Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 26 Juni 2021

Hukum Menyewa Kolam dan lotre


Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagian masyarakat mengisi waktunya untuk memancing ikan di kolam pemancingan atau di laut karena hobi, sekadar pengisi waktu akhir pekan, atau sebab lain.

Aktivitas mengail atau memancing ikan pada dasarnya boleh saja.
Tetapi aktivitas mengail ikan di kolam pemancingan bergantung pada akad pemancing dan pengelola pemancingan. Pasalnya, transaksi pemancing dan pengelola pemancingan di lapangan terdiri atas sejumlah bentuk akad.

Salah satu bentuk akad yang dilarang adalah sewa kolam pemancingan untuk diambil ikannya.

Pertanyaan yang mengemuka saat itu adalah, “Kalau menyewa tambak (balong) untuk mengambil ikannya dengan memancing atau menjaring, si penyewa kadang-kadang mendapat ikan banyak dan kadang-kadang tidak mendapat. Apakah menyewanya itu sah atau tidak?”

Forum muktamar saat itu menjawab, “Tidak sah menyewanya. Uang sewanya pun tidak halal karena barang itu tidak boleh menjadi hak milik dengan akad sewa.”

وَخَرَجَ بِغَيْرِ مُتَضَمِّنٍ لِاسْتِيْفَاءِ عَيْنٍ مَا تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاؤُهَا أَيِ اسْتِئْجَارُ مَنْفَعَةٍ تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاءَ عَيْنٍ كَاسْتِئْجَارِ الشَّاةِ لِلَبَنِهَا وَبِرْكَةٍ لِسَمَكِهَا وَشُمْعَةٍ لِوُقُوْدِهَا وَبُسْتَانٍ لِثَمْرَتِهِ فَكُلُّ ذَلِكَ لاَ يَصِحُّ. وَهَذَا مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى وَيَقَعُ كَثِيْرًا. 

Artinya, “Dan dengan kalimat, ‘Tanpa berkonsekuensi mengambil barang’ tidak termasuk pemakaian manfaat barang sewaan yang berkonsekuensi mengambil barangnya, seperti menyewa kambing untuk diperah susunya, kolam untuk diambil ikannya, lilin untuk dinyalakan dan kebun untuk dipetik buahnya. Semua itu tidak sah. Hal seperti ini termasuk fitnah yang sudah mewabah dan banyak terjadi,” (Lihat Bakri Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Singapura, Sulaiman Mar’i: tanpa catatan tahun], jilid III, halaman 114).

Umumnya praktik yang terjadi di lapangan adalah pembayaran ikan sekian kilogram oleh pemancing kepada pengelola kolam pemancingan. Ikan tersebut kemudian dilepas dikolam untuk dipancing di mana pemancing yang membeli ikan tersebut tidak sendirian karena ada pemancing lain di kolam tersebut.

Dengan praktik demikian, para pemancing itu tidak menentu dalam mendapatkan hasil tersebut. Bisa jadi mereka mendapatkan sedikit, mungkin juga mendapatkan ikan lebih banyak dari yang mereka beli di samping ketidakjelasan ikan milik siapa yang mereka dapatkan. Praktik seperti ini mengandung gharar (sejenis transaksi produk gelap sifat, rupa, jumlahnya). (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 198 dan 202).

Adapun praktik lain yang terjadi di lapangan adalah pemancing mendatangi kolam pemancingan, lalu mengail ikan. Setelah selesai, hasil pancingannya ditimbang untuk mengetahui bobotnya dan kemudian dibayarkan sesuai dengan jumlah kilogram ikan tersebut. Praktik seperti ini dibolehkan karena tidak lain adalah praktik jual-beli.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Kamis, 24 Juni 2021

Hukum Qurban Urunan Disekolah dan Pondok dll

Alhamdulillah washolatu wassalaamu ala rosulillah,Ammaa ba'du,
Saudaraku yang dimulyakan allah,Semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua.Aamiin

Inisiatif sekolah untuk mengadakan penyembelihan kurban pada Hari Raya Idul Adha itu baik sekali. Hal ini sangat baik sebagai pendidikan dini untuk belajar berkurban.

Hanya saja apakah status hewan yang disembelih itu adalah ibadah kurban atau bukan? Hal ini membutuhkan data di lapangan. Kalau hewan yang disembelih itu berasal dari penggalangan dana siswa, tentu pembagian dagingnya kepada orang-orang di sekitar sekolah hanya bernilai sedekah biasa.

Sedangkan kalau hewan yang disembelih adalah titipan wali murid yang meniatkannya sebagai kurban, maka pembagian daging kurban itu dinilai sebagai ibadah sunah kurban. Pasalnya ibadah kurban merupakan anjuran agama yang bersifat individual. Hal ini tampak dalam penjelasan Imam An-Nawawi sebagai berikut.
ADVERTISEMENT


الشاة الواحدة لا يضحى بها إلا عن واحد. لكن إذا ضحى بها واحد من أهل بيت، تأدى الشعار والسنة لجميعهم... وكما أن الفرض ينقسم إلى فرض عين وفرض كفاية. فقد ذكروا أن التضحية كذلك. وأن التضحية مسنونة لكل أهل بيت.

Artinya, “Seekor kambing bisa disembelih hanya untuk ibadah kurban satu orang. Kalau salah seorang dari seisi rumah telah berkurban, maka sudah nyatalah syar Islam dan sunah bagi seisi rumah itu... Sebagaimana fardu itu terbagi pada fardu ‘ain dan fardu kifayah, para ulama juga menyebut hukum sunah kurban juga demikian. Ibadah kurban disunahkan bagi setiap rumah,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz 2, Halaman 466).
ADVERTISEMENT

Keterangan di atas menegaskan bahwa ibadah kurban itu bersifat individual. Artinya satu hewan kurban kambing hanya diperuntukkan bagi satu orang, tidak bisa lebih dari itu. Karenanya ibadah kurban itu ditujukan bagi mereka yang mampu. Demikian dijelaskan An-Nawawi sebagai berikut.

التضحية سنة مؤكدة وشعار ظاهر. ينبغي لمن قدر أن يحافظ عليها.
ADVERTISEMENT

Artinya, “Ibadah kurban itu sunah muakkad dan syiar yang nyata. Orang yang mampu seyogianya menjaga kesunahan ini,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, Tahun 2005 M/1425-1426 H, Juz 2, Halaman 462).

Dari pelbagai keterangan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa satu hewan kurban kambing hanya berlaku untuk satu orang. Kalau kurban seekor sapi, unta, atau kerbau, hanya bisa diperuntukkan bagi tujuh orang.

Adapun penggalangan dana pihak sekolah dari para murid untuk membeli hewan kurban adalah baik saja untuk mendidik anak-anak berbagi kepada sesama. Sedangkan mereka memperoleh pahala sedekah atas pembagian daging kepada warga sekitar sekolah.
Memang ibadah kurban ini istimewa. Jangankan perihal hewan dan orang yang berkurban, masalah waktu pun bisa menjadi masalah. Orang yang menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat dan khotbah Idul Adha selesai, itu tidak bisa disebut ibadah kurban, tetapi sedekah sunah biasa. Itu pun kalau dagingnya dibagikan kepada orang lain.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

Hukum menikah orang zina

Hukum menikah orang zina

Selama ini banyak terjadi remaja yang hamil di luar nikah kemudian langsung dinikahkan hanya untuk menutupi aibnya. Dan yang mengenaskan lagi, laki-laki yang dinikahinya bukanlah orang yang menghamilinya. Ujar dirinya dengan tatapan mata yang serius.

Saya pun mencoba menjawabnya, dan tentunya jawaban yang saya tuturkan ini berasal dari beberapa literatur yang pernah saya baca. Memang pergaulan di kalangan remaja dan anak muda sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas. Tidak heran jika banyak remaja yang masih usia belia telah menikah disebabkan hamil duluan hasil dari perbuatan zina.

Ada dua hal yang sepertinya perlu dijawab, yaitu bagaimana status hukum seorang laki-laki menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain dan hukum wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya di luar nikah.

Dalam menjawab persoalan kedua status hukum tersebut ini, saya mengutip pendapat Ahmad Sarwat dari dalam laman website Rumah Fiqih. Menurutnya terdapat beberapa pendapat, di antaranya:

Pertama Pendapat Imam Abu Hanifah yang menjelaskan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.

Kedua Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita yang hamil, kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya.

Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah bertobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih belum boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.

Ketiga Pendapat Imam Asy-Syafi'i yang menerangkan bahwa baik laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut :

Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya, berangkat dari beberapa nash berikut, Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda: “Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”. (HR Tabarany dan Daruquthuny).

Juga dengan hadits berikut, Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, isteriku ini seorang yang suka berzina. Beliau menjawab: “Ceraikan dia.” “Tapi aku takut memberatkan diriku”. “Kalau begitu mut`ahilah dia”. (HR Abu Daud dan An-Nasa`i)

Adapun pendapat yang mengharamkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain. Karena hal itu akan mengakibatkan rancunya nasab anak tersebut.

Dalilnya adalah beberapa nash berikut, Nabi SAW bersabda: "Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan." (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim). Juga dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." (HR Abu Daud dan Tirmizy).

Jadi kesimpulannya, jika seorang laki-laki menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain, hukumnya haram (menurut Imam Malik dan Imam Ahmad). Adapun bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya di luar nikah, maka hukumnya boleh. Sedangkan jika mengacu pada Kompilasi Hukum Islam, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.

Begitulah kira-kira jawaban yang saya ketahui. Dan tentunya sekali lagi berdasarkan dari beberapa literatur yang saya baca, mudah-mudahan saja dapat dipahami. Ungkap saya kepada si dia. Akhirnya diapun mengangguk tanda mengerti.
Wallahu a’lam bishshowab.

Hukum menyembelih dua kali

Saudara-saudari yang kami cintai karena Allah ﷻ, perlu kita ketahui bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan kita agar melakukan proses sembelihan dengan sebaik-baiknya, sebagaimana sabda beliau ﷺ:

وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح واليحد أحدكم شفرته فليرح ذبيحته

“Dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu, dan senangkanlah hewan sembelihanmu” (HR. Muslim: 3615).

Sehingga, perintah beliau pada dasarnya merupakan kewajiban yang harus kita taati.
Di antara syarat sah sembelihan adalah dengan menumpahkan darahnya yaitu memotong urat/saluran yang terdapat pada leher hewan tersebut, Rasulullah ﷺ bersabda:

ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوه ليس السن والظفر

“Setiap yang ditumpahkan darahnya dengan disebut nama Allah maka makanlah, kecuali yang disembelih dengan menggunakan gigi dan kuku” (HR. Bukhari: 2308).

Urat yang terdapat pada leher hewan ada 4 jenis: Tenggorokan (Saluran Pernafasan), Kerongkongan (Saluran pencernaan), dan 2 urat besar di sisi samping leher. Sehingga Para Ulama sepakat jika salah satu dari 4 urat tersebut tidak ada yang terpotong maka sembelihan tidak sah dan dagingnya tidak halal dimakan, sebagaima perkataan syaikh Utsaimin rahimahullah:

فإن لم يقطع االودجين, ولا المريئ, ولا الحلقوم تكون الذبيحة حراما بإجماع العلماء, لأنه ما حصل المقصود من إنهار الدم

“Maka jika 2 urat besar di sisi leher tidak terpotong, begitu juga kerongkongan dan tenggorokan semuanya tidak terpotong, maka hukum daging sembelihannya menjadi haram sesuai dengan kesepakatan para ulama; karena maksud dari menumpahkan darah di sini tidak tercapai. (As-syarhul Mumti’: 7/457).

Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai batasan minimal pada urat leher yang harus terpotong saat melakukan proses penyembelihan:

ويرى الحنفية الاكتفاء بقطع الثلاث منها, ويرى المالكية صحة قطع الحلقوم والودجين دون المريء, ويرى الشافعية والحنابلة صحة قطع الحلقوم والمريء

“Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa dicukupkan dengan memotong 3 urat/saluran dari 4 saluran tersebut, dan ulama mazhab Maliki berpendapat sahnya sembelihan dengan memotong tenggorokan (saluran pernafasan) dan 2 urat di sisi leher tanpa harus memotong kerongkongan (Saluran makanan/minuman, dan Ulama mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa sah nya sembelihan dengan memotong Tenggorokan dan Kerongkongan.” (Al-Fiqh Al-Muyassar: 4/18).

Sehingga sebaik-baik sembelihan adalah yang memotong 4 urat/saluran yang terdapat pada leher hewan tersebut seluruhnya, karena terbebas dari perselisihan pendapat para ulama (As-Syarhul Mumti’: 7/457). Dan Hendaklah dilakukan dengan kuat dan cepat, yaitu satu kali proses penyembelihan.

أن يمر السكين أو الآلة بقوة وسرعة ليكون أسرع, ولأن فيه إراحة للذبيح لقوله صلى الله عليه وسلم: (إذا ذبح أحدكم فليجهز)

“Dan Hendaklah ia mengayunkan pisau atau alat sembelih secara kuat dan cepat agar mempercepat proses sembelihan, dan supaya menenangkan hewan sembelihan, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ (Jika seseorang di antara kalian menyembelih hendaklah ia mempercepat proses sembelihan)(HR. Ahmad: 5864) (Al-Fiqh Al Muyassar: 4/21).

Namun, pada sebagian kasus karena kurang hati-hati dalam menyembelih, atau pisau/golok yang digunakan tidak tajam, maka setelah proses penyembelihan ternyata urat-urat leher yang seharusnya putus malah tidak putus, sehingga membutuhkan penyembelihan untuk kedua kalinya, dalam hal ini Imam An-Nawawi berkata:

قال أصحابنا: ولو ترك من الحلقوم والمريء شيئا ومات الحيوان فهو ميتة, وكذا لو انتهى إلى حركة المذبوح فقطع بعد ذلك المتروك فهو ميتة

“Para Ulama dari Mazhab Syafi’I berkata: dan jika tertinggal sesuatu dari tenggorokan dan kerongkongan (tidak terputus sempurna) dan hewan tersebut mati, maka hukum dagingnya adalah bangkai (haram), dan begitu juga apabila proses sembelihan seperti ini (tidak memutus tenggorokan dan kerongkongan secara sempurna) namun hewan tersebut hampir mati kemudian diulangi menggorok tenggorokan dan kerongkongan yang tersisa setelah itu, maka hukum dagingnya adalah bangkai (haram). (Al-Majmu’: 10/123).

Kemudian Para Ulama Mazhab Syafi’I menjelaskan, bahwa hewan sembelihan yang halal dagingnya adalah apabila ketika awal melakukan sembelihan hewan tersebut masih segar-bugar yang mereka istilahkan “hayah mustaqirroh” yaitu dalam keadaan hidup yang tidak terlihat tanda-tanda akan segera mati (lihat: Al-Majmu’: 10/119-126)

Sehingga dengan demikian, Menyembelih hewan sebanyak 2 kali perlu dilihat keadaannya secara rinci:

1. Jika hewan telah disembelih dengan tidak memutus kerongkongan dan tenggorokan secara sempurna, namun hewan tersebut terlihat kesakitan dan mendekati kematiannya, kemudian dilakukan penyembelihan untuk kedua kalinya maka hukum dagingnya haram dimakan

2. Jika hewan telah disembelih dengan tidak memutus kerongkongan dan tenggorokan secara sempurna, namun masih terlihat segar-bugar (tidak ada tanda-tanda akan mati), kemudian dilakukan penyembelihan untuk kedua kalinya, maka hukumnya sah dan dagingnya halal.

Namun jika sembelihan untuk yang kedua kalinya dilakukan segera, tanpa jeda waktu yang cukup lama, maka hal ini diperbolehkan, sebagimana yang dikatakan oleh Syaikh Abu Abdillah al-Malikiy:

فإن عاد عن قرب أكلت سواء رفع اضطرارا أو اختيارا

“JIka melakukan sembelihan untuk kedua kalinya dalam waktu yang dekat (segera), apakah karena terpaksa ataupun sengaja, maka daging hewan tersebut boleh dimakan” (Minahul Jalil: 2/408)

Wallahu A’lam.

Rabu, 23 Juni 2021

BERKAH ILMU

Berkahnya Ilmu dengan Menghormati Sang Guru

Pendidikan merupakan hal sangat penting dalam membangun peradaban yang tinggi di dunia ini.

Dengan adanya pendidikan, ilmu-ilmu yang sudah terdahulu disampaikan bisa disalurkan bahkan dikembangkan. Pendidikan yang berhasil akan melahirkan generasi-generasi yang berpengetahuan luas dan bertaqwa. Nabi Saw. bersabda:

 

إذا أتَى عَلَيَّ يَومٌ لَا أَزدَادُ فِيهِ عِلمًا يُقَرِّبُنِي إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا بُورِكَ لِي فِي طُلُوعِ شَمسِ ذلِكَ اليَومِ

Artinya: “Jika suatu hari mendatangiku sedangkan di hari itu ilmuku tidak membuatku dekat kepada Allah, maka aku tidak diberkahi sepanjang hari itu.”

 

Nabi memberi tahu kepada kita bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah untuk mencapai derajat ketaqwaan.

Salah satu hal yang menjadi faktor keberhasilan pendidikan adalah menghormatinya murid kepada sang Guru. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Az-Zarnuji dalam kitab ta’limal muta’allim

 

اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ العِلْمِ لَا يَنَالُ العِلْمَ وَلَا يَنتَفِعُ بِهِ إِلَّا بِتَعظِيمِ العِلمِ وَأَهلِهِ وَتَعْظِيمِ الأُسْتَاذِ.

“Ketahuilah bahwasannya seorang pencari ilmu tidak akan bisa memperoleh ilmu dan tidak akan mendapatkan manfaatnya kecuali dengan menghormati ilmu, ahli ilmu, maupun guru.”

 

Begitu berjasanya seorang guru, sampai-sampai shohabat ‘Ali kwh. Mengungkapkan:

 

أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِي حَرْفًا وَاحِدًا إِنْ شَاءَ بَاعَ وَإنْ شَاء استَرَقَ.

Artinya: “Aku adalah hamba seseorang yang mengajariku satu huruf. Jika dia mau dia menjualku, dan jika dia mau dia menjadikanku budak.”

 

Dengan kita mempunyai ilmu, maka kehidupan kita menjadi semakin terasa hidup. Karena ada pepatah mengatakan:

“Orang-orang berilmu akan tetap hidup dan abadi setelah wafatnya, meski tubuhnya telah berkalang debu menjadi serpihan tak berarti. Sementara orang yang tak berilmu tak ubahnya bangkai yang berjalan di atas tanah, ia dianggap hidup padahal ia telah mati”.

Oleh karena begitu berharganya ilmu, maka sudah selayaknya kita menghormati guru-guru kita. Semoga dengan begitu kita bisa mendapatkan ilmu yang berkah bagi diri kita dan bermanfaat bagi orang lain.
Aamiin, aamiin, yaa Robbal ‘alamin.

Jumat, 18 Juni 2021

Hukum Perempuan Haid Masuk Masjid

Pada seri sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan orang yang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. Sedangkan pada sesi kali ini, kita mengangkat pandangan mazhab Syafi’i perihal solusi untuk ustadzah TPQ yang harus mengajar di dalam masjid dalam keadaan junub atau haid.

Dalam Kitab Bahrul Mazhab pada bab li'an, Imam Ar-Ruyani (wafat 502 H)–seorang ulama paruh akhir abad ke-5 Hijriyah yang bermazhab Syafi'i–merekam sebuah pendapat tentang kebolehan orang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid dari Imam Al-Muzani (Isma'il bin Yahya Al-Muzani, wafat 264 H), salah seorang murid Imam Syafi'i yang paling masyhur.

Al-Muzani berpendapat bahwa perempuan haid tidak dilarang masuk masjid sebagaimana tidak terlarangnya bagi perempuan musyrik.

قال المزني: رَحِمَهُ اللَّهُ - : " إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى " .هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ الحَائِضَ لَا تُمْنَعُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَالْمُشْرِكَةِ

Artinya, “Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja, dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Begitulah pendapat Imam Al-Muzani bahwa muslimah yang haid tidak terlarang masuk masjid sebagaimana perempuan musyrik.
(Imam Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahrul Mazhab, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2002 M] juz 10, halaman 339).

Di sini, Imam Al-Muzani tidak menganggap masalah terkait muslimah yang haid untuk masuk masjid sebagaimana wanita yang tidak beriman boleh-boleh saja memasukinya yang mungkin saja juga sedang haid.
Wanita tidak beriman saja boleh, apalagi wanita beriman? Demikian kiranya argumentasi Imam Al-Muzani.

Pendapat Imam Al-Muzani yang direkam oleh Imam Ar-Ruyani tersebut juga dapat ditelusuri dalam kutipan ulama periode sebelumnya, yakni Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), seorang pemuka mazhab Syafi'i yang juga hakim agung pada ujung kekuasaan dinasti Abbasiyah–yang mensyarahi Kitab Mukhtasor-nya Imam Al-Muzani.

“Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Imam Al-Mawardi berkata, ‘Statemen Imam Al-Muzani ini menjelaskan pendapatnya tentang kebolehan masuk masjid bagi muslim yang junub dan muslimah yang haid, sebagaimana kebolehan masuk masjid bagi kafir dzimmi meskipun ada orang junub dan haid di antara mereka.’”
(Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtasar Al-Muzani).

Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.

Namun demikian, bila masih ada cara lain semisal dengan pengajar pengganti atau beralih lokasi, alangkah baiknya cara tersebut yang diprioritaskan agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama.
Allahu a'lam.

Kamis, 17 Juni 2021

Hukum Perempuan Haid Masuk Masjid

Pada seri sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan orang yang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. Sedangkan pada sesi kali ini, kita mengangkat pandangan mazhab Syafi’i perihal solusi untuk ustadzah TPQ yang harus mengajar di dalam masjid dalam keadaan junub atau haid.

Dalam Kitab Bahrul Mazhab pada bab li'an, Imam Ar-Ruyani (wafat 502 H)–seorang ulama paruh akhir abad ke-5 Hijriyah yang bermazhab Syafi'i–merekam sebuah pendapat tentang kebolehan orang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid dari Imam Al-Muzani (Isma'il bin Yahya Al-Muzani, wafat 264 H), salah seorang murid Imam Syafi'i yang paling masyhur.

Al-Muzani berpendapat bahwa perempuan haid tidak dilarang masuk masjid sebagaimana tidak terlarangnya bagi perempuan musyrik.

قال المزني: رَحِمَهُ اللَّهُ - : " إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى " .هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ الحَائِضَ لَا تُمْنَعُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَالْمُشْرِكَةِ

Artinya, “Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja, dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Begitulah pendapat Imam Al-Muzani bahwa muslimah yang haid tidak terlarang masuk masjid sebagaimana perempuan musyrik. (Imam Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahrul Mazhab, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2002 M] juz 10, halaman 339).

Di sini, Imam Al-Muzani tidak menganggap masalah terkait muslimah yang haid untuk masuk masjid sebagaimana wanita yang tidak beriman boleh-boleh saja memasukinya yang mungkin saja juga sedang haid. Wanita tidak beriman saja boleh, apalagi wanita beriman? Demikian kiranya argumentasi Imam Al-Muzani.

Pendapat Imam Al-Muzani yang direkam oleh Imam Ar-Ruyani tersebut juga dapat ditelusuri dalam kutipan ulama periode sebelumnya, yakni Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), seorang pemuka mazhab Syafi'i yang juga hakim agung pada ujung kekuasaan dinasti Abbasiyah–yang mensyarahi Kitab Mukhtasor-nya Imam Al-Muzani.

“Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Imam Al-Mawardi berkata, ‘Statemen Imam Al-Muzani ini menjelaskan pendapatnya tentang kebolehan masuk masjid bagi muslim yang junub dan muslimah yang haid, sebagaimana kebolehan masuk masjid bagi kafir dzimmi meskipun ada orang junub dan haid di antara mereka.’” (Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtasar Al-Muzani).

Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.

Namun demikian, bila masih ada cara lain semisal dengan pengajar pengganti atau beralih lokasi, alangkah baiknya cara tersebut yang diprioritaskan agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama.
Allahu a'lam.

Hukum Perempuan Jadi Saksi

Di banyak daerah, pada umumnya yang didaulat untuk menjadi saksi nikah adalah dari kalangan laki-laki. Jarang seorang perempuan didaulat untuk menjadi saksi nikah kecuali hanya sebatas melihat dan menyaksikan saja. Sebenarnya bagaimana hukum perempuan menjadi saksi nikah, apakah boleh?

Menurut ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali, salah satu syarat untuk menjadi saksi nikah adalah harus berjenis kelamin laki-laki. Adapun perempuan tidak boleh dan tidak sah untuk menjadi saksi nikah.

Oleh karena itu, jika hanya perempuan saja yang menjadi saksi nikah, atau satu laki-laki dan dua perempuan, maka nikah tersebut dinilai tidak sah karena belum memenuhi syarat persaksian, yaitu zukurah atau semua saksi harus laki-laki. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Azzuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut;

الذكورة: شرط عند الجمهور غير الحنفية، بأن يكون الشاهدان رجلين، فلا يصح الزواج بشهادة النساء وحدهن ولا بشهادة رجل وامرأتين، لخطورة الزواج وأهميته

“(Syarat saksi nikah) harus laki-laki. Kebanyakan ulama, selain ulama Hanafiyah, mengharuskan dua saksi nikah harus terdiri dua orang laki-laki. Karena itu, akad nikah tidak sah jika hanya perempuan saja yang menjadi saksi, atau satu laki-laki dan dua perempuan. Hal ini karena akad nikah sangat penting untuk diperhatikan.”

Adapun menurut ulama Hanafiyah, dua perempuan boleh menjadi saksi nikah asal masih ada satu saksi laki-laki. Jika yang menjadi saksi nikah adalah satu laki-laki dan dua perempuan, maka nikah tersebut sudah dinilai sah. Adapun jika semuanya perempuan, maka tidak sah. Hal ini karena dua perempuan bisa menggantikan satu laki-laki dalam persaksian, termasuk dalam nikah.

Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah surah al-Baqarah ayat 282 berikut;

فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى

“Jika tak ada dua orang laki-laki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.”

Dalam kitab al-Ghayah Syarh al-Hidayah disebutkan sebagaimana berikut;

وَلَا يَنْعَقِدُ نِكَاحُ الْمُسْلِمِينَ إلَّا بِحُضُورِ شَاهِدَيْنِ حُرَّيْنِ عَاقِلَيْنِ بَالِغَيْنِ مُسْلِمَيْنِ أَوْ رَجُلٌ وَامْرَأَتَيْنِ عُدُولًا كَانُوا أَوْ غَيْرَ عُدُولٍ

“Nikah kaum Muslim tidak sah kecuali dengan hadirnya dua saksi yang merdeka, baligh, Muslam, hadirnya saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, baik mereka adil atau tidak.”

Allahu A'lam

Hukum Catur dan yang lainnya

HARAM KAH PERMAIN GAPLE,REMI CATUR DAN SEJENIS MEREKA''

Alhamdulilahi rabbil ‘alamin,Was sholatu wassalamu ‘ala,
Asyrofil ambiyaa iwal mursalin,Sayyidina wa maulana Muhammadin,
Wa ‘alaa ‘alihi wa shohbihi ajmain.Ama ba’du

''Hukum bermain, permainan yg memakan waktu(menyia2kan waktu,memubzirkan waktu) juga kebanyakan membuat lalai segala pekerjaan apapun,termasuk ibadah kpd allah swt,

'seperti catur,dadu, remi, gaple dll'

siapa catur dan siapa dadu, orang moderen sudah tahu tapi mungkin org tua2 kita masih ada yg belum tahu,
catur adalah sebuah patung-patung plastik atau sejenis simbol-simbol,.
ialah sebuah permainan strategi sejenis perperang atau taktik yg bertujuan mengalahkan satu sama lain,untuk menjatuhkan kekuatan, kekuasan kekuatan lawan,
dan siapa dadu,dadu sejenis permainan yg banyak ragam nya bisa sejenis kodok2 gaple, seperti ular tangga anak dll( gaple dan remi termasuk keluarga dadu, dan alat serta bahan yg digunakan pun bermacan-macam
sebenarnya catur gaple remi,termasuk katagori jenis dadu juga,
dan kapan berasal nya, sya belum tahu yg jelas' tetapi jelas catur dan dadu telah ada ada sejak dari zaman nabi karna telah masuk pembahasan hukum2 islam,,
dan setiap permainan yg melalaikan ibadah atau mencari peruntungan, dipertaruhkan, baik game dan sejenis nya, itu dilarang'  karna telah menjadi bagian dari mereka, tapi yg dibahas disini induk daripada mereka,,
wallahu a'lam

Ada sebagian pendapat ,hukum nya haram, ada sebagian pendapat sampai nya haram apabila dijadikan pertaruhan( dengan uang)
tapi semua ulama tetap tidak menyukai nya apapun hukum nya
namun sebagian tidak menyebutnya haram,dan sebagian menyebutnya makruh' tapi yg paling banyak di bahas catur dan dadu, dan yg saya dapatkan, dengarkan dalam pembahasan' ulama2 sekarang pembahasan haram makruh terjadi pada catur dan dan dadu namun gaple dan remi adalah keluarga mereka juga,
dalam hal ini semua ulama mempunyai khilaf masing-masing dari dahulu sampai sekarang namun kita memilih pendapat yg paling kuat yg paling shahih sebagaina firman allah swt
 
Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa: 59).
 
Dalam banyak ayat, Allah memuji persatuan dan mencela perselisihan,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah (aturan Allah), dan jangan berpecah belah. (QS. Ali Imran: 103)

dari pendapat ustadz2 kita sekarang ada juga yg tidak menyebutnya mutlak pengharamanya dan tetap mengatakan pendapat pandangan-pandangan ulama terdahulu dan ada sebagian yg mengeluarkan dalil-dalil pengharaman nya namun ia pun tidak memutuskan secara detail namun setiap ulama tidak membolehkan kan tetapi tidak memutuskan hukumnya secara mutlak karna ada pendapat2 lain jgn sampai menyalahkan satu sama lain,kemungkinan dan ada yg memutuskan nya secara mutlak pula,,
namun setiap ulama condong kepada pelaranagannya

Dan saya sendiri mengambil pendapat yg mengharamkan...??
namun dari yg saya pelajari' dari guru saya' dan guru yg saya temui, tanyai ,dan datangi, tetap mengatakan''HARAM''

MARI KITA BAHAS..........................................

Hukum permainan catur, menurut jumhur (mayoritas) ulama, adalah haram, tidak dibedakan baik dengan uang atau tanpa uang. Apabila dengan uang, maka menjadi perjudian.
Para salafush shahih telah mengingatkan kita dengan peringatan yang keras terhadap permainan ini karena permainan catur menyerupai atau bahkan lebih buruk dari permainan dadu [1], sedangkan permainan dadu telah dilarang dalam Islam, sebagaimana dalam hadits:

عَنْ أَبِي مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَ رَسُوْلَهُ

Dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata,
 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa bermain dadu, maka dia sungguh telah durhaka kepada Allah dan Rasul-nya.’ ” (HR. Abu Daud: 4938, dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah: 2762, Irwa’ al-Ghalil: 2670, dan Shahih al-Jami’ al-Shaghir: 5629)

Demikian juga, permainan catur kartu domino(dadu) tidak diperbolehkan karena semisal dengan dadu, sama saja baik dengan uang atau tanpa uang.
 
atau sedang kumpul-kumpul, begadang, maka akan terlihat ada yang meneriakkan “skak .. “skak gap double enam…dsb Permainan catur gap,remi ini sangat popular sekali.
Kadang permainan ini menghabiskan waktu berjam-jam, untuk karena memikirkan strategi permainan,untuk menutup daun lawan atau untuk mematikan raja si lawan.
Mengenai permainan-permainan ini jika melalaikan dari kewajiban shalat karena berjam-jam meski nongkrong untuk mematikan lawan, maka jelas terlarang. Namun jika tidak melalaikan, masih diperselisihkan oleh para ulama.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا اشْتَمَلَتْ عَلَى مُحَرَّمٍ : مِنْ كَذِبٍ وَيَمِينٍ فَاجِرَةٍ أَوْ ظُلْمٍ أَوْ جِنَايَةٍ أَوْ حَدِيثٍ غَيْرِ وَاجِبٍ وَنَحْوِهَا

“(Bermain catur) itu diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) jika di dalamnya terdapat keharaman seperti dusta, sumpa palsu, kezholiman, tindak kejahatan, pembicaraan yang bukan wajib” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 245).
 
Jika demikian, jika bermain catur,dadu sampai melalaikan dari shalat lima waktu dan berjama’ah di masjid bagi pria-, dalam kondisi ini permainan catur dihukumi haram. Dan inilah kebanyakan yang terjadi.
Karena sibuk memikirkan strategi, pikirannya dihabiskan berjam-jam sehingga akhirnya meninggalkan shalat
 
atau kalau bermain gap domino,(dadu) catur dia selalu utamakan dan selalu sibuk tetapi dg urusan agama dia tidak sibuk dan hirau,maka ia ia telah melanggar batas yg nyata sedangkan urusan yg tidak bermanfaat dia kerjakan yg bermanfaat dia tinggal bahkan samapai melalaikan semuanya
walaupun dalam hal ini' yg banyak disebutkan cuma catur dan dadu tetapi singgungan ini bukan hanya pada catur dan dadu saja semata' tapi pada kakak adik sepupunya catur juga,,
Dan Dalil ulama lainnya

ملعون من لعب بالشطرنج والناظر إليها كالآكل لحم الخنزير

“Sungguh terlaknat siapa yang bermain catur dan memperhatikannya, ia seperti orang yang memakan daging babi” (Disebutkan dalam Kunuzul ‘Amal 15: 215) Namun hadits ini mengandung cacat dari dua sisi: (1) mursal dan (2) majhulnya satu orang perowi yaitu Habbah bin Muslim. Sehingga hadits ini dho’if. Begitu pula hadits-hadits yang membicarakan haramnya catur tidak keluar dari hadits yang dho’if dan palsu (Demikian disebutkan oleh guru kami Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam kitab beliau Al Musabaqot hal. 227).

namun yg menguatkan dalil adalah

Dalil yang lain adalah perkataan ‘Ali bin Abu Tholib berikut:

عَنْ مَيْسَرَةَ بْنِ حَبِيبٍ قَالَ : مَرَّ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى قَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِالشَّطْرَنْجِ
فَقَالَ (مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِى أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ)

Dari Maysaroh bin Habib, ia berkata, “’Ali bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhu pernah melewati suatu kaum yang sedang bermain catur. Lantas ia berkata, “Apa geragangan dengan patung-patung yang kalian i’tikaf –atau berdiam lama- di depannya?” (HR. Al Baihaqi 10: 212). Imam Ahmad berkata bahwa inilah hadits yang paling shahih dalam bab ini.
 
Meskipun hadits yang melarang adalah dho’if, namun terdapat dalil dari perkataan ‘Ali bin Abi Tholib yang berisi pengingkaran beliau. Inilah pemahaman secara tekstual dari dalil tersebut.

2. Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ

“Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar makhluk yang memiliki ruh)” (HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106). Patung catur termasuk dalam gambar tiga dimensi dan terlarang pula berdasarkan hadits ini. Demikian alasan dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah.
 
dan ulama yg membolehkan catur dan sejenisnya hanya dg beberapa rah yaitu
Ulama yang membolehkan catur memberikan syarat: (1) tidak sampai berisi keharaman seperti judi dengan memasang taruhan, perkataan sia-sia atau celaan, dan dusta, (2) tidak sampai meninggalkan kewajiban seperti meninggalkan shalat. Namun syarat ini jarang dipatuhi oleh pemain catur sebagaimana kata guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah ketika membantah pernyataan Yusuf Qordhowi dalam Al Halal wal Haram yang membolehkan permainan catur. Jika syarat di atas jarang dipatuhi, bagaimana mungkin kita katakan boleh-boleh saja bermain catur ,gaple dan remi,, ini lah rata2 pendpat org yg masih fasih melaksanankan,
Bermain Catur Termasuk Maysir
Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Al Maidah: 90).
Maysir sebenarnya lebih umum dari berjudi.

Kata Imam Malik rahimahullah, “Maysir ada dua macam: (1) bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan, dan (2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Permainan catur termasuk kemungkaran sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan selainnya bersikap keras dalam hal ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “Tidak boleh menyalami para pemain catur karena mereka nyata-nyata menampakkan maksiat.” Sedangkan murid-murid Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak mengapa jika menyalami mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 245).
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).,
jelas catur dan dadu hal yg tidak manfaat tentu banyak mudharatnya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ , إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Ma-idah: 90-91)
Yang termasuk dalam berjudi adalah an nardasyir (permainan dadu) dan semacamnya.
Telah terdapat
dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِير
ِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِى لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ

“Barangsiapa bermain dadu(dan sejenisnya daun domino remi), maka seakan-akan ia telah mencelupkan tangannya ke dalam daging babi dan darahnya.
 
Empat imam madzhab berpendapat bahwa bermain dadu walaupun tanpa taruhan tetap diharamkan.

Ibnu ‘Umar, Imam Malik bin Anas dan selainnya mengatakan, “Permainan catur lebih jelek lagi dari permainan dadu.” Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam Asy Syafi’I mengatakan, “Permainan dadu termasuk dalam permainan catur.”

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Barangsiapa bermain dadu, maka dia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.”

Terdapat pula riwayat dari ‘Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu-. Beliau pernah melewati orang-orang yang bermain catur, lalu beliau mengatakan, “Ada apa dengan berhala-berhala yang kalian beri’tikaf di hadapannya,
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ‘Ali membalik papan catur orang-orang tadi.

Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa catur merupakan bagian dari judi. Telah kita ketahui bahwa Allah mengharamkan perjudian.
Para ulama menyatakan bahwa permainan dadu dan catur itu haram jika dengan menggunakan taruhan. Dadu dan catur temasuk perjudian yang Allah larang.
Permainan dadu dinilai haram oleh empat ulama madzhab baik dengan taruhan ataupun tidak. Akan tetapi, sebagian kecil dari ulama Syafi’iyah membolehkan memainkan dadu jika tanpa taruhan karena mereka menganggap bahwa dadu tidak digunakan untuk perjudian.
Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah, juga Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan ulama lainnya mengharamkan dadu baik dengan taruhan ataupun tidak. Begitu pula dengan permainan catur, para ulama madzhab –Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan selainnya- mengharamkannya dengan tegas.
Para ulama tersebut selanjutnya berselisih pendapat, manakah yang lebih jelek (dadu ataukah catur) Imam Malik dan selainnya mengatakan bahwa catur lebih jelek daripada dadu. Imam Ahmad dan selainnya mengatakan bahwa catur lebih mending dari dadu. Sedang Imam Asy Syafi’i abstain dalam masalah dadu jika dia terbebas dari hal haram (yaitu adanya taruhan). Adanya kesamaran mengenai manakah yang lebih jelek antara keduanya karena kebanyakan orang yang bermain dadu menggunakan taruhan, sedangkan permainan catur umumnya tanpa taruhan. Juga sebagian mereka menyangka bahwa bermain catur dapat melatih berperang karena di dalam permainan itu diajarkan strategi bagaimana mengatur pasukan.

Namun berdasarkan penelitian mendalam –pendapat yang tepat-, apabila dadu dan catur dimainkan dengan taruhan, maka catur dinilai lebih jelek. Alasannya, karena catur pada saat ini diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama kaum muslimin. Begitu pula permainan tersebut diharamkan berdasarkan ijma’ jika ada hal-hal haram di dalamnya seperti dusta, sumpah yang dusta, kezholiman, tindak pidana, atau ada pembicaraan yang bukan wajib dan semacamnya. Dan permainan catur tetap dinilai haram oleh mayoritas ulama meskipun tidak terdapat hal-hal yang terlarang tadi. Dilarang demikian karena catur sering melalaikan dari berdzikir pada Allah, melalaikan dari shalat, menimbulkan permusuhan dan kebencian dan hal ini berbeda dengan permainan dadu apabila dadu tersebut disertai adanya taruhan. Namun jika kedua permainan tadi sama-sama memakai taruhan, catur dinilai lebih jelek.

Adapun jika permainan dadu atau catur memakai taruhan, maka ini berarti memakan harta seseorang yang bukan haknya dengan cara yang batil. Allah telah menggandengkan perjudian dengan khomr, penyembahan pada berhala dan mengundi nasib karena semuanya dapat memalingkan dari berdzikir pada Allah dan dari shalat. Dalam berbagai kegiatan tadi akan timbul permusuhan dan kebencian. Namun, keseringan bermain catur ternyata lebih melalaikan hati dari mengingat Allah dibanding dengan minuman keras.
Oleh karena itu, ‘Ali bin Abi Tholib –selaku Amirul Mukminin- menasehati orang yang gemar bermain catur, beliau menyamakannya dengan para penyembah berhala, sebagaimana beliau katakan, “Ada apa dengan berhala-berhala yang kalian beri’tikaf di hadapannya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyamakan peminum minuman keras dengan para penyembah berhala dalam hadits yang terdapat dalam musnad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَارِبُ الْخَمْرِ كَعَابِدِ الْوَثَنِ
“Peminum khomer layaknya seperti penyembah berhala.”.

Penjelasan ini memberikan pencerahan pada kita bahwa permainan catur termasuk kemungkaran sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan selainnya bersikap keras dalam hal ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “Tidak boleh menyalami para pemain catur karena mereka nyata-nyata menampakkan maksiat.” Sedangkan murid-murid Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak mengapa jika menyalami mereka.
kenapa dalam pembahasan hanya merujuk kepada catur dan dadu,mungkin masa itu belum ada daun gaple atau remi wallahu a'lam,
Namun kenapa nabi saw bersabda; bahwa peminum khomer layak nya penyembah berhala, sedangkan kalau dijeli seperti berbeda, sedang dadu dan catur jelas2 sama, dg remi dan gaple sama2 permainan sejenis cuma berbeda bahannya saja
berati gap remi,catur,dadu adalah permainan serupa,
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa menolak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah berada dalam jurang kebinasaan
Setelah kita mengetahui penjelasan ini, mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah untuk meninggalkannya dan berusaha pula mengajarkan keluarga tentang hal ini serta melarang mereka untuk memainkannya walaupun itu cuma sekedar mainan atau hiburan.
 
Demikian beberapa penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-
Kesimpulan:
Permainan dadu adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Permainan dadu tetap terlarang baik dengan menggunakan taruhan ataupun tidak.
Permainan catur disamakan dengan permainan dadu atau merupakan bagian dari permainan dadu dan perjudian, sehingga dihukumi haram.
Permainan catur dinilai lebih jelek dari dadu jika sama-sama menggunakan taruhan.
Kedua permainan ini terlarang dikarenakan membuat orang lalai dari mengingat Allah dan menunaikan yang wajib.
Terakhir kami katakan, jangan sampai kita menentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan para ulama yang lebih memahami maksud hadits Nabi daripada kita. Kalau memang kita belum mampu meninggalkannya, maka janganlah berkomentar macam-macam sebagai tanda tidak suka,,
 
DAN SELANJUTNYA

لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ

“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan bahwa,

أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ

Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Berdasarkan dua dalil di atas, maka lomba yang dibolehkan dengan taruhan hanyalah empat lomba, yaitu lomba memanah, pacuan unta, pacuan kuda, dan lari. Selain itu, tidak diperbolehkan dengan taruhan. Jika ada permainan kartu yang di dalamnya memasang taruhan, maka tidak dibolehkan, alias haram.DAN walupun tidak dg taruhan uang dan sebagainya,maka didalam permain kartu adalah klah ada menangnya sedang kan dalam perlombaan NABI dan AISYAH, ADALAH dro tidak ada yg dirugikan atau dikalahkan sedngkan dadu catur, gaple remi dan sejenisnya ada yg dirugikan dikalahkan dalam sebuah permainan
Jika lepas dari hal yang terlarang, para ulama berselisih pendapat. Ada yang membolehkan.tapi kebanyakan melarang, Namun kebanyakan ulama belakangan seperti ulama Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah), Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, begitu pula -guru kami- Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri mengharamkan permainan ini meskipun lepas dari penipuan, perjudian maupun melalaikan kewajiban.

Diqiyaskan (dianalogikan) dengan hukum dadu. Kartu yang keluar ketika pertama kali dikocok untung-untungan. Karena ada yang beruntung mendapatkan kartu yang bagus, dan ada yang terus merugi. Demikian pula dengan permainan dadu.

Qiyas dengan Dadu

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِير
ِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِى لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka ia seakan-akan telah mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi” (HR. Muslim no. 2260).
Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan haramnya bermain dadu karena disamakan dengan daging babi dan darahnya, yaitu sama-sama haram (Lihat Syarh Shahih Muslim, 15: 16). Imam Nawawi pun mengatakan, “Hadits ini sebagai hujjah bagi Syafi’i dan mayoritas ulama tentang haramnya bermain dadu” (Syarh Shahih Muslim, 15: 15).

عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Dari Abu Musa Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud no. 4938 dan Ahmad 4: 394. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari Abu ‘Abdirrahman, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الَّذِى يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى مَثَلُ الَّذِى يَتَوَضَّأُ بِالْقَيْحِ وَدَمِ الْخِنْزِيرِ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى

“Permisalan orang yang bermain dadu kemudian ia berdiri lalu shalat adalah seperti seseorang yang berwudhu dengan nanah dan darah babi, kemudian ia berdiri lalu melaksanakan shalat” (HR. Ahmad 5: 370. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini dho’if).

Dikisahkan pula bahwa Sa’id bin Jubair ketika melewati orang yang bermain dadu, beliau enggan memberi salam pada mereka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 8: 554).

Malik berkata, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka aku menganggap persaksiannya batil. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada setelah kebenaran melainkan kebaikan” (QS. Yunus: 32). Jika bukan kebenaran, maka itulah kebatilan” (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, 8: 259).

DAN KITA ULANGI LAGI BERBAGAI DALIL SEPERTI DI ATAS

Mayoritas ulama mengharamkan permainan dadu yaitu ulama Hambali, Hanafi, Maliki dan kebanyakan ulama Syafi’i. Sebagian ulama lain menyatakan makruh, yaitu Abu Ishaq Al Maruzi yang merupakan ulama Syafi’iyah.

Dalil-dalil yang mendukung ulama yang mengharamkan,

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِى لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ ».

Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka ia seakan-akan telah mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi” (HR. Muslim no. 2260).
Dari Abu Musa Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan haramnya bermain dadu karena disamakan dengan daging babi dan darahnya, yaitu sama-sama haram (Lihat Syarh Shahih Muslim, 15: 16). Imam Nawawi pun mengatakan, “Hadits ini sebagai hujjah bagi Syafi’i dan mayoritas ulama tentang haramnya bermain dadu” (Syarh Shahih Muslim, 15: 15).

عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ ».

Dari Abu Musa Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud no. 4938 dan Ahmad 4: 394. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
 
Malik berkata, “Barangsiapa yang bermain dadu, maka aku menganggap persaksiannya batil. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada setelah kebenaran melainkan kebaikan” (QS. Yunus: 32). Jika bukan kebenaran, maka itulah kebatilan” (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, 8: 259).

Sedangkan sebagian ulama menganggap boleh bermain dadu. Di antara hujjahnya adalah dari perbuatan Ibnul Musayyib. Namun kisah ini tidak shahih dan tidak tegas. Itu hanyalah kisah dari ahlu batil. Jika itu pun shahih, maka perbuatan Ibnul Musayyib tidak bisa mengalahkan dalil-dalil larangan yang dikemukakan di atas.

Jika sudah jelas bahwa hukum bermain dadu itu haram, maka memasang taruhan dalam permainan dadu pun haram. Bahkan termasuk dalam maysir. Bahkan para ulama sepakat akan haramnya memasang taruhan dalam permainan dadu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Al Maidah: 90)

Lihatlah permusuhan sesama muslim bisa muncul akibat perbuatan maysir.

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maidah: 91)

Bahkan maysir itu lebih berbahaya dari riba. Sebagaimana Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kerusakan maysir (di antara bentuk maysir adalah judi) lebih berbahaya dari riba. Karena maysir memiliki dua kerusakan: (1) memakan harta haram, (2) terjerumus dalam permainan yang terlarang. Maysir benar-benar telah memalingkan seseorang dari dzikrullah, dari shalat, juga mudah timbul permusuhan dan saling benci. Oleh karena itu, maysir diharamkan sebelum riba.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406)

Maysir yang disebutkan dalam ayat di atas sebenarnya lebih umum dari judi. Kata Imam Malik rahimahullah, “Maysir ada dua macam: (1) bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan, dan (2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406). Dari penjelasan Imam Malik menunjukkan ada permainan yang terlarang yaitu catur dan dadu. Dua permainan ini disebut maysir.

Seorang muslim ketika Allah dan Rasul-Nya melarang sesuatu, sikap mereka adalah mematuhinya. Jika berisi perintah, ia laksanakan. Jika berisi larangan, ia jauhi sejauh-jauhnya. Lihatlah bagaimana contoh teladan dari sahabat yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq dalam menerima ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr berkata,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

”Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya
sedikit saja, aku akan menyimpang” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebaliknya jika itu larangan, maka Abu Bakr akan menjauh sejauh-jauhnya. Itulah teladan yang mesti kita contoh.

Larangan bermain dadu di sini sifatnya umum, bukan hanya untuk judi saja yang dilarang, termasuk pula untuk permainan anak-anak seperti monopoli dan ular tangga meskipun tidak ada taruhan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَاللَّعِبُ بِالنَّرْدِ حَرَامٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِعِوَضِ عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَبِالْعِوَضِ حَرَامٌ بِالْإِجْمَاعِ .

“Permainan dadu itu haram meskipun bukan untuk maksud memasang taruhan (judi). Demikian pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan jika permainan dadu ditambah dengan taruhan, maka jelas haramnya berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’)” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 246).

Mengenai perkara ini Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَاللَّعِبُ بِالنَّرْدِ حَرَامٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِعِوَضِ عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَبِالْعِوَضِ حَرَامٌ بِالْإِجْمَاعِ .

“Permainan dadu itu haram meskipun bukan untuk maksud memasang taruhan (judi). Demikian pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan jika permainan dadu ditambah dengan taruhan, maka jelas haramnya berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’)” (Majmu’ Al Fatawa).

Pernah pula dikisahkan Dari Nafi’, murid dan manantu Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa:

“Bahwa Ibnu Umar jika melihat salah satu diantara anggota keluarganya bermain dadu, beliau langsung memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Bukhari)

Kemudian Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengisahkan bahwa beliau penah menyewakan rumahnya kepada seseorang. Kemudian beliau mendapat laporan bahwa penyewa rumah tersebut menyimpan dadu di rumahnya. Aisyah pun mengirim surat kepada mereka. “Jika kalian tidak membuang dadu itu, aku yang akan keluarkan kalian dari rumahku.” (HR. Malik).

Kemudian dikisahkan Dari Kultsum bin Jabr, bahwa sahabat Abdullah bin Zubair (yang saat itu memimpin Mekah) pernah berkhutbah:

“Telah sampai kepadaku berita bahwa ada beberapa orang Quraisy yang bermain dadu. Saya bersumpah demi Allah, jika ada orang yang ditangkap dan diserahkan kepadaku karena bermain dadu, pasti akan aku hukum dari rambut sampai kulitnya. Dan orang yang melaporkan akan aku beri hadiah berupa harta yang dibawa orang itu.” (HR. al-Baihaqi).
Lebih jelas lagi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa:

“Bermain dadu hukumnya haram menurut imam 4 madzhab, baik dengan taruhan maupun tanpa taruhan.” (Majmu’ Fatawa)

Rasulullah SAW bersabda: 
''Barangsiapa bermain dengan menggunakan dadu, maka ia bagaikan mencelupkan tangannya di dalam daging dan darah babi.”(HR. Muslim)

Umar bin Khattab (ra.) berkata:
”Bermain dengan dadu itu sama saja dengan melumuir tubuh dengan minyak babi”

Ali bin Abu Thalib berkata:
”Catur itu adalah judinya orang-orang a’jam (non Arab)”
Suatu hari Ali bin Abu Thalib berjalan melewati orang-orang yang sedang bermain catur, lalu beliau berkata:

”Patung-patung apa yang sedang kalian hadapi ini? Jika kalian memegang bara api samapai padam dalah lebih baik daripada menyentuh benda ini.” Beliau pun berkata, “Demi Allah, kalian diciptakan bukan untuk memainkan ini.”

wallahu a'lam

Sabtu, 12 Juni 2021

RUHBAH DAN HARIIM


حكم رحبة المسجد

 RUHBAH DAN HARIM

PERTANYAAN :

Yang dimaksud harim masjid lebh jelasnya seperti apa ? Apakah teras dan halaman masjid yang diwqafkan untuk masjid termasuk harim atau gimana ? Beda tidak antra رحبة dan حريم? Atau satu arti

JAWABAN :

Ruhbah/serambi masjid adalah bangunan yang disandarkan kepada masjid, atau yang menempel dengan masjid tapi di luarnya, menurut yang lainnya, ruhbah adalah bangunan yang dibangun di sekitar masjid dan menempel dengan masjid.

Masalah ruhbah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama', apakah masuk harim masjid atau tidaknya.
Menurut imam rofi'i dan kebanyakan ulama bahwa ruhbah termasuk harim masjid walaupun ruhbah tsb di pisah dengan jalan,dan ini adalah pendapat madzhab.
Menurut ibnu kaj , jika terpisah dengan jalan maka tdk termasuk harim. 

- kitab asbah wan nadhoir (125)

وحريم المسجد ، فحكمه حكم المسجد ، ولا يجوز الجلوس فيه للبيع ولا للجنب ، ويجوز الاقتداء فيه بمن في المسجد ، والاعتكاف فيه . 

وضابط حريم المعمور تعرضوا له في باب إحياء الموات . 

وأما رحبة المسجد فقال في شرح المهذب ، قال صاحب الشامل والبيان : هي ما كان مضافا إلى المسجد ، وعبارة المحاملي : هي المتصلة به خارجه . قال النووي : وهو الصحيح خلافا لقول ابن الصلاح إنها صحنه وقال البندنيجي : هي البناء المبني بجواره متصلا به ، وقال القاضي أبو الطيب : هو ما حواليه ، وقال الرافعي الأكثرون على عد الرحبة منه ; ولم يفرقوا بين أن تكون بينها وبين المسجد طريق أم لا ، وهو المذهب وقال ابن كج : إن انفصلت عنه فلا .

- Imam Ibnu Hajar dlm ktb Fathul Bari : 
هي بناء يكون أمام المسجد غير منفصل عنه هذه رحبة المسجد

- kitab Qurratul Aain Fatawa Isma’il Zain :

وإن لم تكن ملحقة به في ذلك بأن كانت للإرتفاق التابع للمسجد فليس لها حينئذ حكم المسجد

هذا ما يتعلق بتعريف الرحبة، وعلى ضوء هذا التعريف اختلفوا في حكمها هل تأخذ حكم المسجد أم لا؟على ثلاثة أقوال:القول الأول: أن الرحبة إن كانت متصلة بالمسجد محوطة به؛ فهي من المسجد، وتأخذ حكمه، وبهذا قال محمد بن عبد الحكم، وابن حجر، والقاضي، وأبو يعلى، وبعض الشافعية.القول الثاني: أن الرحبة ليست من المسجد مطلقاً متصلة أو منفصلة عنه، وهذا مذهب الأحناف، ورواية عن مالك، وبه قال بعض الشافعية، والصحيح من مذهب الحنابلة.القول الثالث: أن رحبة المسجد منه مطلقاً، متصلة كانت أو منفصلة، وهذا مذهب مالك، والشافعي، ورواية عند الحنابلة.

رحبة المسجد في اللغة: هي ساحته ومتسعه، وسميت رحبة: لسعته. 

وأما الرحبة في اصطلاح الفقهاء فقد عرفت بما يلي:عرفها ابن حجر بأنها: "بناء يكون أمام باب المسجد غير منفصل عنه"وقيل:"الرحبة صحن المسجد الجامع".وقيل:"ما بني بجوار المسجد"وقال: محمد بن عبد الحكم, والقاضي أبو يعلى: "إن الرحبة هي ما أضيف إلى المسجد محجراً عليه".

Wallohu a'lam.


الحمد لله الواحد الأحد، الفرد الصمد، الذي لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفواً أحد، والصلاة والسلام على خير البشر، صاحب الوجه الأغر، القائم لربه في السحر؛ عدد ما هطل المطر، وأضاء القمر، وأزهر الشجر، وأينع الثمر، وتناسل البشر، وسلم تسليماً إلى يوم الدين أما بعد:

فإن من أحكام المسجد في الشريعة الإسلامية ما يسمى "رحبة المسجد" أو"صحن المسجد"، وهي البرحة التي تكون تابعة للمسجد، وهي مسألة مهمة بالنسبة لأحكام المسجد؛ من حيث أنها تابعة له، يصلي الناس فيها، ويزاولون فيها كل الأعمال التي يزاولونها في المسجد، وقد تكلم عليها العلماء قديماً وحديثاً، وبينوا أحكامها، وما يتعلق بها، وما يجوز فيها وما لا يجوز،
وهل حكمها حكم المسجد أم لا؟...
ولعلنا أن نستعرض هذه المسألة بشيء من التفصيل حتى تتم الفائدة فنقول:

رحبة المسجد في اللغة: هي ساحته ومتسعه، وسميت رحبة : لسعته1.

وأما الرحبة في اصطلاح الفقهاء فقد عرفت بما يلي:

ا- عرفها ابن حجر بأنها: "بناء يكون أمام باب المسجد غير منفصل عنه"2.

2- وقيل:"الرحبة صحن المسجد الجامع".

3- وقيل:"ما بني بجوار المسجد"3.

4– وقال: محمد بن عبد الحكم4، والقاضي أبو يعلى5: "إن الرحبة هي ما أضيف إلى المسجد محجراً عليه"6.

هذا ما يتعلق بتعريف الرحبة، وعلى ضوء هذا التعريف اختلفوا في حكمها هل تأخذ حكم المسجد أم لا؟

على ثلاثة أقوال:

القول الأول: أن الرحبة إن كانت متصلة بالمسجد محوطة به؛ فهي من المسجد، وتأخذ حكمه، وبهذا قال محمد بن عبد الحكم، وابن حجر، والقاضي، وأبو يعلى، وبعض الشافعية7.

القول الثاني: أن الرحبة ليست من المسجد مطلقاً متصلة أو منفصلة عنه، وهذا مذهب الأحناف8، ورواية عن مالك9، وبه قال بعض الشافعية10، والصحيح من مذهب الحنابلة11.

القول الثالث: أن رحبة المسجد منه مطلقاً، متصلة كانت أو منفصلة، وهذا مذهب مالك12، والشافعي13، ورواية عند الحنابلة14.

الأدلة:

دليل أصحاب القول الأول:

أراد أصحاب القول الأول أن يجمعوا بين القولين؛ لأن البناء المتصل بالمسجد يعتبر منه، ولأنه يجوز للمصلي به أن يقتدي بإمام المسجد15، فهذه حجتهم.

أدلة أصحاب القول الثاني ما يلي:

1- عن سالم بن عبد الله بن عمر – رضي الله عنهما – أن عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – بنى رحبة في ناحية المسجد تسمى "البطيحاء"، فقال: "من كان يريد أن يلغط أو ينشد شعراً، أو يرفع صوته؛ فليخرج إلى هذه الرحبة" رواه مالك في الموط16، والشاهد: "من كان يريد أن يلغط… فليخرج إلى هذه الرحبة" ووجه الدلالة:

أن عمر – رضي الله عنه – بين بمجمع من الصحابة أن الرحبة لا تأخذ حكم المسجد، وهي متصلة به ببناء، وكان ذلك بمحضر من الصحابة، فلم ينكر عليه أحد، فصار كالإجماع السكوتي، وإذا كان هذا في الرحبة المتصلة بالمسجد فالمنفصلة من باب أولى.

2- قال البخاري – رحمه الله تعالى -: "وكان الحسن وزرارة بن أبي أوفى يقضيان في الرحبة خارجاً من المسجد"17، فهذا الأثر يدل على أن الرحبة لا تأخذ حكم المسجد، فلا يكره القضاء بين الناس فيها.

أدلة أصحاب القول الثالث ما يلي:

ا- أن الرحبة زيادة في المسجد، والزيادة تأخذ حكم الأصل، فهي كالمسجد.

2- أن الرحبة باعتبارها منفصلة؛ يصح اقتداء المصلي بها بإمام المسجد، إذا كان المقتدي يرى الإمام أو المأمومين أو يسمع الصوت18.

3- يصح الاعتكاف في الرحبة، ولا يعتبر الخروج إليها بلا عذر مفسداً للاعتكاف، وهذا يدل على أنها من المسجد19.

الترجيح:

إن الذي يتأمل أدلة الفريق الثاني يجد أن الرحبة التي بناها عمر – رضي الله عنه – منفصلة عن المسجد؛ وإلا فكيف يسمح عمر لمن أراد أن يلغط أو يرفع صوته أن يفعل ذلك، ومن في المسجد سيتأذى به، وقد قال النبي – صلى الله عليه وسلم -: ((أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ))20؛ فكيف باللغط وارتفاع الأصوات وإنشاد الشعر، ثم إن أثر عمر – رضي الله عنه – مرسل تابعي، لكنه ثقة21، وأما الحسن وزرارة فقد ورد – أيضاً – أنهما كانا يصليان إذا دخلا رحبة المسجد، وهذا يدل على أنهما كانا يريان جواز القضاء بالمسجد22، والذي يتأمل مساجد المسلمين اليوم يجدها من جهة الرحبة تنقسم إلى ما يلي:

1- أن تكون الرحبة خلف مصابيح المسجد، ليس بينها وبين المسجد جدار فاصل فهذه من المسجد.

2- أن تكون الرحبة في وسط المسجد، وخلفها مصابيح، وأمامها مصابيح، ولا يدخل المسجد إلا منها فهذه من المسجد؛ وسواء فصل بينها وبين المصابيح بجدر أو لم يفصل.

3- أن تكون الرحبة محيطة بالمسجد، ولا يفصلها عن المسجد الجدار الخلفي، ولا يدخل المسجد إلا منها، فهذه من المسجد، لكن لا تصح الصلاة فيها أمام الإمام23.

4- أن تكون محيطة بالمسجد من جميع جوانبه، وعليها بناء، ومفصول بينها وبين المسجد بأبواب، فهذه محل خلاف، والظاهر أنها من المسجد.

5- أن تكون قطعة أرض ملاصقة للمسجد ولا بناء فيها، فهي من حريم المسجد، ولا تأخذ حكمه، حتى وإن كانت محيطة به من جميع الجوانب، فيصح اقتداء المصلي بها خلف إمام المسجد بالإمام إذا أمكنته المتابعة، أو رؤية بعض المأمومين.

6- أن تكون قطعة أرض مبنية بسور بينها وبين المسجد طريق، فليست من المسجد على الراجح عند أهل العلم.

ومما تقدم يعلم أن الراجح هو القول الأول، والله أعلم.

اللهم اغفر لنا وارحمنا وتجاوز عنا يا كريم، والحمد لله رب العالمين.

 
1 – لسان العرب لابن منظور ( 3 / 1606 ).

2 – فتح الباري ( 13 / 155 ).

3 – إعلام الساجد للزركشي ( ص346 ).

4 – هو: محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أبو عبد الله، ولد في منتصف ذي الحجة سنة 182هـ، قال: ابن عبد البر "كان فقيهًا نبيلاً، جميلاً وجيهًا"، وتوفي سنة 268 هـ، انظر: الديباج المذهب لابن فرحون (2/163).

5 – هو: محمد بن الحسين بن محمد بن خلف بن أحمد بن الفراء أبو يعلى، ولد سنة 380 هـ، وتوفي سنة 458 هـ . انظر: طبقات الحنابلة (2/193).

6 – الفروع لابن مفلح (3/153).

7 – فتح الباري (13/155)، (6/437)، وحاشية قليوبي وعميرة (1/2/76)، ومغني المحتاج (1/459).

8 – حاشية ابن عابدين (1/657)، وشرح فتح القدير (2/308) .

9 – حاشية الدسوقي (1/548)، وجواهر الإكليل (1/158).

10 – حاشية قليوبي وعميرة (1/2/83).

11 – الإنصاف للمرداوي (3/365).

12 – المدونة الكبرى لمالك (1/320).

13 – المجموع شرح المهذب (6/437).

14 – الفروع لابن مفلح (3/153).

15 – انظر: كشاف القناع (1/491)، وشرح النووي على مسلم (3/243).

16 – موطأ مالك (1/175).

17 – البخاري ك الأحكام ب 18 من قضى ولاعن في المسجد، وانظر: فتح الباري (13/154).

18 – كشاف القناع للبهتوني (1/491).

19 – المدونة لمالك (1/230) ، والمجموع شرح المهذب (6/437).

20 – سنن أبي داود (ج 4/ رقم 1332).

21 – جامع الأصول لابن الأثير (11/204).

22 – فتح الباري (13/155).

23 – الإفصاح لابن هبيرة (1/153)، وفتح الباري (13/156).