Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 21 Maret 2025

PAS MAU THOWAF IPADOH HAID, ADAKAH SOLUSINYA

Penulis sering dihadapkan pada pertanyaan tentang wanita haid yang akan menjalani tawaf rukun, seperti tawaf ifadah, meski waktunya tawaf ifadah itu bisa diperpanjang selama hidup menurut penjelasan kitab Al-Afshoh, tetapi ini tetap problem bagi jamaah haji Indonesia.

Dalam ritual haji yang disyaratkan suci menurut mayoritas Syafi'iyah adalah tawaf.

Memang ini problem yang perlu kecerdasan solusi yang meringankan.

Kadang-kadang para wanita itu sudah berusaha maksimal untuk tidak haid selama haji dengan minum obat resep dokter. 
Faktanya tetap saja kadang banyak yang jebol.

Padahal waktunya sudah mepet, tidak memungkinkan menunggu sampai suci untuk menjalankan tawaf rukun tersebut.

Oleh karenanya perlu ada solusi yang memudahkan, sehingga bisa melaksanakan tawaf rukun itu dengan baik.

Solusinya adalah tetap melakukan tawaf rukun tersebut, meski dalam keadaan haid, sehingga wanita ini menjadi tidak terbebani. Keterangan ini tidak menentang pendapat Syafiiyah. 

Pandangan penulis ini didasarkan pada pendapat dari kitab Bada'iusshona'i yang bermazhab Hanafi karya Ala'uddin, berikut ini.

فأما الطهارة عن الحدث والجنابة والحيض والنفاس فليست بشرط لجواز الطواف

Artinya, "Adapun suci dari hadats, janabah, haid, dan nifas bukan menjadi persyaratan bolehnya tawaf". 

Hal senada juga disampaikan Almughni dan juga Almuzani dari Syafi'iyah yang mendapat tanggapan minus dari Syafi'iyah sendiri.

Kendati demikian, bila waktunya tidak mepet, penulis menyarankan tetap menunggu suci untuk melakukan tawaf rukun tersebut. 

Sudah dijelaskan bahwa mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan orang yang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. Sedangkan pada sesi kali ini, kita mengangkat pandangan mazhab Syafi’i perihal solusi untuk ustadzah TPQ yang harus mengajar di dalam masjid dalam keadaan junub atau haid.

Dalam Kitab Bahrul Mazhab pada bab li'an, Imam Ar-Ruyani (wafat 502 H)–seorang ulama paruh akhir abad ke-5 Hijriyah yang bermazhab Syafi'i–merekam sebuah pendapat tentang kebolehan orang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid dari Imam Al-Muzani (Isma'il bin Yahya Al-Muzani, wafat 264 H), salah seorang murid Imam Syafi'i yang paling masyhur.
Al-Muzani berpendapat bahwa perempuan haid tidak dilarang masuk masjid sebagaimana tidak terlarangnya bagi perempuan musyrik.

قال المزني: رَحِمَهُ اللَّهُ - : " إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى " .هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ الحَائِضَ لَا تُمْنَعُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَالْمُشْرِكَةِ.

Artinya, “Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja, dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Begitulah pendapat Imam Al-Muzani bahwa muslimah yang haid tidak terlarang masuk masjid sebagaimana perempuan musyrik. (Imam Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahrul Mazhab, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2002 M] juz 10, halaman 339).
Di sini, Imam Al-Muzani tidak menganggap masalah terkait muslimah yang haid untuk masuk masjid sebagaimana wanita yang tidak beriman boleh-boleh saja memasukinya yang mungkin saja juga sedang haid. Wanita tidak beriman saja boleh, apalagi wanita beriman? Demikian kiranya argumentasi Imam Al-Muzani.
Pendapat Imam Al-Muzani yang direkam oleh Imam Ar-Ruyani tersebut juga dapat ditelusuri dalam kutipan ulama periode sebelumnya, yakni Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), seorang pemuka mazhab Syafi'i yang juga hakim agung pada ujung kekuasaan dinasti Abbasiyah–yang mensyarahi Kitab Mukhtasor-nya Imam Al-Muzani.
“Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Imam Al-Mawardi berkata, ‘Statemen Imam Al-Muzani ini menjelaskan pendapatnya tentang kebolehan masuk masjid bagi muslim yang junub dan muslimah yang haid, sebagaimana kebolehan masuk masjid bagi kafir dzimmi meskipun ada orang junub dan haid di antara mereka.’” (Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtasar Al-Muzani).
Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.
Namun demikian, bila masih ada cara lain semisal dengan pengajar pengganti atau beralih lokasi, alangkah baiknya cara tersebut yang diprioritaskan agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama. 
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar