Termasuk dari syarat thawaf yang harus dipenuhi adalah harus dalam keadaan suci. Dalam madzhab syafi’i saling bersentuhan kulit dua jenis bukan mahrom dapat membatalkan wudhu, sedangkan dalam thawaf hal ini bukanlah hal yang mudah dihindari dan pasti terjadi. Lantas, bagaimanakah hukum bersentuhan dengan bukan mahram saat thawaf?
Dalam literatur kitab fikih, terdapat solusi bagi seseorang yang sedang melaksanakan thawaf, ketika sulit untuk menghindari sentuhan kulit dua jenis yang bukan mahrom.
Orang itu diberi pemilihan untuk mengikuti pendapat yang lemah dari kalangan mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa bersentuhan lain jenis tidak membatalkan wudhu selama tidak syahwat. Sebagaimana dalam kitab Syarah Al-Bahjah Al-Wardiyyah, juz 2, halaman 44 berikut,
)قَوْلُهُ : وَسَوَاءٌ إلَخْ ) وَلَنَا وَجْهٌ أَنَّهُ لَا يُنْتَقَضُ وُضُوءُ الْمَلْمُوسِ ، وَوَجْهٌ أَنَّ لَمْسَ الْعُضْوِ الْأَشَلِّ أَوْ الزَّائِدِ لَا يَنْقُضُ ، وَوَجْهٌ لِابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ الشَّهْوَةُ فِي الِانْتِقَاضِ قَالَ الْحَنَّاطِيُّ وَحُكِيَ هَذَا عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ ، وَوَجْهٌ حَكَاهُ الْفُورَانِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَآخَرُونَ أَنَّ اللَّمْسَ لَا يَنْقُضُ إلَّا إذَا وَقَعَ قَصْدًا ، وَأَمَّا تَخْصِيصُ النَّقْضِ بِأَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فَلَيْسَ وَجْهًا لَنَا بَلْ مَذْهَبُ الْأَوْزَاعِيِّ وَحُكِيَ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ إلَّا اللَّمْسُ بِالْيَدِ كَذَا فِي الْمَجْمُوعِ
Artinya : “Dari kalangan Syafiiyah juga terdapat beberapa pendapat. Ada yang menyatakan tidak menjadi batal wudhunya orang yang disentuh. Ada yang menyatakan tidak membatalkan menyentuh anggota badan yang telah lumpuh atau anggota tambahan.
Ada yang menyatakan (pendapat Ibn Suraij) yang membatalkan saat terjadi syahwat dalam persentuhan, berkata al-Hannaathy diceritakan ini adalah hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i.
Ada yang menyatakan (Pendapat al-Furaani dan Imam Haramain dan ulama-ulama lain) persentuhan kulit tidak membatalkan kecuali bila terjadi unsur kesengajaan.
Sedang bersentuhan kulit yang membatalkan terbatas pada anggota wudhu’ saja bukan merupakan pendapat kalangan syafi’i. Namun pendapat al-Auzaa’i yang juga diceritakan menurutnya bahwa tidak membatalkan wudhu kecuali menyentuhnya dengan tangan, inilah yang diuraikan dalam kitab Al-Majmu’.”
Menurut pendapat Sayid Abdurrahman Ba’alawi, mengikuti pendapat lemah dalam satu madzhab ketika telah terpenuhi syaratnya itu lebih baik dari pada taklid kepada madzhab lain karena kesukaran dalam memenuhi segala syarat-syaratnya.
Sebagaimana dalam Bughyatul Mustarsyidin, halaman 16 berikut,
… نعم في الفوائد المدنية للكردي أن تقليد القول أو الوجه الضعيف في المذهب بشرطه أولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه اهـ.
Artinya, “….. iya memang, dalam Al-Fawaidul Madaniyah karya Al-Kurdi, bahwa taklid pada satu pendapat atau wajah yang dhaif dalam satu madzhab dengan (memenuhi) syaratnya itu lebih utama dari pada taklid kepada madzhab lain karena susah terpenuhi berbagai macam syaratnya.”
Demikian penjelasan mengenai hukum bersentuhan dengan bukan mahram saat thawaf. Semoga bermanfaat.
________________________________________________
Bersentuhan Kulit dengan Lawan Jenis saat Tawaf Tak Terhindarkan, Begini Solusinya.
Ada beberapa penanya baik melalui online dan offline yang menginginkan sesuatu termasuk hukum yang solutif saat melakukan ibadah haji. Sebagaimana diketahui bersama bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik.
Misalnya tawaf. Banyak orang yang menjalankan tawaf, tentu saja mereka dari beragam latar belakang kemampuan agama yang berbeda atau latar belakang madzhab yang berbeda pula, sehingga dalam penerapan hukum juga berbeda-beda.
Seperti persentuhan kulit laki laki-laki dan perempuan lain saat tawaf. Ini memang sebuah problem yang perlu dicarikan solusi paling ringan untuk memudahkan.
Sudah biasa dan banyak diketahui oleh jamaah haji Indonesia bahwa di antara syarat tawaf menurut madzhab Syafi'i adalah suci dan di antara yang membatalkan wudhu adalah persentuhan kulit laki-laki dan perempuan lain baik sengaja atau tidak.
Tentu konsekuensi dari hukum ini sering menyulitkan, karena ketika terjadi persentuhan tersebut mereka harus cari tempat wudu dan kemudian meneruskan tawafnya dari tempat di mana ia batal.
Dua hal ini tentu sangat merepotkan bagi jamaah haji Indonesia apalagi yang sepuh.
Maka penulis sering memberikan solusi pada problematika tawaf ini dengan mengikuti pendapat Alfauroni dan Imam Haromain yang bermazhab Syafi'i yang menyatakan bahwa sepanjang tidak ada kesengajaan melakukan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan, maka wudunya tidak batal, meski pendapat ini dianggap lemah.
Namun pendapat lemah dalam keadaan yang sulit dan demi hal yang maslahat dalam pernyataan kitab Tarsyihul Mustafidin boleh dipakai.
Berikut pendapat Alfauroni dan imam Haromain yang dikutip Annawawi dalam Al-Majmu':
ووجه حكاه الفوراني وإمام الحرمين وآخرون أن اللمس إنما ينقض إذا وقع قصدا
Artinya, "Dan wajah yang diceritakan oleh Alfauroni, Imam Haromain dan banyak ulama yang lain: persentuhan kulit laki-laki dan perempuan itu dapat membatalkan wudu bila terjadi dengan sengaja".
Mengapa tidak menggunakan madzhab Hanafi yang mengatakan: persentuhan kulit laki-laki dan perempuan itu tidak membatalkan wudu?
Alfaqir tidak merekomendasi itu karena mayoritas jamaah haji Indonesia tidak terbiasa berwudlu dengan cara Hanafi yang ketika mengusap kepala harus minimal seperempat kepala.
Hal ini untuk mengurangi resistensi di kalangan ahli fiqih mengenai talfiq (mencampuradukkan madzhab).
Bila memang menjaga suci dari hadats ini masih kesulitan karena problemnya sering "ngentut", maka sebaiknya membaca landasan hukum yang sudah Alfaqir tulis sebelumnya.
Wallahu a'lam bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar