Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi
Rabu, 18 Januari 2017
Tarawih
Bermadzhab
Rumus lailatul qodar
Kamis, 12 Januari 2017
Rebo wekasan
Rebo Wekasan: Tradisi dan Hukumnya dalam Islam
Rebo artinya nama hari dalam bahasa Jawa, yaitu Rabu dalam bahasa Indonesia, Wednesday (Inggris), أربعاء (Arab), Çarşamba(Turki),چھار شنبہ(Persia). Sedangkan Wekasan adalah bahasa Jawa yang artinya pungkasan atau akhir (the end/النهاية). Jadi Rebo Wekasan secara bahasa adalah hari Rabu Terakhir. Tapi sebagai istilah tradisi yang dikenal maksudnya adalah hari Rabu Terakhir dari bulan Safar, yaitu bulan ke-2 dari 12 bulan penanggalan Hijriyah. Karena itu tradisi ini sangat kental dengan Islam.
Tradisi Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi memperingati hari Rabu terakhir di bulan Safar. Tujuan peringatan itu adalah menolak bencana, talak balak. Kegiatan yang dilakukan berkisar pada berdoa, Shalat Sunnah, bersedekah. Kegiatan-kegiatan itu bisa bermacam-macam dalam praktiknya.
As Living Tradition
Penelitian dengan wawancara beberapa orang yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia memberi kesimpulan bahwa tradisi Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang masih berjalan sampai hari ini. Dan daerah-daerah yang mengenal dan melakukan tradisi itu mayoritas adalah daerah Pesisiran. Daerah yang dikenal relatif lebih dulu, kuat, dan kosmopolit keislamannya dibanding daerah Pedalaman Jawa.
Daerah-daerah yang memperingati adalah Gresik, Probolinggo, Situbondo, Pasuruan (Jatim), Tasikmalaya, Cirebon (Jabar), Pandeglang, Serang (Banten). Meskipun tidak semua daerah di kabupaten-kabupaten itu memperingatinya, tapi paling tidak mereka mengenal nama Rebo Wekasan.
Hal itu berbeda dengan daerah-daerah Pedalaman Jawa yang bahkan tidak mengenal istilah Rebo Wekasan. Apalagi memperingatinya. Seperti Nganjuk, Kediri, Solo, Majalengka, Tangsel. Orang-orang daerah ini mengenal istilah Rebu Wekasan melalui penduduk daerah Pesisir yang berpindah, melalui perkawinan misalnya.
Cara memperingatinya pun berbeda-beda. Di Tasikmalaya dengan Shalat berjamaah di akhir hari Rabu di Musalla atau Masjid dan berdoa bersama. Di Daerah Gresik ada yang memperingatinya dengan saling bersedekah bubur Harisa, bubur daging kambing, dengan orang sekampung. Di Probolinggo dengan mendatangi tokoh agama Islam berkelompok-kelompok dengan membawa air untuk didoakan keselamatan dari balak.
Di luar pulau Jawa tradisi ini pada umumnya tidak dikenal. Di Kutowinangun Lampung, memperingatinya karena orangnya dari Jawa semua. Penduduk asli Bengkulu Muslim tidak mengenal istilah Rebo Wekasan. Begitu juga anak Bali yang Islamnnya dibawa dari Bugis, Sulawesi dan Kalimantan.
Beberapa pesantren di Jawa, santrinya melakukan Shalat dan doa bersama. Misalnya pesantren Ummul Quro Al-Islami di Bogor, pesantren Paiton Probolinggo, dan pesantren Internasional Jagat Arsy, TQN pimpinan Mursyid Syaikh Muhammad Abdul Ghouts Saifullah Maslul di Serpong.
Hukum dalam Islam
Karena pelaku tradisi Rebo Wekasan ini adalah pemeluk agama Islam, maka banyak ulamanya memperbincangkan tentang hukumnya dalam Islam. Ada beberapa pendapat tentang hukum tradisi ini: Mubah, Sunnah, dan Bid’ah atau dilarang, Haram.
Pendapat Haram mendasarkan pada beberapa argumen baik secara umum maupun atas beberapa hal yang dikerjakan didalam Rebo Wekasan. Pertama mendasarkan bahwa Shalat Talak Balak pada hari itu adalah Bid’ah, hal baru, dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ini adalah fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ di Saudi dan diikuti oleh Markaz Al-Fatwa di Qatar dan menambah bahwa bacaan-bacaan doa yang khusus di hari itu juga Bid’ah,tidak ada dalam Hadits. Ke-2 berdasarkan bahwa merasa naas dengan hari Rabu dan bulan Shafar itu itu sudah ada sejak zaman Jahiliyah dan telah dihapus oleh Islam. Nabi bersabda, "لا طيرة "، tidak ada pertanda buruk/kesialan/pesimisme. Sahih, HR. Muslim. Dan Hadits, "لا صفر"، tidak ada naas di bulan Safar. Terjemah ini adalah yang kuat dari beberapa pendapat terjemahan yang ada. Ke-3, Hadits bahwa hari Rabu adalah hari naas (berbunyi, يوم الأربعاء يوم نحس مستمر) sangat lemah atau bahkan Maudlu’, palsu, menurut Ibn al-Jauzi dan diikuti oleh Syaikh Al-Albani.
Pendapat yang mengatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan adalah Mubah, yaitu boleh dilakukan boleh tidak, mengatakan bahwa memang kabar adanya balak (bencana/naas) di Rebo Wekasan itu tidak ada di Hadits. Tapi dari ulama-ulama ‘Arifin, dekat dengan Allah. Diantara yang dikutip adalah ucapan Baba Farid (w. 1266 M, di Punjab India) Mursyid tarekat Chisti. Dan menurut pendapat ini percaya pada ilham orang sholeh itu boleh asal tidak disandaran pada Nabi dan tidak bertentangan dengan Syariat. Seperti masalah balak di Rebo ini. Bagi yang tidak percaya juga boleh asal tidak menghina orang sholeh tadi. Buya Yahya dai dari Cirebon diantara yang berpendapat ini.
Pendapat bahwa Rebo Wekasan adalah Sunah berdasarkan kumpulan beberapa Hadits.
Pertama Hadits Shahih riwayat Muslim فإن في السنة ليلة (في رواية "يوما) ينزل فيه وباء, Sesungguhnya dalam setahun ada malam (riwayat lain, hari) yang didalamnya turun wabah.
Ke-2 Hadits Shahih menurut Syaikh Al-Albani
فإنه لا يبدو جذام ولا برص إلا يوم الأربعاء أو ليلة الأربعاء,
Sesungguhnya Kusta tidak muncul kecuali malam Rabu atau hari Rabu.
Ke-3 perkataan Ibn Rajab Al-Hambali bahwa Rasulallah SAW memerintahkan saat terjadi sebab-sebab siksa langit yang menakutkan seperti gerhana, untuk berbuat baik seperti Shalat, berdoa, bersedekah. Pentahkik buku Ibn Rajab mengatakan bahwa perkataan Rasulullah SAW yang dituturkan Ibn Rajab itu ada di Hadits-hadits tentang gerhana di buku Shahih Bukhari dan Muslim. Begitu juga mengikuti pendapat Mazhab Hanafi dalam Fikih bahwa disunnahkan Shalat saat panik dan menakutkan seperti angin kencang, gelap gulita.
Penutup
Sangat menarik apabila ada kajian filologi, arkeologi, dan sejarah dalam menelaah tradisi Rebo Wekasan ini. Seperti juga hubungan antara India dan Indonesia (Cirebon khususnya) yang tampak dalam rujukan orang daerah ini dalam pembenaran Shalat di Rebo Wekasan ke Syaikh Fariduddin (w. 1266), mursyid tarekat Chisti dari Punjab dan buku Al-Jawahir Al-Khumus yang juga tulisan ulama Sufi India, Ibn Khathiruddin (w. 1562). Juga penelitian lebih lanjut kenapa hanya di daerah Jawa dan mayoritas Pesisiran.
Wallahu a'lam
Minggu, 08 Januari 2017
Mahar/maskawin
Mahar/maskawin
Mahar adalah salah satu syarat sahnya dalam pernikahan, sama kedudukannya dengan kedua saksi dan wali dalam pernikahan. Sedangkan jika menikah tanpa saksi atau tanpa wali atau tanpa mahar di disebut dengan “Nikah Sirri (الزواج السرى)” status pernikahannya haram sama dengan “Zina”. Yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah pernikahan yang tidak terpenuhi syarat dan rukun dari pernikahan.
Sedangkan nikah Sirri dalam bahasa budaya yang dikenal di Indonesia adalah nikah dibawah tangan atau menikah tidak melalui pencatatan pemerintah atau juga biasa disebut yang tidak dinikahkan oleh kantor urusan agama Islam (KUA) sedangkan nikah Sirri seperti ini dikenal dinegara-negara Arab (Timur Tengah) disebut dengan “Nikah ‘Urfi (الزواج العرفى)”. Setatus pernikahan ‘Urfi atau yang dikenal di Indonesia nikah Sirri (pernikahan yang memenuhi syarat dan rukunnya) maka hukumnya adalah Halal namun menurut undang-undang pemerintahan tidak dibenarkan. Menurut Syekh Alazhar Prof.Dr.Said Tanthawi (Grand Syeikh) setatus pernikahan Sirri adalah,
“الزواج السرى يكون بدون شهود أو ولي أو مهر ، فالزواج السرى زنا و حرام ، وفراق كبير بين الزواج العرفى و الزواج السرى” (ص : ٣ ، الودد العشرون ، ١١ فبراير ٢٠٠٠م/٦ ذو القعدة ١٤٢٠ه ، صوت الأزهر)
“(yang dikatakan) Nikah sirri adalah pernikahan tanpa adanya saksi atau tanpa adanya wali atau tanpa adanya mahar, maka pernikahan sirri itu hukumnya adalah zina dan haram, dan ada perbedaan yang besar antara nikah ‘Urfi dan nika Sirri” (Shautul Azhar, P, 3, edisi: 20, tahun 2000M/1420H)
Kewajiban memberikan mahar kepada Isteri sebagaimana Alqur’an menyebutkan sebagai berikut:
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً …… {النساء [٤] : ٤}
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…….. (QS. Annisa’ [4] : 4)
….. فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً…..{النساء [٤] : ٢٤}
“…. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;…. (QS. Annisa’ [4] : 24)
Hadis Rasulullah Saw tentang wajibnya memberikan mahar meskipun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi, sebagaimana sabda beliau,
إلتمس ولو خاتما من حديد . رواه متفق عليه بين أحمد و الشيخين عن سهل بن سعد .
“Mintalah (mahar itu) walaupun (hanya sebuah) cincing yang terbuat dari besi” (HR. Bukhari Muslim). Nama lain dari mahar ada 10 yaitu: Mahar (مهر), Shadaq (صداق), Nihlah (نحلة), Ajrun (أجر), Faridhah (فريضة), Hiba’ (حباء), ’Uqrun (عقر), ‘Ala’iq (علائق), Thaul (طول), dan Nikah (نكاح). (P, 6758, Juz: 9, Alfiq Alislami Waadillatuhu Oleh Prof.Dr. Wahbah Zuhaili).
Maka dari keterangan diatas mahar itu adalah hak seorang isteri yang wajib diberikan oleh suaminya. Setatus mahar adalah hak yang dimiliki sang isteri maka jika hak isteri dipinjam maka wajib pula hak isteri itu dikembalikan. Lantas bagaimana jika meminjam mahar isteri kita tersebut karena keperluan mendesak. Tergantung kepada sang isteri, apakah isteri kita itu redha atau tidak jika dipinjam tidak dikembalikan. Jika tidak direlakan maka setatus hukumnya adalah hutang yang wajib dibayar.
Jika sengaja tidak mau membayarnya sedangkan kita mampu untuk membayarnya maka hukumhya adalah “Haram”. Apabila kita meninggal dunia sedang hutang mahar tersebut belum dibayar setatusnya tetap hutang dan akan diminta pertanggung jawaban kelak di akhirat.
Larangan didalam Islam meminjam (hutang) milik orang yang tidak dikembalikan, mengambil harta orang lain tanpa hak (mencuri, korupsi, curang dalam berdagang, dll) ancamannya adalah, sebagaimana terdapat didalam Alqur’an:
وَمَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّاكَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ {ال عمران [٣] : 161}
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta. Barangsiapa yang berkhianat (mengambil hak orang lain dengan cara batil) dalam urusan harta, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Aliimran [3] : 161)
Dari ayat Alqur’an di atas jelas bahwa hukumnya adalah “Haram” siapa saja yang meminjam harta orang lain dan sengaja tidak mau mengembalikannya atau mengambil hak orang lain secara batil, koropsi, curang dalam berdagagng, dll.
Namun jika kita berniat untuk menunaikan atau membayar hutang sedangkan kita belum memiliki kemampuan untuk membayarnya bahkan sampai mati kita tidak mampu membayarnya, maka hukumnya tidak mengapa, dengan syarat kita telah berusaha untuk membayar hutang tersebut, namun kita tidak mampu juga mendapatkannya. Orang seperti ini segala hutang-hutangnya insya-Allah akan dibayar oleh Allah Swt kelak di akhirat sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,
“من أخذ أموال الناس يريد أداءها أداها الله عنه ، ومن أخذها يريد إتلافها أتلفه الله” (أخرجه البخاري ، ص : ٢٢١ / ج : ٤ / سبل السلام )
“Barang siapa mengambil (meminjam) harta orang lain, sedang ia ingin untuk membayarnya (menunaikan kepada pemiliknya) maka Allah Swt akan membayarkannya, dan barang siapa yang mengambil harta orang lain namun ia ingin mebuangnya (merusak, mencuranginya), maka Allah Swt akan merusaknya (menuntutnya kelak pada hari kiamat)”. (HR. Imam Bukhari).
KESIMPULAN:
1.Mahar isteri kita yang kita utangi wajib dikembalikan jika kita ada kemampuan untuk membayarnya atau isteri kita redha tidak dibayar, maka tidak mengapa.
2.Utang yang kita miliki kepada seseorang termasuk isteri atau keluarga kita, yang kita belum mampu untuk membayarnya, sedangkan kita tetap memiliki kesungguhan niat untuk membayarnya. Ternyata sampai kita wafat atau meninggal dunia belum terbayar, maka sebagaimana Hadis Shahih di atas Allah Swt kelak pada hari kiamat akan membayarkannya.
3.Orang yang sengaja tidak mau membayar utang hukumnya adalah “Haram” berdosa, orang tersebut dikatagorikan “Fasiq”.
4.Utang orang yang meninggal boleh dibayar di dunia oleh Ahli warisnya seperti anak, cucu, isteri, dlsb.
Wallahu a'lam
Bahaya hutang
RUH SEORANG MUKMIN TERKATUNG-KATUNG (TERTAHAN) PADA HUTANGNYA HINGGA DILUNASI
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :
نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai hutang dilunasi.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya (II/440, 475, 508); Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1078-1079); Imam ad-Darimi dalam Sunan-nya (II/262); Imam Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (no. 2413); Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2147).
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6779).
SYARAH HADITS
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna, mudah dan mengatur hubungan antara manusia dengan Khâliq (Allâh) Azza wa Jalla serta mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan makhluk lainnya.
Islam mengatur mu’âmalah (intraksi) manusia dengan peraturan terbaik. Agama Islam mengajarkan adab dan mu’amalah yang baik dalam semua transaksi yang dibenarkan dan disyari’atkan dalam Islam, misalnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, gadai termasuk dalam transaksi pinjam meminjam atau utang piutang yang akan kita bicarakan.
Utang piutang adalah mu’âmalah yang dibenarkan syari’at Islam. Mu’âmalah ini wajib dilaksanakan sesuai syari’at Islam, tidak boleh menipu, tidak boleh ada unsur riba, tidak boleh ada kebohongan dan kedustaan, dan wajib diperhatikan bahwa utang wajib dibayar.
Utang-piutang banyak dilakukan kaum Muslimin, tetapi dalam prakteknya banyak yang tidak sesuai dengan syari’at. Fakta seperti ini wajib diluruskan, terutama bagi para penuntut ilmu dan para da’i.
Yang wajib diperhatikan oleh kaum Muslimin dan Muslimat, terutama para penuntut ilmu bahwa utang dibolehkan dalam syari’at Islam, tetapi wajib dibayar! Oleh karena itu, setiap utang piutang harus dicatat atau ditulis nominal serta waktu pelunasannya. Ini sebagai janji dan janji wajib ditepati. Kalau memang belum mampu bayar, maka sampaikanlah kepada yang memberikan hutang bahwa kita belum mampu bayar pada hari atau pekan ini atau bulan ini dan minta tempo lagi, agar diberi kelonggaran waktu pada hari, atau pekan, atau bulan berikutnya.
Yang wajib diingat oleh setiap Muslim dan Muslimah bahwa utang wajib dibayar dan kalau tidak dibayar akan dituntut sampai hari Kiamat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan jenazah seorang Muslim yang masih memiliki tanggungan hutang dua dinar sampai hutang itu dilunasi.
Seorang yang meninggal dunia maka yang pertama kali diurus adalah membayarkan utang-utangnya meskipun itu menghabiskan seluruh hartanya dan tidak meninggalkan warisan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya…” [an-Nisâ’/4:11]
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ
“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allâh…” [an-Nisâ’/4:12]
Tentang makna hadits di atas, “Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai hutang dilunasi”, Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang akan tetap disibukkan dengan utangnya walaupun ia telah meninggal dunia. Hadits ini menganjurkan agar kita melunasi utang sebelum meninggal dunia. Hadits ini juga menunjukkan bahwa utang adalah tanggung jawab berat. Jika demikian halnya maka alangkah besar tanggung jawab orang yang mengambil barang orang lain tanpa izin, baik dengan cara merampas atau merampoknya.”[1]
Imam al-Munâwi rahimahullah berkata, “Jiwa seorang mukmin, maksudnya: ruhnya terkatung-katung setelah kematiannya dengan sebab utangnya. Maksudnya, ia terhalangi dari kedudukan mulia yang telah disediakan untuknya, atau (terhalang) dari masuk surga bersama rombongan orang-orang yang shalih.”[2]
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yakni, jiwanya ketika di dalam kubur tergantung pada utang atas dirinya seakan-akan –wallaahu a’lam- merasa sakit karena menunda penyelesaian utangnya. Dia tidak merasa gembira dan tidak lapang dada dengan kenikmatan untuknya karena dirinya masih mempunyai kewajiban membayar utang. Oleh karena itu kita katakan: Wajib atas para ahli waris untuk segera dan mempercepat menyelesaikan utang-utang si mayit. [3]
Masalah utang memang dibenarkan dalam syari’at Islam, akan sebagai kaum Muslimin kita wajib berhati-hati, karena banyak orang yang meremehkan masalah utang, padahal utang adalah masalah besar, menyangkut masalah agama, kehormatan, rumah tangga, dan dakwah. Dan bagi orang yang tidak membayar atau tidak melunasi utang diancam dengan tidak masuk Surga.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdo’a agar telindung dari utang. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamberdo’a dalam shalatnya:
اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْـمَمَـاتِ ، اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْـمَأْثَمِ وَالْـمَغْرَمِ
Ya Allâh sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, aku berlindung kepadamu dari fitnah al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan fitnah mati. Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang
Ada seorang yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau sering kali berlindung kepada Allâh dari utang?” Beliau menjawab :
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan pungkiri [4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan para Shahabat dan berbicara kepada mereka bahwa jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla dan iman kepada Allâh Azza wa Jalla adalah amal yang paling utama. Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata :
يَا رَسُولَ اللّٰـهِ ! أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ تُكَفَّرُ عَنّـِيْ خَطَايَايَ ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ )) ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( كَيْفَ قُلْتَ ؟ )) قَالَ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ، إِلَّا الدَّيْنَ ، فَإِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِـيْ ذٰلِكَ )).
Wahai Rasûlullâh! Bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allâh, apakah dosa-dosaku akan terhapus?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allâh dalam keadaan sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apa yang engkau katakan tadi?” ia mengulanginya, “Bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allâh, apakah dosa-dosaku akan terhapus?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allâh dalam keadaan engkau sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri, kecuali utang, karena itulah yang disampaikan Malaikat Jibril kepadaku tadi.”[5]
Dari Muhammad bin Jahsy Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu hari kami duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamsedang menguburkan jenazah. Beliau menengadahkan kepala ke langit kemudian menepukkan dahi beliau dengan telapak tangan sambil bersabda :
(( سُبْحَانَ اللّٰـهِ ، مَاذَا نُزِّلَ مِنَ التَّشْدِيدِ ؟ )) فَسَكَتْنَا وَفَزِعْنَا ، فَلَمَّـا كَانَ مِنَ الْغَدِ سَأَلْتُهُ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! مَا هٰذَا التَّشْدِيْدُ الَّذِيْ نُزِّلَ ؟ فَقَالَ : (( وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْـجَنَّـةَ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ )).
‘SUBHÂNALLÂH, betapa berat ancaman yang diturunkan.’ Kami diam saja namun sesungguhnya kami terkejut. Keesokan harinya aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasûlullâh! Ancaman berat apakah yang turun?’ Beliau menjawab, ‘Demi Allâh yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh fii sabiilillaah kemudian dihidupkan kembali kemudian terbunuh kemudian dihidupkan kembali kemudian terbunuh sementara ia mempunyai utang, maka ia tidak akan masuk surga hingga ia melunasi utangnya.’” [6]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ
Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang[7]
Dari Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguburkan jenazah. Beliau bersabda :
(( أَهَا هُنَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ أَحَدٌ ؟ ثَلَاثًا ، فَقَامَ رَجُلٌ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَا مَنَعَكَ فِـي الْـمَرَّتَيْنِ الْأُوْلَيَيْنِ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَجَبْتَنِيْ ؟ أَمَا إِنِّـيْ لَـمْ أُنَوِّهْ بِكَ إِلَّا بِخَيْرٍ ، إِنَّ فُلَانًا لِرَجُلٍ مِنْهُمْ مَاتَ مَأْسُورًا بِدَيْنِهِ )).
“Adakah seseorang dari Bani Fulan di sini?’ Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu berdirilah seorang laki-laki. Rasûlullâh bertanya kepadanya, ‘Apa yang menghalangimu untuk menjawab seruanku pada kali yang pertama dan kedua ? Adapun aku tidak menyebutkan sesuatu kepadamu melainkan kebaikan. Sesungguhnya fulan -seorang laki-laki dari kalangan mereka yang sudah mati- tertawan (tertahan) karena utangnya.’” [8]
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
(( لَا تُـخِيْفُوْا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا )) ، قَالُوْا : وَمَا ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : (( الدَّيْنُ )).
Janganlah kalian membahayakan diri kalian setelah mendapatkan keamanan!” mereka bertanya, “Bagaimana itu wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Yaitu dengan utang.” [9]
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, maula (bekas budak) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambahwa beliau Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ فَارَقَ الرُّوْحُ الْـجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ : اَلْكِبْرِ ، وَالْغُلُوْلِ ، وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْـجَنَّةَ.
Apabila ruh telah berpisah dari jasad (meninggal dunia), sedang ia terbebas dari tiga perkara: kesombongan, ghulul (korupsi)[10], dan utang niscaya ia masuk surge[11]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ تُوُفِّـيَ رَجُلٌ ، فَغَسَّلْنَاهُ وَحَنَّطْنَاهُ وَكَفَّنَّاهُ ، ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُوْلَ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَيْهِ ، فَقُلْنَا : تُصَلِّي عَلَيْهِ ؟ فَخَطَا خُطًى ، ثُمَّ قَالَ : أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ قُلْنَا : دِينَارَانِ ، فَانْصَرَفَ فَتَحَمَّلَهُمَـا أَبُوْ قَتَادَةَ ، فَأَتَيْنَاهُ ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ : الدِّيْنَارَانِ عَلَيَّ ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أُحِقَّ الْغَرِيْمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَـا الْـمَيِّتُ ؟ )) قَالَ : نَعَمْ ، فَصَلَّى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذٰلِكَ بِيَوْمٍ : (( مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ ؟ )) فَقَالَ : إِنَّمَـا مَاتَ أَمْسِ ، قَالَ : فَعَادَ إِلَيْهِ مِنَ الْغَدِ ، فَقَالَ : لَقَدْ قَضَيْتُهُمَـا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ )).
Dari Jabir Radhiyallahu anhu ia berkata, “Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata, ‘Shalatkanlah jenazah ini.’ Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya, ‘Apakah dia mempunyai tanggungan utang?’ kami menjawab, ‘Dua dinar.’ Lalu beliau pergi. Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi, kemudian Abu Qatadah berkata, ‘Dua dinarnya saya tanggung.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kamu betul akan menanggungnya sehingga mayit itu terlepas darinya? Dia menjawab, ‘Ya.’ Maka Rasûlullâh pun menshalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?’ Maka Abu Qatadah berkata, “Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.’” Jabir berkata, ‘Maka Rasûlullâh mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah berkata, ‘Aku telah melunasinya wahai Rasûlullâh!’ maka Rasûlullâh bersabda, ‘Sekarang barulah dingin kulitnya!’”[12]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ ، فَلَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، وَلٰكِنَّهَا الْـحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ
Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki tanggungan utang, sedang di sana tidak ada dinar dan tidak juga dirham, akan tetapi yang ada hanya kebaikan dan kejelekan.[13]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman bagi orang yang berutang dan tidak membayar atau tidak melunasi utangnya.
ADAB-ADAB ORANG YANG BERUTANG
– Harus meluruskan niat dan tujuannya dalam berutang.
– Tidak berutang kecuali dalam kondisi darurat.
– Wajib berniat melunasi utangnya.
Dari Shuhaib bin al-Khair Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambeliau bersabda :
أَيُّمَـا رَجُلٍ تَدَيَّنَ دَيْنًا وَهُوَ مُـجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللّٰـهَ سَارِقًا
Siapa saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya maka ia akan bertemu Allâh sebagai seorang pencuri.”[14]
– Berusaha berutang kepada orang yang kaya atau mampu dan baik.
– Utang hanya sesuai kebutuhan.
– Wajib memenuhi janji dan berkata jujur, serta berlaku baik kepada orang yang meminjamkan uang atau barang kepada kita.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“…Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” [al-Isrâ’/: 34]
– Wajib membayar utang tepat waktu dan tidak menunda-nundanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَطْلُ الْـغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda-nunda (pembayaran utang) dari orang yang mampu adalah kezhaliman.[15]
– Memberi kabar kepada orang yang memberi hutang jika belum mampu membayar.
– Harus berusaha keras mencari jalan keluar untuk segera melunasi utangnya.
– Mendo’akan kebaikan untuk orang yang telah meminjamkan sesuatu kepada kita dan berterima kasih kepadanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ ، فَإِنْ لَـمْ تَـجِدُوْا مَا تُكَافِئُوْنَهُ ؛ فَادْعُوْا لَهُ حَتَّىٰ تَرَوْا أَنَّـكُمْ قَدْ كَافَأْتُـمُوْهُ
Barangsiapa telah berbuat kebaikan kepadamu, balaslah kebaikannya itu. Jika engkau tidak mendapati apa yang dapat membalas kebaikannya itu, maka berdo’alah untuknya hingga engkau menganggap bahwa engkau benar-benar telah membalas kebaikannya.[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membayar dan melunasi utang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan dan barakah kepada orang yang meminjamkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika membayar utang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa:
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِـيْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، إِنَّمَـا جَزَاءُ السَّلَفِ الْـحَمْدُ وَالْوَفَاءُ
Semoga Allâh memberikan keberkahan kepadamu dan pada keluarga dan hartamu. Sesungguhnya balasan salaf (pinjaman) itu adalah pelunasan (dengan sempurna) dan pujian [17]
ADAB-ADAB ORANG YANG MEMBERIKAN UTANG
1. Memberi kelapangan, kemudahan, dan keringanan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
… مَنْ يَـسَّـرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَـسَّـرَ اللهُ عَلَـيْـهِ فِـي الدُّنْـيَـا وَالْآخِرَةِ…
…Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah utang), maka Allâh memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat…”[18]
2. Bersikap baik dalam menagih utang.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
رَحِمَ اللّٰـهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى
Allâh merahmati orang yang mudah ketika menjual, membeli, dan meminta haknya.[19]
3. Memberikan tempo kepada yang tidak mampu bayar.
Berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang) itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا ، فَلَـهُ بِكُـّلِ يَوْمٍ صَدَقَـةٌ قَبْـلَ أَنْ يَـحِلَّ الدَّيْنُ ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ ، فَـأَنْظَرَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ ، فَلَهُ بِكُـّلِ يَـوْمٍ مِثْـلِهِ صَدَقَـةٌ.
Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya.[20]
Jika orang yang berutang tidak mungkin untuk membayar dan kita telah melihat keadaan keluarga dan usahanya sulit, maka yang terbaik adalah membebaskan utangnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ.
“Dahulu ada seorang pedagang yang suka memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang kesulitan membayar utangnya, maka ia berkata kepada para anak buahnya, ‘Maafkanlah darinya (bebaskanlah dari utangnya) mudah-mudahan Allâh memaafkan kita.’ Maka Allâh pun memaafkannya.”[21]
4. Tidak boleh menarik manfaat atau keuntungan dari pinjamannya tersebut
Para ulama membuat sebuah kaedah yang berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat, maka itu adalah riba
FAWAAID HADITS
1. Peringatan keras tentang perkara utang. Utang adalah kegalauan pada malam hari, kehinaan pada siang hari, dan penghalang masuk surga.
2. Ruh seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai utangnya itu dibayar.
3. Orang yang tidak berniat untuk membayar utangnya maka ia akan bertemu Allâh Azza wa Jallaelak sebagai pencuri.
4. Wajib memenuhi janji dan berkata jujur.
5. Wajib membayar utang tepat waktu dan tidak menundanya.
6. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya kecuali utang.
7. Orang yang mati syahid tertunda masuk surga sampai dibayarkan utangnya.
8. Wajib segera membayar dan melunasi utang-utang sebelum ajal tiba.
9. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan jenazah yang masih mempunyai tanggungan utang.
10. Dianjurkan berdoa setiap shalat agar terhindar dari utang atau dapat melunasi utang.
11. Boleh melunasi utang orang yang sudah mati oleh selain anak-anaknya.
12. Hak-hak hamba wajib dilunasi atau minta dimaafkan sebelum meninggal dunia.
13. Utang yang belum dilunasi akan dituntut sampai hari Kiamat kecuali jika orang yang meminjamkan membebaskan atau mengikhlaskannya.
14. Bila ada orang yang belum mampu membayar utang, maka hendaklah diberi tempo, sampai ada kelapangan untuk membayar.
15. Bila memang orang yang berutang tidak mampu bayar, maka hendaklah bagi yang meminjamkan utang menyedekahkan hartanya alias dibebaskan utangnya (pemutihan).
16. Tidak boleh menarik manfaat (lebih) dari utang karena itu riba.
17. Ancaman kepada orang yang zhalim dan melewati batas terhadap manusia.
18. Orang yang bangkrut yang sebenarnya adalah orang yang bangkrut pada hari Kiamat, karena berbuat zhalim kepada orang lain.
19. Pada hari Kiamat tidak ada lagi mata uang maka pahala kebaikannya yang dipakai untuk membayar utang-utangnya dan kezhalimannya sampai akhirnya ia bangkrut/pailit.
20. Orang yang tidak punya pahala kebaikan, maka kejelekan orang-orang yang dia utang kepadanya atau orang yang dia zhalimi akan ditimpakan/dilimpahkan kepadanya sehingga dia menjadi orang yang bangkrut. Nas-alullaah al-‘Afwa wal ‘Aafiyah.
MARAAJI’:
1. Al-Qur-anul Karîm dan terjemahnya.
2. Al-Muwaththa’ li Imam Mâlik.
3. Shahîh al-Bukhâri.
4. Shahîh Muslim.
5. Musnad Imam Ahmad.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Sunan at-Tirmidzi.
8. Sunan an-Nasâi.
9. Sunan Ibni Mâjah.
10. Mustadrak al-Hâkim.
11. Shahiih Ibni Hibbân (at-Ta’liiqâtul Hisân).
12. Syarhus Sunnah lil Baghawi.
13. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh al-Albâni.
14. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghiir, Syaikh al-Albâni
15. Bulûghul Marâm, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, tahqiq Samir az-Zuhairi.
16. Mausû’ah al-Adabil Islâmiyyah al-Murattabah ‘alal Huruufil Hija-iyyah, ‘Abdul ‘Aziz bin Fat-hi as-Sayyid Nada.
17. Hatta Lâ Taghriqa fid Duyûn, ‘Adil bin Muhammad Alu ‘Abdul ‘Ali.
18. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/Ramadhan – Syawal 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Subulus Salam (II/250) cet. Darul ‘Ashimah, tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad.
[2]. Faidhul Qadîr (hlm. 375).
[3]. Lihat Syarh Riyâdhish Shâlihîn karya Syaikh al-‘Utsaimin (IV/553).
[4]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 832) dan Muslim, (no. 589), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 1885), Ahmad (V/297, 308), Mâlik dalam al-Muwaththa’ (II/no. 31), at-Tirmidzi (no. 1712), an-Nasa-i (VI/34), ad-Dârimi (II/207), dan al-Baihaqi (IX/25).
[6]. Hasan: HR. An-Nasa-i (VII/314-315), Ahmad (V/289-290), al-Hakim (II/25), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2145). Dishahihkan oleh al-Hâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Sunan an-Nasa-i (no. 4684).
[7]. Shahih: HR. Muslim (no. 1886).
Faedah: Yang dimaksud dalam hadits-hadits tentang mati syahid adalah orang yang mati syahid di medan perang menghadapi orang-orang kafir, dan ia berperang bersama ulil amri. Bukan yang dimaksud adalah orang yang membawa bom bunuh diri dengan merusak seperti sekarang ini dengan membom tempat-tempat yang aman dan lainnya. Mati karena tindakan seperti itu tidak bisa dikatakan mati syahid tetapi mati konyol dan tergolong bunuh diri karena tindakannya tersebut melanggar syari’at dan membuat kerusakan di muka bumi serta membunuh kaum muslimin dan orang-orang yang dijamin oleh pemerintah.
[8]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 3341), an-Nasa-i (VII/315) dan ini lafazhnya, al-Hakim (II/25-26), Ahmad (V/11, 13, 20), dan al-Baihaqi (VI/76). Lihat Ahkâmul Janâ-iz (hlm. 26-27).
[9]. Hasan: HR. Ahmad (IV/146, 154), Abu Ya’la (no. 1733), al-Hakim (II/26), al-Baihaqi (V/355), dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2420) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7259).
[10]. Pada asalnya arti ghulul ialah mengambil harta rampasan perang (ghanimah) sebelum dibagikan oleh komandan perang.
[11]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 1573), Ibnu Mâjah (no. 2412), Ahmad (V/276, 281, 282), al-Hakim (II/26), al-Baihaqi (V/355; IX/101-102), dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2785).
[12]. Shahih: HR. Ahmad (III/330), Abu Dâwud (no. 3343), an-Nasa-i (IV/65-66), dan Ibnu Hibbân (no. 3053-at-Ta’lîqâtul Hisân). Lihat Bulûghul Marâm (no. 877 dan 878) tahqiq Samir az-Zuhairi.
[13]. Shahih: HR. Ahmad (II/70-72), al-Hâkim (II/27) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat Ahkâmul Janâ-iz (hlm. 13) karya Syaikh al-Albâni rahimahullah
[14]. Shahih: HR. Ibnu Mâjah (no. 2410).
[15]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2287) dan Muslim (no. 1564).
[16]. Shahih: HR. Ahmad (II/99), Abu Dâwud (no. 1672) dan ini lafazhnya, an-Nasâ-i (V/82), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 216), Ibnu Hibbân (no. 3400–at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Hakim (I/412), dan ath-Thayalisi (no. 2007), dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anuma. Lihat Silsilah ash-Shahîhah (no. 254).
[17]. Hasan: HR. an-Nasâ-i (VII/314), Ibnu Mâjah (no. 2424), dan Ahmad (IV/36). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 1388).
[18]. Shahih: HR. Muslim (no. 2699), dan lainnya, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[19]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2076) dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma .
[20]. Shahih: HR. Ahmad (V/351, 360), Ibnu Majah (no. 2418), dan al-Hakim (II/29) dan ini lafazhnya, dari Buraidah Radhiyallahu anhu .
[21]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 2078) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
Wallahu a'lam
Penjelasan tentang DAM
Perjalanan UMROH
SEKELUMIT PERJALANAN UMRAH
Madinah dengan masjid nabawi dan makkah dengan masjidulharam akan senantiasa memberikan rasa rindu untuk kita selalu pergi kesana, mengingat Allah swt dengan Haji dan Umrah ikhlas hanya untukNya, mengikut sunnah RasulNya. Apabila menghadirkan diri ke dalam Masjidil Haram, airmata akan terus melimpahi kelopak mata, terkena panah kerinduan kepadaNya, dan rasa penyesalan terhadap dosa, serta merendahkan diri kepada Allah swt.
Di masjidul haram, kita akan senantiasa melihat banyaknya manusia bertafakur, beribadah dan menangis merendahkan diri dan meminta kepada Allah swt. Ya Allah, berilah kami hidayahMu.....ampunkanlah dosa-dosa kami.....berikanlah kami ridhaMu...syurgaMu, dan kami berlindung kepadaMu dari kemarahanMu dan nerakaMU.
Memahami Hakikat..
Perbedaan antara Makkah yang didalamnya ada masjidul haram dan Madinah yang didalamnya ada masjid Nabawi dengan tempat-tempat lain adalah terletak kepada rahmat dan karuniaNya. Banyak hadis-hadis yang menyampaikan tentang fadhilah beribadah di masjid Nabawi dan Masjid haram berbanding masjid-masjid lain. Begitu juga hadis yang mengatakan bahwa Dajjal tidak akan dapat memasuki kota Makkah dan Madinah dll.
Pembahasan disini saya ingin menyampaikan untuk kita bisa membedakan bahwa kita bukan membesarkan Madinah dan Makkah, tetapi tetap membesarkan Allah swt yang menjadikan Makkah dan Madinah. Kita hanya mengagumi kelebihan Makkah dan Madinah berbanding tempat-tempat lain yang Allah sendiri telah tentukan. Tidak ada sekutu bagi Allah, baik itu di Makkah dan Madinah atau di tempat selain dari padanya. Dimana saja kita berada, kita tetap mentauhidkan Allah swt dengan mengamalkan sunnah rasulNya.
Kita tidak menyembah Makkah atau Kaabah, tetapi datang kerana di sini dilimpahi rahmat dan kurniaanNya. Cara berfikir seperti ini wajib difahami agar seorang hamba tidak tersalah. Jangan sampai ada seseorang membesarkan tempat,seseorang atau waktu tertentu, terlupa bahawa kesemua itu hendaklah dikembalikan kepada Allah, bukan kepada makhluk.
Kita dapat merujuk kepada apa yang di ucapkan Umar Bin Khattab saat beliau hendak mencium hajar aswad, bagaimana kita dapat mengambil pelajaran bahwa kita harus membedakan antara mengagungkan hajar aswad atau sunnah Nabi Muhammad saw. Sebab itu Saidina Umar bin al-Khattab apabila hendak mencium Hajarul Aswad berkata:
“Sesungguhnya aku mengetahui, engkau hanyalah batu yang tidak memberi manfaat dan mudarat. Jika tidak kerana aku melihat Rasulullah menciummu, nescaya aku tidak akan menciummu” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Pelajaran ini sepatutnya ada pada proses belajar dan mengajar dalam dunia pendidikan, khususnya pada pengajian agama. Kita sepatutnya mengatakan : “ Saya mengikuti pendapatmu wahai guruku atau masyaikhku karena pendapatmu merujuk kepada dalil yang tidak bertentangan dengan sunnah nabiku ( Nabi Muhammad saw ), dan saya tidak mengikuti pendapatmu karena dalil dan hujahmu bertentangan dengan sunnah nabiku.”
Malangnya pada situasi hari ini, banyak golongan pelajar masih lagi fanatik buta kepada guru dan masayaikhnya tanpa mengkaji dalil-dalil ucapannya, sehingga mereka terjebak kepada mengikuti guru/ masyaikh dari pada harus mengikuti nabi saw dan para sahabatnya. Mereka terjebak kepada membesarkan guru/ masyaikh dari pada harus membesarkan Allah swt dan mengikuti sunnah NabiNya.
Akidah
Pemahaman akidah sebelum menunaikan umrah dan haji sangat diperlukan, kalau tidak maka semua yang dia korbankan akan sia-sia saja di hadapan Allah, baik itu pengorbanan harta, tenaga dll. Mentauhidkan Allah swt maknanya melakukan sunnah NabiNya ikhlas karena Allah saja. Melakukan ikhlas karena Allah maknanya tidak mengamalkan amalan syirik dan kufur yang dibenciNya.
Sebagai contoh amalan syirik dan amalan-amalan yang boleh membatalkan iman serta menghapuskan pahala kebaikan ialah masih terdapat diantara jamaah haji dan umrah yang datang ke Makkah dan Madinah dengan membawa azimat/ tangkal agar dengannya ia selamat di perjalanan, memberi makan burung di sekitar masjidil haram untuk mendapatkan berkah, mengusap kiswah ka’bah dengan kain untuk dijadikan tangkal, pergi haji dan umrah tetapi masih lagi yakin dan percaya kepada dukun untuk menjauhkan diri dari mudharat dan musibah, pergi ke Makkah dengan membawa bendera fanatisme kepada golongan, partai dan mazhab, berkerja sama dengan orang kafir untuk memusuhi saudara seiman demi kepentingan dunia, masih mengekalkan sifat ingin dan suka menzalimi sesama, memfitnah sesama, mencaci maki sesama dan lain sebagainya.
Demikian amalan-amalan diatas yang wajid dijauhi oleh sesiapa yang ingin menjejakkan kaki ke bumi suci ini agar terpelihara ketulusan tauhid. Kita bukan hanya dididik untuk mengamalkan sunnah dalam haji dan umrah secara zahir, tetapi kita juga mentarbiyah hati kita untuk bersih dari amalan yang dibenci Allah dan rasulNya.
Betapa ramai orang yang pergi ke Makkah dan Madinah, tetapi adakah seramai itu yang pergi dengan tauhid dan sunnah-sunnah rasulNya dalam melaksanakan haji dan umrah. Kalau memang ya jawabannya, kenapa semakin banyak yang melakukan haji dan umrah tetapi banyaknya yang bermusuhan dan saling membenci juga tidak kalah jumlahnya dari yang pergi ke sana.
Ibadah haji dan umrah sepatutnya melahirkan sifat ikhlas untuk taat kepada Allah dan rasulNya, bukan taat kepada ego dan pendiriannya. Bukan juga taat kepada golongan, mazhab, partai dan masyaikhnya melebihi taat kepada Allah dan rasulNya. Seperti masih ramai lagi di kalangan masyarakat bahkan pada pelajar yang berpegang kepada akidah asyairah, fanatik kepada mazhab dan mengamalkan tarekat sufi dimana itu semua tidak pernah dicontohkan Nabi saw. Malangnya, masih banyak juga masyarakat kita terjebak kepada untuk mengikut aktiviti-aktiviti dakwah jama’ah atau kumpulan-kumpulan dakwah hanya sebatas semangat dalam dakwah, tanpa mengetahui bahwa pendiri dan tokoh-tokohnya adalah penyebar paham tarekat, fanatisme dalam bermazhab dan penganut akidah asyaairah.
Amalan
Tiada harapan yang lebih besar dari seorang insan ketika berada di msjidil haram dari harapan agar Allah menerima ibadah dan memakbulkan doa. Demikianlah apa yang Ibrahim dan Ismail harapkan ketika mereka membina Kaabah.
Firman Allah (maksudnya):
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim bersama-sama Ismail meninggikan binaan asas-asas (tapak) Baitullah (Kaabah) itu, sambil keduanya berdoa: “Wahai Tuhan kami! terimalah daripada kami (amal kami); Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar, lagi Maha mengetahui” (al-Baqarah: 127).
Jika Ibrahim dan Ismail yang merupakan nabi berdoa agar amalan mereka Allah terima, maka kita jauh lebih patut berdoa agar amalan kita ini diterima. Segala belanja perjalanan dan masa yang ditumpukan tidak memberi makna jika amalan tertolak.
Maka, untuk memastikan amalan kita diterima, tauhid hendaklah benar-benar tulus tanpa syirik. Kemudian, amalan yang diamalkan itu hendaklah seperti yang diajar oleh Tuhan Kaabah melalui Ibrahim dan pewarisnya Nabi Muhammad s.a.w. Bukan amalan yang ditunjukkan oleh mutawwif atau guru-guru di travel-travel yang mengadakan umrah dan haji sedangkan tiada contoh yang ditunjukkan oleh pewaris Ibrahim, iaitu Nabi Muhammad s.a.w. Ini soal penting.
Nabi Ibrahim dan anaknya ketika membina Kaabah telah berdoa: (maksudnya)
“dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara Ibadat kami” (al-Baqarah: 128).
