Riba dalam Pegadaian
Gadai adalah suatu hal yang biasa di tengah-tengah kita di saat kita membutuhkan pinjaman. Gadai di sini sebagai jaminan agar si pemberi utang percaya pada kita sebagai peminjam. Namun beberapa transaksi gadai melanggar ketentuan Islam. Terutama dalam hal memanfaatkan barang gadai, semisal sawah yang digadai digunakan untuk bercocok tanam oleh si pemberi utang. Pemanfaatan ini termasuk riba, karena setiap utang piutang yang diambil manfaat (keuntungan) adalah riba.
Lihat bahasan selengkapnya dalam tulisan sederhana berikut ini.
Pengertian Gadai
Gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar rahn, arti secara bahasa adalah ats tsubut wad dawaam, yang bermakna tetap dan langgeng. Rahn juga secara bahasa bisa bermakna al habs (tertahan). Sedangkan menurut istilah syar’i yang akan kita uraikan saat ini, ar rahn bermakna menjadi harta sebagai jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan sebagian atau seharga harta tersebut ketika gagal melunasi utang tadi.
Dalil yang Menunjukkan Bolehnya Gadai
Firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian” (QS. Al Baqarah: 283).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai (utang), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa baju besi” (HR. Bukhari no. 2068 dan Muslim no. 1603).
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan dan hal ini telah dilakukan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, dan tidak ada yang mengingkarinya.
Gadai Tidak Wajib
Penulis Al Mughni berkata, “Tidak diketahui adanya khilaf dalam masalah ini bahwa gadai sebagai jaminan dari utang tidaklah wajib”.
Sedangkan perintah yang disebutkan dalam ayat, bukanlah perintah wajib, namun hanya perintah irsyad (petunjuk). Dan dikuatkan dengan lanjutan ayat,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.
Gadai sendiri adalah perintah ketika ada uzur menulis utang. Penulisan sendiri tidaklah wajib, maka sama halnya dengan gadai sebagai gantinya.
Gadai Dibolehkan dalam Keadaan Tidak Bersafar
Jika kita melihat dalam ayat yang disebutkan di atas, gadai ada ketika safar.
Namun hal itu bukan menunjukkan selain safar tidak boleh.
Dalil yang menyatakan bahwa boleh ketika seseorang itu mukim dan melakukan gadai adalah hadits,
تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِىٍّ بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju besi beliau tergadaikan pada orang Yahudi sebagai jaminan untuk 30 sho’ gandum (yang beliau beli secara tidak tunai)” (HR. Bukhari no. 2916).
Ketentuan Umum dalam Pegadan Syari’ah
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:
1. Barang yang Dapat Digadaikan
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan.
Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain.
Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan” (HR. Bukhari no. 2237 dan Muslim no. 1567).
2. Barang Gadai Adalah Amanah
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).
4. Pemanfaatan Barang Gadai
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian.
Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya.
Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya.
Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba.
Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.
Demikianlah hukum asal pegadaian yang menganut kaedah sama dengan utang piutang.
Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja ia akan rusak atau binasa.
Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan.
Namun, orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no. 2512).
5. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai dengan waktu yang telah disepakati dengan pemberi utang.
Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut.
Apabila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Azhim Badawi, terbitan Dar Ibnu Rajab, cetakan ketiga, 1421 H.
Penjelasan Gadai Yang lainnya,
Hukum gadai itu boleh, asalkan barang gadaian tidak dijadikan objek manfaat bagi pegadaian, karena barang gadaian itu hanya sebagai jaminan hutang. Jadi menggadaikan sawah itu aslinya boleh saja, yang menyebabkan riba adalah semisal Sawahku saya gadaikan 10 juta selama 2 tahun, tapi jangan ditanami ya. Ternyata ditanami oleh pihak penggadai, ini namanya riba.
Tidak sah menggadaikan SK, KK atau Pasport, karena Tidak boleh / Tidak sah menggadaikan barang yang tidak boleh / tidak sah diperjualbelikan, juga tidak boleh barang yang digadaikan berupa manfa'at.
Sewa dan gadai itu dua akad yang berbeda, sewa adalah penyerahan benda dalam sebuah akad, untuk diambil mamfaat benda dengan harga dan dalam masa tertentu. Jadi sewa itu menjual manfaat. Gadai adalah benda untuk jaminan dalam akad Hutang.
Walohu a'lam.
Referensi :
فتح القريب المجيب
وهو لغة الثبوت وشرعاً جعل عين مالية وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذر الوفاء، ولا يصح الرهن إلا بإيجاب وقبول، وشرط كل من الراهن والمرتهن أن يكون مطلق التصرف، وذكر المصنف ضابط المرهون في قوله
(وكل ما جاز بيعه جاز رهنه في الديون إذا استقر ثبوتها في الذمة)
Rahn (gadai) secara bahasa bermakna tetap. Dan secara syara’ adalah menjadikan benda yang berharga sebagai jaminan hutang yang akan digunakan untuk melunasi hutang tersebut ketika sulit untuk melunasi.
Rahn tidak bisa sah kecuali dengan ijab (serah) dan qabul (terima).
Syarat masing-masing dari rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (orang yang menerima gadai), adalah harus mutlakut tasharrauf (sah pentasaruffannya).
Barang Yang Digadaikan
Mushannif menyebutkan batasan marhun (barang yang digadaikan) di dalam perkataan beliau,
Setiap perkara yang boleh untuk dijual, maka boleh digadaikan sebagai jaminan hutang ketika hutang tersebut sudah menetap di dalam tanggungan.
مغني المحتاج
وشرعا جعل عين مال وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذر وفائه .
تحفة المحتاج
وشرعا جعل عين مال وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذر وفائه .
اعانة الطالبين
والرهن لغة: الثبوت، وشرعا: جعل عين مال وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذر وفائه.
كفاية الأخيار
ومقتضاه أنه لا يجوز رهن ما لا يجوز بيعه، وذلك كرهن الموقوف ورهن أم الولد، وما أشبه ذلك، فلا يصح رهنه وهو كذلك لفوات المقصود منه،
الحاوي الكبير
وما جاز بيعه جاز رهنه يعني : أن كل شيء كان بيعه جائزا كان رهنه جائزا وكل شيء لم يجز بيعه لم يجز رهنه من الأجناش أو الأنجاش وأمهات الأولاد .
تفسير القرطبي
الخامسة - معنى الرهن: احتباس العين وثيقة بالحق ليستوفى الحق من ثمنها أو من ثمن منافعها عند تعذر أخذه من الغريم، وهكذا حده العلماء،
نهاية المحتاج
الخامسة - معنى الرهن: احتباس العين وثيقة بالحق ليستوفى الحق من ثمنها أو من ثمن منافعها عند تعذر أخذه من الغريم، وهكذا حده العلماء،
تحفة المحتاج
الخامسة - معنى الرهن: احتباس العين وثيقة بالحق ليستوفى الحق من ثمنها أو من ثمن منافعها عند تعذر أخذه من الغريم، وهكذا حده العلماء،
فتح القريب المجيب
• الإِجارة
{فصل} في أحكام الإِجارة. وهي بكسر الهمزة في المشهور، وحكي ضمها. وهي لغةً اسم للأجرة، وشرعًا عقدٌ على منفعة معلومة مقصودة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم.
IJAROH / SEWA
(Fasol) hukum ijaroh.
Ijaroh yang mashur kasroh pada hamzahnya, namun ada juga mendommahkan.
Yaitu menurut bahasa upah. Menurut syara’ akad pada manfaat yang jelas, yang disengaja, bisa didermakan dan hal yang boleh, dengan pengganti yang jelas/diketahui.
مغني المحتاج
وهي لغة: اسم للأجرة، ثم اشتهرت في العقد. وشرعاً: عقد على منفعة مقصود معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
عون المعبود
كتاب الإجارة بكسر الهمزة على المشهور وهي لغة إسم للأجرة وشرعاً عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
الفقه على المذاهب الأربعة
الشافعية - قالوا : الإجارة عقد منفعة مقصودة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
روضة الطالبين
فان الإجارة تمليك منفعة بعوض.
اعانة الطالبين
باب في الإجارة هي لغة: اسم للاجرة، وشرعا، تمليك منفعة بعوض بشروط آتية
روضة الطالبين
الأول : في أركانه ، وهي أربعة . الأول : المرهون ، وله شروط . والأول : كونه عينا ، فلا يصح رهن المنفعة ، بأن يرهنه سكنى الدار مدة ، سواء كان الدين المرهون به حالا أو مؤجلا . ولا يصح رهن الدين على الأصح
مغني المحتاج
: (وَشَرْطُ الرَّهْنِ) أَيْ الْمَرْهُونِ (كَوْنُهُ عَيْنًا) يَصِحُّ بَيْعُهَا (فِي الْأَصَحِّ) فَلَا يَصِحُّ رَهْنُ دَيْنٍ وَلَوْ مِمَّنْ هُوَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَقْدُورٍ عَلَى تَسْلِيمِهِ. وَالثَّانِي: يَصِحُّ رَهْنُهُ تَنْزِيلًا لَهُ مَنْزِلَةَ الْعَيْنِ، وَلَا يَصِحُّ رَهْنُ مَنْفَعَةٍ جَزْمًا كَأَنْ يَرْهَنَ سُكْنَى دَارِهِ مُدَّةً؛ لِأَنَّ الْمَنْفَعَةَ تَتْلَفُ فَلَا يَحْصُلُ بِهَا اسْتِيثَاقٌ،
حاشية البجيرمي على المنهج
( و ) شرط ( في المرهون كونه عينا ) يصح بيعها ، فلا يصح رهن دين ولو ممن هو عليه ؛ لأنه غير مقدور على تسليمه ولا رهن منفعة كأن يرهن سكنى داره مدة ؛ لأن : المنفعة تتلف فلا يحصل بها استيثاق ولا رهن عين لا يصح بيعها كوقف ومكاتب وأم ولد
تحفة المحتاج
وشرط الرهن ) أي المرهون ( كونه عينا ) يصح بيعها ولو موصوفة بصفة السلم خلافا للإمام ( في الأصح ) فلا يصح رهن المنفعة لأنها تتلف شيئا فشيئا ولا رهن الدين ولو ممن هو عليه لأنه قبل قبضه لا وثوق به وبعده لم يبق دينا .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar