Dalam menunaikan zakat fitrah, tidak sedikit dari masyarakat kita memilih untuk memberikan zakat tersebut kepada kiai atau guru ngaji.
Jika dipahami dalam kategori yang berhak menerima zakat, maka kiai atau guru ngaji tersebut sebenarnya masuk dalam katagori yang mana? Lantas sah kah zakat fitrah kepadanya mengatasnamakan fi sabilillah atau kategori lainnya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita bahas delapan (8) golongan yang dapat menerima zakat:
Pertama, fakir yaitu orang yang tidak memiliki penghasilan, memiliki sedikit harta sehingga tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari nya.
Kedua, miskin yaitu orang yang memiliki sedikit harta, dan penghasilan yang hanya bisa dibuat makan dan minum tidak lebih dari itu.
Ketiga, amil yaitu, orang yang punya legalitas untuk menyalurkan kepada orang-orang yang berhak atas zakat.
Keempat, muallaf yaitu orang yang baru masuk islam, agar dia meyakini islam menjadi agamanya.
Kelima, riqob yaitu budak yang ada dibawah kepemilikan seseorang. Agar zakat ini dapat digunakan untuk memerdekakan dirinya.
Keenam, ghorim yaitu orang yang memiliki hutang.
Misal, berhutang karena Allah seperti berhutang tujuan mendamaikan permusuhan.
Ketujuh, sabilillah yaitu orang-orang yang berperang.
Kedelapan, Ibnu sabil yaitu orang yang dalam perjalanan kerena allah seperti merantau untuk bekerja atau mencari ilmu.
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa kita bisa melihat dari berbagai sisi untuk memberikan zakat pada pihak yang tepat.
Salah satunya adalah kiai atau guru mengaji. Kiai atau guru mengaji bisa dilihat dari sisi perekonomian (miskin), meski ada pendapat ulama yang juga bisa mengkategorikan guru ngaji sebagai fi sabilillah, namun hal tersebut masih menjadi perdebatan, berikut penjelasannnya:
Mayoritas ulama (mayoritas ulama) mengatakan sabilillah ialah orang yang berperang di jalan allah.
Ada juga sebagian yang berpendapat bahwa Sabilillah itu atas jalan kebaikan (وجوه الخير), contoh diberikan kepada pembagunan masjid, madrasah, dll. Seperti pendapat imam qoffal dalam kitab tafsir munir:
وَنَقَلَ القَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الفُقَهَاءِ اَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ جَمِيْعَ وُجُوْهِ الخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ المَوْتَى وَبِنَاءِ الحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ المَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى “فِى سَبِيْلِ اللهِ” عَامٌ فِى الكُلِّ. (تفسير المنير, 1/344)
“Dinukil dari imam qoffal dari sebagian fuqoha’ bahwa ulama memperbolehkan memberikan zakat kepada semua yang bersifat kebaikan baik berapa biaya penguburan orang mati, pembagunan benteng, dan pembangunan masjid kerena firman allah dalam teks fi sabilillah itu Am” (Tafsir munir 1/344)
(ولا لذي قوة مكتسب)
ولو قدر على الكذب الا انه مستغل بالعلوم الشرعية ولو اقبل على الكسب لا نقطع عن التحصيل حلت له الزكاة على الصحيح
Dan tidak dikasih dari zakat orang yang quat usahanya,
Dan walaupun mampu orang tersebut usaha, kecuali tidak bisa usaha karena orang tersebut sibuk dengan ilmu syari'at/agama, walaupun dia dihadapkan atas pekerjaan yang tdk jelas akan hasilnya, Maka halal orang tersebut menerima zakat, menurut Qaul yang shohih.
(Kitab kifayatul akhyaar juz,1 hal, 197)
Pendapat serupa juga muncul dalam mazhab Hanbali, disebutkan bahwa Imam Ahmad memperbolehkan penggunaan zakat untuk kepentingan umum bersifat kebaikan.
Dalam mazhab Maliki, sebagian ulama seperti Imam al-Lakhami dan Syekh Sholeh bin Salim berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada guru ngaji dan kiai, atas dasar fi Sabilillah. Hal ini disebutkan dalam Syarah Mukhtashar Khalil karya Imam al-Kharasyi (juz 3, hal. 350):
يَجُوْزُ إِعطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيْهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ ولَو كَانُوا أَغْنِيَاءَ لِعُمُوْمِ نَفْعِهم وَلِبَقاءِ الدِّيْنِ كمَا نَصَّ عَلَى جَوَازِها اِبنُ رُشْدٍ وَاللَّخَمِي وَقَدْ عدَّهُمُ اللّهُ سُبْحَانَه وتعالى فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانيَةِ التي تُعْطَى لَهُمُ الزَّكاةُ حيْثُ قال { وفي سبيل الله } يَعْنِي : المُجَاهد لإِعلَاءِ كَلِمةِ اللّهِ ، وإنَّمَا ذَلِكَ لِعُمُومِ نَفْعِهم للمُسْلِميْنَ
“Boleh memberikan zakat kepada qari (pembaca Al-Qur’an), ulama, pengajar, dan siapa saja yang memberikan manfaat bagi umat Islam, meskipun mereka kaya.
Sebab, manfaat mereka bersifat umum dan berkontribusi dalam menjaga agama. Ibnu Rusyd dan al-Lakhami juga membolehkan hal ini, ‘Allah telah memasukkan mereka ke dalam delapan golongan penerima zakat dalam firman-Nya: ‘fi sabilillah,’ yang bermakna mujahid dalam meninggikan agama Allah karena manfaat mereka yang luas bagi kaum Muslimim.
Wallahu A’lam.
_______________________________________________و
ما المقصود من في سبيل الله،،،؟
الجواب
بسم الله والخمد لله والصلاة والسلام على رسو الله وعلى آله وصحبه وسلم.
أما بعد:
الإجابة عن هذا السؤال، تكون في مسائل:
الأولى: ما المقصود في سبيل الله في آية مصارف الزكاة؟ للعلماء فيه، أربعة أقوال: أحدها: أن المقصود من (سبيل الله) الغزاة في سبيل الله وهو قول جمهور المفسرين والفقهاء، ومن المعاصرين هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية .
الثاني: أن المقصود من (في سبيل الله) الغزاة، والحجاج، والعمار، وهو مروي عن ابن عمر وابن عباس رضي الله عنهم، وقال به الحسن وأحمد واسحق.
الثالث: أن المقصود من (في سبيل الله) جميع وجوه البر من تكفين الموتى، وبناء الجسور، والمدارس، والمساجد، والدعوة والجمعيات الخيرية، وغير ذلك لأن قوله في سبيل الله عام في الكل، وقال به بعض المفسرين والفقهاء، كالخازن والآلوسي، والقاسمي(1). والى ذلك ذهب من الحنفية الكاساني،
ومن الشافعية القفال، وحكاه النووي في شرح مسلم عن القاضي عياض وغيره، وقال به الصنعاني وصديق حسن خان، وحسن ايوب( 2).
قال الرازي: لا يوجب القصر على الغزاة -ثم قال- فلهذا المعنى نقل القفال في تفسيره عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد( 3).
وقال الكاساني: وأما قوله تعالى: (وفي سبيل الله) عبارة عن جميع القرب فيدخل فيه كل من سعى في طاعة الله وسبيل الخيرات إذا كان محتاجاً( 4).
والرابع: إن المقصود من (في سبيل الله ) في أية الصدقات هو القتال والجهاد بمعناه الواسع الذي يحفظ مصالح المسلمين العامة التي فيها تحقيق النصر للدين والرفعة لشريعة الإسلام، يقول الشيخ محمد رشيد رضا: التحقيق إن سبيل الله هنا: مصالح المسلمين العامة( 5).
...والله اعلم بالصواب
_______________________
(1)مجلة البحوث الإسلامية المجلد الاول للعدد الثاني ص 56
(2)ينظر: سبل السلام للصنعاني:ح2،ص198، والروضة الندية لصديق حسن خان: ج1/ص206، الزكاة في الإسلام، لحسن ايوب ص 112.
(3)تفسير الرازي: ج16/ ص113.
(4)بدائع الصنائع للكاساني: ج2/ ص45
(5)تفسير المنار لمحمد رشيد رضا: ج10/ ص585-587
Tidak ada komentar:
Posting Komentar