Sejarah dan Hukum Adzan Dua Kali dalam Sholat Jumat
Dalam pelaksanaan sholat Jumat , seringkali ditemukan polemik di kalangan kaum muslimin. Salah satu di antaranya adalah persoalan jumlah adzan pada sholat tersebut. Sebagian Masjidmengumandangkan adzan sebanyak dua kali, adzan pertama pada saat waktu masuk kemudian adzan kedua pada waktu khatib naik mimbar. Sebagian yang lain mencukupkan dengan satu kali saja yaitu pada saat waktu masuk yang berbarengan dengan naiknya khatib ke atas mimbar. Bahkan di salah satu Masjiddi Kota Fes Maroko -sebagaimana yang dituturkan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Cerita Maroko- adzan Jumat dikumandangkan sebanyak lima kali. Pertanyaannya, apakah adzan dua kali atau lebih pada sholat Jumat tersebut tergolong bid’ah.?
Memang benar, persoalan jumlah adzan dalam sholat Jumat tersebut telah menjadi salah satu di antara sekian banyak persoalan khilafiyah di tubuh umat Islam. Namun anehnya, perbedaan itu akhir-akhir ini seringkali memunculkan kesan tidak baik terhadap sebagian golongan, khususnya bagi mereka yang mengumandangkan adzan dua kali atau lebih. Mereka (oleh sebagian oknum) dianggap telah melakukan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau dalam bahasa sederhananya, mereka dicap telah melakukan sebuah bid’ah. Dan setiap bid’ah menurut oknum tersebut adalah sesat, dan orang yang sesat tempatnya adalah di neraka.
Persoalan ini sebenarnya sudah dijelaskan secara panjang lebar oleh para ulama Islam semenjak beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu, untuk mempermudah kajian ini, penulis akan mencoba menyajikannya dalam beberapa poin sebagai berikut :
Sejarah Singkat adzan
Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa adzan pertama kali dikumandangkan pada tahun pertama hijriah oleh sahabat Rasul yang bernama Bilal bin Rabbah yang berfungsi sebagai penanda masuknya waktu sholat bagi kaum muslimin. Adapun rincian kisahnya dijelaskan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, berikut kutipan teks hadisnya :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَوَاتِ وَلَيْسَ يُنَادِى بِهَا أَحَدٌ فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِى ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمُ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ قَرْنًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِى بِالصَّلاَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ ».
Suatu waktu ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul sembari menunggu waktu salat. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang bisa memberitahukan bahwa waktu sholat telah masuk. Sehingga pada suatu hari mereka bermusyarawah untuk membahas persoalan tersebut. Sebagian sahabat mengusulkan agar menggunakan lonceng sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang Nasrani dan sebagian yang lain dengan tanduk sebagaimana digunakan oleh orang-orang Yahudi dalam upacara keagamaan mereka, Namun sahabat Umar bin Khaththab berkata “Alangkah baiknya kalian menjadikan seseorang yang bertugas untuk memanggil orang-orang salat”, kemudian Rasulullah SAW menyetujui usulan Umar dan berkata “wahai Bilal, berdirilah serta panggillah manusia untuk mendirikan salat!”
Sementara itu dalam riwayat Abu Daud ada tambahan riwayat sebagai berikut :
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَرَادَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الأَذَانِ أَشْيَاءَ لَمْ يَصْنَعْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ فَأُرِىَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ الأَذَانَ فِى الْمَنَامِ فَأَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ »
Abdullah bin Zaied berkata: “Nabi SAW berkeinginan untuk mencari cara dalam memberitahukan waktu sholat (adzan), namun beliau belum juga menemukannya”. Abdullah bin Zaied telah bermimpi mengenai kalimat-kalimat adzan dalam tidurnya. Lalu dia mendatangi Nabi SAW untuk memberitahukan hal tersebut, kemudian Nabi SAW pun berkata “Ajarkanlah kata-kata itu kepada Bilal!”.
Di dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa pada saat Abdullah bin Zaied menceritakan mimpinya mengenai lafal-lafal adzan itu kepada Rasulullah, sahabat Umar bin Khattab pun mengakui hal yang sama bahwa beliau juga telah bermimpi dengan mimpi yang serupa dengan Abdullah bin Zaid. Setelah itu Rasulullah SAW berseru sembari memuji Allah SWT sebagai bentuk kegembiraan beliau dengan berita tersebut. Semenjak itu adzan dijadikan sebagai pengingat masuknya waktu sholat hingga Rasulullah SAW wafat.
adzan Jumat di Masa Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar dan Umar
Setelah mengetahui sekilas mengenai sejarah permulaan adzan, sekarang kita lihat bagaimana aturan dan jumlah adzan Jumat pada masa Rasulullah masih hidup. Mengenai hal ini, terdapat sebuah riwayat sahih dari Imam Bukhari sebagai berikut :
السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ.
Saib bin Yazied berkata: “Pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar, adzan di hari Jumat pada awalnya hanyalah ketika Imam duduk di atas mimbar. Pada saat Ustman bin Affan menjabat sebagai khalifah dan manusia sudah semakin banyak, beliau pun memerintahkan orang-orang untuk mengumandangkan adzan yang ketiga. adzan tersebut dilakukan di atas zaura’ (sebuah tempat di pasar Kota Madinah) dan ketetapan itu diberlakukan untuk masa selanjutnya”.
Adapun yang dimaksud dengan adzan ketiga dalam hadist tersebut adalah adzan pertama yang dikumandangkan sebelum masuk waktu Jumat di atas zaura’ pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Sementara itu adzan kedua adalah adzan pada saat khatib duduk di atas mimbar dan adzan ketiga adalah iqamah yang dikumandangkan sesaat menjelang didirikannya sholat Jumat . Begitulah tatacara pelaksanaan adzan sholat Jumat pada masa-masa awal perkembangan Islam. Semakin meluasnya kekuasaan Islam dan semakin banyaknya jumlah kaum muslimin pada masa kekhalifahan Utsman, telah mendorong beliau mengeluarkan kebijakan untuk menambah adzan satu lagi dengan tujuan mengingatkan manusia bahwa waktu sholat Jumat telah masuk.
Respon Ulama Terhadap Gagasan Khalifah Utsman bin Affan
Kalau diperhatikan secara selintas, gagasan yang dilakukan oleh Khalifah Ustman bin Affan pada dasarnya berbeda dengan praktek dua khalifah sebelumnya ataupun bahkan dengan Rasulullah SAW sendiri yang hanya mengumandangkan adzan sholat Jumat dua kali saja yaitu adzan pada saat khatib naik mimbar dan iqamat sesaat menjelang sholat Jumat akan didirikan. Namun dapatkah kita menghukumi amalan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan ini sebagai sebuah kesesatan dengan alasan bahwa kebijakan beliau menyalahi kebijakan Rasulullah SAW?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya kita memperhatikan beberapa poin di bawah ini :
Pada bagian akhir hadist riwayat Bukhari di atas dinyatakan فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (ketetapan itu pun diberlakukan untuk masa selanjutnya). Ungkapan tersebut menurut Ibn Hajr mempunyai pengertian bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Utsman bin Affan diterima secara baik oleh umat Islam di seluruh negeri pada saat itu, karena kedudukan Ustman bin Affan sebagai khalifah yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh kaum muslimin. Dalam kata lain keputusan tersebut telah menjadi konsensus di kalangan sahabat.
Memang ada sebuah riwayat dari Ibn Abi Syaibah yang ia terima dari jalur Abdullah bin Umar yang mengatakan bahwa ”adzan pertama yang dilakukan pada hari Jumat (adzan tambahan dari Khalifah Utsman bin Affan) adalah bid’ah”, namun perkataan ini mempunyai beberapa kemungkinan makna sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Hajr, di antaranya:
Kemungkinan yang pertama, boleh jadi Abdullah bin Umar dalam hal ini tidak setuju dengan apa yang digagas oleh khalifah Utsman bin Affan, sehingga ketidaksetujuan itu beliau ekpresikan dengan ungkapan bahwa hal itu merupakan sebuah kebid’ahan. Namun penolakan sahabat secara terang-terangan selain ungkapan Abdullah bin Umar di atas terhadap gagasan Ustman tersebut sampai saat ini belumlah ditemukan, sehingga kemungkinan bahwa Abdullah bin Umar menentang kebijakan Utsman tersebut batal dengan sendirinya.
Kemungkinan yang kedua, bahwa yang dimaksud oleh Abdullah bin Umar dengan ungkapan beliau tersebut hanyalah semata-mata memberitahukan bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Utsman dengan menambah adzan pertama itu belum ada pada masa Rasulullah SAW dan mengadakan sesuatu yang tidak dicontohkan oleh beliau dinamakan dengan bid’ah secara bahasa (bukan bid’ah yang sesat). Karena menurut Ibn Hajr bid’ah itupun nanti akan terbagi kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Apa yang dicetuskan oleh Khalifah Ustman termasuk bid’ah hasanah karena bertujuan untuk kemaslahatan agama Islam dan umatnya juga.
Kalau memang apa yang digagas dan dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan tersebut dipatuhi dan tidak seorangpun di antara sahabat dan ulama yang ada pada saat itu menentang keputusan beliau, maka ketetapan itu bisa dianggap sebagai ijma’ sukuti yang harus dipatuhi dan diikuti oleh segenap umat Islam.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya dan juga dikutip oleh Imam Nawawi dalam Arba’in-nya mengatakan :
فَعَلَيكُم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
“Pegang teguhlah sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk (setelahku).!”
hadist tersebut merupakan anjuran keras Rasulullah SAW untuk umat Islam supaya berpegang teguh dengan sunah beliau dan sunah khalifah-khalifah yang ada setelah beliau. Sementara itu Utsman bin Affan adalah seorang sahabat Nabi yang sangat beliau cintai dan termasuk salah seorang sahabat yang telah dijanjikan untuk masuk surga oleh Allah SWT. Mungkinkah apa yang beliau cetuskan dianggap sebagai sebuah bid’ah yang sesat yang mengakibatkan beliau dan orang-orang yang mengikutinya akan masuk neraka?
Sebagian ulama di kalangan Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa adzan dua kali pada sholat Jumat adalah sebuah kesunahan, hal itu sebagaimana disampaikan oleh Syekh Zayn al-Din al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in dan Sayyied Bakri Syatha dalam kitabnya I’anah al-Thalibin.
Sebuah ungkapan terkenal dari Imam Syafi’i seringkali dijadikan sebagai landasan bagi golongan yang tidak setuju dengan mereka yang mengamalkan adzan dua kali, yaitu :
قال الشَّافِعِيُّ وَأَيُّهُمَا كان فَالْأَمْرُ الذي على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَحَبُّ إلى.
Imam Syafi’i berkata: “Apa yang diamalkan pada masa Rasulullah masih hidup lebih aku sukai (daripada melakukan adzan dua kali di hari Jumat ).
Ungkapan tersebut secara literal tidak bisa dipahami bahwa Imam Syafi’i menganggap sesat mereka yang melaksanakan sholat Jumat dengan dua kali adzan. Hal ini dikarenakan ungkapan tersebut hanyalah salah satu bentuk ekpresi kecintaan yang berlebih terhadap salah satu dari dua hal yang sama-sama dicintai. Ungkapan tersebut akan sama maknanya dengan ungkapan seorang bapak yang lebih menyayangi anak bungsunya ketimbang anak sulungnya. Dalam arti kata bapak tersebut menyayangi kedua anaknya, namun rasa sayangnya terhadap Si bungsu agak lebih besar dibanding rasa sayangnya kepada Si sulung.
Bukti nyata hal itu dapat dilihat dari redaksi أحب إلي yang terdapat dalam ungkapan Imam Syafi’i tersebut, yang dalam literatur gramatikal Bahasa Arab disebut dengan Af’al Tafdhil dan mengandung makna “lebih dari”. Selain itu terdapat pula sebuah ungkapan umum dari Imam Syafi’i yang tidak terlalu mempersoalkan jumlah bilangan adzan dalam kedudukannya sebagai sunah-sunah salat, karena hal itu menurut beliau tidak akan mempengaruhi sah atau tidaknya sholat seseorang. Berikut kutipan perkataan beliau:
قال الشَّافِعِيُّ “وَلَيْسَ في الْأَذَانِ شَيْءٌ يُفْسِدُ الصَّلَاةَ لِأَنَّ الْأَذَانَ ليس من الصَّلَاةِ إنَّمَا هو دُعَاءٌ إلَيْهَا وَكَذَلِكَ لو صلى بِغَيْرِ أَذَانٍ كَرِهْت ذلك له وَلَا إعَادَةَ عليه.”
Imam Syafi’i berkata: “adzan bukanlah sesuatu yang mempengaruhi sah atau tidaknya salat, karena adzan pada dasarnya bukanlah bagian dari salat. Namun adzan hanyalah seruan untuk melaksanakan salat. Oleh sebab itu, seandainya ada orang yang sholat tanpa mengumandangkan adzan aku memakruhkan hal itu buat dia, namun sholatnya tidak perlu diulang”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i tidak pernah menganggap sesat mereka yang mengumandangkan adzan Jumat sebanyak dua kali, hanya saja beliau lebih menyukai praktek ibadah yang dilakukan Nabi ketimbang ijtihad legal yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bukanlah sebuah bid’ah yang mengantarkan pengikutnya ke dalam neraka. Namun hal itu hanyalah ijtihad yang beliau lakukan lantaran desakan kondisi semakin banyaknya umat Islam pada saat itu. Apa yang beliau lakukan juga boleh diikuti oleh umat Islam setelahnya tanpa harus mempertentangkannya dengan apa yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan dua orang khalifah sebelumnya.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar