim Pp Raudhotul Fata,Pembimbing Umroh,Motivator Umroh dan Tour Leader.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah berfirman, memberikan rincian binatang-binatang yang diharamkan,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (QS. Al-Maidah: 3)

Diantara hewan yang diharamkan Allah adalah hewan yang mati karena terluka, baik karena tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, atau karena diterkam binatang buas. Kecuali ketika dalam kondisi terluka, hewan ini masih bertahan hidup, lalu sempat disembelih seorang muslim. Sehingga hewan ini mati karena sembelihan, bukan karena kondisi dia yang terluka.

Ketika seseorang sedang menyembelih, lalu pisaunya jatuh atau dia angkat tangannya, sementara hewan itu belum mati, statusnya seperti hewan yang terluka. Karena itu, jika penyembelih ini langsung mengulangi sembelihannya, hingga hewan itu mati, statusnya sah dan halal dimakan.

Imam ad-Dirdir – ulama Malikiyah mengatakan,

فإن عاد عن قرب أكلت رفع يده اختيارا أو اضطرارا، والقرب والبعد بالعرف، فالقرب مثل أن يسن السكين أو يطرحها ويأخذ أخرى من حزامه أو قربه

Jika penyembelih segera mengulang penyembelihan, maka hewannya halal. Baik dia mengangkat tangannya sengaja atau tidak sengaja. Cepat dan lama ukurannya adalah urf (sesuai yang dipahami masyarakat). Yang dekat seperti mengasah pisau, atau menggantinya dengan pisau yang lain, yang dia ikat di sabuknya atau di dekatnya. (as-Syarh al-Kabir, 2/99)

Sayid Sabiq juga menjelaskan yang semisal. Beliau menuliskan,

وإذارفع المذكي يده قبل تمام الذكاة ثم رجع فورا وأكمل الذكاة فإن هذا جائز لأنه جرحها ثم ذكاها بعد وفيها الحياة فهي داخلة في وقول الله تعالى {إلا ما ذكيتم}.

Apabila orang yang menyembelih mengangkat tangannya sebelum penyembelihan sempurna, lalu dia segera kembali menyempurnakan sembelihannya, ini dibolehkan. Karena yang terjadi, dia melukai hewan itu, kemudian dia sembelih dan ketika itu hewan masih hidup. Sehingga termasuk dalam cakupan firman Allah, (yang artinya), kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (Fiqhus Sunah, 3/304)

Karena itu, ketika pisau jatuh saat mengiris pertama, kemudian penyembelih langsung mengambilnya dan menyempurnakan sembelihan, insyaAllah sembelihan sah dan qurban juga sah.

Demikian, Allahu a’lam."

MENGONSUMSI DAGING KURBAN

Mengonsumsi Daging Kurbannya?

Kurban wajib dan kurban sunnah memiliki konsekuensi hukum berbeda berkenaan dengan distribusi daging.

Masyarakat Muslim umumnya menyambut hari raya Idul Adha dengan gembira, terutama mereka yang hendak berkurban. Hanya saja, antusiasme ini mesti dibarengi dengan pengetahuan yang cukup soal aturan berkurban dalam Islam, mulai dari kriteria hewan, prosesi penyembelihan, hingga pengelolaan daging.

 
Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah mengenai pendistribusian daging kurban. Di antara yang kerap menjadi pertanyaan pekurban: bolehkah bagi orang yang berkurban untuk mengambil jatah dari daging hewan kurbannya untuk dikonsumsi? Jika boleh, berapakah kadar yang boleh serta dianjurkan untuk dikonsumsi oleh orang yang berkurban?

 
Mengenai pertanyaan tersebut, terdapat firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berkaitan dengan pembahasan di atas:
 
فَكُلُوا مِنْها وَأَطْعِمُوا الْقانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذلِكَ سَخَّرْناها لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.

“Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan pada orang yang meminta-minta. Demikianlah kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur” (QS. Al-Haj, Ayat: 36)
 
Berdasarkan ayat tersebut, mengonsumsi daging kurban adalah sebuah perintah bagi orang yang berkurban. Para ulama memaknai redaksi perintah di sini sebagai anjuran, bukan kewajiban. Maka sunnah bagi orang yang berkurban untuk memakan daging hewan kurbannya dengan tujuan untuk mengharap berkah (tabarruk). Kesunnahan mengonsumsi daging hewan kurban miliknya ini hanya satu-dua suapan saja, sekiranya tidak sampai melebihi tiga suapan. Selebihnya, disedekahkan pada orang lain, baik pada fakir miskin ataupun pada orang yang berkecukupan. Dalam kitab Fath al-Mu’in dijelaskan:

ويجب التصدق ولو على فقير واحد بشيء نيئا ولو يسيرا من المتطوع بها والأفضل: التصدق بكله إلا لقما يتبرك بأكلها وأن تكون من الكبد وأن لا يأكل فوق ثلاث.
“Wajib menyedekahkan kurban sunnah, meskipun hanya pada satu orang fakir, dengan daging yang mentah, meskipun hanya sedikit. Hal yang lebih utama adalah menyedekahkan keseluruhan daging kurban kecuali satu suapan dengan niatan mengharap berkah dengan mengonsumsi daging tersebut. Hendaknya daging tersebut dari bagian hati. Hendaknya orang yang berkurban tidak mengonsumsi lebih dari tiga suapan.”

Di samping itu, sebenarnya tidak ada batasan khusus tentang legalitas mengambil bagian dari hewan kurban atas nama pribadi, sekiranya sudah ada bagian daging (meski hanya sedikit, seperti satu kantong plastik) yang disedekahkan pada satu orang fakir saja, maka kurbannya sudah dianggap cukup. Sebab tujuan pelaksanaan kurban adalah menyembelih hewan (iraqah ad-dam) besertaan wujud belas kasih pada fakir miskin. Berbeda halnya dengan zakat yang tujuannya adalah memberi kecukupan pada orang yang berhak menerima zakat (ighna’ al-mustahiqqin) maka harus diberikan seluruh jatah zakat yang wajib.

Berdasarkan hal ini, tidak heran jika sebagian ulama mazhab asy-Syafi’i memperbolehkan mengonsumsi seluruh daging hewan kurban atas nama dirinya, sebab sudah memenuhi tujuan kurban yang berupa menyembelih hewan (iraqah ad-dam). Dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra dijelaskan:

وَالْقَصْدُ مِنْ التَّضْحِيَةِ إرَاقَةُ الدَّمِ مَعَ إرْفَاقِ الْمَسَاكِينِ بِأَدْنَى جُزْءٍ مِنْهَا غَيْرِ تَافِهٍ وَقَدْ حَصَلَ هَذَا الْمَقْصُودُ فَلَا وَجْهَ لِلضَّمَانِ عَلَى أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَكَابِرِ أَصْحَابِنَا كَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ الْقَاصِّ وَالْإِصْطَخْرِيِّ وَابْنِ الْوَكِيلِ قَالُوا إنَّهُ يَجُوزُ لَهُ أَكْلُ الْجَمِيعِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ التَّصَدُّقُ بِشَيْءٍ مِنْهَا.

وَنَقَلَهُ ابْنُ الْقَاصِّ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّ الْقَصْدَ بِالتَّضْحِيَةِ أَتَمَّ. اهـ. وَالتَّقَرُّبُ بِإِرَاقَةِ الدَّمِ فَحَسْبُ

“Tujuan dari kurban adalah mengalirkan darah hewan besertaan wujud belas kasih pada orang-orang miskin dengan (memberikan) bagian minimal dari hewan kurban yang tidak signifikan. Maksud tujuan ini sudah terpenuhi, maka tidak perlu adanya wujud ganti rugi. Bahkan sebagian golongan dari pembesar ashab syafi’I, seperti Abi al-‘Abbas bin Suraij, Abi al-Abbas bin al-Qash, Ishtakhri dan Ibni al-Wakil berpandangan bahwa boleh mengonsumsi keseluruhan hewan kurban dan tidak wajib menyedekahkan satu pun dari hewan kurban.

Pendapat demikian dinukil dari nash Imam asy-Syafi’i, sebab tujuan dari kurban sudah sempurna, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mengalirkan darah kurban telah cukup” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 4, hal. 252)

Meski begitu, pendapat ini sebaiknya sebatas dijadikan catatan wawasan tentang kurban, sebab meski dapat diamalkan tapi akan menimbulkan kesan aneh dalam tradisi masyarakat kita, serta cenderung dianggap sebagai bentuk tasahul (mengentengkan syari’at dengan mengamalkan pendapat-pendapat yang ringan). Juga, bagaimana kita bisa meresapi makna "menyembelih nafsu kebinatangan" dalam ritual kurban bila seluruh daging yang kita kurbankan dikonsumsi sendiri? 

Ketentuan tentang legalitas serta anjuran mengonsumsi hewan kurban di atas hanya berlaku ketika kurban yang dimaksud adalah kurban sunnah. Berbeda halnya ketika kurban berupa kurban wajib, seperti kurban nazar, maka haram bagi orang yang berkurban mengonsumsi hewan kurbannya, meski hanya sedikit, dan wajib memberikan kesuluruhan daging kurban pada fakir miskin. Ketentuan ini seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha:

ويحرم الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.

 (قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها.

فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء.

“Haram mengonsumsi kurban dan hadiah yang wajib sebab nazar. Maksudnya, haram bagi orang yang berkurban dan berhadiah mengonsumsi daging kurban dan hadiah yang wajib sebab nazar. Maka wajib menyedekahkan seluruhnya, termasuk tanduk dan kuku hewan. Jika ia mengonsumsi sebagian dari hewan tersebut, maka wajib menggantinya dan diberikan pada orang fakir” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 378).

Maka dapat disimpulkan bahwa boleh bagi orang yang berkurban sunnah untuk mengambil bagian dari hewan kurban atas nama dirinya, sebab pembagian yang wajib hanya sebatas kadar minimal daging yang memenuhi standar kelayakan, seperti satu kantong plastik misalnya. Sehingga, selebihnya berhak dikonsumsi atau disedekahkan pada orang lain.

Meski demikian, hal yang dianjurkan bagi pekurban adalah tidak mengambil bagian daging terlalu banyak, kecuali sebatas satu-dua suapan untuk mengharap berkah. Tidak lebih dari tiga suapan.

Untuk kurban wajib, tidak boleh bagi pekurban mengambil bagian dari hewan kurbannya, meski hanya sedikit. Jika sampai terlanjur mengambil bagian dari hewan kurban wajibnya, maka wajib baginya untuk mengganti kadar daging tersebut dan dibagikannya pada orang fakir.

Ketentuan di atas hanya berlaku bagi orang yang berkurban, berbeda halnya hukumnya bagi panitia atau orang yang dipasrahi oleh mudhahhi (orang yang berkurban), sebab bagi mereka memiliki konsekuensi hukum tersendiri mengenai mengambil jatah dari hewan kurban yang dipasrahkan pada mereka. 

Wallahu a’lam.

 

Sabtu, 15 Juni 2024

Shalat idul adha dihari tasyrik dan idul fitri ditanggal dua syawal

Tertidur Pas Idul Adha, Bolehkah Melakukan Shalat Id pada Hari Tasyrik dan shalat idul fitri ditanggal dua syawal.

Sudah maklum bahwa shalat Idul Adha dilaksanakan pada hari Idul Adha, yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah. 
Namun bagaimana jika shalat Idul Adha dilaksanakan pada hari-hari Tasyrik, terutama bagi orang yang tidak sempat melaksanakan shalat Id pada tanggal 10, apakah boleh shalat id pada hari tasyrik?

Menurut sebagian ulama, melaksanakan shalat Id pada hari Tasyrik, yaitu pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, hukumnya boleh. 
Shalat Idul Adha yang dilaksanakan pada hari Tasyrik tersebut tetap disebut sebagai ada’, bukan qadha’, baik melakukan shalat Idul Adha pada hari Tasyrik tersebut karena ada udzur atau tidak.

Hal ini karena hari Tasyrik masih dihitung sebagai hari nahr atau hari kurban. Sebagaimana berkurban boleh dilakukan pada hari Tasyrik, maka boleh juga melaksanakan shalat Idul Adha di hari Tasyrik. 
Hanya saja meski boleh melaksanakan shalat Idul Adha di hari Tasyrik, namun jika hal itu dilakukan tanpa ada udzur, maka hukumnya makruh.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;


صَلاَةُ عِيدِ الأْضْحَى تَكُونُ فِي الْيَوْمِ الأْوَّل مِنْ أَيَّامِ النَّحْرِ، فَإِذَا تُرِكَتْ فِي الْيَوْمِ الأْوَّل، فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ تُصَلَّى فِي الْيَوْمِ الأْوَّل وَالثَّانِي مِنْ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، وَهُمَا الثَّانِي وَالثَّالِثُ مِنْ أَيَّامِ النَّحْرِ، وَسَوَاءٌ أَتُرِكَتْ بِعُذْرٍ أَمْ بِغَيْرِ عُذْرٍ، إِلاَّ أَنَّهَا إِذَا تُرِكَتْ بِغَيْرِ عُذْرٍ فَإِنَّ ذَلِكَ مَكْرُوهٌ، وَتَلْحَقُهُمُ الإْسَاءَةُ، وَتَكُونُ أَدَاءً فِي هَذِهِ الأْيَّامِ، وَإِنَّمَا جَازَ الأْدَاءُ فِي هَذِهِ الأْيَّامِ اسْتِدْلاَلاً بِالأْضْحِيَّةِ، فَإِنَّهَا جَائِزَةٌ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي وَالثَّالِثِ، فَكَذَا صَلاَةُ الْعِيدِ

Shalat Idul Adha dilaksanakan pada hari pertama hari-hari nahr. 
Jika shalat Idul Adha tidak dilaksanakan pada hari pertama, maka ia boleh dilaksanakan pada hari pertama dan kedua hari-hari Tasyrik, yaitu hari kedua dan hari kedua dari ayyamun nahr. 
Baik ditinggalkan karena ada udzur atau tanpa udzur.

Hanya saja, jika ditinggalkan tanpa ada udzur, maka hal itu makruh dan tidak baik. 
Shalat Idul Adha di hari-hari nahr ini (tanggal 10, 11 dan 12 Dzulhijjah), disebut shalat ada’. 
Kebolehan melaksanakan shalat Idul Adha pada hari-hari nahr ini karena disamakan dengan kurban. 
Kurban boleh dilaksanakan pada hari kedua dan ketiga di ayyamun nahr, begitu juga dengan shalat Idul Adha.

________________________________________

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat, beberapa waktu lalu saya terjebak macet di tol sehingga tidak bisa menunaikan shalat Id. Padahal shalat Id adalah shalat yang dilakukan hanya sekali dalam setahun. Saya benar-benar merasa kecewa.

Yang ingin saya tanyakan adalah bagimana hukumnya kalau saya mengqadha` shalat tersebut? Mohon penjelasannya, dan saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Hasyim/Tegal)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Kemacetan memang acapkali membuat kita stres dan kecewa. Apalagi jika itu terjadi di luar prediksi kita sehingga menyebabkan gagalnya beberapa hal yang telah direncanakan seperti tidak bisa ikut menjalankan shalat Id. Karena itu dibutuhkan kesabaran extra dalam menghadapinya.

Setidaknya ada dua situasi tertinggal shalat Id. Bisa jadi kita tertinggal shalat Id tetapi matahari belum tergelincir, atau tertinggal dan matahari sudah tergelincir. Dua situasi ini memiliki konsekuensi perlakuan hukum yang berbeda.

Dalam situasi pertama, yaitu ketika seseorang tertinggal shalat Id tetapi matahari belum tergelincir, maka ia tidak perlu melakukan qadha` shalat Id. Sebab, pada situasi seperti ini ia masih berada dalam waktu shalat Id. Karena memang batas akhirnya adalah sampai tergelincirnya matahari. Maka tindakan yang sebaiknya diambil adalah dengan melakukan shalat Id sendiri secara ada` (bukan qadha`).

وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيُّ وَاْلَاصْحَابِ عَلَي أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَعْجِيلُ صَلَاةِ الْاَضْحَى وَتَأْخِيُر صَلَاةِ الْفِطْرِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ فَاِنْ فَاَتْتهُ صَلَاةُ الْعِيدِ مَعَ الْاِمَامِ صَلَّاهَا وَحْدَهُ وَكَانَتْ اَدَاءً مَا لَمْ تَزُلِ الشَّمْسُ يَوْمَ الْعِيدِ

Artinya, “Pendapat Imam Syafi’i dan para pengikutnya sepakat bahwa disunahkan menyegerakan shalat Idul Adha dan mengakhirinya shalat Idul Fitri sebagaimana yang dikemukakan penulis kitab Al-Muhadzdzab (Abu Ishaq Asy-Syirazi). Karenanya, jika shalat Id beserta imam telah meninggalkankan seseorang, (sebaiknya) ia melakukan shalat sendiri, dan shalat tersebut adalah shalat ada` (bukan qadha`). Namun hal ini sepanjang matahari belum tergelincir pada hari Id,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz VII, halaman 7).

Lantas bagaimana jika ketertinggalan tersebut setelah tergelincirnya matahari, yang berarti telah habis waktunya shalat Id. Apakah seseorang yang tertinggal—misalnya karena terjebak macet sebagaimana pertanyaan di atas—dianjurkan atau disunahkan untuk melakukan qadha` shalat Id?

Terjadi “gegeran” para ulama dalam soal qadha` shalat Id. Ada yang menyatakan tidak perlu mengqadha` seperti imam Abu Hanifah. Namun ada yang menyatakan disunahkan untuk mengqadha`. Menurut Muhyiddin Syarf An-Nawawi yang paling sahih adalah pendapat yang menyatakan bahwa sunah untuk mengqadha`nya.

وَاَمَّا مَنْ لَمْ يُصَلِّ حَتَّى زَالَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ فَاتَتْهُ وَهَلْ يُسْتَحَبُّ قَضَاؤُهَا فِيهِ القَوْلَانِ السَّابِقَانِ فِي بَابِ صَلَاةِ التَّطَوُّعِ فِي قَضَاءِ النَّوَافِلِ (أَصَحُّهُمَا) يُسْتَحَبُّ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ إِذَا فَاتَتْهُ مَعَ الْاِمَامِ لَمْ يَأْتِ بِهَا أَصْلًا

Artinya, “Adapun seseorang yang tidak shalat Id sampai tergelincirnya matahari, maka ia telah tertinggal. Pertanyaannya adalah apakah disunahkan untuk mengqadha`? Dalam hal ini setidaknya ada dua pendapat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab shalat sunah tentang qadha` shalat sunah. Pendapat yang paling sahih adalah pendapat yang menyatakan disunahkan untuk mengqadha`. Sedang menurut Imam Abu Hanifah, jika shalat Id beserta imam meninggalkan seseorang, maka ia sama sekali tidak perlu melakukan shalat Id,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz VII, halaman 7).

Jika penjelasan singkat ini ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka jawaban atas pertanyaan ini bahwa menurut pendapat yang lebih sahih adalah sunah hukumnya mengqadha` shalat Id yang tertinggal.

Namun jika tertinggalnya itu masih dalam waktu shalat Id atau sebelum matahari tergelincir, maka tidak perlu melakukan qadha` shalat Id. Karena ia masih dalam waktu shalat Id, tetapi sebaiknya tetap melakukan shalat Id sendiri secara ada`.

Sebagaimana dimaklum, sebelum matahari tergelincir adalah rentangan waktu sebelum masuknya waktu Zhuhur. Shalat Id sendiri dapat dilakukan tanpa khotbah setelahnya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Kamis, 13 Juni 2024

MANDI BARENG SUAMI ISTRI

Mandi Bareng bagi Suami Istri, Bagaimana Etikanya ?...

Salah satu dari tujuan pernikahan adalah memunculkan rasa mawaddah sakinah dan rahmah yang kemudian melahirkan keturunan yang saleh salehah. Tentunya, untuk meraih hal tersebut diawali dengan menjaga kemesraan, keharmonisan suami-istri dalam mengarungi biduk rumah tangga.

Allah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Rum: 21).

Tumbuh kembangnya rasa cinta dan kasih sayang terhadap pasangan suami istri masing-masing sebaiknya dipupuk dari persoalan yang esensial, misalnya, memandang pasangannya penuh mesra, tersenyum, melayani sepenuh hati, bahkan mandi bareng. Dalam salah satu hadis:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ فِي الْقَدَحِ وَهُوَ الْفَرَقُ وَكُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَهُوَ فِي الْإِنَاءِ الْوَاحِدِ وَفِي حَدِيثِ سُفْيَانَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ قَالَ قُتَيْبَةُ قَالَ سُفْيَانُ وَالْفَرَقُ ثَلَاثَةُ آصُعٍ

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, Rasulullah dahulu mandi dalam baskom, yaitu satu faraq. Sedangkan aku pernah mandi bersama beliau dalam satu bejana.". Dan dalam hadits Sufyan, dari satu bejana. Qutaibah menuturkan: Sufyan berkata, satu faraq adalah tiga Sha'. (HR. Muslim)

Istilah qadah bisa diartikan baskom, atau bejana, bahkan jika disamakan dalam konteks kekinian, maka semacam bathtub. Secara fikih memang diperbolehkan suami dan istri mandi bareng dalam/dari satu bejana, satu ruangan dan tanpa menutup aurat sekalipun.  Dalam Syarah Muslim lin Nawawi disebutkan:


مِمَّا لاَ خِلاَفَ فِيهِ أَيْضًا: أَنَّ لِكُل واحد مِنَ الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَغْتَسِل بِحُضُورِ الآْخَرِ، وَهُوَ بَادِي الْعَوْرَةِ  لِلْحَدِيثِ الْمُتَقَدِّمِ: احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ، أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ. وَلِحَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِل أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إناء وَاحِدٍ مِنْ قَدَحٍ، يُقَال لَهُ: الْفَرَقُ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Artinya: Di antara perkara yang tidak terjadi perselisihan  ulama adalah kebolehan antara suami dan istri untuk mandi di hadapan pasangan masing-masing, meskipun menampakkan aurat. Ini berdasarkan hadis sebelumnya: Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budakmu. Juga berdasarkan hadis Aisyah, dia berkata: Aku pernah mandi bersama Nabi Saw dari satu ember terbuat dari tembikar yang bernama Al-Faraq. 


Meskipun demikian, suami istri yang mandi bersama dalam bathtub sebaiknya memperhatikan etikanya, yakni: bergegas menyelesaikan mandinya, dan sebaiknya hindari menjimak /bersenggama di dalam kamar mandi, karena dinilai kurang etis. Apalagi, kamar mandi itu identik menjadi sarang jin.

وأما الجماع في الحمام فلا مانع منه، ولا كفارة في فعله، ولكنه خلاف الأدب

Artinya: Sedangkan bersenggama di dalam kamar mandi itu tidak dilarang, tidak ada kaffaroh, akan tetapi kurang etis. (Fatawa Al-Sabkah, Al-Islamiyah, 5/4528)

Dengan demikian, mandi bareng bagi suami istri itu sangat dianjurkan dalam rangka menjaga kemesraan, namun memiliki beberapa etika yang sebaiknya diperhatikan, seperti bergegas menyelesaikan mandi, dan hindari menjimak dalam kamar mandi.

Bersenggama di kamar mandi itu meskipun diperbolehkan akan tetapi oleh sebagian ulama dinilai kurang beretika, sebab kamar mandi identik sebagai tempat kotor dan sarang mahkluk halus. Selain itu, aktifitas bersenggama memiliki cara dan etika tersendiri, lantaran terdapat beberapa doa khusus yang diucapkan agar memiliki keturunan yang baik.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤمنينَ رضي الله عنها قَالَتْ:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلاَنَا جُنُبٌ، وَكَانَ يَأْمُرُنِي، فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، وَكَانَ يُخْرِجُ رَأْسَهُ إِلَيَّ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ.  
[صحيح] - [متفق عليه]

Aisyah ummul mukminīn -raḍiyallāhu 'anhā- meriwayatkan, ia berkata,
"Aku pernah mandi bersama Nabi ﷺ dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau pernah menyuruhku (memakai kain) lalu aku pun memakainya, lalu beliau mencumbuiku padahal aku sedang haid. Beliau juga pernah menjulurkan kepalanya kepadaku saat beliau iktikaf, lalu aku membasuh kepalanya dan saat itu aku sedang haid."  
Hadis sahih - Muttafaq 'alaih

Aisyah ummul mukminīn -raḍiyallāhu 'anhā- mengabarkan sebagian momen pribadinya bersama Nabi ﷺ, di antaranya ia pernah mandi junub bersama beliau ﷺ dari satu bejana air, yaitu mereka berdua menggayung air secara bersamaan. Nabi ﷺ, ketika ingin mencumbuinya di saat ia sedang haid, beliau memintanya menutupi badannya dari pusar ke lutut, lalu beliau mencumbuinya namun tidak sampai jimak. Demikian juga beliau ﷺ melakukan iktikaf di masjid, lalu menjulurkan kepalanya kepada Aisyah, ia membilasnya dengan posisi tetap di dalam rumah, yang saat itu sedang haid.

Di antara yang bisa memupuk rasa cinta kasih antara pasangan suami istri adalah ketika junub (sehabis hubungan intim) bisa mandi berbarengan. Ini yang dianjurkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan beliau dan juga praktek beliau. Sampai-sampai ketika mandi dari satu wadah dengan ‘Aisyah, beliau katakan kepada istri tercintanya, “Sisakan bagianku, sisakan bagianku”. Karena ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saling berlomba dengan istrinya ketika mengambil air.

Dari hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang perempuan mandi dari sisa laki-laki atau seorang laki-laki mandi dari sisa perempuan. Namun hendaklah mereka mandi berbarengan (lewat wadah yang sama).” (HR. Abu Daud no. 81 dan An Nasai no. 239. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Didikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat bagus karena seorang suami atau istri tidak baik jika mandi sendiri ketika junub, lalu datang pasangannya setelah itu. Namun yang lebih bagus ketika mereka mandi junub bisa berbarengan.

2- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuki pada sesuatu yang lebih maslahat oleh umatnya walau mungkin sebagian malu untuk menceritakan.

3- Antara suami istri boleh memandang satu dan lainnya, tidak ada batasan aurat antara keduanya. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa aurat antara suami istri adalah kemaluan, sehingga tidak boleh suami atau istri memandang kemaluan pasangannya. Ini adalah pendapat lemah dan terbantah dengan hadits yang sedang kita kaji.

4- Hendaklah seorang suami juga melakukan hal yang bisa membuat keduanya semakin cinta dan berkasih sayang, serta romantis.

5- Larangan mandi dari sisa istri yang disebutkan dalam hadits di atas adalah larangan ta’dib, bimbingan untuk melakukan yang lebih baik. Jadi bukan maksudnya adalah larangan haram. Karena dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dari sisa istrinya, seperti dari bekas mandi Maimunah. Sebagiamana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim, di mana Ibnu ‘Abbas berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari sisa mandi Maimunah.” (HR. Muslim no. 323).

Dalam kitab sunan disebutkan,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا – أَوْ يَغْتَسِلَ – فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى كُنْتُ جُنُبًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الْمَاءَ لاَ يَجْنُبُ ».

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi di satu wadah besar. Lalu datang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengambil air dari sisa mandi istrinya, atau beliau berkeinginan untuk mandi. Maka salah satu istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tadi junub (dan itu sisa mandiku, pen). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: Sesungguhnya air itu tidak terpengaruh oleh junub.” (HR. Abu Daud no. 68, Tirmidzi no. 65, dan Ibnu Majah no. 370. Tirmidzi menshahihkan hadits ini).

Semoga bermanfaat.
Hanya Allah yang beri taufik.
________________________________________

Air Musta'mal
PERTANYAAN
Assalamualaikum..

Ustadz yang dirahmati Allah. izinkan saya menyampaikan pertanyaan.

Apabila air yang sudah musta'mal di dalam bak mandi dimana jumlah kurang dua kullah itu, kemudian ditambahkan lagi air sehingga mencapai lebih dari dua kullah, apakah air tersebut bisa dipakai berwudlu dan mandi wajib?

Terima kasih dan saya tunggu jawabannya.

Wassalam
JAWABAN
Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta’mal.
Kata musta’mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan atau memakai. Maka air musta’mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah yaitu berwudhu atau mandi janabah.

Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.

Air sisa bekas cuci tangan cuci muka cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.

Lalu bagaimana hukum menggunakan air musta’mal ini? Masih bolehkah sisa air yang sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu atau mandi janabah?

Dalam hal ini memang para ulama berbeda pendapat apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?.

Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang kita terima dari Rasulullah SAW. Beberapa nash hadits itu antara lain :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)

وَلِلْبُخَارِيِّ: لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ وَلِمُسْلِمٍ: "مِنْهُ".وَلأَبِي دَاوُدَ: وَلاَ يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ .

”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir kemudian dia mandi di dalam air itu”.  Riwayat Muslim”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)

عَنْ رَجُلٍ صَحِبَ اَلنَّبِيَّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ  أن تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا- َخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَالنَّسَائِيُّ

Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi SAW berkata”Rasululllah SAW melarang seorang wanita mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan air bekas Maimunah radhiyallahuanhu (HR. Muslim)

وَلأَصْحَابِ اَلسُّنَنِ"اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: إِنَّ اَلْمَاءَ لاَ يُجْنِبُ

Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya ”saya tadi mandi janabat maka jawab Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.

Namun kalau kita telliti lebih dalam ternyata pengertian musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan.

Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal :

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu’ atau mandi.

Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu’ sunnah atau mandi sunnah.

Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu’ atau mandi.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu’ atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu’ atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al-Hanafiyah mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.

Artinya bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu’ atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

3. Mazhab Asy-Syafi’iyyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu’ atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu’.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu’ maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.

Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu’ atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.

4. Mazhab Al-Hanabilah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu’) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka ibadah maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu’. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu’.

Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu’ atau mandi maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu’ atau mandi lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu’ atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.

Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah maka tidak mengakibatkan air itu menjadi ‘tertular’ ke-musta’mal-annya.

Batasan Volume 2 Qullah

Para ulama ketika membedakan air musta’mal dan bukan (ghairu) musta’mal membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta’mal.

Bila volume air itu telah melebihi volume minimal maka air itu terbebas dari kemungkinan musta’mal. Itu berarti air dalam jumlah tertentu meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah tidak terkena hukum sebagai air musta’mal.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ

Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud Tirmidhi Nasa’i Ibnu Majah)

Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah yang menjadi batas volume air sedikit.

Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta’malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter kubik atau barrel.

Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl (رطل) yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.

Sayangnya ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir. Walhasil ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.

Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.

Lucunya begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.

Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di masa sekarang ini?

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran yang berlaku di zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.

Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter lalu digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu’ maka air itu dianggap sudah musta’mal.

Air itu suci secara fisik tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu’ atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu’ seperti cuci tangan biasa maka tidak dikategorikan air musta’mal.

Wallahu a'lam bishshawab

Ahmad Sarwat, Lc., MA



 

HUKUM ARISAN QURBAN

Hukum Arisan Kurban Apakah Termasuk Kurban Nazar?

Assalamualaikum. Di lingkungan kami ada arisan bulanan untuk kurban yang setiap tahunnya dibelikan seekor sapi untuk tujuh orang. Pertanyaan saya: Apakah kurban dengan sistem arisan yang seperti ini termasuk kurban nazar yang mana kita tidak boleh memakan dagingnya? (Nurgianto, Lampung Barat).

Jawaban :

Wa’alaikumsalam wa rahamatullah wa barakatuh. Saudara penanya yang terhormat Menyembelih hewan kurban merupakan salah satu anjuran yang sangat ditekankan oleh ajaran Islam terhadap pemeluknya yang berkecukupan serta ada kelebihan rizki pada saat yang ditentukan, yakni bulan Dzulhijjah mulai tanggal 10 sampai dengan tanggal 13.

Bahkan imam Malik berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban bagi mereka yang berkecukupan hukumnya adalah wajib. Pendapat ini mengacu pada salah satu firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

Artinya: maka shalatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah hewan kurban. (Al-Kautsar ayat 2).

Saudara Nurgianto yang dimuliakan Allah. Anjuran untuk berkurban yang oleh madzhab Syafii dihukumi sunnat ini sekarang mulai mendapatkan sambutan serta apresiasi yang cukup menyenangkan di tengah kehidupan masyarakat mengingat subtansi kurban adalah semangat berbagi demi perbaikan gizi di kalangan kaum muslimin. Oleh karena itu tidak sedikit diantara mereka yang menghimpun dana dengan cara mengadakan arisan demi melaksanakan ibadah yang mulia ini.

Dalam forum halaqah yang diselenggarakan oleh sebuah pesantren di Rembang pada tahun 1997, permasalahan ini pernah dibahas dengan keputusan bahwa kurban yang dilaksanakan oleh seseorang karena arisan tidak otomatis dihukumi sebagai nazar. Dengan demikian kurban tidak menjadi kurban wajib. Salah satu rujukan yang digunakan adalah Hasyiyah Sulaiman Jamal Ju V Hal. 251 karya Sulaiman bin Umar bin Manshur al-‘Azili al-Azhari:

فرع-الى ان قال- وقضية ما فى الروض انها لا تصير أضحية بنفس الشراء ولا بنيته فلابد من لفظ يدل على الالتزام بعد الشراء

Artinya; kesimpulan yang ada dalam kitab ar-Raudh menjelaskan bahwasannya hewan (yang dibeli) tidak otomatis menjadi hewan sembelihan (kurban) berdasarkan transaksi dan niat semata. Dengan demikian, hewan dapat diketahui statusnya (sebagai hewan kurban atau yang lain) dengan ungkapan pemiliknya setelah jual beli dilakukan.

Saudara penanya yang kami hormati, dari rujukan ini, dapat kita pahami bahwa hewan dapat berstatus sebagai hewan kurban nazar manakala si pemilik memang mengungkapkan niatnya secara jelas, dan bukan karena menanggapi sebuah pertanyaan dari orang lain.

Mudah-mudahan jawaban ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Rabu, 12 Juni 2024

BERSEGERA IBADAH HAJI DAN UMROH

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


*"BERSEGERA UNTUK MELAKSANAKAN IBADAH HAJI DAN UMROH"*

Oleh : Ust Husni Ugm

Pim Ponpes Raudhotul Fata,Tour Leader,Pembimbing dan Motivator Umroh.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada para nabi dan rasul yang paling mulia,

Aku nasihatkan kepada saudaraku bagi mereka yang belum menunaikan ibadah haji, hendaknya bersegera untuk menunaikannya. 

Menunaikan haji hukumnya wajib bagi yang telah mampu untuk pergi ke sana (Baitullah). 

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان ، وحج البيت

“Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إن الله قد فرض عليكم الحج فحجوا

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim).

Wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang mampu menunaikan ibadah haji, hendaknya ia bersegera dan jangan menundanya. 

Karena Allah Jalla wa ‘Alla mewajibkan untuk menyegerakannya, dan tidak boleh bagi setiap muslim yang mampu dan terkena beban ibadah haji untuk menundanya,karena kalau menundanya kena ancaman dari baginds nabi besar muhammad saw,  

من استطاع الى الحج ولم يحج فمات ان شاء يهوديا او نصرانيا.

Barang siapa yang sudah mampu untuk mrlaksanakan ibadah hsji/Umroh tetapi dia tidak melaksanakan ibadah haji,maka matinya tinggal memilih mati menjadi yahudi atau nashroni.

Ayo secepatnya sambut panggilan allah swt,jangan ragu,karena allah sudah menyiapkan balasannya yang agung nyaitu surga yang penuh kenikmatan dan kita akan kekal didalamnya,

Uang yang kita keluarkan statusnya menjadi nilai akhiraat,jangan terjebak dengan dunia,karena ketika dunia tidak diolahkan dijalan allah hanya jadi barang hina dan sampah bahkan menjadi rebutan keluarga,sebelum terlambat maka gunakanlah untuk keselamatan diri dan keluarga.

Bahkan menyegerakannya dan mempercepatnya, akan mendapatkan kebaikan yang sangat besar, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه

“Barangsiapa yang menunaikan haji, dengan tidak berbicara kotor dan tidak mencaci maka diampuni dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما ، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة

“Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ini adalah nikmat yang sangat besar, yang sepatutnya setiap muslim bersemangat untuk menunaikannya. 

Bagi yang melaksanakan ibadah haji banyak jaminan-jaminan yang baginda rosulullah sampaikan dari berbagai hadits diantaranya,Ibadah haji dan umroh menghapus dosa dsn menghilsngkan kepakiran (Siap-siap menjadi orang Sukses dan Kaya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.”

Syaikh Abul ‘Ula Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud menghilangkan kemiskinan di sini bisa bermakna dzahir atau makna batin. Beliau berkata,

أي يزيلانه وهو يحتمل الفقر الظاهر بحصول غنى اليد ، والفقر الباطن بحصول غنى القلب

“Haji dan umrah menghilangkan kefakiran, bisa bermakna kefakiran secara dzahir, dengan terwujudnya kecukupan harta. Bisa juga bermakna batin yaitu terwujudnya kekayaan dalam hati.”

Bersegera untuk melakukan amalan akhirat baik di dalam perjalanan maupun di Makkah. 

Di antara kebaikan tersebut adalah bersedekah kepada fakir dan miskin, memperbanyak membaca Al-Quran dan berdzikir mengingat Allah, memperbanyak tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, memperbanyak shalat di Masjidil Haram dan thawaf jika mudah baginya dalam rangka mendapatkan manfaat yang besar di tempat dan waktu tersebut.

Di Masjidil Haram, shalat satu kali memiliki 100.000 kali lipat keutamaan. 

Ibadah wajib di sana lebih baik 100.000 kali dibanding tempat yang lain. Sedekah di sana pahalanya berlipat. 

Demikian juga bertasbih, tahmid, tahlil dan takbir, membaca Al-Quran, amar ma’ruf nahi munkar, berdakwah mengajak kepada Allah, mempelajari ibadah haji. 

Semua ini diperintahkan bagi setiap muslim. Di antara perintah syariat adalah mengajarkan tata cara ibadah haji kepada saudara-saudaranya (jika ia telah memiliki ilmu yang mapan), dengan cara yang santun, lembut dan gaya bahasa yang baik. 

Di samping berharap ada kesempatan hadir di Makkah untuk dapat melakukan berbagai macam amalan kebaikan, sebagaimana yang telah dijelaskan seperti shalat, thawaf, berdakwah kepada Allah, amar ma’ruf nahi munkar, dengan gaya bahasa yang baik dan kalimat yang santun.

Demikianlah Allah lebih tahu apa yang menjadi niat utama dan usaha seorang hamba. 

Apabila seorang hamba sangat ingin naik haji dan benar-benar tulus dari hati yang paling dalam, tentu ia berusaha dari awal dengan mempelajari fikh ibadah haji meskipun belum mendaftar haji atau umrah.

Allah mengetahui apa yang disembunyikan hati sebagaimana firman Allah,

وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. [An-Nahl/16: 19]

Allah juga berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [Ghafir: 19]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah tahu apa yang ada dalam hatinya, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk segera naik haji, maka bisa jadi Allah memudahkan jalannya menunju baitullah. Ibnu Katsir berkata,

ويعلم ما تنطوي عليه خبايا الصدور من الضمائر والسرائر .

“Allah mengetahui apa yang menjadi keinginan hati dan rahasia serta yang tependam di dalam hati.” [Tafsir Ibnu Katsir 7/137]

Sebagian orang juga memang sengaja menunda haji, mereka berpikir bahwa haji itu adalah ibadah yang bisa ditunda, padahal mereka sudah mampu dan wajib. Mereka menunggu ketika sudah tua dahulu baru berangkat pergi haji. Hal ini tidaklah tepat, ibadah haji itu dilakukan sesegra mungkin apabila telah  mampu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِي : الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ

“Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya” [HR.Ahmad, dihasankan oleh Al-Albany]

Beliau juga bersabda,

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ

“Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”. [HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani]

Semoga kita dimudahkan untuk segera mempelajari fikh ibadah haji dan Allah pun memudahkan kita untuk segera naik haji memenuhi panggilan Allah.

Semoga bermanfa'at...Aamiin

Trima kasih

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

https://maps.app.goo.gl/UX59V48ZhEEc5Z919

Senin, 10 Juni 2024

JAGALAH ADAB DALAM MENCARI ILMU

JAGALAH ADAB, AKHLAQ DALAM MENCARI ILMU.

العلم نور ونور الله لا تنزل الى العاصى
Ilmu itu cahaya dan cahaya allah tidak akan turun kepada orang ma'siat (Imam Syafi'i)

علم بلا أدب كنار بلا حطب وأدب بلا علم كروح بلا جسم

"Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu bagaikan roh tanpa jasad.

Adab dan akhlaq sangat penting dan sebagai kunci suksesnya iman setiap ihsan yg bertaqwa yg dilandasi dengan husnudzon kepada semua orang
Gimana kita bisa berhasil jika dalam menuntut ilmu bahkan banyak pengajian tetapi adab serta akhlaq kita amburadul alias sama aja gk ada bedanya
Jadikan semua yg kita lakukan gak merasa baik dihadapan-NYA dan kita benar-benar merasa rendah gk ada apa-apanya,jangan merasa kita hebat,kita bukan seorang yg harus benar jika kita juga salah jadi perbanyaklah adab & akhlaq dalam menuntut ilmu,bukan ciri orang benar jika jga bnyak berdebat karena kita cuma orang yg banyak salahnya..

*ADAB DULU BARU ILMU*
 
Sebab orang beradap sudah pasti berilmu, tapi orang berilmu belum tentu BERADAB. 

AKHLAK DAN ADAB

Ilmu boleh dicari dengan belajar, tetapi akhlak dan adab hanya diperoleh melalui mujahadah membersihkan hati.

Jangan heran melihat orang yang berilmu tetapi tiada akhlak karena hatinya masih kotor dengan dosa dan penyakit hati.

Tidak aku temui orang yang kuat berzikir, melainkan akhlaknya amat lunak dan menenangkan.

Akhlak dan adab mendepani ilmu, ilmu tanpa adab dan akhlak itu umpama mengisi air di dalam bekas yang berlubang.Habib Umar bin Hafidz

Aku lebih memerlukan adab yang tinggi dari ilmu yang tinggi, kerana aku pernah temui orang yang mempunyai ilmu yang tinggi namun kurang adab, maka aku memohon pada Allah, agar aku lebih inginkan adab yang tinggi dari ilmu yang tinggi.

Tawadhulah kalian terhadap orang yang mengajari kalian
Seberapapun ilmu mu jika berada didepan gurumu maka hormatilah dengan penuh adab karna ilmu tanpa adab ia takkan menyatu, Sejatinya orang yang beradab pasti ia memahami ilmu sedangkan orang yang berilmu belum tentu beradab.

Jika kita jadi murid, jadilah murid yang beradab pada guru, ingatlah bahwa adab itu lebih mulia dari ilmu. Bagaimana ilmu yang kau dapatkan akan barokah jika engkau tidak punya adab pada gurumu.? Ingatlah menghina dan memperolokkan guru hanya berakibat engkau menjadi orang yang dihinakan orang kelak. Habib Nabiel Fuad Al-Musawa

ILMU TANPA ADAB, SIA - SIA

Ilmu tidak dianggap jika tanpa adab. Karenanya, para murid di masa lalu melayani gurunya selama puluhan tahun untuk belajar adab darinya sebelum menimba ilmunya; belajar dari diamnya sebelum ucapannya.

Renungkanlah beberapa ucapan para ulama di bawah ini yang menggerakkan kita untuk belajar adab:
Imam Al-Zuhri berkata: Kami mendatangi seorang alim. Kami lebih suka belajar adabnya daripada belajar ilmunya...

Ibrahim bin Habib berkata: Anakku, datangilah para fakih dan ulama, belajarlah dari mereka, ambillah adab, akhlak dan petunjuk dari mereka. Sesungguhnya hal itu lebih aku sukai dari hadits yang banyak.

Imam Malik dinasihati oleh Ibunya: Pergilah kamu kepada Rabia, belajarlah adabnya sebelum ilmunya"
ADAB MURID PADA GURU

 Dalam kitab al adab fid din imam ghazali :
 
آداب المتعلم مع العالم
يبدؤه بالسّلام و يقل بين يديه الكلام و يقوم له إذا قام و لا يقول له : - قال فلان خلاف ما قلت و لا يسأل جليسه في مجلسه و لا يبتسم عند مخاطبته و لا يشير عليه بخلاف رأيه و لا يأخذ بثوبه ( لا يجذب منه ) إذا قام و لا يستفهمه عن مسألة في طريقه حتى يبلغ إلى منزله و لا يكثر عليه عند ملله .
 
Adab murid bersama gurunya.
Memulai mengucapkan salam, tidak banyak berbicara dihadapannya, ikut berdiri ketika guru berdiri dan tidak mengatakan kepdanya : "fulan mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang anda katakan". Tidak bertanya kepada teman ketika berada di majlisnya guru, tidak tertawa ketika guru berbicara, tidak memperlihatkan kepadanya apa yang bertentangan dengan pendapatnya, tidak menarika bajunya ketika dia berdiri , tidak menanyakan suatu masalah ditengah perjalannya hingga sampai kerumahnya dan tidak banyak bersama

ADAB MURID TERHADAP GURU*

1) Apabila bertemu dengan guru, murid hendaklah mengucapkan salam

2) Murid hendaklah tidak banyak bicara di depan guru.

3) Murid tidak boleh berkata sesuatu yang tidak di izinkan gurunya.

4) Murid tidak boleh menanyakan sesuatu kepada gurunya melainkan setelah meminta izin dari gurunya. 

5) Murid tidak boleh menyangkal kata-kata gurunya seperti menyarankan bahwa kata-kata si fulan itu bertentangan dengan kata-kata gurunya atau sebagainya.

6) Murid tidak boleh memberi isyarat untuk menunjukkan kata-kata gurunya salah dan menganggap akan dirinya lebih betul atau lebih mengetahui daripada gurunya. Perbuatan seperti ini menunjukkan kekurangan adab murid kepada guru, di samping kurang berkatnya.

7) Murid tidak boleh berbisik dengan orang-orang yang disebelahnya berhadapan dengan guru.

8) Murid tidak boleh menoleh ke kiri atau ke kanan ketika berada di depan guru, sebaliknya ia hendaklah duduk dengan menunduk penuh adab sopan.

9) Murid tidak boleh bertanya kepada gurunya yang sedang capek.

10) Apabila guru berdiri atau baru tiba, murid hendaklah berdiri menghormatinya. Ketika guru bangkit dari duduknya, murid tidak boleh mengemukakan sebarang pertanyaan atau sesuatu masalah. Begitu juga ketika guru sedang berjalan hinggalah tiba di tempat duduknya. Pertanyaan boleh dilakukan hanya ketika darurat.

11) Murid tidak boleh berprasangka buruk terhadap gurunya.

ADAB LEBIH UTAMA DARIPADA ILMU

*Rasulullah SAW bersabda; Ssungguhnya Allah telah mendidikku dengan adab yang baik dan jadilah pendidikan adabku istimewa. HR. Ibnu Mas’ud

Islam tak hanya menekan pentingnya ilmu. Akhlak mulia juga sangat penting, bahkan lebih penting lagi.

Sabda Rasulullah menegaskan hal itu, Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.
(HR Al-Bukhari)

Imam Malik bin Anas adalah salah satu ulama besar. Beliau adalah guru dari Imam Syafii dan sahabat berdiskusi Imam Abu Hanifa. Semua kejeniusan Imam Malik tidak lepas dari peran ibunya. Ibunya ingin agar Imam Malik menjadi seorang ulama, maka ia mengirimnya untuk belajar di rumah seorang ulama besar bernama Rabiah biin Abdurrahman.

Sebelum berangkat ibunya berpesan Pelajarilah adab Syaikh Rabiah sebelum belajar ilmu darinya.

*Adab memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam menuntut ilmu.Terlihat dari kisah Abdurrahman bin Al-Qasim, salah satu murid Imam Malik.

Ia bercerita bahwa *"aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun, 2 tahun diantaranya untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari adab. Seandainya saja aku bisa jadikan seluh waktu tersebut untuk mempelajari adab (tentu aku lakukan).

Begitu pentingnya adab dalam diri seseorang sehingga ulama berkata,
*"Belajar satu bab adab lebih baik daripada engkau belajar 70 bab ilmu.

Terdapat kisah, suatu hari Ubay bin Ka'ab sedang menggunggu kendaraan, maka Ibnu Abbas (saudara sepupu nabi) segera mengambil hewan kendaraannya agar Ubay bin Ka'ab menaikannya kemudian Ibnu Abbas berjalan bersamanya.

Maka berkatalah Ubay bin Ka'ab kepadanya, Apa ini, Wahai Ibnu Abbas?

Ibnu Abbas menjawab,Beginilah kami diperintahkan untuk meghormati ulama kami.

Ubay menaiki kendaraan sedangkan Ibnu Abbas berjalan dibelakang hewan kendaraannya. Ketika turun, Ubay bin Ka'ab mencium tangan Ibnu Abbas. 

Lalu Ibnu Abbas bertanya,  apa ini?

Ubay bin Ka'ab menjawab: Begitulah kami diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi kami.

Adab merupakan pondasi agama. Orang yang beradab akan dicintai  masyarakat, orang yang tidak beradab hidupnya tidak diberkahi Allah dan ilmunya juga tidak bermanfaat. 

Sekarang kita berada pada  suatu zaman degradasi moral, mereka hanya mengutamakan memperbanyak ilmu, hafalan dan membaca saja namun meremehkan adab atau sopan santun.

Ibnu Mubarak mengatakan, barangsiapa meremehkan adab, niscaya dihukum dengan tidak memiliki hal-hal sunnah.* Barang siapa meremehkan sunnah-sunnah, niscaya dihukum dengan tidak memiliki (tidak mengerjakan) hal-hal yang wajib. Dan barang siapa meremehkan hal-hal yang wajib, niscaya dihukum dengan tidak memiliki makrifah."
Mendidik murid memiliki adab mulia

ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺆﺩﺏ اﻟﻤﺘﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺪﺭﻳﺞ ﺑﺎﻵﺩاﺏ اﻟﺴﻨﻴﺔ ﻭاﻟﺸﻴﻢ اﻟﻤﺮﺿﻴﺔ ﻭﺭﻳﺎﺿﺔ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﺎﻟﺪﻗﺎﺋﻖ اﻟﺨﻔﻴﺔ

Hendaknya guru mendidik murid dengan adab-adab mulia secara bertahap. Mengajarnya untuk berperilaku yang di ridhai, melatih dirinya melakukan amalan amalan secara sembunyi sembunyi

ﻭﻳﻌﻮﺩﻩ اﻟﺼﻴﺎﻧﺔ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻣﻮﺭﻩ اﻟﺒﺎﻃﻨﺔ ﻭاﻟﺠﻠﻴﺔ ﻭﻳﺤﺮﺿﻪ ﺑﺄﻗﻮاﻟﻪ ﻭﺃﻓﻌﺎﻟﻪ اﻟﻤﺘﻜﺮﺭاﺕ ﻋﻠﻰ اﻹﺧﻼﺹ ﻭاﻟﺼﺪﻕ ﻭﺣﺴﻦ اﻟﻨﻴﺎﺕ ﻭﻣﺮاﻗﺒﺔ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ اﻟﻠﺤﻈﺎﺕ

Membiasakan mempertahankan amalan amalan yang tampak maupun tidak, memotivasinya agar ucapan dan perbuatan sehari hari selalu disertai keikhlasan, kejujuran, niat yang lurus serta merasa selalu diawasi oleh Allah disetiap waktu.

ﻭﻳﻌﺮﻓﻪ ﺃﻥ ﻟﺬﻟﻚ ﺗﺘﻔﺘﺢ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻧﻮاﺭ اﻟﻤﻌﺎﺭﻑ ﻭﻳﻨﺸﺮﺡ ﺻﺪﺭﻩ ﻭﻳﺘﻔﺠﺮ ﻣﻦ ﻗﻠﺒﻪ ﻳﻨﺎﺑﻴﻊ اﻟﺤﻜﻢ ﻭاﻟﻠﻄﺎﺋﻒ ﻭﻳﺒﺎﺭﻙ ﻟﻪ ﻓﻲ ﻋﻠﻤﻪ ﻭﺣﺎﻟﻪ ﻭﻳﻮﻓﻖ ﻓﻲ ﺃﻓﻌﺎﻟﻪ ﻭﺃﻗﻮاﻟﻪ
ﺣﻜﻢ اﻟﺘﻌﻠﻴﻢ

Hendaknya guru memberitahu murid bahwa dengan demikian akan terbuka baginya gerbang-gerbang pengetahuan, lapang dadanya, memancar dari hatinya mata air hikmah dan kelembutan, diberkahi ilmu dan keadaannya serta dituntun perkataan dan perbuatannya oleh Allah SWT.

بارك الله فيكم
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ و بَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ.اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِج وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ .

Rabu, 05 Juni 2024

Kemuliyaan bulan Dzulhijjah

Ada Apa dengan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah?

Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang dimuliakan di dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kalian semuanya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At Taubah: 36)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السموات والأرض، السنة اثنا عشر شهرا، منها أربعة حرم، ثلاثة متواليات: ذو القعدة وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر، الذي بين جمادى وشعبان


“Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada 12 bulan. Di antara bulan-bulan tersebut ada 4 bulan yang haram (berperang di dalamnya – pen). 3 bulan berturut-turut, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah,  Al Muharram, (dan yang terakhir –pen) Rajab Mudhar, yaitu bulan di antara bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari)

Di dalam bulan Dzulhijjah ada hari-hari yang dipilih oleh Allah sebagai hari-hari terbaik sepanjang tahun. Allah berfirman:

والفجر وليال عشر

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (Qs. Al Fajr: 1-2)

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan 10 malam yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut. Penafsiran para ulama ahli tafsir mengerucut kepada 3 pendapat:

Yang pertama: 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Yang kedua: 10 malam terakhir bulan Ramadhan.

Yang ketiga: 10 hari pertama bulan Al Muharram.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan atas 2 hal sebagai berikut:

Hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jabir radhiyallaahu ‘anhuma
إن العشر عشر الأضحى، والوتر يوم عرفة، والشفع يوم النحر

“Sesungguhnya yang dimaksud dengan 10 itu adalah 10 bulan Al Adh-ha (bulan Dzulhijjah –pen), dan yang dimaksud dengan “ganjil” adalah hari Arafah, dan yang dimaksud dengan “genap” adalah hari raya Idul Adh-ha. (HR. Ahmad, An-Nasaa’i, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Haakim dan penilaiannya disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Konteks ayat dalam surat Al Fajr. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “al fajr” dalam ayat tersebut adalah fajar pada hari raya Idul Adh-ha. Oleh karena itu yang dimaksudkan dengan “10 malam” yang termaktub dalam ayat kedua surat tersebut adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini lebih sesuai dengan konteks antar ayat. Wallaahu a’lam.
Keutamaan-keutamaan bulan Dzulhijjah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذالك بشيء. (رواه البخاري)

“Tidak ada hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini (10 awal Dzulhijjah –pen).” Para sahabat bertanya: “Apakah lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah ?” Beliau bersabda, “Iya. Lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwa raganya kemudian dia tidak pernah kembali lagi (mati syahid –pen).” (HR. Al Bukhari)

Ibnu Rajab Al Hanbaly berkata:

وإذا كان أحب إلى الله فهو أفضل عنده

“Apabila sesuatu itu lebih dicintai oleh Allah, maka sesuatu tersebut lebih afdhal di sisi-Nya.”

Berikut ini di antara keutamaan bulan Dzulhijjah:

1. Islam disempurnakan oleh Allah pada bulan Dzulhijjah

Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah meridhai Islam itu agama bagi kalian.”  (Qs. Al Maidah: 3)

Para ulama sepakat bahwa ayat itu turun di bulan Dzulhijjah saat haji wada’ di hari Arafah.

Hal ini berdasarkan atsar dari Umar bin Al Khaththaab radhiyallaahi ‘anhu, bahwasanya seorang ulama Yahudi berkata kepada Umar, “Wahai Amiirul Mu’miniin, tahukah engkau satu ayat dalam kitab suci kalian yang kalian baca, yang jika seandainya ayat itu turun kepada kami maka kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya.”

Umar berkata, “Ayat apakah itu?”

Yahudi itu membacakan ayat tersebut, “Al yauma akmaltu lakum….”

Umar pun berkata, “Sungguh kami telah mengetahui di mana dan kapan ayat itu turun. Ayat itu turun pada saat Nabi sedang berada di padang Arafah di hari Jum’at.” (HR. Al Bukhari)

2. Puasa Arafah adalah di antara kekhususan umat Islam

Di dalam bulan Dzulhijjah ada sebuah hari yang sangat agung, yaitu hari Arafah. Pada hari tersebut disunnahkan bagi yang tidak sedang melaksanakan haji untuk melakukan puasa. Puasa Arafah dapat menggugurkan dosa-dosa selama dua tahun. Pahala puasa Arafah (9 Dzulhijjah) lebih afdhal daripada pahala puasa Asyura (10 Al Muharram).

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صوم عاشوراء يكفر السنة الماضية وصوم عرفة يكفر السنتين الماضية والمستقبلة (رواه النسائي)

“Puasa Asyura dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu, dan puasa Arafah itu dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. An Nasaa’i)

Puasa Arafah termasuk keistimewaan ummat Islam, berbeda halnya dengan puasa Asyura. Oleh karena berkahnya Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Allah melipatgandakan penghapusan dosa dalam puasa Arafah dua kali lipat lebih besar daripada puasa Asyura. Walillaahil hamd.

3. Darah-darah hewan kurban ditumpahkan terbanyak di bulan Dzulhijjah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الحج العج والثج

“Sebaik-baik pelaksanaan haji adalah yang paling banyak bertalbiyah dan yang paling banyak berhadyu (menyembelih hewan sebagai hadiah untuk fuqara’ Makkah -pen).” (HR. Abu Ya’la, An Nasaa’i, Al Haakim, dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani menilai hadits ini hasan)

Bulan Dzulhijjah selain sebagai bulan haji juga disebut sebagai bulan kurban, karena banyaknya hewan kurban yang disembelih pada bulan tersebut.

4. Dzulhijjah adalah bulan muktamar umat Islam tingkat dunia

Di hari Arafah, umat Islam yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk melaksanakan haji berkumpul di padang Arafah, demi melakukan prosesi puncak pelaksanaan manasik haji, yaitu wukuf di Arafah.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الحج عرفة (رواه الجماعة)

“Haji itu (wukuf –pen) di Arafah.” (HR. Al Jama’ah)

Amalan-amalan di bulan Dzulhijjah
Karena keutamaan yang banyak inilah, maka disyari’atkanlah amal-amal shalih dan diberi ganjaran yang luar biasa. Di antara amal-amal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dzikir

Allah berfirman:

ليشهدوا منافع لهم ويذكروا اسم الله في أيام معلومات

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Hari-hari yang telah ditentukan adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.”

Berdzikir yang lebih diutamakan di hari-hari yang sepuluh ini adalah memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

“Maka perbanyaklah di hari-hari tersebut dengan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad, Shahih)

Bukan hanya dilakukan di masjid atau di rumah, namun berdzikir ini bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Bahkan para Sahabat Nabi sengaja melakukannya di tempat-tempat keramaian seperti pasar.

Al Bukhari berkata:

وكان ابن عمر، وأبو هريرة يخرجان إلى السوق في أيام العشر، فيكبران ويكبر الناس بتكبيرهما

“Ibnu Umar dan Abu Hurairah senantiasa keluar ke pasar-pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Mereka bertakbir, dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mendengar takbir dari mereka berdua.

2. Puasa

Tidak syak lagi kalau berpuasa termasuk amal shalih yang sangat disukai oleh Allah. Di samping anjuran melakukan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, maka disukai juga untuk memperbanyak puasa di hari-hari sebelumnya (dari tanggal 1 sampai dengan 8 Dzulhijjah) berdasarkan keumuman nash-nash hadits tentang keutamaan berpuasa.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والذي نفسي بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada wangi minyak kasturi.” (Muttafaqun ‘alaih)

3. Tilawah Al Qur’an

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

القرآن أفضل الذكر

“Al Qur’an adalah sebaik-baik dzikir.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih)

Adalah hal yang sangat baik jika dalam waktu 10 hari tersebut, kita dapat mengkhatamkan bacaan Al Qur’an dengan membaca 3 juz setiap harinya. Hal ini sebenarnya mudah untuk dilakukan, yaitu dengan memanfaatkan waktu sebelum dan sesudah shalat fardhu. Dengan membaca 3 lembar sebelum shalat dan 3 lembar sesudah shalat, insyaAllah dalam 10 hari kita mampu mengkhatamkan Al Qur’an. Intinya adalah mujaahadah (bersungguh-sungguh).

4. Sedekah

Di antara yang menunjukkan keutamaan bersedekah adalah cita-cita seorang yang sudah melihat ajalnya di depan mata, bahwa jika ajalnya ditangguhkan sebentar saja, maka kesempatan itu akan digunakan untuk bersedekah.

Allah berfirman menceritakan saat-saat seseorang menjelang ajalnya:

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (Qs. Al Munaafiquun: 10).

5. Kurban

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فصل لربك وانحر

“Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berkurbanlah!” (Qs. Al Kautsar: 2)

Kurban adalah ibadah yang disyari’atkan setahun sekali dan dilaksanakan di bulan Dzulhijjah.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من صلى صلاتنا، ونسك نسكنا، فقد أصاب النسك. ومن نسك قبل الصلاة فلا نسك له

“Barangsiapa yang shalat seperti kita shalat, dan berkurban seperti kita berkurban, maka sungguh dia telah mengerjakan kurban dengan benar. Dan barangsiapa yang menyembelih kurbannya sebelum shalat ‘Idul Adh-ha, maka kurbannya tidak sah.” (HR. Al Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa ibadah kurban itu merupakan kekhususan dan syi’ar yang hanya terdapat di dalam bulan Dzulhijjah.

6. Haji

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الحج أشهر معلومات

“Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu.” (Qs. Al Baqarah: 197)

Yang dimaksudkan dengan haji dalam ayat di atas adalah ihram untuk haji bisa dilaksanakan dalam bulan-bulan yang sudah ditentukan, yaitu: Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Selain bulan-bulan tersebut, maka ihram seseorang untuk haji tidak sah.

Bahkan hampir sebagian semua prosesi manasik haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan taufiq-Nya agar kita bisa mengisi sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah dengan amal-amal shalih, dan diterima oleh Allah sebagai pemberat timbangan kebaikan kita di yaumil hisaab kelak.

Washallallaahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.