Walaupun Ibrahim dan Ismail telah membangun Kaabah, tetapi mereka tetap meminta kepada Allah bagaimana cara beribadah. Justeru, mereka memohon agar Allah menunjukkan kepada mereka cara ibadah yang Allah mahu. Ibadah hanya kepada Allah dengan cara yang Allah inginkan. Bukan ibadah kepada Allah dengan cara yang kita inginkan!
Malangnya, kita lihat manusia ketika tawaf dan sa’i ada berbagai cara dan rupa. Mereka bergantung kepada guru pakej atau mutawwif mereka, sehingga lupa untuk bertanya sunnah Nabi s.a.w ketika tawaf dan sa’i.
Perkara amalan yang menyelisihi/ tidak diajarkan nabi saw diantaranya masih lagi melafazkan niat umrah atau haji, padahal niat adalah amalan hati, yang dilafazkan adalah pada saat berihlal dan talbiah saja. Ada yang tawaf dengan doa-doa khas bagi setiap putaran, padahal itu tidak pernah ada dalam petunjuk Ibrahim, atau Ismail atau Muhammad a.s. Mereka sibuk membaca buku panduan sambil tawaf dan sa’i sehingga bertabrakan dengan orang didepannya,
Ada pula yang menjerit berdoa beramai-ramai bersama seorang pemimpinnya yang telah dibayar. Mereka melaungkan doa bagaikan berdemonstrasi di depan Kaabah. Keadaan ini cukup mengganggu insan yang lain tanpa disadari.
Ada juga mencium apa yang tidak dicium oleh Nabi s.a.w, melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi saw. Kesemua itu berada di bawah sabda Nabi Muhammad s.a.w:
“Sesiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam) apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak”. (Riwayat Muslim).
Jika melihat fenomena pelaksanaan haji dan umrah tidak merujuk kepada sunnah, maka akan didapai kesimpulan bahwa pelaksanaan haji dan umrah akan menjadi susah, seakan-akan perlu masa yang lama untuk mempelajarinya. Padahal jika kita merujuk kepada sunnah Nabi saw, kita akan dapati bahwa amalan haji dan umrah secara khususnya sangat lah mudah, ia bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus dibebani dengan membaca dan menghapal doa yang panjang terkadang justru si pembaca tidak memahaminnya.
Tatacara umrah
1. Disunnahkan bagi yang hendak melaksanakan umrah agar mandi sebelum ihram, baik itu perempuan maupun lelaki. Bagi lelaki, agar mengenakan pakaian yang tidak berjahit, yaitu yang sering dinamakan oleh para ahli fikih dengan “pakaian tanpa jahitan.” Umumnya memakai seperti kain apa saja untuk menutupi bagian atas dan satu helai lainnya menutupi bagian bawah. Dibolehkan memakai sandal ( yang tidak berjahit juga ) atau setiap yang melindungi kedua belah telapak kaki asal tidak menutupi kedua tumit. Tidak boleh memakai peci, sorban dan apa saja untuk menutupi kepala secara langsung, hukum ini berlaku hanya bagi lelaki.
Rasulullah saw bersabda, yang mafhumnya :
Bagi yang berihram tidak boleh mengenakan gamis, sorban, mantel yang bertudung , celana, atau pakaian yang dicelup sumba dan wewangian, khuf (sepatu dari kulit), terkecuali jika tidak ada sandal(boleh mengenakan khuf). Dan beliau besabda ; “ wanita yang berihram tidak dibenarkan mengenakan niqab (yaitu penutup ujung hidung dan jenisnya bermacam-macam) dan sarung tangan”. Muttafaqun alaihi”shahih abi daud”.
Ia harus mengenakan kain ihram sebelum miqat walaupun dirumahnya, sebagaimana dikerjakan oleh Nabi saw dan para sahabatnya. Hal ini memudahkan bagi jamaah umrah yang menggunakan pesawat, karena tiak memungkinkan untuk memakai kain ihram di miqat, maka mereka diperbolehkan memakai kain pakaian ihram sebelum naik pesawat, tetapi mereka tidak niat untuk berihram kecuali sejenak sebelum sampai miqat agar tidak terlewatkan miqat tanpa berihram. Amalan di atas khususnya untuk jamaah umrah yang pergi dari Indonesia atau Malaysia terus menuju Jeddah dan ke makkah. Adapun yang dari Jeddah terus ke Madinah, maka mereka bisa berihram di miqat Dzul hulaifah atau Birr ali.Selanjunta pergi menuju Makkah.
Hendaknya memakai minyak wangi dibagian tubuh dengan menggunakan parfum apapun yang tidak berwarna, terkecuali bagi wanita. Karena parfum mereka adalah yang berwarna dan tidak berbau. Semua itu dilakukan sebelum berniat ihram di miqat, sedangkan setelah itu diharamkan.
Perkara yang dilarang setelah ihram :
Sengaja mencukur, memotong atau mencabut mana-mana bulu diseluruh badan. Sengaja memotong kuku kaki atau tangan. Sengajamemakai wewangian ketika ihram. Menikah, atau menikahkan orang lain, meminang, menjadi wali atau wakil. Sengaja membunuh atau memburu haiwan darat ( yang bukan peliharaan ), berjima’, bercumbu dengan isteri tanpa jima’, melakukan dosa atau maksiat dengan sengaja dan berdebat.
2. Jika jamaah terus pergi ke Madinah sesampai di Jeddah, tentu nantinya akan bermiqat di Birr ali. Adapun amalan sesampai di miqat seperti Dzulhulaifah/ Birr ali adalah :
Mandi dan memakai kain ihram ( jika sebelumnya belum mandi dan belum memakai kain ihram ), sholat dua rakaat, sholat ini bukan sholat untuk ihram sebagaimana dipahami banyak orang. Sholat itu dilakukan karena kekhususan tempat dan barakahnya. Tidak ada sholat khusus untuk ihram, tetapi jika masuk sholat sebelum masa ihram, maka seseorang tetap sholat kemudian baru berihram setelah sholat. Dengan cara itu berarti ia telah meneladani Nabi saw, karena beliau memakai pakaian ihram setelah sholat zhuhur.
Selanjutnya berdiri menghadap kiblah, berniat untuk melakukan umrah ( tidak perlu di lafazkan seperti mengucapkan “ sengaja aku melakukan umrah karena Allah swt”, karena itu tidak ada contoh dari Nabi saw. Ianya adalah amalan hati dan ketetapan hati yang perlu di pastikan saja. Selanjutnya niat dan amalan hati tersebut di lafazkan dengan menyebut ucapan saat berihlal yaitu : Labbaika Allahumma ‘umratan.
Kemudian membaca doa : “ Allahummah hadzihi ‘umratun laa riya’a fiiha walaa sum’ah. ( Ya Allah ini adalah umrah tidak mengandung riya’ maupun sum’ah ).
Dibolehkan juga membaca setelah itu : Allahumma mahaali haitsu habastani ( Ya Allah tempat tahallulku dimana Engkau menahan diriku untuk tiak bisa melanjutkan umrahku. )
Karena jika telah menggantung niat sedemikian rupa, kemudian tertahan atau sakit, maka ia boleh tahallul untuk menyelesaikan umrahnya dan tidak diwajibkan membayar dam atau denda.
Selanjutnya memulakan untuk bertalbiah : Labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda , wanni’mata laka wa mulka, laa syariika laka.
Ucapan talbiah di atas terus di ucapkan sepanjang perjalanan sehingga kita sampai di mekkah dan melihat rumah-rumah disana, atau sampai kita melihat ka’bah saat hendak memulakan tawaf.
Disunnahkan untuk mengeraskan ucapan talbiyah, begitu juga untuk perempuan, selama tidak menjadi godaan bagi kaum lelaki, karena Aisyah juga bertalbiah dengan suara keras hingga terdengar oleh kaum lelaki.
3. Barang siapa berkesempatan untuk mandi sebelum memasuki kota Makkah, maka hendaknya ia mandi. Dan masuk pada siang harinya meneladani Rasulullah saw. Hendaknya masuk dari arah atas yang sekarang disebut dengan pintu almu’allah, karena nabi saw masuk dari bukit yang paling tinggi yaitu bukit Kada’ diatas kuburan, dan memasuki masjid dari pintu bani syaibah, karena pintu ini adalah jalan terdekat menuju hajar aswad. Di perbolehkan juga untuk memasukinya dari pintu manapun.
4. Jika anda memasuki masjid, jangan lupa untuk mendahulukan kaki kanan dan mengucapkan : Allahumma sholli wa sallim ‘ala Muhammad, Allahummaftahlii abwaaba rahmatika. (Ya Allah, berilah shalawat dan salam atas Muhammad, ya Allah bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmatMU. )
5. Apabila melihat ka’bah, seyogyanya agar mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Disini tidak ada dalil yang bisa dijadikan sandaran dari nabi saw tentang doa khusus, maka boleh berdoa dengan doa-doa yang mudah, atau berdoa dengan doanya Umar ra :
Allahumma antassalaamu waminkassalaamu, fa hayyinaa rabbanaa bissalaam. ( Ya Allah, Engkaulah keselamatan, dariMula keselamatan, maka hidupkanlah kami dengan penuh kesejahteraan wahai Rabb kami ).
6. Kemudian segera menuju hajar aswad dan menatapnya dengan sungguh-sungguh kemudian mengucap basmalah dan bertakbir. Kemudian mengusapnya dengan tangannya, menciumnya dengan bibirnya, dan membungkukkan badan menghadapnya. Jika kita tidak memungkinkan untuk menciumnya, maka kita bisa menyentuh dengan tangan kemudian mencium tangan. Jika tidak bisa juga untuk menyentuhnya cukup dengan mengisyaratkan tangan kepadanya. Amalan mengusap dan mencium hajar aswad dengan bibir, dan jika tidak bisa cukup dengan mengisyaratkan dengan tangan adalah amalan yang harus dilakukan pada setiap putaran, sehingga 7 putaran.
7. Kemudian memulakan tawaf seputar ka’bah dengan memposisikan ka’bah disebelah kiri kita, Dari hajar aswad sampai hajar aswad lagi terhitung satu putaran. Semuanya di lakukan dengan pakaian ihram secara idhthiba’ ( memasukkan kain ihram sebelah atas dari bawah ketiaknya yang sebelah kanan, dan meletakkan ujungnya diatas pundak kiri ) pada tiga putaran pertama, bermula dari hajar aswad dan berakhir di hajar aswad, dan berjalan pada putaran-putaran selanjutnya.
8. Mengusap rukun yamani dengan tangan pada setiap putaran jika memungkin, jika tidak bisa mengusapnya maka tidak perlu mengisyaratkan tangan, cukup berjalan dan melaluinya saja.
9. Jika kita diantara rukun yamani dan rukun hajar aswad, maka disunnah membaca :
Rabbanaa aa tinaa fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah waqinaa ‘adzaabannaar ( Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka ). Jika mampu dan memungkinkan, seseorang boleh beriltizam antara rukun hajar aswad dan pintu ( mengarahkan dada, wajah dan kedua bahu kepadanya).
Tidak ada doa khusus dalam tawaf, ia boleh membaca alQur an, atau berdzikir sesuka hatinya yang mudah baginya.
10. Jika telah telah selesai putaran ketujuh, maka bertolak menuju maqam ibrahim membaca : Watta khidzuu mimmaqaami ibrahiima musholla(Dan jadikanlah sebahagian maqam ibrahim tempat shalat) Ali Imran : 125.
Dengan memposisikan maqam ibrahim antara dirinya dan ka’bah, lalu sholat disaa dua rakaat dengan membaca surah al kafirun pada rakaat pertama dan surah al ikhlas pada rakaat kedua. Jika tidak mampu untuk sholat di tempat tersebut, maka boleh sholat dimana saja di dalam masjid haram.
11. Jika selesai sholat, hendaklah ia menuju tempat air zamzam, meminum air zamzam tersebut, serta mengusapkannya di kepala. Kemudian kembali ke hajar aswad, untuk menciumnya dengan bibir, atau mengusapnya dengan tangan, atau mengisyaratkan tangan kepadanya.
12. Kemudian pergi menuju shafa untuk memulakan sa’i , jika telah dekat dengan shafa maka bacalah ayat 158 dari surah al Baqarah
Artinya : Sesungguhnya "Safa" dan "Marwah" itu ialah sebahagian daripada Syiar (lambang) ugama Allah; maka sesiapa Yang menunaikan Ibadat Haji ke Baitullah atau mengerjakan Umrah, maka tiadalah menjadi salah ia bersaie (berjalan Dengan berulang-alik) di antara keduanya. dan sesiapa Yang bersukarela mengerjakan perkara kebajikan, maka Sesungguhnya Allah memberi balasan pahala, lagi Maha mengetahui.
Lalu mengucapkan : Nabda’u bimaa bada Allahu bihi
Kemudian mendaki atas bukit shafa berdiri menghadap ka’bah hingga melihatnya,mengucap takbir tiga kali, terus membaca :
Laa ilaaha Illallahu wahdahulaa syarikalahu, lahul mulku walahul hamdu, yuhyii wayumiitu, wahuwa ‘ala kulli syai in qadir. Laa ilaaha Illallahu wahdahulaa syarikalahu, anjaza wa’dah, wanashara ‘abdahu, wahazamal ahzaaba wahdahu. ( 3 kali ).
Selanjutnya boleh berdoa dengan doa apa saja yang mudah untuk dilafazkan.
Kemudian turun dari bukit shafa, untuk melaksanakan sa’i menuju bukit marwah. Jika sampai pada tanda lampu hijau dari kanan dan kiri maka hendaklah melakukan lari-lari kecildengan cepat menuju tanda hijau berikutnya, dari situ terus melanjutkan untuk berjalan menuju bukit marwah.Sesampai di bukit marwah, terus naik menuju atas bukit lalu melakukan sebagaimana dilakukan di atas bukit shafa. Kemudian turun dari bukit marwah untuk menuju bukit shafa, dengan berjalan ditempat yang diperintahkan untukberjalan dan berlari-lari kecil ditempat lari-lari kecil, dan ini dihitung sebagai putaran kedua. Tidak ada bacaan khusus yang harus dibaca dan dihafal semasa melakukan sa’i. Untuk itu, siapapun yang melakukan sa’I, boleh membaca apa yang termudah baginya, seperti membaca quran yang dia hapal, atau berdzikir .
13. Kemudia kembali ke marwah, dan begitu seterusnya hingga lengkap baginya tujuh putaran yang berakhir di bukit marwah.
14. Jika telah selesai dari putaran ketujuh di marwah, setelah membaca apa apa yang patut di baca sebagaimana di bukit shafa, maka selanjutnya mencukur rambut kepalanya bagi lelaki, boleh juga memendekkannya sahaja. Adapun untuk perempuan maka cukup baginya untuk memotong rambutnya sedikit atau sepanjang ruas jari.
Dengan demikian, maka umrahnya telah selesai, dan menjadi halal apa yang diharamkan baginya sewaktu ihram.
Melalui blog ini semoga kita dapat saling membangun silaturahmi dan ikatan kerjasama dalam urusan agama dan dakwah. Kekurangan saya adalah kelebihan anda, dan kekurangan anda adalah kelebihan saya, semoga kita dapat saling mengambil hikmah kebaikan diatas adanya perbedaan.
Wallahu a'lam.