Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Rabu, 28 Desember 2016

Hukum mengambil uang suami pelit tanpa idzin

Mengambil uang suami yg pelit
Tanpa idzin

Dalam Islam, apapun alasannya mengambil harta seseorang tanpa izin adalah tidak diperbolehkan  alias haram. Apapun alasannya walau untuk tujuan baik, semisal Robin Hood mencuri untuk membantu orang miskin. Hal ini karena hukum Islam memang harus memberikan kejelasan, kenyamanan dan ketentraman juga rasa keadilan pada umat manusia.

Apa pun alasan yang digunakan, sekalipun maksud dan tujuannya untuk kebaikan, menolong fakir miskin, misalnya hal tersebut tidak dibenarkan, Harta itu termasuk salah satu hak yang diharamkan untuk diambil dan dipergunakan begitu saja, kecuali atas izin pemiliknya. Jika pun terpaksa harus dilakukan, tentu dalam keadaan daurat dan sangat memaksa, hubungannya dengan hal-hal yang tak bisa ditunda, itu saja harus mengambil seperlunya saja dan dengan catatan setelahnya, lapor pada pemilik harta dan mohon ridho-nya atas apa yang dilakukan bukan unsur kesengajaan.

Jangan salah, meski terkesan sepele karena harta itu masih lingkup suami, namun Islam sangat melarang keras  mengambil sesuatu tanpa hak atau permisi alias mencuri. Hal ini ditegaskan dalam Al Qur’an:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS Al Maidah: 38).

Sahabat Ummi, namun apabila yang dilakukan istri semata-mata karena suami benar-benar pelit untuk memberikan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, sedangkan suami sebenarnya mempunyai uang yang cukup, sedang bila sudah dikomunikasikan sehari-hari mengenai hal ini suami tidak peduli, lalu bolehkah istri mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya?

Apakah hal ini  dikategorikan mencuri  seperti dalam kaidah Islam? Karena seperti diketahui sebenarnya kewajiban menafkahi keluarga, dan mencukupkan kebutuhannya ada dipundak sang suami. Lain halnya jika suami karena suatu dan lain hal tidak bisa menafkahi istrinya, seperti sakit, sangat renta atau sedang dalam masalah hukum (di penjara).

Mazhab Syafi’i mengungkapkan jika hukum mengambil harta suami untuk sekedar menopang kehidupan keluarga inti, bukan berniat untuk boros atau hura-hura maka hal ini diperbolehkan. Ini dengan catatan jika suami bersifat bakhil dan enggan memenuhi kewajibannya untuk keluarga. Kadar yanag diambil disesuaikan porsinya, tidak boleh  berlebihan. Diluar haknya tersebut maka tidak diperbolehkan, kecuali jika hak memperoleh nafkah itu terhalang.

Sedang mazhab Hanafi menuturkan hukum mengambil harta suami tanpa izin tidak diperbolehkan kecuali harta yang diambil memang sudah menjadi hak istrinya. Mazhab Maliki juga memperbolehkan selama istri terhalang dari haknya. Berbeda dari ini semua, mazhab Hambali mempunyai pendapat jika mengambil harta suami tanpa seizinnya dilarang secara mutlak.

Hadis yang berhubungan dengan ini adalah hadis yang riwayat Aisyah RA. Hadis itu mengisahkan pengaduan oleh Hindun bin Atabah di hadapan Rasulullah. Ia mengaku telah mengambil uang suaminya, Abu Sufyan. Konon, sang suami, menurutnya, sangat bakhil. Ia terpaksa memungut harta suami tanpa sepengetahuannya. Lalu, Rasulullah bersabda, “Ambillah sebatas apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan wajar.”

Pendapat lainnya dari Imam Nawawi, mengatakan jika sebaiknya istri tidak mengutak atik harta suami tanpa seizinnya, sekalipun bermaksud untuk bersedekah, atau kebaikan lainnya. Namun ada kecualinya jika suami pelit dan tidak memenuhi kewajaibannya, tentu mengambil harta ini masih dalam porsi wajar dan tidak berlebihan. Hanya sekedar untuk memenuhi keluarganya.

Dari seluruh pendapat diatas tentu dapat disimpulkan jika istri sah-sah saja membelanjakan harta pribadinya, dan ini tak perlu meminta izin khusus pada suami. Namun jika sudah menyangkut harta suami, rata-rata pandangan ulama sama, tetap tidak boleh mengambilnya tanpa  izin suami, meski untuk urusan bersedekah atau urusan kebaikan lainnya. Keizinan adalah mutlak. Namun jika sudah menyangkut suami pelit tidak mau memberikan nafkah pada istri secara pantas padahal diperlukan untuk menutup kebutuhan sehari-hari, maka hal itu diperbolehkan namun dengan catatan. Yakni istri mengambil seperlunya, batas wajar, untuk kebutuhan inti, tidak boleh berfoya-foya dan berlebihan, namun jika melebihi dari itu maka hukumnya tetap haram.

Tetap komunikasi yang baik ya sahabat Ummi. Beri pengertians ebaik-baiknya pada suami jika kebutuhan hidup sehari-hari itu menyentuh angka sekian. Ajak suami turut menghitung dan berbelanja kebutuhan sehari-hari agar tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan dirumah. Mengambil tanpa izin harta suami adalah alternative terakhir jika dalam keadaan darurat dan terpaksa sangat setelah suami benar-benar pelit memenuhi kebutuhan keluarga. Tetap ada cara untuk mengatasi kebuntuan ini ya sahabat Ummi, belajarlaha berkomunikasi cerdas dan santun, insyaAllah kepelitan suami akan segera berakhir.

Di luar itu, seperti belanja urusan sekunder, atau bersedekah, tetap harus seizin suami. Kecuali bila harta yang dibelanjakan itu murni harta pribadi istri, sah-sah saja ia men-tasharruf-kannya walaupun tanpa mengantongi izin suami.

Jawaban :

Jika situasinya adalah seperti yang Anda sebutkan tadi, yaitu Anda mengambil untuk kebutuhan Anda dan anak-anak Anda, maka boleh bagi Anda untuk mengambilnya (tanpa sepengetahuan suami Anda) sebanyak yang Anda butuhkan dan anak-anak Anda butuhkan dengan cara yang baik (yaitu tidak berlebihan, secukupnya saja – pent). Sebagaimana ada riwayat¹  (dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha) bahwa istri Abu Sufyan yakni Hindun binti ‘Utbah mengadu kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberiku (nafkah) yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apa yang kuambil darinya tanpa sepengetahuannya,”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “ambillah dari hartanya dengan cara yang baik sebanyak yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu,”.

Hanya Allah-lah Pemberi petunjuk.²

Jadi dari jawaban di atas, diperbolehkan bagi seorang istri untuk mengambil harta suaminya tanpa ijin bila suaminya pelit dan tidak memberikan nafkah secara cukup, padahal suaminya mampu. Hal ini tidak sama dengan mencuri, dan tidak berdosa karenanya, karena apa yang diambil adalah hak istri dan anak-anaknya. Dengan catatan, mengambilnya pun harus sesuai dengan kadar kebutuhan, tidak berlebih-lebihan, tidak untuk berfoya-foya. Dan alangkah lebih baiknya bila hal semacam ini dikomunikasikan terlebih dahulu dengan baik antara suami-istri. Yaitu, istri sebaiknya mengingatkan suaminya untuk tidak lalai, tidak pelit dalam memberikan hak istri dan anak-anaknya. Dengan demikian ada amar ma’ruf nahi munkar di antara keduanya. Namun bila sudah diingatkan, suami tetap melalaikan hak istri dan anak-anaknya, maka diperbolehkan mengambil hartanya tanpa ijin

Memenuhi kebutuhan istri merupakan kewajiban utama seorang suami. Kebutuhan yang dimaksud tidak hanya kebutuhan materi, tapi juga kebutuhan nonmateri. Selain mencukupi kebutuhan istri, seorang suami juga mesti menafkahi anaknya sampai mereka dewasa dan mandiri. Kedua hal ini sudah menjadi tanggung jawab suami dan konsekuensi berumah tangga.

Perjalanan roda rumah tangga tentu tidak selamanya mulus. Sesekali terdapat rintangan dan halangan yang menyebabkan suami marah, istri merajuk, dan anak yang nakal. Semua tantangan ini perlu dihadapi dengan penuh ketabahan dan keseabaran.

Salah satu problem rumah tangga yang kerap kali dihadapi ialah problem nafkah. Kaum wanita (istri) berada di garda depan untuk membela urusan nafkah tersebut karena terkadang mereka suka ditelantarkan. Nafkahnya kurang, dan tidak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari.

Di saat berada dalam posisi ini, seorang istri terpaksa harus mengambil uang suami tanpa izin darinya. Ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan lahiriahnya. Bagaimana hukumnya?

Kasus ini pernah menimpa pasangan suami-istri, Hindun dan Abu Sufyan. Abu Sufyan diceritakan sebagai suami yang pelit, sehingga pada suatu hari Hindun terpaksa mengambil diam-diam uang suaminya. Karena merasa bersalah dan tidak tahu hukumnya, Hindun bertanya kepada Nabi SAW. Berikut penggalan kisahnya:

عن عائشة قالت: جاءت هند إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقالت: يارسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح، لايعطيني ما يكفيني وولدي، إلا ما أخذت من ماله، وهو لايعلم، فقال: خذي مايكفيك وولدك بالمعروف.

Artinya, “Aisyah RA menceritakan bahwa Hindun pernah bertanya kepada Nabi SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya Abu Sufyan suami yang pelit. Nafkah yang diberikannya kepadaku dan anakku tidak cukup sehingga aku terpaksa mengambil uang tanpa sepengetahuannya,’ kata Hindun. ‘Ambil secukupnya untuk kebutuhanmu dan anakmu,’” jawab Nabi SAW, (HR Al-Bukhari, Ibnu Majah, dan lain-lain).

Seharusnya seorang suami mengerti kondisi dan kebutuhan istri dan anaknya. Apabila ia tidak memberi nafkah yang cukup, sementara uangnya banyak, maka seorang istri diperbolehkan mengambil harta suami meskipun tanpa izin darinya sekedar untuk mencukupi kebutuhan harian.

Para ulama semisal Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menafsirkan kata “bil ma’ruf” dalam hadis ini dengan standar umum yang berlaku di daerah masing-masing. Jadi, kendati diperbolehkan mengambil uang suami tanpa izin, tapi tidak boleh berlebih-lebihan. Sekadarnya saja. Di sini istri juga mesti berhati-hati untuk menggunakan uang, terlebih lagi pengguna kartu kredit yang tagihannya dilimpahkan ke suami. Wallahu a’lam.

Apakah dianjurkan ada bekas sujud didahi

Jawab: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29). Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyukan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546). عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟ Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698) عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ. Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699). عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ. Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700). عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا. Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701). عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ. Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702). Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr). Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth). Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi,

Abdullah bin Umar bin Khattab RA. salah seorang shahabat terkemuka membenci adanya bekas hitam di dahi seorang muslim.

عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟

Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.

Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).

عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.

Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).

عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).

عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.

Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari ATSARIS SUJUUD (bekas sujud)’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapalen’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapalen’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).

Bahkan dalam kitab Hasiyah as-Showi,

وليس المراد به ما بصنعه بعض الجهلة المرائين من العلامة في الجبهة فانه من فعل الخوارج وفي الحديث اني لابغض الرجل واكرهه اذا رايت بين عينيه اثر السجود
“Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan TUKANG RIYA’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” dalam sebuah hadits disebutkan sungguh saya benci seseorang yang saya lihat diantara kedua matanya terdapat bekas sujud (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).
Wallahu a'lam bishowab.

Sunnah adzan & iqomah menjelang pergi haji & umroh

Pertama, penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, Juz 1 halaman 23 berikut ini: قوله خلف المسافر—أي ويسنّ الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر لورود حديث صحيخ فيه قال أبو يعلى في مسنده وابن أبي شيبه: أقول وينبغي أنّ محل ذالك مالم يكن سفر معصية “Kalimat ‘menjelang bepergian bagi musafir’ maksudnya dalah disunnahkan adzan dan iqomah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan maksiat.” Dalil kedua diperoleh dari kitab yang sama: فائدة: لم يؤذن بلال لأحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم غير مرة لعمر حين دخل الشام فبكى الناس بكاء شديدا – قيل إنه أذان لأبي يكر إلي أن مات … الخ “Sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan untuk seseorang setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali sekali. Yaitu ketika Umar bin Khattab berkunjung ke negeri Syam. Saat itu orang-orang menangis terharu sejadi-jadinya. Tapi ada khabar lain: Bilal mengumandangkan adzan pada waktu wafatnya Abu Bakar.” Dalil ketiga, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, halaman 36: من طريق أبي بكر والرذبري عن ابن داسة قال: حدثنا ابن محزوم قال حدثني الإمام على ابن أبي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم—كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا استودع منه حاج أو مسافر أذن وأقام – وقال ابن سني متواترا معنوي ورواه أبو داود والقرافي والبيهقي “Riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati. Hadits ini menurut Ibnu Sunni mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qarafi, dan al-Baihaqi.” Demikian pula kata Imam al-Hafidz yang dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Madang. Menurutnya, hadits ini juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, halaman 36.

Fadhilah shalat arba'in di msj nabawi

Sebagian jama’ah haji ada yang menggunakan kesempatan berziarah ke Madinah untuk melaksanakan shalat empat puluh kali secara berturut-turut di masjid Nabawi. Amaliah ini lebih kita kenal dengan istilah Shalat Arba’in. Bagaimanakah Shalat Arba’in itu? Adakah tuntunan Nabi SAW yang mengajarkannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau melihat hadlts Nabi SAW, yang menjelaskan keutamaan tiga masjid yang mempunyai sejarah besar dalam Islam, yakni masjidil Haram, masjib Nabawi serta masjidil Aqsha. عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَاتَشُدُّ الرِّحَالَ إلاَّ فِيْ ثَلَاثٍ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِيْ هَذَا وَاْلمَسْجِدِ الْأقْصَى –صحيح البخاري “Dari Abli. Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda, ‘Janganlah kamu bersikeras untuk berkunjung kecuali pada tiga tempat, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), serta Masjidil Aqsa.’” (HR Bukhari) Dalam hadits ini, ada anjuran yang sangat kuat dari Nabi SAW untuk berziarah, mendatangi sekaligus beribadah di tiga masjid itu. Karena tempat-tempat tersebut mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki tempat lain di dunia ini. Dalam sebuah hadits disebutkan: عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ صَلاَةٌ فِيْ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفٍ فِيْمَا سِوَاهُ –مسند أحمد بن حنبل “Dari Jabir RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Melakukan shalat satu kali di masjidku ini lebih utama dari shalat seribu kali di tempat lain, kecuali Masjidil Haram. Dan melakukan shalat satu kali di Masjidil Haram lebih utama dari pada melakukan shalat seratus ribu kali di tempat lainnya.” (Musnad Ahmad bin Hanbal) Dari hadits ini terlihatjelas bahwa melakukan ibadah di dua masjid tersebut memiliki keutamaan yang sangat besar. Karena itu, para ulama sangat menganjurkan orang yang sedang melakukan ibadah haji, sebisa mungkin untuk memperbanyak melaksanakan ibadah di masjid tersebut. Al­Imam ar-Rabbani Yahya bin Syarf an-Nawawi dalam Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj menjelaskan: “Orang yang melakukan ibadah haji, selama ia di Madinah, selayaknya untuk selalu melaksanakan shalat di Masjid Rasulullah SAW. Dan sudah seharusnya dia juga berniat ‘i’tikaf, sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang ibadah di Masjidil Haram. (Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal Umrah, hal 456) Dan sangat dianjurkan untuk melaksanakan shalat tersebut secara berturut turut selama empat puluh kali. Sebab ada fadhilah yang sangat besar jika perbuatan ini dilaksanakan di Masjid Nabawi. Rasulullah SAW bersabda: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى فِيْ مَسْجِدِيْ أَرْبَعِيْنَ صَلَاةً لَا تَفُوْتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَ بَرَاءَةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَ بَرِيْءٌ مِنَ النِّفَاقِ –مسند أحمد بن حنبل “Dari Anas bin Miilik, bahwa Rasululliih SAW bersabda, “Barangsiapa shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) selama empat puluh kali berturut-turut, maka dicatat baginya kebebasan dari neraka, selamat dari adzab, serta terbebas dari kemunafikan.” (Musnad Ahmad bin Hanbal). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Shalat Arba’in oleh jama’ah haji atau umat Islam lainnya ketika di Madinah memang dianjurkan di dalam syariat Islam.

Bermadzhab

Di antara ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah mengikuti pola bermadzhab dalam amaliah sehari-hari terhadap salah satu madzhab fiqih yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan menurut al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi (1110-1176 H/1699-1762 M), pola bermadzhab terhadap suatu madzhab tertentu secara penuh telah dilakukan oleh mayoritas kaum Muslimin sejak generasi salaf yang saleh, yaitu sejak abad ketiga Hijriah. Karenanya, sulit kita temukan nama seorang ulama besar yang hidup sejak abad ketiga hingga saat ini yang tidak mengikuti salah satu madzhab fiqih yang ada. Belakangan setelah lahirnya gerakan Wahhabi di Najd Saudi Arabia, lahir pula gerakan anti madzhab yang mengajak kaum Muslimin agar menanggalkan baju bermadzhab dan kembali kepada “ajaran al-Qur’an dan Sunnah”. Karena menurut mereka, para imam madzhab sendiri seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, lebih mendahulukan hadits shahih daripada hasil ijtihad. Bukankah semua imam madzhab pernah menyatakan, “idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku)”. Sudah barang tentu ajakan menanggalkan pola bermadzhab dan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits adalah ajakan beracun, karena secara tidak langsung ajakan tersebut beranggapan bahwa para imam madzhab dan para ulama yang bermadzhab telah keluar dari al-Qur’an dan hadits. Anggapan semacam ini jelas tidak benar, karena semua madzhab fiqih yang ada berangkatnya dari ijtihad para imam mujtahid, sang pendiri madzhab. Sedangkan ijtihad mereka jelas dibangun di atas pondasi al-Qur’an dan Sunnah. Seorang ulama baru dibolehkan berijtihad, apabila telah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, yang antara lain menguasai kandungan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan ijtihadnya. Kita juga sering mendengar pernyataan kalangan anti madzhab yang mengatakan, “mengapa Anda mengikuti Imam al-Syafi’i, kok tidak mengikuti Rasulullah saw saja”, atau “siapa yang lebih alim, Rasulullah saw atau Imam al-Syafi’i”? Tentu saja pertanyaan tersebut sangat tidak ilmiah, dan menjadi bukti bahwa kalangan anti madzhab memang tidak mengetahui al-Qur’an dan ilmu ushul fiqih. Ketika seseorang itu mengikuti Imam al-Syafi’i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah saw. Karena bagaimanapun Imam al-Syafi’i itu bukan saingan Rasulullah saw atau menggantikan posisi beliau. Para ulama yang mengikuti madzhab al-Syafi’i seperti Imam al-Bukhari, al-Hakim, al-Daraquthni, al-Baihaqi, al-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam al-Syafi’i lebih mengerti dari pada mereka terhadap makna-makna al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw secara menyeluruh. Ketika mereka mengikuti al-Syafi’i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang yang lebih memahami, yaitu Imam al-Syafi’i. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan ketika para ulama mengikuti perintah al-Qur’an tentang hukum potong tangan bagi para pencuri. Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, sampai di mana batasan tangan pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai lengan, sikut atau bahu? Ternyata Rasulullah saw menjelaskan sampai pergelangan tangan. Hal ini ketika kita menerapkan hukum potong tangan dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah saw dengan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi kita mengikuti al-Qur’an sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw yang memang diberi tugas oleh Allah SWT sebagai mubayyin, penjelas isi-isi al-Qur’an. (QS. al-Nahl : 44 dan 64). Al-Qur’an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan bermadzhab kepada ulama. “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan orang yang tidak tahu agar bertanya kepada para ulama. Allah SWT tidak memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, sebagianmana yang dilakukan oleh para anti madzhab. (*)

Bentuk macam-macam walimah

Bentuk macam-macam Walimah ada banyak. Sedangkan yang disebutkan oleh para ulama ada 11, terkumpul dalam Nazham: إِنَّ الْوَلَائِمَ عَشْرَةٌ مَعْ وَاحِدٍ * مَنْ عَدَّهَا قَدْ عَزَّ في أَقْرَانِهِ فَالْخُرْسُ إِنْ نُفِسَتْ كَذَاكَ عَقِيْقَةٌ * لِلطِّفْلِ وَاْلأَعْذَارُ عندَ خِتَانِهِ وَلِحِفْظِ قُرْآنٍ وَآدَابٍ لَقْدْ* قَالَ الْحِذَاقُ، لِحَذْقِهِ وَبَيَانِهِ ثُمَّ الْمِلاَكُ لِعَقْدِهِ وَ وَلِيْمَةٌ * فِي عُرْسِهِ، فَاحْرُصْ عَلَى إِعْلاَنِهِ وَ كَذَاكَ مَأْدُبَةٌ بِلاَ سَبَبٍ يُرَى * وَ وَكِيْرَةٌ لِبِنَائِهِ لِمَكَانِهِ وَ نَقِيْعَةٌ لِقُدُوْمِِهِ وَ وَضِيْمَةٌ * مِنْ أَقْرِبَاءِ الْمَيِّتِ أَوْ جِيْرَانِهِ وَ ِلأَوَّّلِ الشَّهْرِ الأَصَمِّ عَتِيْرَةٌ * جاءَتْ هُدِيْتَ كَذَا لِرِفْعَةِ شَأْنِهِ Artinya:”Sesungguhnya macam-macam Walimah itu ada 10 ditambah satu. Siapa saja yang menghinggakannya, maka ia sungguh mulia di kalangan teman-temannya. 1.Walimah al-Khurs ketika wanita nifas, 2.Walimah Aqiqah bagi anak, 3.Walimah I’dzar waktu mengkhitannya, 4.Walimah hafal al-Qur’an, dan adab sungguh dikatakan oleh para ulama cerdik, 5. Walimah Hizaq untuk kecerdikan dan menjelaskan al-Qur’an, 6. Walimah Milak untuk akad nikah, 7. Walimah Ursi pada resepsinya bersemangatlah dirimu untuk mengumumkannya, seperti demikian yang ke-8 Walimah Ma’dubah walimah tanpa sebab yang diketahui, 9. Walimah Wakirah untuk bangunan rumah yang ditempati, 10. Walimah Naqi’ah yaitu untuk kedatangan dari seseorang yang berpergian jauh, 11. Walimah Wadhi’ah yaitu karena mendapatkan mushibah dan jamuannya dari tetangganya.” Imam Abu Manshur Ismail al-Sya’labiy al-Naisaburiy (W. 429 H) mengatakan: طَعَامُ الضَّيْفِ القِرَى, طَعَامُ الدَعْوَةِ المَأْدُبَةُ, طَعَامُ الزَّائِرِ التُّحْفَةُ, طَعَامُ الإِمْلاك الشُّنْدخِيَّةُ عَنِ ابْنِ دُرَيْدٍ, طعامُ العُرْس الوَليمةُ, طعام الوِلادَةِ الخُرْسُ, وعندَ حَلْقِ شَعْرِ المولودِ العقيقةُ ,طَعَامُ الخِتَانِ العَذِيرَةُ عَنِ الفَرَّاءِ, طَعَامُ المَأْتَم الوَضِيمَةُ عَنِ ابْنِ الأعْرَابِيّ , طَعَامُ القَادِم مِنْ سَفَرٍ النَّقِيعَةُ, طَعَامُ البِنَاء الوَكِيرَةُ, طَعَامُ المُتَعَلِّلِ قبلَ الغَذَاءِ السُّلْفَةُ واللُّهْنَةً, طَعَامُ المُسْتَعجِلِ قَبْلَ إدْرَاكِ الغَذَاءِ العُجَالَة, طَعَامُ الْكَرَامَةِ القُفِيُّ وَالزَّلَّةُ . Artinya:”Jamuan buat tamu disebut al-Qira, jamuan undangan disebut al-Ma’dubah, jamuan orang yang berziarah disebut al-Tuhfah, jamuan akad nikah disebut al-Syundakhiyyah dikatakan oleh Ibn Duraid, jamuan Dukhul sisebut al-Walimah, jamuan sebab kelahiran disebut al-Khursu, jamuan ketika menggunting rambut kepala bayi disebut al-Aqiqah, jamuan sebab khitanan disebut al-Adzirah dikatakan oleh Imam al-Farra, jamuan orang meninggal disebut al-Wadhimah dikatakan oleh Imam Ibn al-Arabiy, jamuan sebab musafir yang baru sampai disebut al-Naqiah, jamuan sebab bangun rumah disebut al-Wakirah, jamuan yang orang sibuk sebelum makan disebut al-Sulfah dan al-Luhnah, ,jamuan yang disegerakan sebelum makan makanan pokok disebut al-Ujalah, jamuan buat orang mulia disebut al-Qufiyy dan al-Zallah.”[1] Dari macam-macam Walimah yang disebutkan oleh para ulama di atas, tidak ditemukan adanya Walimah 7 bulanan dan Walimatus Safar (Haji). Untuk Walimah 7 bulanan dapatlah digolongkan kepada Walimah Ma’dubah atau Walimatul Ursiy. Sebab kesunnahan Walimatul Ursiy tidak luput waktunya sebab terlalu lama. Ada yang mengadakan Walimah pada saat usia kehamilan 4 bulan dengan alasan bahwa manusia dalam kandungan ibunya ditiupkan ruhnya saat usia 120 hari. Mengadakan Walimah saat usia kandungan 4 bulan atau 7 bulan keduanya dibolehkan, seandainya tidak diadakanpun tidak masalah. Yang terpenting adalah berdoa dan memberikan doa. Semakin berat kandungan atau semakin lama usia kandungan sang ibu, maka semakin banyak doa yang ia panjatkan, sebagaimana keterangan al-Qur’an: هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّآ أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ ءَاتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ فَلَمَّآ ءَاتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلاَ لَهُ شُرَكَآءَ فِيمَآءَاتَاهُمَا فَتَعَالَى اللهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ . Artinya:“Dialah yang menciptakan kalian dari satu manusia dan menjadikan darinya pasangannya, agar dia merasa tentram dengannya. Maka setelah dia mengumpulinya, istrinya mengandung kandungan ringan, terus merasa ringan beberapa waktu. Tatkala dia merasa berat, maka keduanya berdoa kepada Rabbnya, seraya berkata: ‘Sesungguhnya jika engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang yang bersyukur.’ Tatkala Allah memberi anak yang sempurna kepada keduanya, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan kepada keduanya. Maha suci Allah terhadap apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al A’raaf: 189-190) Sedangkan Walimatus Safar dapat digolongkan kepada Walimah Naqi’ah yakni jamuan yang dibuat lantaran ada orang yang baru datang dari perjalan jauh, apabila orang yang telah datang dari perjalanan disunnahkan mengadakan Walimah, maka bagi orang yang ingin melakukan perjalanan juga dianjurkan mengadakan Walimah. Tujuan Walimah tersebut untuk meminta doa kebaikan, sebagaimana hal itu disebutkan dalam keterangan hadis: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ إلَى سَفَرٍ فَلْيُوَدِّعْ إخْوَانَهُ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِي دُعَائِهِمْ خَيْرًا . Artinya:”Dari Abu Hurairah semoga Allah memberikan keridhaan kepadanya dari Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang kalian ingin melakukan perjalanan, maka hendaknya ia berpamitan kepada saudara-saudaranya karena sesungguhnya Allah menjadikan kebaikan pada doa mereka.”[2] Dalam riwayat lain dikatakan: عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ إلَى سَفَرٍ فَلْيُوَدِّعْ إخْوَانَهُ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِي لَدَى دُعَائِهِمْ الْبَرَكَةَ . Artinya:”Dari Zaid Ibn Arqam berkata: Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang kalian ingin melakukan perjalanan, maka hendaknya ia berpamitan kepada saudara-saudaranya karena sesungguhnya Allah menjadikan keberkahan pada doa mereka [3] alhamdulillah risalah ini telah selesai dicetak penulis: H. Rizki Zulqornain Asmat Cakung al-Batawi [1] Imam Abu Manshur Ismail al-Sya’labiy, Fiqh al-Lughah Wa Sirr al-Arabiyyah (Beirut: Sar al-Kutub 1980) h. 266. [2] Disebutkan oleh Imam al-Nawawiy dalam kitab al-Adzkar hadis no: 610. [3] Disebutkan oleh Imam Muhammad Ibn Ja’far al-Kharaithiy dalam kitab Makarim al-Akhlaq hadis no: 415.

Hukum Haid terputus-putus

– Berapa lamakah darah haid itu keluar dan bagaimana ciri-cirinya? – Bagaimana kalau darah haid itu satu hari keluar satu hari mampet, kadang-kadang sehari keluar sehari berikutnya mampet dan seterusnya apakah harus tetap di cucikan? Sebelumnya kami jelaskan terlebih dahulu mengenai haid secara melebar agar lebih mengenal tentang darah haid. HAID Definisi Haid. Arti lughowi : Mengalir. Arti syar’I : Darah alami yang keluar dari ujung rahim pada saat sehat. Keterangan : Darah yang keluar tidak secara alami bukan darah haid seperti darah yang keluar sebelum dan ketika melahirkan. Usia minimal. Usia wanita haid : Dimulai dari umur 9 tahun qamariyah taqribiyah. Keterangan : Tahun qamariyah adalah tahun Hijriyah, sedangkan taqribiyah artinya untuk dapat mengalami haid tidak harus berumur 9 tahun persis, jadi jika darah keluar pada umur 9 tahun kurang 15 hari misalnya (masa yang tidak cukup untuk haid dan suci), maka darah tersebut sudah dihukumi haid. Masa haid. Minimal : Sehari semalam atau 24 jam. Kebanyakan : 7 – 6 hari. Maksimal : 15 hari. Keterangan :• Darah yang keluar kurang dari 24 jam adalah darah istihadloh. • Darah yang keluar lebih dari 15 hari adalah darah haid yang bercampur dengan darah istihadloh, maka harus diteliti lagi dengan mempelajari tujuh gambaran perempuan mustahadloh yang akan dijelaskan. Masa suci antara dua haid. Minimal : 15 hari. Kebanyakan : Sisa hari-hari haid dalam sebulan. Maksimal : Tidak terbatas. Keterangan : Jika haid kedua datang sebelum masa suci sempurna 15 hari, maka darah itu bukanlah darah haid, wanita tersebut tetap dihukumi suci sampai sempurnanya masa suci 15 hari. Jika setelah masa suci sempurna darah tetap keluar, maka darah yang terakhir ini adalah haid. Tanda berhentinya haid : Suci dapat diketahui dengan memasukkan kapas ke Mrs.V. Jika tidak nampak bercak pada kapas berupa darah maupun warna kuning atau keruh maka haid telah usai. Warna darah haid. Warna haid : Hitam, merah, merah kekuning-kuningan, kuning dan keruh. Keterangan : Ulama’ berbeda pendapat pada warna kuning dan keruh. Pendapat yang mu’tamad menyatakan haid. Imam Al-Juwaini menjelaskan, “Kedua warna itu bukanlah darah melainkan cairan seperti nanah yang diatasnya ada warna kuning atau keruh”. Penting : Penentuan masa haid, masa suci dan semua hukum-hukum yang berhubungan dengan haid adalah hasil penelitian Imam Syafi’i terhadap para wanita di zamannya, kemudian beliau rumuskan riset tersebut dengan dalil-dalil Alqur’an dan hadits sehingga timbullah ide-ide mengenai hukum-hukum haid. Oleh karena itu, jika terjadi kebiasaan darah yang berbeda dengan ketentuan di atas pada seorang wanita atau para wanita di suatu daerah, maka kebiasaan tersebut tidak bisa mempengaruhi hukum haid yang telah ditentukan. Lebih baik menghukumi darah mereka sebagai darah fasad (penyakit), daripada harus merusak kaedah yang telah baku, karena penelitian ulama’ terdahulu tentu lebih sempurna. YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA MELIHAT DARAH Setiap melihat darah seorang wanita harus langsung meninggalkan larangan-larangan haid tanpa menunggu 24 jam. Selanjutnya, jika darah tersebut berhenti sebelum mencapai 24 jam maka dia harus menqodlo’ sholat yang dia tinggalkan karena terbukti ini bukan haid. Kemudian jika darah tersebut keluar lagi sebelum 15 hari maka dia harus meninggalkan lagi larangan-larangan haid. Begitu seterusnya. Adapun jika darah tersebut berhenti setelah mencapai 24 jam maka jelaslah bahwa ini haid. Dan saat ini dia wajib mandi, sholat, puasa (di bulan Ramadhan) dan boleh baginya bersetubuh dengan suaminya karena darah sudah berhenti. Jika kemudian darah tersebut keluar lagi sebelum lewat 15 hari jelaslah sudah bahwa ibadah yang dia lakukan tadi tidak sah karena ternyata dia masih haid. Namun dia tidak berdosa dengan persetubuhan yang telah dia lakukan, karena saat melakukannya secara dhohir dia telah suci Demikianlah yang harus dilakukan wanita haid jika darahnya datang terputus-putus selama tidak melebihi 15 hari. Setelah membaca keterangan di atas, maka dapat disimpulkan waktu haid maksimal adalah 15 hari 15 malam (360 jam). Oleh karena itu, jika darah keluar tidak lebih dari 15 hari maka waktu mulai keluar darah sampai 15 hari dihukumi haid. Namun jika masih keluar setelah 15 hari 15 malam, maka dinyatakan darah istihadhoh. Apabila darah terputus-putus, maka setiap melihat darah berhenti diperinci sebagai berikut : jika darah yang keluar telah mencapai paling sedikitnya haid yaitu sehari semalam (24 jam), maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa (di bulan Ramadhan), baik di bulan sebelumnya sudah pernah terjadi putusnya darah lalu keluar lagi ataukah belum pernah terjadi. Ini menurut pendapat Imam Ibn Hajar. Adapun menurut Imam Rofi’i jika di bulan sebelumnya pernah terjadi, maka tidak wajib mandi, shalat dan puasa. jika darah yang keluar kurang dari 24 jam, maka darah tersebut adalah darah istihadhoh, sehingga tidak wajib mandi. Apabila darah keluar lagi sebelum 15 hari (dari keluar darah pertama), maka menjadi jelas bahwa dia masih dalam keadaan haid, sehingga wajib mengqodho’ puasa yang telah dia kerjakan di waktu putusnya darah dan tidak wajib qodho’ shalat. الإبانة والإفاضة / 20 النقاء المتخلل بين الدماء الحيض اذا رأت الحائض يوما دما ويوما نقاء او ساعة دما وساعة نقاء وهكذا، فلا خلاف على المذهب ان ايام الدم حيض، ولا خلاف انها اذا رأت النقاء يجب عليها ان تغتسل وتصلي وتصوم، ويجوز للزوج وطؤها، لأن الظاهر بقاء الطهر وعدم معاودة الدم، واختلفوا في النقاء الذي يكون بين دمي الحيض، والأظهر انه حيض بالشروط التالية : ان لا يجاوز الخمسة عشر يوما، فلو رأت الدم عشرة ايام ثم نقاء ولم يأتي الدم الا في السادس عشر، فالسادس عشر وما قبله ليس بحيض بل طهر لأن ذلك النقاء لم يعقبه دم في الخمسة عشر. ان لا ينقص مجموع الدماء عن اقل الحيض، فاذا نقص مجموع الدماء عن يوم وليلة فهذا الدم دم استحاضة. الإبانة والإفاضة / 20 ثانيا : متى يحكم لها بالطهر كما ان المرأة تحيض برؤية الدم فانها تطهر بنقطاع الدم بعد بلوغ اقله، بأن خرجت القطنة نقية ليس عليها شيئ من آثار الدم، فتؤمر بالغسل والصلاة والصوم، ويحل وطؤها، فان عاد الدم في زمن الحيض تبين وقوع عبادتها في الحيض، فتؤمر بقضاء الصوم فقط، ولا اثم على الزوج بالوطء لبناء الأمر على الظاهر، ثم ان انقطع بعد ذلك حكم بطهرها، وهكذا ما لم يعبر الخمسة عشر. وان اعتادت المرأة ان ينقطع الدم ثم يعود فانها لا تفعل وقت الإنقطاع شيئا مما مر، لأن الظاهر انها في هذا الشهر كالذي قبله، وهذا هو الذي رجحه الرافعي وقال عنه العلامة ابن حجر : انه وجيه تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 4 / ص 254) وَبِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الدَّمِ لِزَمَنِ إمْكَانِ الْحَيْضِ يَجِبُ الْتِزَامُ أَحْكَامِهِ ، ثُمَّ إنْ انْقَطَعَ قَبْلَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بَانَ أَنْ لَا شَيْءَ فَتَقْضِي صَلَاةَ ذَلِكَ الزَّمَنِ وَإِلَّا بَانَ أَنَّهُ حَيْضٌ ، وَكَذَا فِي الِانْقِطَاعِ بِأَنْ كَانَتْ لَوْ أَدْخَلَتْ الْقُطْنَةَ خَرَجَتْ بَيْضَاءَ نَقِيَّةً فَيَلْزَمُهَا حِينَئِذٍ الْتِزَامُ أَحْكَامِ الطُّهْرِ ، ثُمَّ إنْ عَادَ قَبْلَ خَمْسَةَ عَشَرَ كَفَّتْ وَإِنْ انْقَطَعَ فَعَلَتْ وَهَكَذَا حَتَّى تَمْضِيَ خَمْسَةَ عَشَرَ فَحِينَئِذٍ تُرَدُّ كُلٌّ إلَى مَرَدِّهَا الْآتِي فَإِنْ لَمْ تُجَاوِزْهَا بَانَ أَنَّ كُلًّا مِنْ الدَّمِ وَالنَّقَاءِ الْمُحْتَوَشِ حَيْضٌ وَفِي الشَّهْرِ الثَّانِي وَمَا بَعْدَهُ لَا تَفْعَلُ لِلِانْقِطَاعِ شَيْئًا مِمَّا مَرَّ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهَا فِيهِ كَالْأَوَّلِ هَذَا مَا صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ ، وَهُوَ وَجِيهٌ لَكِنَّ الَّذِي صَحَّحَهُ فِي التَّحْقِيقِ وَالرَّوْضَةِ وَهُوَ الْمَنْقُولُ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ الثَّانِيَ وَمَا بَعْدَهُ كَالْأَوَّلِ . تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 4 / ص 255) ( قَوْلُهُ قَبْلَ خَمْسَةَ عَشَرَ ) أَيْ مُجَاوَزَتُهَا ( قَوْلُهُ فَالثَّلَاثَةُ الْأَخِيرَةُ دَمُ فَسَادٍ ) شَامِلٌ لِلْمُبْتَدَأَةِ أَيْضًا ، وَكَتَبَ شَيْخُنَا الْبُرُلُّسِيُّ بِهَامِشِ شَرْحِ الْمَنْهَجِ مَا نَصُّهُ اُنْظُرْ هَذَا مَعَ قَوْلِهِمْ آخَرَ الْبَابِ فِي مَسْأَلَةِ الدِّمَاءِ الْمُتَخَلِّلَةِ بِالنَّقَاءِ إذَا زَادَتْ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ بِالنَّقَاءِ فَهِيَ اسْتِحَاضَةٌ ا هـ أَقُولُ يَخُصُّ ذَاكَ بِهَذَا وَانْظُرْ لَوْ كَانَ الدَّمُ الْمَرْئِيُّ بَعْدَ النَّقَاءِ سِتَّةً مَثَلًا فَهَلْ يُجْعَلُ الزَّائِدُ عَلَى تَكْمِلَةِ الطُّهْرِ حَيْضًا لَا يَبْعُدُ أَنْ يُجْعَلَ .( قَوْلُهُ مَا لَوْ اسْتَمَرَّ ) لَوْ اسْتَمَرَّ سِتَّةً فَقَطْ مَثَلًا هَلْ يَكْمُلُ الطُّهْرُ بِثَلَاثَةٍ مِنْهَا وَالْبَاقِي حَيْضٌ أَوْ كَيْفَ الْحَالُ وَلَا يَبْعُدُ الْأَوَّلُ ، وَقَوْلُهُ كَمَا قَالُوهُ إلَخْ لَوْ كَانَتْ عَادَتُهَا خَمْسَةً مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ فَرَأَتْ ثَلَاثَةً دَمًا مِنْ أَوَّلِهِ ، ثُمَّ أَرْبَعَةَ عَشَرَ نَقَاءً ، ثُمَّ عَادَ الدَّمُ وَاسْتَمَرَّ فَهَلْ نَقُولُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ مِنْ أَوَّلِ الْعَائِدِ طُهْرٌ ، ثُمَّ تَحِيضُ ثَلَاثَةً وَيَسْتَمِرُّ دَوْرُهَا ثَمَانِيَةَ عَشَرَ ، وَقَدْ تَغَيَّرَتْ عَادَتُهَا كَمَا هِيَ مُتَغَيِّرَةٌ فِي مِثَالِهِمْ الْمَذْكُورِ يَنْبَغِي نَعَمْ ( قَوْلُهُ عَمِلَتْ بِعَادَتِهَا ) اُنْظُرْ لَوْ لَمْ يُمْكِنْ الْعَمَلُ بِعَادَتِهَا كَأَنْ كَانَتْ وَالتَّمْثِيلُ مَا ذَكَرَ خَمْسَةً مِنْ أَوَّلِ الشَّهْرِ وَلَعَلَّهَا تَنْتَقِلُ . ( قَوْلُهُ يَجِبُ الْتِزَامُ أَحْكَامِهِ ) ، وَمِنْهَا وُقُوعُ الطَّلَاقِ الْمُعَلَّقِ بِهِ فَيَحْكُمُ بِوُقُوعِهِ بِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الدَّمِ ، ثُمَّ إنْ اسْتَمَرَّ إلَى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَأَكْثَرَ اسْتَمَرَّ الْحُكْمُ بِالْوُقُوعِ وَإِنْ انْقَطَعَ قَبْلَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بِأَنْ لَا وُقُوعَ فَلَوْ مَاتَتْ قَبْلَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَهَلْ يَسْتَمِرُّ حُكْمُ الطَّلَاقِ ؛ لِأَنَّا حَكَمْنَا بِمُجَرَّدِ الرُّؤْيَةِ بِأَنَّ الْخَارِجَ حَيْضٌ وَلَمْ يَتَحَقَّقْ خِلَافُهُ وَمُجَرَّدُ الْمَوْتِ لَا يَمْنَعُ كَوْنَهُ حَيْضًا بِخِلَافِ الِانْقِطَاعِ فِي الْحَيَاةِ أَوْ لَا يَسْتَمِرُّ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ غَيْرُ حَيْضٍ وَالْأَصْلُ بَقَاءُ النِّكَاحِ فِيهِ نَظَرٌ . ( قَوْلُهُ كَفَتْ ) أَيْ عَنْ أَحْكَامِ الطُّهْرِ وَقَوْلُهُ ، وَإِنْ انْقَطَعَ أَيْ دَامَ الِانْقِطَاعُ . ( قَوْلُهُ تُمْضِي خَمْسَةَ عَشَرَ ) أَيْ تُجَاوِزُهَا ( قَوْلُهُ وَفِي الشَّهْرِ الثَّانِي إلَخْ ) هَذَا مَفْرُوضٌ فِي الرَّوْضِ وَغَيْرِهِ فِيمَا إذَا لَمْ تُجَاوِزْهَا .( قَوْلُهُ لَا تَفْعَلُ لِلِانْقِطَاعِ شَيْئًا ) أَيْ بَلْ يَثْبُتُ لَهُ مَا ثَبَتَ لَهُ فِي الشَّهْرِ الْأَوَّلِ بِدَلِيلِ قَوْلِهِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ إلَخْ بِخِلَافِهِ عَلَى مَا فِي التَّحْقِيقِ وَغَيْرِهِ ( قَوْلُهُ كَالْأَوَّلِ ) أَيْ فَيَلْزَمُهَا فِي الِانْقِطَاعِ أَحْكَامُ الطُّهْرِ وَفِي الدَّمِ أَحْكَامُ الْحَيْضِ

Kisah singkat rosulullah SAW

Satu-satunya rasul Allah yang diutus untuk semua ras dan golongan adalah nabi Muhammad saw. Karena itu ajarannya sangat universal; tidak hanya tentang ibadah dan keakhiratan, namun juga urusan-urusan duniawi yang mencakup semua sisi kehidupan manusia, mulai dari masalah makan hingga urusan kenegaraan. Namun demikian, masih banyak orang yang buta terhadap pribadi dan kehidupan beliau. Akibatnya, mereka terhalang untuk melihat dan merasakan kebenaran yang dibawanya. Kelahiran Muhamad SAW Nabi Muhammad saw lahir di Makkah pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah dalam keadaan yatim. Penamaan tahun Gajah berkaitan dengan peristiwa pasukan Gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman yang ingin menghancurkan Ka’bah. Namun sebelum sampai ke kota Makkah, mereka diserang oleh pasukan burung yang membawa batu-batu kerikil panas (lihat QS Al-Fil: 1-5). Kelahiran Nabi Muhammad Saw bertepatan dengan tanggal 20 April 571 Masehi Sekitar tahun 570 M, Mekah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya ataupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di Selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota, Mekah menjadi pusat keagamaan Arab. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab pada masa itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi. Nabi Muhammad dilahirkan dalam keluarga bani Hasyim di Mekah pada hari senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, pada permulaan tahun dari Peristiwa Gajah. Maka tahun itu dikenal dengan Tahun Gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerang Kota Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M. Ini berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-manshurfury dan peneliti astronomi, Mahmud Pasha. Nabi Muhammad adalah anggota bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari bani Zuhrah. Muhammad SAW. Nabi terakhir ini dilahirkan dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah. Ramalan tentang kedatangan atau kelahiran Nabi Muhammad dapat ditemukan dalam kitab-kitab suci terdahulu. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW telah diramalkan oleh setiap dan semua nabi terdahulu, yang melalui mereka perjanjian telah dibuat dengan umat mereka masing-masing bahwa mereka harus menerima atas kerasulan Muhammad SAW nanti. Seperti dalam Qs. Ali ‘Imran ayat 81 “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu. Masa Menyusui Nabi Muhammad saw pertama kalinya disusui oleh ibunya Aminah dan Tsuwaibatul Aslamiyah. Namun itu hanya beberapa hari. Selanjutnya beliau disusui oleh Halimah As-Sa’diyah di perkampungan bani Sa’ad. Nabi Muhammad saw tinggal bersama keluarga Halimah selama kurang lebih empat tahun. Di akhir masa pengasuhan keluarga Halimah ini terjadi pembedahan nabi Muhammad saw. Masa Kanak-kanak Rosullallah Tidak lama setelah kelahirannya, bayi Muhammad SAW diserahkan kepada Tsuwaibah, budak perempuan pamannya, Abu Lahab, yang pernah menyusui Hamzah. Meskipun diasuh olehnya hanya beberapa hari, nabi tetep menyimpan rasa kekeluargaan yang mendalam dan selalu menghormatinya. Nabi SAW selanjutnya dipercayakan kepada Halimah, seorang wanita badui dari Suku Bani Sa’ad. Bayi tersebut diasuhnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan kekar. Pada usia lima tahun, nabi dikembalikan Halimah kepada tanggungjawab ibunya. Sejumlah hadis menceritakan bahwa kehidupan Halimah dan keluarganya banyak dianugrahi nasib baik terus-menerus ketika Muhammad SAW kecil hidup dibawah asuhannya. Halimah menyayangi baginda rasul seperti menyayangi anak sendiri, penuh kasih saying dan cinta, namun karena banyak kejadian yang luar biasa sehingga takut akan terjadi hal-hal yang tidak baik sehingga dikembalikanlah Rasul SAW Kepada keluarga beliau. Muhammad SAW kira-kira berusia enam tahun, dimana tatkala asik bermain-main dengan teman-teman beliau, teman-teman beliau gembira saat ayah-ayah mereka pulang, namun Rasulullah pulang dengan tangisan menemui ibunda beliau, seraya berkata wahai ibunda mana ayah? ibunda beliau terharu tampa jawaban yang pasti, sehingga dalam ketidakmampuan atas jawaban tersebut, hingga suatu ketika ibunda beliau mengajak baginda Nabi SAW pergi kekota tempat ayah beliau dimakamkan. Sekembalinya dari pencarian Makan suami tercinta ibu Rasul tercinta jatuh sakit dan meninggal dalam perjalanan pulang, dengan duka cita yang mendalam dan pulang bersama seorang pembantu nabi. Sekembalinya pulang sebagai anak yatim piatu maka beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul muthalib. Namun dua tahun kemudian, kakeknyapun yang berumur 82 tahun, juga meninggal dunia. Maka pada usia delapan tahun itu, nabi ada di bawah tanggung jawab pamannya abi thalib. PadaUsia 8 tahun, seperti kebanyakan anak muda seumurannya, nabi memelihara kambing di mekkah dan mengembalakan di bukit dan lembah sekitarnya. Pekerjaan pengembala sekawanan domba ini cocok bagi perangai orang yang bijaksana dan perenung seperti Muhammad SAW muda, ketika beliau memperhatikan segerombolan domba, perhatiannya akan tergerak oleh tanda-tanda kekuatan gaib yang tersebar di sekelilingnya. Masa Remaja Diriwayatkan bahwa ketika berusia dua belas tahun, Muhammad SAW menyertai pamannya, Abu Thalib, dalam berdagang menuju Suriah, tempat kemudian beliau berjumpa dengan seorang pendeta, yang dalam berbagai riwayat disebutkan bernama Bahira. Meskipun beliau merupakan satu-satunya nabi dalam sejarah yang kisah hidupnya dikenal luas, masa-masa awal kehidupan Muhammad SAW tidak banyak diketahui. Muhammad SAW, besar bersama kehidupan suku Quraisy Mekah, dan hari-hari yang dilaluinya penuh dengan pengalaman yang sangat berharga. Dengan kelembutan, kehalusan budi dan kejujuran beliau maka orang Quraisy Mekkah memberi gelar kepada beliau dengan Al-Amin yang artinya orang yang dapat dipercaya. Pada usia 30 tahunan, Muhammad SAW sebagai tanda kecerdasan dan bijaksanya beliau, Nabi SAW mampu mendamaikan perselisihan kecil yang muncul di tengah-tengah suku Quraisy yang sedang melakukan renovasi Ka’bah. Mereka mempersoalkan siapa yang paling berhak menempatkan posisi Hajar Aswad di Ka’bah. Beliau membagi tugas kepada mereka dengan teknik dan strategi yang sangat adil dan melegakan hati mereka Pernikahan Nabi Muhammad Saw Pada masa mudanya, beliau telah menjadi pengusaha sukses dan hidup berkecukupan dari hasil usahanya . Pada usia yang ke-25 tahun, Muhammad saw menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya berusia 40 tahun. Pernikahan ini diawali dengan lamaran Khadijah kepada Muhammad saw setelah melihat dan mendengar kelebihan-kelebihan dan akhlaknya. Isteri-isteri Rasulullah Muhammad Saw Adapun Isteri-isteri Muhammad SAW berjumlah 11 Orang, Yaitu : Khadijah binti Khuwailid Saudah binti Jam’ah Aisyah Binti Abu Bakar ra Hafshah binti Umar ra Hindun Ummu Salamah binti Abu Umayyah Ramlah Ummu Habibah binti Abu Sofyan Zainab binti jahsyin Zainab binti Khuzaimah Maimunah binti Al-Harts Al-Haliyah Juwairiyah binti Al-Haarits Sofiyah binti Huyay Nabi Muhammad menikahi mereka semua setelah Khadijah meninggal dunia. Dan mereka semua beliau nikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah ra. Jika dilihat dari faktor tiap pernikahan beliau, semuanya mempunyai hubungan yang kuat dengan dakwah dan ajaran Islam yang dibawanya. Dari 11 isteri Nabi SAW ini yang wafat saat Nabi SAW masih hidup adalah 2 orang yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah, sedangkan isteri Nabi yang 9 orang masih hidup saat Nabi SAW Wafat. Istri Nabi SAW yang tersebut disebut dengan Ummul Mu’minin artinya ibu orang-orang beriman. Mereka banyak menolong penyebaran agama islam di kalangan kaum ibu. Nabi Muhammad SAW mempunyai 7 orang anak, 3 laki-laki dan 4 perempuan yaitu : Qasim Abdullah Zainab Fatimah Ummu Kalsum Rukayyah Ibrahim Ibu anak-anak Nabi SAW itu semuanya dari isteri nabi Khadijah, kecuali Ibrahim, yang ibu mariyatul qibtiyyah ( seorang hamba perempuan yang dihadiahkan oleh seorang pembesar mesir kepada Nabi SAW, anak-anak Nabi SAW tersebut Wafat pada saat Nabi SAW masih hidup, kecuali Fatimah yang wafat beberapa bulan setelah Nabi SAW wafat. Diriwayatkan tatkala Nabi SAW akan wafat beliau membisikkan kepada Fatimah ra, bahwa beliau akan berpulang ke hadirat Allah, dan mendengar itu Fatimah menangis dengan sedih, dan beberapa saat setelah itu Nabi SAW membisikan lagi sesuatu kepada Fatimah ra, mendengar bisikan yang kedua ini Fatimah ra tersenyum, ternyata bisikan bahwa dikabarkan bahwa setelah Nabi SAW wafat tidak ada orang yang pertama meninggal kecuali Fatimah ra, sungguh mulia Fatimah tersenyum walau mendengar kabar yang tentang wafat nya diri beliau, tapi semua tertutup karena cinta yang mendalam kepada sang ayah tercinta. Kerasulan Muhammad SAW Awal Kerasulan Menjelang usianya yang keempat puluh, Muhammad SAW terbiasa memisahkan diri dari pergaulan masyarakat umum, untuk berkontemplasi di Gua Hira, beberapa kilometer di Utara Mekah.. Di gua tersebut, nabi mula-mula hanya berjam-jam saja, kemudian berhari-hari bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Muhammad SAW mendapatkan wahyu pertama dari Allah melalui Malaikat Jibril. Pada saat beliau tidur dan terbangun dengan tiba-tiba pada malam itu di gua bernama Hira, dalam ketakutan yang luar biasa, seluruh tubuhnya, seluruh diri bathinnya, dicengkeram oleh sebuah kekuatan yang sangat besar, seolah-olah seorang malaikat telah mencengkeram beliau dalam pelukan yang menakutkan yang seakan mencabut kehidupan dan napas darinya. Ketika beliau berbaring di sana, remuk redam, beliau mendengar perintah, “Bacalah!” beliau tidak dapat melakukan ini beliau bukan penyair terdidik, bukan peramal, bukan penyair dengan seribu kalimat yang tersusun dengan baik yang siap dibibir beliau. Ketika itu beliau protes bahwa beliau adalah buta huruf, malaikat itu merangkulnya lagi dengan kekuatan yang begitu rupa, hingga turunlah ayat yang pertama yaitu ayat 1 sampai 5 dalam surat Al-‘Alaq : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dia merasa ketakutan karena belum pernah mendengar dan mengalaminya. Dengan turunnya wahyu yang pertama itu, berarti Muhammad SAW telah dipilih Allah sebagai nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama. Peristiwa turunnya wahyu itu menandakan telah diangkatnya Muhammad SAW sebagai seorang nabi penerima wahyu di tanah Arab. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian dikenal sebagai “Malam Penuh Keagungan” (Laylah al-qadar), dan menurut sebagian riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan. Setelah wahyu pertama turun, yang menandai masa awal kenabian, berlangsung masa kekosongan, atau masa jeda (fatrah). Ketika hati Muhammad SAW diliputi kegelisahan yang sangat dan merasakan beban emosi yang menghimpit, dia pulang ke rumah dengan perasaan waswas, dan meminta istrinya untuk menyelimutinya. Saat itulah turun wahyu yang kedua yang berbunyi : “Wahai kau yang berselimut! Bangkit dan berilah peringatan!! Dan seterusnya, yaitu surat al-Muddatstsir: 1-7. Wahyu yang telah, dan kemudian turun sepanjang hidup Muhammad SAW, muncul dalam bentuk suara-suara yang berbeda-beda. Tapi pada periode akhir kenabiannya, wahyu surah-surah Madaniyah turun dalam satu suara. Pengetahuan Kerasulan Setelah beberapa lama dakwah Nabi Muhammad SAW tersebut dilaksanakan secara individual, turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka. Mula-mula beliau mengundang dan menyeru kerabat karibnya dan Bani Abdul Muthalib. Beliau mengatakan di tengah-tengah mereka, “Saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepada kalian dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”. Mereka semua menolak kecuali Ali bin Abi Thalib. Pada permulaan dakwah ini orang yang pertama-tama merima dakwah nabi yaitu dengan masuk Islam adalah, dari pihak laki-laki dewasa adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dari pihak perempuan adalah isteri nabi SAW yaitu Khadijah, dan dari pihak anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib ra. Dalam memulai dakwah nabi banyak mendapat halangan dari pihak kafir quraisy mekah dan berbagai bujuk rayu yang dilakukan kaum Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi Muhammad SAW untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekah. Pada tahun kelima kerasulannya, nabi menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagi negeri tempat pengungsian. Usaha orang-orang Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habsyah ini, termasuk membujuk Negus (Raja) agar menolak kehadiran umat Islam di sana, gagal. Bahkan, di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang Quraisy masuk Islam, Hamzah dan Umar ibn Khathab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi Islam semakin kuat. Tatkala banyaknya tekanan dari berbagai pihak Nabi SAW mengalami kesedihan yang mendalam yaitu wafat nya seorang paman yaitu Abu Thalib sebagai pelindung dan isteri tercinta yang setia menemani hari-hari beliau yaitu Khadijah binti Khuwailid, sehingga Allah menghibur hati baginda Rasul SAW dengan terjadinya Isra’ dan Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW. diriwayatkan pada suatu malam ketika Nabi SAW ada di Masjidil Haram di Mekkah, datanglah Jibril as. Dan beserta malaikat yang lain, lalu dibawanya dengan mengendarai Buroq ke Masjidil Aqsa di negeri Syam, kemudian Nabi SAW dinaikkan ke langit untuk diperlihatkan kepada Nabi SAW tanda-tanda kebesaran dan kekayaan Allah SWT, pada malam itu juga Nabi SAW kembali kenegeri Mekkah. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqso dinamakan Isra, dan dinaikkannya Nabi SAW dari Masjidil Aqso ke langit disebut Mi’raj. Pada malam inilah mulai di wajibkan Shalat Fardlu 5 kali dalam sehari. Tatkala banyaknya tekanan dari berbagai pihak Nabi SAW mengalami kesedihan yang Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan itu diantaranya datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Mekah. Mereka, yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang. Pertama, pada tahun kesepuluh kenabian, beberapa orang Khazraj menemui Muhammad SAW untuk masuk Islam, dan mengharapkan agar ajaran Islam dapat mendamaikan permusauhan suku ‘Aus dan Khazraj. Kedua, pada tahun keduabelas kenabian, delegasi Yatsrib terdiri dari sepuluh orang Khazraj dan dua orang ‘Aus serta seorang wanita menemui Muhammad SAW di tempat bernama Aqabah Mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Ikrar ini dinamakan dengan perjanjian “Aqabah Pertama”. Ketiga, pada musim haji berikutnya, jama’ah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta Muhammad SAW dan Muslimin Makkah agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membelanya dari segala ancaman. Perjanjian ini dinamakan dengan perjanjian “Aqabah Kedua”. Dalam perjalanan ke Yatsrib nabi ditemani oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yatsrib, nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini nabi membangun sebuah mesjid. Inilah mesjid pertama yang dibangun nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali bin Abi Thalib menyusul nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekah Sementara itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatanganya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba, mereka menyambut nabi dan kedua sahabatnya dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap nabi, nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinatun Nabi (Kota Nabi) atau sering disebut Madinatul Munawwarah (Kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar keseluruh dunia Kejadian itu disebut dengan “hijrah” bukan sepenuhnya sebuah “pelarian”, tetapi merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara seksama selama sekitar dua tahun sebelumnya. Tujuh belas tahun kemudian, Khalifah Umar bin Khattab menetapkan saat terjadinya peristiwa hijrah sebagai awal tahun Islam, atau tahun qamariyah Akhir Masa Kerosulan Pembentukan Negra Madinah Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad SAW resmi sebagai pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaam spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala Negara. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, nabi, sebagi kepala pemerintahan, mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diijinkan berperang dangan dua alasan: (1) untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya, dan (2) menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalang-halanginya. Dalam sejarah Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin mempertahankan diri dari serangan musuh. Nabi sendiri, di awal pemerintahannya, mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan Madinah. Pada tahun 9 dan 10 Hijriyah (630-632 M) banyak suku dari pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad SAW menyatakan ketundukan mereka. Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam rupanya mempunyai pengaruh yang amat besar pada penduduk padang pasir yang liar itu. Tahun itu disebut dengan tahun perutusan. Persatuan bangsa Arab telah terwujud; peperangan antara suku yang berlangsung sebelumnya telah berubah menjadi persaudaraan seagama. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW segera kembali ke Madinah. Beliau mengatur organisasi masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam. Petugas keagamaan dan para dai’ dikirim ke berbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan, dan memungut zakat. Dua bulan setelah itu, Nabi menderita sakit demam. Tenaganya dengan cepat berkurang. Pada hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H/ 8 Juni 632 M., Nabi Muhammad SAW wafat di rumah istrinya Aisyah. Nama dan Gelar Nabi Muhammad Saw Di dalam HR Bukhari dan Muslim disebutkan nama dan gelar Nabi Muhammad SAW, antara lain : – Ahmad – Al-Mahi – Al-Hasyir – Al-‘Aqib – Muqaffi – Nabiyyuttaubah – Nabiyyurrahmah. Pengertian nama-nama nabi Muhammad Saw : Ahmad : yang paling terpuji karena akhlak karimahnya, dan paling banyak memuji Allah. Al-Mahi ( pengikis/penghapus) : karena Allah mengikis kekufuran dengan mengutusnya, Al-Hasyir (penghimpun) : sebab nanti di hari kiamat seluruh manusia berhimpun di hadapan beliau, ada yang mengatakan di bawah perintah beliau. Al-‘Aqib (penutup) : karena beliaulah nabi dan rasul penutup. Muqaffi (yang mengikuti) : maksudnya mengikuti dan melanjutkan jejak risalah para nabi. Nabiyyuttaubah (nabi taubat) : meski beliau sudah ma’shum dalam artian bersih dari dosa, namun beliau banyak bertaubat. Dalam satu riwayat beliau bertaubat hingga 70 kali sehari, dan dalam riwayat lain hingga 100 kali. Nabiyyurrahmah (nabi ramhat) : beliau adalah seorang nabi yang penuh kasih hatta dalam peperangan pun, diutusnya beliau ke bumi ini adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Nama-nama tersebut berdasarkan penuturan beliau sendiri. Dan kita tahu bahwa setiap sabda beliau adalah berdasarkan wahyu. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang memberi nama/gelar tersebut adalah Allah Swt. Nasab Nabi Muhammad Saw Di dalam buku Shahih Bukhari bab Mab’ats an-Nabiyyi saw, Imam Bukhari merincikan silsilah nasab Nabi Muhammad saw sebagai berikut: Muhammad saw bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusyai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin Adnan. Imam Bukhari menambahkan di dalam Kitab Tarikh al-Kabir: Adnan bin Udud bin Al-Maqum bin Nahur bin Tarh bin Ya’rab bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim. Menurut para pakar – sebagaimana yang disebutkan oleh sejarawan Syekh Abdurrahman bin Yahya Al-Yamany –antara Adnan dan Ismail ada sekitar 40 kakek. Muhammad Saw di Mata Penduduk Makkah Sejak kecil Muhammad Saw jauh dari tradisi-tradisi jahiliyah dan tidak pernah melakukan penyembahan terhadap tuhan berhala. Namun demikian beliau tetaplah seorang yang santun dan jujur, karenanya beliau terkenal dengan gelar Al-Amien (orang yang terpercaya). Muhammad Saw Menjadi Rasul Allah Turunnya wahyu pertama QS. Al-A’la: 1-5 di gua Hira pada hari Senin di bulan Ramadan pada usia yang ke 40 menjadi awal kerasulan Muhammad saw. Wahyu pertama tersebut berisi: “1) Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, 2) Yang menciptakan manusia dari segumpal darah, 3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, 4) Yang mengajari (manusia) dengan pena, 5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Setelah menerima wahyu tersebut, Muhammad saw pulang menemui Khadijah dan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dirinya. Khadijah menenangkan: “Bergembiralah! Demi Allah, Dia tidak akan pernah menyia-nyiakanmu. Demi Allah, engkau ini menghubungkan shilaturrahim (hubungan kerabat), berkata jujur, menanggung beban orang lemah, membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, menolong orang-orang yang ditimpa bencana.” Khadijah lalu mempertemukannya dengan anak pamannya Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani. Setelah menjelaskan peristiwa yang baru dialaminya di gua Hira, Waraqah menjelaskan bahwa yang datang kepada Muhammad saw itu adalah malaikat yang pernah datang kepada nabi Musa As. “Andai kata aku masih hidup dan kuat di saat engkau diusir oleh kaummu” kata Waraqah. “Apakah mereka akan mengusirku?” Tanya Muhammad Saw. “Ya…,” jawabnya. (lihat HR Bukhari dan Muslim). Nabi Muhammad Saw Hijrah ke Madinah Nabi Saw hijrah ke Madinah pada tahun ke 13 kenabian yang bertepatan dengan tahun 622 M. Di dalam riwayat Ibnu Ishak dijelaskan bahwa beliau keluar dari rumahnya yang saat itu sedang dikepung oleh pasukan bersenjata kaum musyrik Makkah yang ingin membunuhnya. Lalu Allah Swt menidurkan mereka. Sambil membaca QS. Yasin: 1-9 beliau manaruh pasir di kepala mereka semua, kemudian pergi ke rumah Abu Bakar untuk hijrah bersama ke kota Madinah. Nabi Muhammad saw tiba di Madinah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 1 Hijriyah. Peperangan Nabi Muhammad Saw Yang mendasari peperangan nabi Muhammad Saw adalah ayat-ayat berikut : – “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizhalimi.” (Al-Hajj: 39). – “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 190). Dalam hal ini ada aturan-aturan perang, antara lain: Jangan membunuh anak-anak, orang tua, orang yang menyerah, pendeta dan petugas rumah ibadah yang tidak menyerang, hewan tanpa tujuan maslahat, jangan membunuh dengan cara yang sadis dan berlebihan (Tafsir Ibnu Katsir). Dari sini jelas bahwa peperangan nabi Muhammad saw adalah sebagai upaya pembelaan terhadap hak, bukan wasilah untuk islamisasi apalagi balas dendam. Adapun jumlah peperangan yang diikutinya ada sebanyak 27 kali. Akhlak Nabi Muhammad Saw Allah SWT menggambarkan akhlak nabi Muhammad secara umum di dalam QS. Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” a. Kesabaran Nabi Muhammad Saw Tidak sedikit beban yang ditanggung oleh nabi Muhammad saw dalam menyebarkan dakwah ajaran yang dibawanya. Ejekan, makian, perlakuan kasar dan ancaman pembunuhan diterimanya dari orang-orang musyrik Makkah. Namun itu semuanya tak membuat kesabarannya luntur. Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Uqbah bin Abu Mu’ith pernah mencampakkan kotoran onta kepada Rasulullah Muhammad saw sementara beliau dalam keadaan sujud. Beliau terus sujud hingga putrinya Fathimah datang membuangnya. Perlakuan kasar kaum Quraisy semakin bertambah setelah pamannya Abu Thalib dan isterinya Khadijah meninggal dunia pada tahun 10 kerasulan. Karenanya beliau hijrah ke wilayah Thaif. Namun ternyata disini juga beliau tidak diterima, malah penduduk setempat menyuruh anak-anaknya untuk melemparinya dengan batu. Kasih Sayang Nabi Muhammad Saw Kasarnya tindakan pengusiran penduduk Thaif terhadap nabi Muhammad saw tidak membuat beliau serta merta mendoakan mereka dengan azab. Tapi justru sebaliknya: “Bahkan saya berharap agar Allah menjadikan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah dan tidak berbuat syirik kepada-Nya sedikit pun,” kata beliau saat malaikat penjaga gunung menawarkan kepadanya untuk menimpakan gunung Abu Qubaisy dan gunung yang di sebelahnya kepada penduduk Thaif. (Shahih Bukhari). Dan bagaimana pun juga kasarnya perlakuan dan azab dari kaum musyrik penduduk Makkah kepadanya dan ummat pengikutnya, tapi itu tak membuatnya dendam kepada mereka di saat pembebasan Makkah pada tahun 8 H. Malah beliau saw memberikan amnesti besar-besaran kepada penduduk Makkah. Keistimewaan yang Allah Berikan Kepadanya a. Lima kelebihan yang tidak diberikan kepada orang sebelumnya Dari Jabir bin Abdullah ra, nabi Muhammad saw bersabda: “Saya diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelum saya; diberi kemenangan dengan rasa takut (yang ditimpakan kepada musuh-musuhku) dalam jarak satu bulan perjalanan, bumi dijadikan tempat shalat dan suci untukku, maka siapa pun di antara ummatku yang mendapatkan waktu shalat hendaklah dia melakukannya, dihalalkan untukku harta ghanimah dan itu tidak dihalalkan kepada orang sebelum saya diberi syafa’at dahulu nabi diutus hanya kepada kaumnya, tetapi saya diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keistimewaannya di hari kiamat Dari Anas ra., nabi Muhammad saw bersabda: “Saya adalah orang pertama yang diberikan syafaat pada hari kiamat nanti, nabi yang paling banyak pengikutnya di hari kiamat, dan orang pertama yang mengetuk pintu surga” (HR. Muslim). Keistimewaan lainnya disebutkan di dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Saya adalah pemimpin anak-anak Adam pada hari kiamat nanti, saya orang pertama yang dibangkitkan dari kubur, dan saya orang pertama yang diberi syafaat (oleh Allah) dan orang pertama yang memberi syafaat (kepada ummat manusia).” (HR. Muslim). Ibadah Beliau Aisyah ra. Berkata: Rasulullah saw pernah shalat hingga dua kakinya membengkak. Lalu beliau ditegur, beliau menjawab: “Apakah aku tidak pantas menjadi hamba yang bersyukur?” Nabi Muhammad Saw Wafat Beliau saw wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah di waktu Dhuha dengan usia 63 tahun.
Wallahu a'lam

Istri-istri rosulullah saw

Isteri-isteri Rasulullah Muhammad Saw Adapun Isteri-isteri Muhammad SAW berjumlah 11 Orang, Yaitu : Khadijah binti Khuwailid Saudah binti Jam’ah Aisyah Binti Abu Bakar ra Hafshah binti Umar ra Hindun Ummu Salamah binti Abu Umayyah Ramlah Ummu Habibah binti Abu Sofyan Zainab binti jahsyin Zainab binti Khuzaimah Maimunah binti Al-Harts Al-Haliyah Juwairiyah binti Al-Haarits Sofiyah binti Huyay Nabi Muhammad menikahi mereka semua setelah Khadijah meninggal dunia. Dan mereka semua beliau nikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah ra. Jika dilihat dari faktor tiap pernikahan beliau, semuanya mempunyai hubungan yang kuat dengan dakwah dan ajaran Islam yang dibawanya. Dari 11 isteri Nabi SAW ini yang wafat saat Nabi SAW masih hidup adalah 2 orang yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah, sedangkan isteri Nabi yang 9 orang masih hidup saat Nabi SAW Wafat. Istri Nabi SAW yang tersebut disebut dengan Ummul Mu’minin artinya ibu orang-orang beriman. Mereka banyak menolong penyebaran agama islam di kalangan kaum ibu. Nabi Muhammad SAW mempunyai 7 orang anak, 3 laki-laki dan 4 perempuan yaitu : Qasim Abdullah Zainab Fatimah Ummu Kalsum Rukayyah Ibrahim Ibu anak-anak Nabi SAW itu semuanya dari isteri nabi Khadijah, kecuali Ibrahim, yang ibu mariyatul qibtiyyah ( seorang hamba perempuan yang dihadiahkan oleh seorang pembesar mesir kepada Nabi SAW, anak-anak Nabi SAW tersebut Wafat pada saat Nabi SAW masih hidup, kecuali Fatimah yang wafat beberapa bulan setelah Nabi SAW wafat.