Mandi Bareng bagi Suami Istri, Bagaimana Etikanya ?...
Salah satu dari tujuan pernikahan adalah memunculkan rasa mawaddah sakinah dan rahmah yang kemudian melahirkan keturunan yang saleh salehah. Tentunya, untuk meraih hal tersebut diawali dengan menjaga kemesraan, keharmonisan suami-istri dalam mengarungi biduk rumah tangga.
Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Rum: 21).
Tumbuh kembangnya rasa cinta dan kasih sayang terhadap pasangan suami istri masing-masing sebaiknya dipupuk dari persoalan yang esensial, misalnya, memandang pasangannya penuh mesra, tersenyum, melayani sepenuh hati, bahkan mandi bareng. Dalam salah satu hadis:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ فِي الْقَدَحِ وَهُوَ الْفَرَقُ وَكُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَهُوَ فِي الْإِنَاءِ الْوَاحِدِ وَفِي حَدِيثِ سُفْيَانَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ قَالَ قُتَيْبَةُ قَالَ سُفْيَانُ وَالْفَرَقُ ثَلَاثَةُ آصُعٍ
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, Rasulullah dahulu mandi dalam baskom, yaitu satu faraq. Sedangkan aku pernah mandi bersama beliau dalam satu bejana.". Dan dalam hadits Sufyan, dari satu bejana. Qutaibah menuturkan: Sufyan berkata, satu faraq adalah tiga Sha'. (HR. Muslim)
Istilah qadah bisa diartikan baskom, atau bejana, bahkan jika disamakan dalam konteks kekinian, maka semacam bathtub. Secara fikih memang diperbolehkan suami dan istri mandi bareng dalam/dari satu bejana, satu ruangan dan tanpa menutup aurat sekalipun. Dalam Syarah Muslim lin Nawawi disebutkan:
مِمَّا لاَ خِلاَفَ فِيهِ أَيْضًا: أَنَّ لِكُل واحد مِنَ الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَغْتَسِل بِحُضُورِ الآْخَرِ، وَهُوَ بَادِي الْعَوْرَةِ لِلْحَدِيثِ الْمُتَقَدِّمِ: احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ، أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ. وَلِحَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِل أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إناء وَاحِدٍ مِنْ قَدَحٍ، يُقَال لَهُ: الْفَرَقُ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Di antara perkara yang tidak terjadi perselisihan ulama adalah kebolehan antara suami dan istri untuk mandi di hadapan pasangan masing-masing, meskipun menampakkan aurat. Ini berdasarkan hadis sebelumnya: Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budakmu. Juga berdasarkan hadis Aisyah, dia berkata: Aku pernah mandi bersama Nabi Saw dari satu ember terbuat dari tembikar yang bernama Al-Faraq.
Meskipun demikian, suami istri yang mandi bersama dalam bathtub sebaiknya memperhatikan etikanya, yakni: bergegas menyelesaikan mandinya, dan sebaiknya hindari menjimak /bersenggama di dalam kamar mandi, karena dinilai kurang etis. Apalagi, kamar mandi itu identik menjadi sarang jin.
وأما الجماع في الحمام فلا مانع منه، ولا كفارة في فعله، ولكنه خلاف الأدب
Artinya: Sedangkan bersenggama di dalam kamar mandi itu tidak dilarang, tidak ada kaffaroh, akan tetapi kurang etis. (Fatawa Al-Sabkah, Al-Islamiyah, 5/4528)
Dengan demikian, mandi bareng bagi suami istri itu sangat dianjurkan dalam rangka menjaga kemesraan, namun memiliki beberapa etika yang sebaiknya diperhatikan, seperti bergegas menyelesaikan mandi, dan hindari menjimak dalam kamar mandi.
Bersenggama di kamar mandi itu meskipun diperbolehkan akan tetapi oleh sebagian ulama dinilai kurang beretika, sebab kamar mandi identik sebagai tempat kotor dan sarang mahkluk halus. Selain itu, aktifitas bersenggama memiliki cara dan etika tersendiri, lantaran terdapat beberapa doa khusus yang diucapkan agar memiliki keturunan yang baik.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤمنينَ رضي الله عنها قَالَتْ:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلاَنَا جُنُبٌ، وَكَانَ يَأْمُرُنِي، فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، وَكَانَ يُخْرِجُ رَأْسَهُ إِلَيَّ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ.
[صحيح] - [متفق عليه]
Aisyah ummul mukminīn -raḍiyallāhu 'anhā- meriwayatkan, ia berkata,
"Aku pernah mandi bersama Nabi ﷺ dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau pernah menyuruhku (memakai kain) lalu aku pun memakainya, lalu beliau mencumbuiku padahal aku sedang haid. Beliau juga pernah menjulurkan kepalanya kepadaku saat beliau iktikaf, lalu aku membasuh kepalanya dan saat itu aku sedang haid."
Hadis sahih - Muttafaq 'alaih
Aisyah ummul mukminīn -raḍiyallāhu 'anhā- mengabarkan sebagian momen pribadinya bersama Nabi ﷺ, di antaranya ia pernah mandi junub bersama beliau ﷺ dari satu bejana air, yaitu mereka berdua menggayung air secara bersamaan. Nabi ﷺ, ketika ingin mencumbuinya di saat ia sedang haid, beliau memintanya menutupi badannya dari pusar ke lutut, lalu beliau mencumbuinya namun tidak sampai jimak. Demikian juga beliau ﷺ melakukan iktikaf di masjid, lalu menjulurkan kepalanya kepada Aisyah, ia membilasnya dengan posisi tetap di dalam rumah, yang saat itu sedang haid.
Di antara yang bisa memupuk rasa cinta kasih antara pasangan suami istri adalah ketika junub (sehabis hubungan intim) bisa mandi berbarengan. Ini yang dianjurkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan beliau dan juga praktek beliau. Sampai-sampai ketika mandi dari satu wadah dengan ‘Aisyah, beliau katakan kepada istri tercintanya, “Sisakan bagianku, sisakan bagianku”. Karena ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saling berlomba dengan istrinya ketika mengambil air.
Dari hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang perempuan mandi dari sisa laki-laki atau seorang laki-laki mandi dari sisa perempuan. Namun hendaklah mereka mandi berbarengan (lewat wadah yang sama).” (HR. Abu Daud no. 81 dan An Nasai no. 239. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Didikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat bagus karena seorang suami atau istri tidak baik jika mandi sendiri ketika junub, lalu datang pasangannya setelah itu. Namun yang lebih bagus ketika mereka mandi junub bisa berbarengan.
2- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuki pada sesuatu yang lebih maslahat oleh umatnya walau mungkin sebagian malu untuk menceritakan.
3- Antara suami istri boleh memandang satu dan lainnya, tidak ada batasan aurat antara keduanya. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa aurat antara suami istri adalah kemaluan, sehingga tidak boleh suami atau istri memandang kemaluan pasangannya. Ini adalah pendapat lemah dan terbantah dengan hadits yang sedang kita kaji.
4- Hendaklah seorang suami juga melakukan hal yang bisa membuat keduanya semakin cinta dan berkasih sayang, serta romantis.
5- Larangan mandi dari sisa istri yang disebutkan dalam hadits di atas adalah larangan ta’dib, bimbingan untuk melakukan yang lebih baik. Jadi bukan maksudnya adalah larangan haram. Karena dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dari sisa istrinya, seperti dari bekas mandi Maimunah. Sebagiamana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim, di mana Ibnu ‘Abbas berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari sisa mandi Maimunah.” (HR. Muslim no. 323).
Dalam kitab sunan disebutkan,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا – أَوْ يَغْتَسِلَ – فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى كُنْتُ جُنُبًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الْمَاءَ لاَ يَجْنُبُ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi di satu wadah besar. Lalu datang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengambil air dari sisa mandi istrinya, atau beliau berkeinginan untuk mandi. Maka salah satu istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tadi junub (dan itu sisa mandiku, pen). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: Sesungguhnya air itu tidak terpengaruh oleh junub.” (HR. Abu Daud no. 68, Tirmidzi no. 65, dan Ibnu Majah no. 370. Tirmidzi menshahihkan hadits ini).
Semoga bermanfaat.
Hanya Allah yang beri taufik.
________________________________________
Air Musta'mal
PERTANYAAN
Assalamualaikum..
Ustadz yang dirahmati Allah. izinkan saya menyampaikan pertanyaan.
Apabila air yang sudah musta'mal di dalam bak mandi dimana jumlah kurang dua kullah itu, kemudian ditambahkan lagi air sehingga mencapai lebih dari dua kullah, apakah air tersebut bisa dipakai berwudlu dan mandi wajib?
Terima kasih dan saya tunggu jawabannya.
Wassalam
JAWABAN
Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta’mal.
Kata musta’mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan atau memakai. Maka air musta’mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah yaitu berwudhu atau mandi janabah.
Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.
Air sisa bekas cuci tangan cuci muka cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.
Lalu bagaimana hukum menggunakan air musta’mal ini? Masih bolehkah sisa air yang sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu atau mandi janabah?
Dalam hal ini memang para ulama berbeda pendapat apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?.
Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang kita terima dari Rasulullah SAW. Beberapa nash hadits itu antara lain :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)
وَلِلْبُخَارِيِّ: لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ وَلِمُسْلِمٍ: "مِنْهُ".وَلأَبِي دَاوُدَ: وَلاَ يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ .
”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir kemudian dia mandi di dalam air itu”. Riwayat Muslim”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)
عَنْ رَجُلٍ صَحِبَ اَلنَّبِيَّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ أن تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا- َخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَالنَّسَائِيُّ
Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi SAW berkata”Rasululllah SAW melarang seorang wanita mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan air bekas Maimunah radhiyallahuanhu (HR. Muslim)
وَلأَصْحَابِ اَلسُّنَنِ"اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: إِنَّ اَلْمَاءَ لاَ يُجْنِبُ
Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya ”saya tadi mandi janabat maka jawab Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.
Namun kalau kita telliti lebih dalam ternyata pengertian musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan.
Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal :
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu’ atau mandi.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu’ sunnah atau mandi sunnah.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu’ atau mandi.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu’ atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu’ atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.
Artinya bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu’ atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).
3. Mazhab Asy-Syafi’iyyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu’ atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu’.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu’ maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu’ atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.
4. Mazhab Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu’) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka ibadah maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu’. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu’.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu’ atau mandi maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu’ atau mandi lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu’ atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah maka tidak mengakibatkan air itu menjadi ‘tertular’ ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta’mal dan bukan (ghairu) musta’mal membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta’mal.
Bila volume air itu telah melebihi volume minimal maka air itu terbebas dari kemungkinan musta’mal. Itu berarti air dalam jumlah tertentu meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah tidak terkena hukum sebagai air musta’mal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ
Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud Tirmidhi Nasa’i Ibnu Majah)
Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah yang menjadi batas volume air sedikit.
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta’malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter kubik atau barrel.
Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl (رطل) yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.
Sayangnya ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir. Walhasil ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.
Lucunya begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.
Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di masa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran yang berlaku di zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter lalu digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu’ maka air itu dianggap sudah musta’mal.
Air itu suci secara fisik tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu’ atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu’ seperti cuci tangan biasa maka tidak dikategorikan air musta’mal.
Wallahu a'lam bishshawab
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar