Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Senin, 31 Agustus 2020

Khutbah jum'at - Orang Terbaik

Orang-orang Terbaik Menurut Rasulullah.

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم}، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Jika seseorang bertanya kepada kita tentang siapa orang-orang terbaik, tentu kita harus menjawab pertanyan itu berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW.  Beliau telah menyebutkan kelompok orang-orang terbaik sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits beliau sebagai berikut: 

Pertama, orang terbaik adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut: 

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Rasulullah SAW tidak saja mengajurkan kita belajar Al-Qur’an, tetapi juga mendorong  siapa saja supaya mau mengajarkannya kepada orang lain.  Artinya seseorang sesungguhnya tidak cukup jika hanya berhenti pada belajar Al-Qur’an. Ia sebaiknya juga mengajarkannya kepada orang lain setelah cukup menguasainya. Oleh karena itu dalam belajar Al-Qur’an sebaiknya hingga sampai tingkat mahir, yang  tidak saja  mahir membacanya, tetapi juga mahir memahami kandungannya, dan bahkan mahir mengamalkan isinya. Bukankah al-Quran bukan sekedar bacaan, tetapi sekaligus harus diamalkan karena merupakan kitab suci sebagai petunjuk dari Allah SWT bagi seluruh kaum Muslimin.   

Kedua, orang terbaik adalalah orang yang paling baik sikapnya terhadap keluarganya. Hal ini sebagaimana ditegaskan beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut: 

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” 

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Rasulullah SAW memberikan suri teladan bagaimana sebaiknya seorang suami bersikap kepada keluarganya. Beliau mengatakan bahwa beliau adalah orang yang paling baik sikapnya terhadap keluarga. Ini artinya untuk menjadi suami yang baik, kita bisa mengikuti beliau. Sayyidah Aisyah RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW sebagai seorang suami banyak melayani keluarga seperti  menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Beliau bahkan menjahit pakaian sendiri, mengesol sandal sendiri, memerah susu kambing sendiri, hingga berbelanja ke pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagaimana sabda beliau diatas, orang terbaik adalah orang yang paling baik sikapnya terhadap keluarganya.    

Ketiga, orang terbaik adalah orang yang  paling bisa diharapkan kebaikannya dan paling sedikit keburukannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagai berikut:

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ

Artinya: “Sebaik-sebaik kalian adalah orang yang (paling bisa) diharapkan kebaikannya  dan (paling sedikit) keburukannya hingga orang lain merasa aman.”

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Setiap orang memiliki sisi baik dan sisi buruk. Orang terbaik adalah orang yang sisi kebaikannya jauh lebih besar dari pada sisi keburukannya hingga orang lain merasa aman di sampingnya. Dengan kata lain orang terbaik adalah mereka yang, di satu sisi, dapat memberikan manfaat besar kepada orang lain, di sisi lainnya, dapat mengendalikan potensi buruknya hingga banyak orang merasa aman dan tenang di dekatnya karena terhindar dari peri laku buruknya.  

Keempat, orang terbaik adalah orang yang  memberikan makanan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana ditegaskan beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad sebagai berikut:

خَيْرُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan.” 

Makanan sesungguhnya dibagi menjadi dua, yakni makanan jasmani dan makanan ruhani. Makanan jasmani adalah seperti nasi, roti, buah dan sebagainya yang berguna untuk pengembangan diri yang bersifat fisik atau material. Sedangkan makanan ruhani adalah seperti ilmu, nasihat, dan sebagainya yang berguna untuk pengembangan diri yang bersifat mental spiritual.  Maka orang terbaik berdasarkan hadits ini adalah mereka yang bersedia memberikan makanan, baik jasmani maupun ruhani, kepada orang-orang yang membutuhkan demi menjaga keberlangsungan hidup dan kesehatan mereka baik jasmani maupun ruhani.

Kelima,  orang terbaik adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang. Hal ini sebagaimana ditegaskan beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim sebgai berikut: 

 خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً 

Artinya:“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.”

Fakta membuktikan bahwa tidak setiap orang bisa menepati janji-janjinya terkait dengan hutang-hutangnya kepada orang lain. Maka ada dua macam pembayar hutang, yakni pembayar yang baik dan pembayar yang tidak baik. Pembayar yang baik adalah mereka yang bisa menyelesaikan kewajiban hutangnya sesuai waktu yang telah disepakati, atau bahkan lebih awal dari itu. Pembayar hutang yang tidak baik adalah  mereka yang tidak disiplin, seperti para pengemplang dan sebagainya, hingga sering membuat marah orang yang telah berbaik hati memberikan pinjaman. 

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Mungkin kita bertanya, apakah orang-orang terbaik itu hanya sebatas mereka yang telah disebutkan diatas? Jawabnya, tentu saja tidak sebab masih ada kelompok orang lain yang juga termasuk orang-orang terbaik sebagaimana pertanyaan seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW sebagai berikut:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ : مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

Artinya: “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab: “Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.”(HR: Tirmidzi) 

Jadi, orang-orang terbaik sesungguhnya tidak dimonopoli oleh kelompok orang tertentu, tetapi terbuka lebar bagi siapa saja tanpa memandang latar belakang ataupun bidang-bidang tertentu sebab substansi dari hal ini adalah tentang seberapa besar kebermanfaatan seseorang kepada orang lainnya secara nyata sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya yang diriwayatkan dari Jabir berikut:  

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya).” 

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Mudah-mudahan apa yang telah saya uraikan ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya pribadi dan para jamaah Jumat pada umumnya. Apapun profesi, asal usul  dan status sosial kita, semoga kita semua dapat memberikan manfaat sebesar-sebesarnya kepada orang sebanyak-banyaknya. Amin ya rabbal alamin.   

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Minggu, 30 Agustus 2020

Inilah Cinta

INILAH CINTA SEJATI

Barang siapa yang menyerahkan jiwanya untuk hidup demi agamanya (Islam) maka ia akan melalui hari-harinya dengan kelelahan tetapi ia kan hidup dan mati dalam kemuliaan. (Nasihat Syekh Ahmad Yasin)

Seperti itula cinta di jalan Allah. Cinta memang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Tak ada perjuangan tanpa kelelahan. Dan tak ada pengorbanan tanpa merasakan keperihan.

Seperti apa cinta Abu Bakar kepada Rasulullah yang rela menemani kala harus berhijrah dan menempuh perjalanan yang melelahkan. Bahkan ketika Harus bersembunyi di Gua Tsur untuk menghindari kejaran orang kafir yang ingin membunuhnya. Pun begitu ketika Rasulullah tertidur beliau pun menjaga dari segala marabahaya.

Seperti cinta Uwais Al-Qarni pada Sang Ibu. Ketika ibunya ingin menunaikan ibadah haji Uwais pun rela menggendong sang ibu walau jarak jauh begitu terbentang di depannya tak hirau ia karena kecintaan yang mendalam pada ibunya.

Dan Seperti cinta Nusaibah Ummu Umarah yang rela tubuh lembutnya menangkis puluhan tebasan pedang yang akan mendarat di tubuh Rasulullah. Tak terbayang oleh kita sosok muslimah tangguh yang merelakan raga dan nyawanya karena cinta yang begitu besar kepada kepada kekasih Allah yakni Rasulullah.

Ustadz Rahmat Abdullah mengatakan, "Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai."

Lagi-lagi memang seperti itu, dakwah. Menyedot saripati energimu, sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari."

Keindahan Surga yang begitu menggiurkan membuat orang beriman rela untuk berlelah, untuk sakit bahkan untuk merasakan keperihan serta kesukaran sekalipun tak membuatnya berhenti. Lantaran yang diinginkan tak lain adalah perjumpaan dengan Allah dan bersanding dengan Rasulullah serta menikmati kehidupan hakiki yang tiada bertepi.

Semoga kita mendapatkan Rahmat dan MaghfirahNYA.  Aamiin.

Hukum khutbah pakai bahasa Indonesia

Hukum Khutbah Berbahasa Indonesia

Salah satu syarat keabsahan shalat Jumat adalah didahului dengan dua khutbah. Kewajiban dua khutbah ini disepakati oleh seluruh ulama selain pendapat Hasan al-Bashri yang berpendapat bahwa hal itu sekadar berhukum sunnah.

Kewajiban khutbah Jumat berdasarkan hadits Nabi:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا

“Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan khutbahnya.” (HR Muslim)

Awal mulanya khutbah Jumat disyariatkan setelah pelaksanaan shalat Jumat. Kemudian berubah menjadi sebelum shalat. Saat penduduk Madinah mengalami lapar, datang Dihyah bin Khalifah al-Kalbi membawa barang dagangan dari Syam di saat mereka sedang mendengarkan khutbah Jumat Nabi Saw. Mereka sama beranjak dari tempat khutbah untuk menghampiri Dihyah, hingga tidak tersisa dari mereka kecuali 8 orang.

Melihat sahabatnya beranjak dari masjid, Nabi SAW bersabda, “Demi dzat yang jiwaku berada di kekuasaanNya. Andai mereka bubar semuanya, niscaya lembah menyalakan api untuk menimpa mereka.” Setelah peristiwa tersebut, khutbah Jumat diajukan sebelum pelaksanaan shalat Jumat (keterangan dari Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardani, Fath al-‘Alam, juz 3, hal. 50-51, Dar al-Salam-Kairo, cetakan keempat tahun 1990).

Dalam madzhab Syafi’i, khutbah memiliki 5 rukun, yaitu membaca hamdalah, shalawat, wasiat takwa (tiga rukun ini wajib dibaca di kedua khutbah), ayat suci al-Qur’an dan doa untuk kaum Muslimin (2 rukun terakhir ini wajib dibaca di salah satu kedua khutbah).

Dalam membaca rukun-rukun tersebut, disyaratkan menggunakan bahasa Arab. Disyaratkan pula tartib dan terus menerus tanpa adanya pemisah (muwalah) di antara kelima rukun tersebut.

Namun, selain bacaan-bacaan khutbah yang menjadi rukun khutbah, diperbolehkan menggunakan bahasa non-Arab, seperti yang terlaku di negara kita, isi khutbah biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut diperbolehkan dan tidak dapat memutus kewajiban muwalah (terus menerus) di antara rukun-rukun khutbah.

Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:

وَشُرِطَ فِيْهِمَا عَرَبِيَّةٌ لِاتِّبَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ ( قوله وشرط فيهما ) أَيْ فِيْ الْخُطْبَتَيْنِ وَالْمُرَادُ أَرْكَانُهُمَا كَمَا فِي التُّحْفَةِ ...الى أن قال....وَكَتَبَ سم مَا نَصُّهُ قَوْلُهُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا يُفِيْدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الْأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَا يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالَاةِ اه قال ع ش وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ بِخِلَافِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلَا يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ فِي الْخُطْبَةِ اهـ

“Disyaratkan dalam dua khutbah memakai bahasa Arab, maksudnya hanya rukun-rukunnya saja seperti keterangan dalam kitab al-Tuhfah, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf. Syaikh Ibnu Qasim menulis, kewajiban memakai bahasa Arab terbatas untuk rukun-rukun khutbah memberi kesimpulan bahwa selain rukun-rukun khutbah yaitu beberapa materi yang masih berkaitan dengan khutbah yang diucapkan dengan selain bahasa Arab tidak dapat mencegah kewajiban muwalah di antara rukun-rukun khutbah. Syaikh Ali Syibramalisi mengatakan, hal ini dibedakan dengan diam yang lama yang dapat memutus muwalah karena di dalamnya terdapat unsur berpaling dari khutbah secara keseluruhan. Berbeda dengan isi khutbah dengan selain bahasa Arab yang di dalamnya terdapat sisi mau’izhah secara umum, sehingga tidak mengeluarkannya dari bagian khutbah.” (Syaikh Abu Bakr bin Syatha, I’ânatut Thâlibîn, juz.2, hal.117, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cetakan ketiga, tahun 2007)

Demikianlah hukum berkhutbah dengan bahasa Indonesia, juga dengan bahasa-bahasa non-Arab lainnya. Ia diperbolehkan sepanjang rukun-rukun khutbah tetap menggunakan bahasa Arab.
Semoga bermanfaat.

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ulama berbeda pendapat apakah khutbah jumat harus berbahasa arab. Ada 3 pendapat dalam masalah ini (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/180),

Pertama, khutbah disyaratkan harus berbahasa arab, meskipun pendengar tidak memahami bahasa arab. Ini meruapakan pendapat Malikiyah (al-Fawakih ad-Dawani, 1/306) dan pendapat sebagian ulama Hambali (Kasyaf al-Qana’, 2/34).

Kedua, disyaratkan menggunakan bahasa arab bagi yang mampu, kecuali jika semua jamaah tidak memahami bahasa arab, maka khatib menggunakan bahasa mereka. Ini merupakan pendapat yang masyhur di kalangan syafiiyah (al-Majmu’, 4/522) dan pendapat sebagian hambali.

Ketiga, dianjurkan menggunakan bahasa arab dan bukan syarat. Khatib boleh menggunakan bahasa selain arab. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah (Rad al-Mukhtar, 1/543) dan sebagian Syafiiyah.

Pendapat yang ketiga inilah yang lebih kuat, dan yang dipilih para ulama kontemporer. Diantara alasannya,

Tidak ada dalil tegas yang mewajibkan khutbah harus berbahasa arab.
Tujuan inti khutbah adalah memberikan nasehat dan ceramah kepada masyarakat. dan itu tidak mungkin bisa disampaikan kepada mereka kecuali dengan bahasa yang dipahami jamaah.
Sejalan dengan prinsip syariah, bahwa Allah mengutus para nabi-Nya dengan bahasa kaumnya. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul-pun, kecuali dengan bahasa kaumnya. Agar rasul itu menjelaskan (kebenaran) kepada mereka. (QS. Ibrahim: 4)

Kesimpulan menarik dari as-Syaukani,

ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة

Ketahuilah bahwa khutbah yang disyariatkan adalah kkhutbah yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memotivasi masyarakat dan memberi peringatan bagi mereka. Pada hakekatnya, bagian ini adalah inti khutbah, yang karenanya, disyariatkan adanya khutbah jumat. Sementara persyaratan memuji Allah, shalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau membaca beberapa ayat al-Quran, semua ini bukan tujuan utama disyariatkannya khutbah.

Kemudian beliau menegaskan,

ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده

Orang cerdas tidak akan ragu bahwa tujuan utama dalam khutbah nasehat (bagi jamaah), bukan pujian atau shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja, kebiasaan masyarakat arab turun-temurun, ketika mereka hendak menyampaikan ceramahnya, mereka mulai dengan memuji Allah dan shaawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini kebiasaan yang sangat bagus dan mulia. Namun, ini bukan tujuan utama khutbah. Yang menjadi inti khutbah adalah nasehat setelahnya. (ar-Raudhah an-Nadiyah, 1/137)

Al-Majma’ al-Fiqhi di bawah Rabithah Alam Islami juga menguatkan pendapat yang menyatakan, bahasa arab bukan syarat khutbah jumat. Dalam sebuah keputusannya dinyatakan,

الرأي الأعدل هو أن اللغة العربية في أداء خطبة الجمعة والعيدين في غير البلاد الناطقة بها ليست شرطاً لصحتها ، ولكن الأحسن أداء مقدمات الخطبة وما تضمنته من آيات قرآنية باللغة العربية ، لتعويد غير العرب على سماع العربية والقرآن ، مما يسهل تعلمها ، وقراءة القرآن باللغة التي نزل بها ، ثم يتابع الخطيب ما يعظهم به بلغتهم التي يفهمونها

Pendapat paling kuat, bahwa bahasa arab untuk bahasa pengantar khutbah jumat atau khutbah id, di selain negeri yang tidak berbahasa arab, bukanlah bagian dari syarat sah khutbah. Hanya saja yang terbaik, menyampaikan mukaddimah khutbah dan ayat al-Quran yang dibaca, menggunakan bahasa arab. Untuk membiasakan orang non arab agar medengarkan bahasa arab dan al-Quran. Yang ini memudahkan mereka belajar bahasa arab, serta membaca al-Quran dengan bahasa asli dia diturunkan. Selanjutnya khatib bisa menyampaikan nasehat dengan bahasa mereka, yang bisa mereka pahami.

Demikian, Allahu a’lam.


Dalil adzan satu dan dua kali

Dalil Adzan
Jumat Dua Kali

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah.
Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jumat hanya dilakukan sekali saja.
Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jumat menjadi dua kali.

Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan.
Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jumat hendak dilaksanakan.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan:

عَنْ سَائِبٍ قَالَ, سَمِعْتُ السَائِبَ بنَ يَزِيْدٍ يَقُوْلُ إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الجُمْعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الجُمْعَةِ عَلَى المِنْبَرِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الجُمْعَةِ بِالأَذَانِ الثَّالِثِ فَأَذَانَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَالِكَ

Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)

Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar.
Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah.
Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :

وَيُسَنُّ أَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الفَجْرِ وَآخرِ بَعْدَهُ فَإِن اقَتَصَرَ فَالأَوْلَى بَعْدَهُ, وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الخَطِيْبِ المِنْبَرَ وَالأَخَرُ الَّذِيْ قَبْلَهُ

"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat ٍٍٍShubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya.
Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar.
Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jumat.
Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)

Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain.
Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :

ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعاً سُكُوْتِياً لأَِنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ عَلَيْهِ

"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah,  juz II,: 249)

Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jumat dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jumat satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.
Wallahu a’lam bis-shawab.

Sejarah adzan dua kali

Sejarah dan Hukum Adzan Dua Kali dalam Sholat Jumat

Dalam pelaksanaan sholat Jumat , seringkali ditemukan polemik di kalangan kaum muslimin. Salah satu di antaranya adalah persoalan jumlah adzan pada sholat tersebut. Sebagian Masjidmengumandangkan adzan sebanyak dua kali, adzan pertama pada saat waktu masuk kemudian adzan kedua pada waktu khatib naik mimbar. Sebagian yang lain mencukupkan dengan satu kali saja yaitu pada saat waktu masuk yang berbarengan dengan naiknya khatib ke atas mimbar. Bahkan di salah satu Masjiddi Kota Fes Maroko -sebagaimana yang dituturkan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Cerita Maroko- adzan Jumat  dikumandangkan sebanyak lima kali. Pertanyaannya, apakah adzan dua kali atau lebih pada sholat Jumat tersebut tergolong bid’ah.?

Memang benar, persoalan jumlah adzan dalam sholat Jumat  tersebut telah menjadi salah satu di antara sekian banyak persoalan khilafiyah di tubuh umat Islam. Namun anehnya, perbedaan itu akhir-akhir ini seringkali memunculkan kesan tidak baik terhadap sebagian golongan, khususnya bagi mereka yang mengumandangkan adzan dua kali atau lebih. Mereka (oleh sebagian oknum) dianggap telah melakukan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau dalam bahasa sederhananya, mereka dicap telah melakukan sebuah bid’ah. Dan setiap bid’ah menurut oknum tersebut adalah sesat, dan orang yang sesat tempatnya adalah di neraka.

Persoalan ini sebenarnya sudah dijelaskan secara panjang lebar oleh para ulama Islam semenjak beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu, untuk mempermudah kajian ini, penulis akan mencoba menyajikannya dalam beberapa poin sebagai berikut :

Sejarah Singkat adzan

Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa adzan pertama kali dikumandangkan pada tahun pertama hijriah oleh sahabat Rasul yang bernama Bilal bin Rabbah yang berfungsi sebagai penanda masuknya waktu sholat bagi kaum muslimin. Adapun rincian kisahnya dijelaskan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, berikut kutipan teks hadisnya :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَوَاتِ وَلَيْسَ يُنَادِى بِهَا أَحَدٌ فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِى ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمُ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ قَرْنًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِى بِالصَّلاَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ ».

Suatu waktu ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul sembari menunggu waktu salat. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang bisa memberitahukan bahwa waktu sholat telah masuk. Sehingga pada suatu hari mereka bermusyarawah untuk membahas persoalan tersebut. Sebagian sahabat mengusulkan agar menggunakan lonceng sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang Nasrani dan sebagian yang lain dengan tanduk sebagaimana digunakan oleh orang-orang Yahudi dalam upacara keagamaan mereka, Namun sahabat Umar bin Khaththab berkata “Alangkah baiknya kalian menjadikan seseorang yang bertugas untuk memanggil orang-orang salat”, kemudian Rasulullah SAW menyetujui usulan Umar dan berkata “wahai Bilal, berdirilah serta panggillah manusia untuk mendirikan salat!”

Sementara itu dalam riwayat Abu Daud ada tambahan riwayat sebagai berikut :

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَرَادَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الأَذَانِ أَشْيَاءَ لَمْ يَصْنَعْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ فَأُرِىَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ الأَذَانَ فِى الْمَنَامِ فَأَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ »

Abdullah bin Zaied berkata: “Nabi SAW berkeinginan untuk mencari cara dalam memberitahukan waktu sholat (adzan), namun beliau belum juga menemukannya”. Abdullah bin Zaied telah bermimpi mengenai kalimat-kalimat adzan dalam tidurnya. Lalu dia mendatangi Nabi SAW untuk memberitahukan hal tersebut, kemudian Nabi SAW pun berkata “Ajarkanlah kata-kata itu kepada Bilal!”.

Di dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa pada saat Abdullah bin Zaied menceritakan mimpinya mengenai lafal-lafal adzan itu kepada Rasulullah, sahabat Umar bin Khattab pun mengakui hal yang sama bahwa beliau juga telah bermimpi dengan mimpi yang serupa dengan Abdullah bin Zaid. Setelah itu Rasulullah SAW berseru sembari memuji Allah SWT sebagai bentuk kegembiraan beliau dengan berita tersebut. Semenjak itu adzan dijadikan sebagai pengingat masuknya waktu sholat hingga Rasulullah SAW wafat.

adzan Jumat  di Masa Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar dan Umar

Setelah mengetahui sekilas mengenai sejarah permulaan adzan, sekarang kita lihat bagaimana aturan dan jumlah adzan Jumat  pada masa Rasulullah masih hidup. Mengenai hal ini, terdapat sebuah riwayat sahih dari Imam Bukhari sebagai berikut :

السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ.

Saib bin Yazied berkata: “Pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar, adzan di hari Jumat  pada awalnya hanyalah ketika Imam duduk di atas mimbar. Pada saat Ustman bin Affan menjabat sebagai khalifah dan manusia sudah semakin banyak, beliau pun memerintahkan orang-orang untuk mengumandangkan adzan yang ketiga. adzan tersebut dilakukan di atas zaura’ (sebuah tempat di pasar Kota Madinah) dan ketetapan itu diberlakukan untuk masa selanjutnya”.

Adapun yang dimaksud dengan adzan ketiga dalam hadist tersebut adalah adzan pertama yang dikumandangkan sebelum masuk waktu Jumat  di atas zaura’ pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Sementara itu adzan kedua adalah adzan pada saat khatib duduk di atas mimbar dan adzan ketiga adalah iqamah yang dikumandangkan sesaat menjelang didirikannya sholat Jumat . Begitulah tatacara pelaksanaan adzan sholat Jumat  pada masa-masa awal perkembangan Islam. Semakin meluasnya kekuasaan Islam dan semakin banyaknya jumlah kaum muslimin pada masa kekhalifahan Utsman, telah mendorong beliau mengeluarkan kebijakan untuk menambah adzan satu lagi dengan tujuan mengingatkan manusia bahwa waktu sholat Jumat  telah masuk.

Respon Ulama Terhadap Gagasan Khalifah Utsman bin Affan

Kalau diperhatikan secara selintas, gagasan yang dilakukan oleh Khalifah Ustman bin Affan pada dasarnya berbeda dengan praktek dua khalifah sebelumnya ataupun bahkan dengan Rasulullah SAW sendiri yang hanya mengumandangkan adzan sholat Jumat  dua kali saja yaitu adzan pada saat khatib naik mimbar dan iqamat sesaat menjelang sholat Jumat akan didirikan. Namun dapatkah kita menghukumi amalan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan ini sebagai sebuah kesesatan dengan alasan bahwa kebijakan beliau menyalahi kebijakan Rasulullah SAW?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya kita memperhatikan beberapa poin di bawah ini :

Pada bagian akhir hadist riwayat Bukhari di atas dinyatakan فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (ketetapan itu pun diberlakukan untuk masa selanjutnya). Ungkapan tersebut menurut Ibn Hajr mempunyai pengertian bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Utsman bin Affan diterima secara baik oleh umat Islam di seluruh negeri pada saat itu, karena kedudukan Ustman bin Affan sebagai khalifah yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh kaum muslimin. Dalam kata lain keputusan tersebut telah menjadi konsensus di kalangan sahabat.
Memang ada sebuah riwayat dari Ibn Abi Syaibah yang ia terima dari jalur Abdullah bin Umar yang mengatakan bahwa ”adzan pertama yang dilakukan pada hari Jumat  (adzan tambahan dari Khalifah Utsman bin Affan) adalah bid’ah”, namun perkataan ini mempunyai beberapa kemungkinan makna sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Hajr, di antaranya:
Kemungkinan yang pertama, boleh jadi Abdullah bin Umar dalam hal ini tidak setuju dengan apa yang digagas oleh khalifah Utsman bin Affan, sehingga ketidaksetujuan itu beliau ekpresikan dengan ungkapan bahwa hal itu merupakan sebuah kebid’ahan. Namun penolakan sahabat secara terang-terangan selain ungkapan Abdullah bin Umar di atas terhadap gagasan Ustman tersebut sampai saat ini belumlah ditemukan, sehingga kemungkinan bahwa Abdullah bin Umar menentang kebijakan Utsman tersebut batal dengan sendirinya.

Kemungkinan yang kedua, bahwa yang dimaksud oleh Abdullah bin Umar dengan ungkapan beliau tersebut hanyalah semata-mata memberitahukan bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Utsman dengan menambah adzan pertama itu belum ada pada masa Rasulullah SAW dan mengadakan sesuatu yang tidak dicontohkan oleh beliau dinamakan dengan bid’ah secara bahasa (bukan bid’ah yang sesat). Karena menurut Ibn Hajr bid’ah itupun nanti akan terbagi kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Apa yang dicetuskan oleh Khalifah Ustman termasuk bid’ah hasanah karena bertujuan untuk kemaslahatan agama Islam dan umatnya juga.

Kalau memang apa yang digagas dan dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan tersebut dipatuhi dan tidak seorangpun di antara sahabat dan ulama yang ada pada saat itu menentang keputusan beliau, maka ketetapan itu bisa dianggap sebagai ijma’ sukuti yang harus dipatuhi dan diikuti oleh segenap umat Islam.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya dan juga dikutip oleh Imam Nawawi dalam Arba’in-nya mengatakan :
فَعَلَيكُم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين

“Pegang teguhlah sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk (setelahku).!”

hadist tersebut merupakan anjuran keras Rasulullah SAW untuk umat Islam supaya berpegang teguh dengan sunah beliau dan sunah khalifah-khalifah yang ada setelah beliau. Sementara itu Utsman bin Affan adalah seorang sahabat Nabi yang sangat beliau cintai dan termasuk salah seorang sahabat yang telah dijanjikan untuk masuk surga oleh Allah SWT. Mungkinkah apa yang beliau cetuskan dianggap sebagai sebuah bid’ah yang sesat yang mengakibatkan beliau dan orang-orang yang mengikutinya akan masuk neraka?

Sebagian ulama di kalangan Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa adzan dua kali pada sholat Jumat  adalah sebuah kesunahan, hal itu sebagaimana disampaikan oleh Syekh Zayn al-Din al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in dan Sayyied Bakri Syatha dalam kitabnya I’anah al-Thalibin.
Sebuah ungkapan terkenal dari Imam Syafi’i seringkali dijadikan sebagai landasan bagi golongan yang tidak setuju dengan mereka yang mengamalkan adzan dua kali, yaitu :
قال الشَّافِعِيُّ وَأَيُّهُمَا كان فَالْأَمْرُ الذي على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَحَبُّ إلى.

Imam Syafi’i berkata: “Apa yang diamalkan pada masa Rasulullah masih hidup lebih aku sukai (daripada melakukan adzan dua kali di hari Jumat ).

Ungkapan tersebut secara literal tidak bisa dipahami bahwa Imam Syafi’i menganggap sesat mereka yang melaksanakan sholat Jumat  dengan dua kali adzan. Hal ini dikarenakan ungkapan tersebut hanyalah salah satu bentuk ekpresi kecintaan yang berlebih terhadap salah satu dari dua hal yang sama-sama dicintai. Ungkapan tersebut akan sama maknanya dengan ungkapan seorang bapak yang lebih menyayangi anak bungsunya ketimbang anak sulungnya. Dalam arti kata bapak tersebut menyayangi kedua anaknya, namun rasa sayangnya terhadap Si bungsu agak lebih besar dibanding rasa sayangnya kepada Si sulung.

Bukti nyata hal itu dapat dilihat dari redaksi أحب إلي yang terdapat dalam ungkapan Imam Syafi’i tersebut, yang dalam literatur gramatikal Bahasa Arab disebut dengan Af’al Tafdhil dan mengandung makna “lebih dari”. Selain itu terdapat pula sebuah ungkapan umum dari Imam Syafi’i yang tidak terlalu mempersoalkan jumlah bilangan adzan dalam kedudukannya sebagai sunah-sunah salat, karena hal itu menurut beliau tidak akan mempengaruhi sah atau tidaknya sholat seseorang. Berikut kutipan perkataan beliau:

قال الشَّافِعِيُّ “وَلَيْسَ في الْأَذَانِ شَيْءٌ يُفْسِدُ الصَّلَاةَ لِأَنَّ الْأَذَانَ ليس من الصَّلَاةِ إنَّمَا هو دُعَاءٌ إلَيْهَا وَكَذَلِكَ لو صلى بِغَيْرِ أَذَانٍ كَرِهْت ذلك له وَلَا إعَادَةَ عليه.”

Imam Syafi’i berkata: “adzan bukanlah sesuatu yang mempengaruhi sah atau tidaknya salat, karena adzan pada dasarnya bukanlah bagian dari salat. Namun adzan hanyalah seruan untuk melaksanakan salat. Oleh sebab itu, seandainya ada orang yang sholat tanpa mengumandangkan adzan aku memakruhkan hal itu buat dia, namun sholatnya  tidak perlu diulang”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i tidak pernah menganggap sesat mereka yang mengumandangkan adzan Jumat  sebanyak dua kali, hanya saja beliau lebih menyukai praktek ibadah yang dilakukan Nabi ketimbang ijtihad legal yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bukanlah sebuah bid’ah yang mengantarkan pengikutnya ke dalam neraka. Namun hal itu hanyalah ijtihad yang beliau lakukan lantaran desakan kondisi semakin banyaknya umat Islam pada saat itu. Apa yang beliau lakukan juga boleh diikuti oleh umat Islam setelahnya tanpa harus mempertentangkannya dengan apa yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan dua orang khalifah sebelumnya.
Wallahu A’lam.

KETIKA KHUTBAH JUM'AH

Hukum Berbicara
Ketika Khutbah Jum’at

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Ketika menghadiri shalat Jum’at di masjid, tentu terdapat adab yang mesti diperhatikan. Di antara adab tersebut adalah diam ketika imam berkhutbah.

Berbagai Hadits yang Menunjukkan Larangan

Dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim no. 857)

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ

“Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jum’at, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jum’at baginya (artinya: ibadah Jum’atnya tidak sempurna, pen).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadits ini dho’if kata Syaikh Al Albani)

Dari Salman Al Farisi, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Apabila seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang, kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam berkhutbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jum’at yang satu dan Jum’at lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).

Kalam Ulama

An Nadhr bin Syumail berkata, “Laghowta bermakna luput dari pahala.” Ada pula ulama yang berpendapat, maksudnya adalah tidak mendapatkan keutamaan ibadah jum’at. Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ibadah jum’atnya menjadi shalat Zhuhur biasa (Lihat Fathul Bari, 2: 414).

Ibnu Battol berkata, “Para ulama yang biasa memberi fatwa menyatakan wajibnya diam kala khutbah Jum’at.” (Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)

Yang dimaksudkan “tidak ada jum’at baginya” adalah tidak ada pahala sempurna seperti yang didapatkan oleh orang yang diam. Karena para fuqoha bersepakat bahwa shalat Jum’at orang yang berbicara itu sah, dan tidak perlu diganti dengan Zhuhur empat raka’at. (Lihat penjelasan Ibnu Battol dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)

“Ngobrol” Ketika Imam Berkhutbah, Haram ataukah Makruh?

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika imam berkhutbah.
Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam, padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’ (perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja demikian, maka perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.

Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal ini. Al Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khutbah. …

Dalam hadits disebutkan, “Ketika imam berkhutbah”. Ini menunjukkan bahwa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah ketika imam berkhutbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik dan mayoritas ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib diam sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)

Memperingatkan Orang Lain Saat Khutbah Cukup dengan Isyarat

Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah di atas, “Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”

Pernyataan di atas didukung dengan hadits Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796).  Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhutbah hanya dengan isyarat.

Menjawab Salam Orang Lain Saat Khutbah

Termasuk dalam larangan adalah menjawab salam orang lain ketika imam berkhutbah.
Balasannya cukup dengan isyarat (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Menjawab salam saat khutbah tidaklah diperintahkan.
Bahkan kita hendaknya shalat tahiyyatul masjid, duduk dan tidak mengucapkan salam pada yang lain hingga selesai khutbah. Jika ada yang memberi salam padamu, maka cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana halnya jika engkau diberi salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan isyarat. …
Jika ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan saat itu imam sedang berkhutbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat, bisa dengan tangan atau kepalanya. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Jawaban pertanyaan di website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)

Menjawab Salam Khotib

Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajibannya).

Dalam kitab Al Inshof (4: 56, Asy Syamilah), salah satu kitab fikih madzhab Hambali disebutkan,

رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ

“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jama’ah) dan juga menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para jama’ah kaum muslimin.”

Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jaher, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,

أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض

“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy Syamilah)

Menjawab Kumandang Adzan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ

“Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).

Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah  memberi salam kepada jama’ah, ia disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadits ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”

Adapun menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal do’a dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’rof: 205)

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)

Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari ‘Ali bin Abi Tholib, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).

Dalam Asnal Matholib salah satu fikih Syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat tersebut.” Ulama Syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab shalawat.

Ulama Hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suara sirr (lirih) sebagaimana do’a.

Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang memerintahkan untuk menjawab shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk diam saat imam berkhutbah. Jika kita kompromikan dua dalil tersebut, yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat dengan suara sirr (lirih). (Lihat bahasan islamweb.net)

Menjawab Orang yang Bersin

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menjawab salam dan menjawab bersin saat khutbah Jum’at? Apa juga hukum menyodorkan tangan pada orang yang ingin bersalaman ketika imam berkhutbah?”

Jawaban beliau rahimahullah, “Menjawab salam orang lain dan menjawab bersin saat imam berkhutbah tidak diperbolehkan, karena hal itu termasuk berbicara yang terlarang dan hukumnya haram.
Karena seorang muslim (yaitu jama’ah) tidaklah diperintahkan untuk mengucapkan salam kala itu. Dikarenakan salamnya tidak diperintahkan, maka demikian pula dengan balasannya.

Orang yang bersin pun tidak diperintahkan mengeraskan bacaan ‘alhamdulillah’ tatkala imam berkhutbah.
Oleh karenanya, ucapannya tidak perlu dibalas dengan ucapan ‘yarhamukallah’.

Sedangkan menyamput jabatan tangan orang yang ingin bersalaman, sebaiknya tidak dilakukan karena termasuk membuat lalai. Kecuali jika dikhawatirkan terdapat mafsadat, maka ketika itu tidaklah mengapa menyambut sodoran tangannya, akan tetapi tidak boleh ditambah dengan obrolan. Dan jelaskan padanya setelah shalat bahwa pembicaraan saat khutbah itu haram. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16: 94, Asy Syamilah)

Berbicara dengan Khotib

Berbicara dengan khotib saat khutbah diperbolehkan jika ada hajat, baik ketika khotib memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau ketika menjawab pembicaraannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,

أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ

“Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian karena hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta hujan lewat shalat istisqo’ sehingga hewan-hewan ternak pun mati. Ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a agar hujan dihentikan.

Begitu pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».

“Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589).

Demikian bahasan rumaysho.com tentang berbagai masalah seputar obrolan atau pembicaraan saat imam berkhutbah Jum’at. Intinya, asal obrolan saat khutbah adalah haram kecuali jika ada hajat atau maslahat. Semoga bermanfaat.

Wallahu waliyyut taufiq