Hukum Khutbah Berbahasa Indonesia
Salah satu syarat keabsahan shalat Jumat adalah didahului dengan dua khutbah. Kewajiban dua khutbah ini disepakati oleh seluruh ulama selain pendapat Hasan al-Bashri yang berpendapat bahwa hal itu sekadar berhukum sunnah.
Kewajiban khutbah Jumat berdasarkan hadits Nabi:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan khutbahnya.” (HR Muslim)
Awal mulanya khutbah Jumat disyariatkan setelah pelaksanaan shalat Jumat. Kemudian berubah menjadi sebelum shalat. Saat penduduk Madinah mengalami lapar, datang Dihyah bin Khalifah al-Kalbi membawa barang dagangan dari Syam di saat mereka sedang mendengarkan khutbah Jumat Nabi Saw. Mereka sama beranjak dari tempat khutbah untuk menghampiri Dihyah, hingga tidak tersisa dari mereka kecuali 8 orang.
Melihat sahabatnya beranjak dari masjid, Nabi SAW bersabda, “Demi dzat yang jiwaku berada di kekuasaanNya. Andai mereka bubar semuanya, niscaya lembah menyalakan api untuk menimpa mereka.” Setelah peristiwa tersebut, khutbah Jumat diajukan sebelum pelaksanaan shalat Jumat (keterangan dari Sayyid Muhammad Abdullah al-Jardani, Fath al-‘Alam, juz 3, hal. 50-51, Dar al-Salam-Kairo, cetakan keempat tahun 1990).
Dalam madzhab Syafi’i, khutbah memiliki 5 rukun, yaitu membaca hamdalah, shalawat, wasiat takwa (tiga rukun ini wajib dibaca di kedua khutbah), ayat suci al-Qur’an dan doa untuk kaum Muslimin (2 rukun terakhir ini wajib dibaca di salah satu kedua khutbah).
Dalam membaca rukun-rukun tersebut, disyaratkan menggunakan bahasa Arab. Disyaratkan pula tartib dan terus menerus tanpa adanya pemisah (muwalah) di antara kelima rukun tersebut.
Namun, selain bacaan-bacaan khutbah yang menjadi rukun khutbah, diperbolehkan menggunakan bahasa non-Arab, seperti yang terlaku di negara kita, isi khutbah biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut diperbolehkan dan tidak dapat memutus kewajiban muwalah (terus menerus) di antara rukun-rukun khutbah.
Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:
وَشُرِطَ فِيْهِمَا عَرَبِيَّةٌ لِاتِّبَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ ( قوله وشرط فيهما ) أَيْ فِيْ الْخُطْبَتَيْنِ وَالْمُرَادُ أَرْكَانُهُمَا كَمَا فِي التُّحْفَةِ ...الى أن قال....وَكَتَبَ سم مَا نَصُّهُ قَوْلُهُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا يُفِيْدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الْأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَا يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالَاةِ اه قال ع ش وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ بِخِلَافِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلَا يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ فِي الْخُطْبَةِ اهـ
“Disyaratkan dalam dua khutbah memakai bahasa Arab, maksudnya hanya rukun-rukunnya saja seperti keterangan dalam kitab al-Tuhfah, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf. Syaikh Ibnu Qasim menulis, kewajiban memakai bahasa Arab terbatas untuk rukun-rukun khutbah memberi kesimpulan bahwa selain rukun-rukun khutbah yaitu beberapa materi yang masih berkaitan dengan khutbah yang diucapkan dengan selain bahasa Arab tidak dapat mencegah kewajiban muwalah di antara rukun-rukun khutbah. Syaikh Ali Syibramalisi mengatakan, hal ini dibedakan dengan diam yang lama yang dapat memutus muwalah karena di dalamnya terdapat unsur berpaling dari khutbah secara keseluruhan. Berbeda dengan isi khutbah dengan selain bahasa Arab yang di dalamnya terdapat sisi mau’izhah secara umum, sehingga tidak mengeluarkannya dari bagian khutbah.” (Syaikh Abu Bakr bin Syatha, I’ânatut Thâlibîn, juz.2, hal.117, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cetakan ketiga, tahun 2007)
Demikianlah hukum berkhutbah dengan bahasa Indonesia, juga dengan bahasa-bahasa non-Arab lainnya. Ia diperbolehkan sepanjang rukun-rukun khutbah tetap menggunakan bahasa Arab.
Semoga bermanfaat.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Ulama berbeda pendapat apakah khutbah jumat harus berbahasa arab. Ada 3 pendapat dalam masalah ini (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/180),
Pertama, khutbah disyaratkan harus berbahasa arab, meskipun pendengar tidak memahami bahasa arab. Ini meruapakan pendapat Malikiyah (al-Fawakih ad-Dawani, 1/306) dan pendapat sebagian ulama Hambali (Kasyaf al-Qana’, 2/34).
Kedua, disyaratkan menggunakan bahasa arab bagi yang mampu, kecuali jika semua jamaah tidak memahami bahasa arab, maka khatib menggunakan bahasa mereka. Ini merupakan pendapat yang masyhur di kalangan syafiiyah (al-Majmu’, 4/522) dan pendapat sebagian hambali.
Ketiga, dianjurkan menggunakan bahasa arab dan bukan syarat. Khatib boleh menggunakan bahasa selain arab. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah (Rad al-Mukhtar, 1/543) dan sebagian Syafiiyah.
Pendapat yang ketiga inilah yang lebih kuat, dan yang dipilih para ulama kontemporer. Diantara alasannya,
Tidak ada dalil tegas yang mewajibkan khutbah harus berbahasa arab.
Tujuan inti khutbah adalah memberikan nasehat dan ceramah kepada masyarakat. dan itu tidak mungkin bisa disampaikan kepada mereka kecuali dengan bahasa yang dipahami jamaah.
Sejalan dengan prinsip syariah, bahwa Allah mengutus para nabi-Nya dengan bahasa kaumnya. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
Tidaklah Kami mengutus seorang Rasul-pun, kecuali dengan bahasa kaumnya. Agar rasul itu menjelaskan (kebenaran) kepada mereka. (QS. Ibrahim: 4)
Kesimpulan menarik dari as-Syaukani,
ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة
Ketahuilah bahwa khutbah yang disyariatkan adalah kkhutbah yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memotivasi masyarakat dan memberi peringatan bagi mereka. Pada hakekatnya, bagian ini adalah inti khutbah, yang karenanya, disyariatkan adanya khutbah jumat. Sementara persyaratan memuji Allah, shalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau membaca beberapa ayat al-Quran, semua ini bukan tujuan utama disyariatkannya khutbah.
Kemudian beliau menegaskan,
ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده
Orang cerdas tidak akan ragu bahwa tujuan utama dalam khutbah nasehat (bagi jamaah), bukan pujian atau shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja, kebiasaan masyarakat arab turun-temurun, ketika mereka hendak menyampaikan ceramahnya, mereka mulai dengan memuji Allah dan shaawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini kebiasaan yang sangat bagus dan mulia. Namun, ini bukan tujuan utama khutbah. Yang menjadi inti khutbah adalah nasehat setelahnya. (ar-Raudhah an-Nadiyah, 1/137)
Al-Majma’ al-Fiqhi di bawah Rabithah Alam Islami juga menguatkan pendapat yang menyatakan, bahasa arab bukan syarat khutbah jumat. Dalam sebuah keputusannya dinyatakan,
الرأي الأعدل هو أن اللغة العربية في أداء خطبة الجمعة والعيدين في غير البلاد الناطقة بها ليست شرطاً لصحتها ، ولكن الأحسن أداء مقدمات الخطبة وما تضمنته من آيات قرآنية باللغة العربية ، لتعويد غير العرب على سماع العربية والقرآن ، مما يسهل تعلمها ، وقراءة القرآن باللغة التي نزل بها ، ثم يتابع الخطيب ما يعظهم به بلغتهم التي يفهمونها
Pendapat paling kuat, bahwa bahasa arab untuk bahasa pengantar khutbah jumat atau khutbah id, di selain negeri yang tidak berbahasa arab, bukanlah bagian dari syarat sah khutbah. Hanya saja yang terbaik, menyampaikan mukaddimah khutbah dan ayat al-Quran yang dibaca, menggunakan bahasa arab. Untuk membiasakan orang non arab agar medengarkan bahasa arab dan al-Quran. Yang ini memudahkan mereka belajar bahasa arab, serta membaca al-Quran dengan bahasa asli dia diturunkan. Selanjutnya khatib bisa menyampaikan nasehat dengan bahasa mereka, yang bisa mereka pahami.
Demikian, Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar