Di antara tradisi yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam Indonesia, dalam rangka menyambut kehadiran jabang bayi, adalah mengumandangkan adzan pada telinga kanannya, dan iqamat pada telinga kirinya. Kebiasaan ini bertujuan agar hal pertama yang didengar oleh bayi adalah kalimat tauhid, di samping agar sang jabang bayi terhindar dari berbagai pengaruh dan godaan setan.
Meskipun demikian, sebagian umat Islam tidak melakukan tradisi tersebut, dengan alasan tidak ada hadits shahih yang dapat dijadikan sebagai dalil disyariatkannya adzan pada telinga bayi. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama mazhab soal hukum mengadzani telinga bayi?
Para ulama bersepakat bahwa mengumandangkan adzan sebelum melaksanakan shalat itu disyariatkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat jika adzan tersebut ditujukan untuk selain shalat, seperti adzan untuk bayi yang baru saja dilahirkan.
Pertama, mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, mengadzani bayi hukumnya sunnah. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:
مَطْلَبٌ: فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُنْدَبُ لَهَا الْأَذَانُ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ، فَيُنْدَبُ لِلْمَوْلُوْدِ.
“Pembahasan tentang tempat-tempat yang disunnahkan mengumandangkan adzan untuk selain (tujuan) shalat, maka disunnahkan mengadzani telinga bayi” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Ala Ad-Durril Mukhtar, juz 1, h. 415).
Imam Nawawi, sebagai salah satu icon ulama mazhab Syafi’i, menuliskan masalah ini di dalam kitab fikihnya yang fenomenal, Al-Majmu’:
السُّنَّةُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُوْدِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، وَيَكُوْنَ الأَذَانُ بِلَفْظِ أَذَانِ الصَّلَاةِ. قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: يُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَيُقِيْمَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى.
“Disunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga bayi saat ia baru lahir, baik bayi laki-laki maupun perempuan, dan adzan itu menggunakan lafadz adzan shalat. Sekelompok sahabat kita berkata: Disunnahkan mengadzani telinga bayi sebelah kanan dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, sebagaimana iqamat untuk shalat” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 8, h. 442).
Syekh Mansur Al-Bahuti dari mazhab Hanbali juga menuliskan:
وَسُنَّ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ الْيُمْنَى، ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، حِينَ يُولَدُ، وَأَنْ يُقِيمَ فِي الْيُسْرَى، لِحَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَاهُ.
“Dan disunnahkan dikumandangkan adzan pada telinga bayi sebelah kanan, baik laki-laki atau perempuan, ketika dilahirkan, dan mengiqamatinya pada telinga sebelah kiri, karena hadits riwayat Abi Rafi’ bahwa ia berkata: Saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadzani telinga Hasan bin Ali saat dilahirkan oleh Fatimah. Hadis ini diriwayatkan dan dianggap shahih oleh Abu Dawud dan Tirmidzi” (Mansyur bin Yunus Al-Bahuti, Kassyaful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 7, h. 469).
Kedua, sebagian ulama’ mazhab Maliki menyatakan, mengadzani bayi setelah dilahirkan hukumnya mubah (boleh). Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menyebutkan:
(قُلْتُ) وَقَدْ جَرَى عَمَلُ النَّاسِ بِذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِالْعَمَلِ بِهِ
“Saya berkata: Dan orang-orang telah terbiasa melakukan hal itu (mengadzani dan mengiqamati bayi), maka tidak apa-apa dilaksanakan” (Muhammad bin Muhammad Al-Hattab, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashari Khalil, juz 3, h. 321).
Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menegaskan, hukum mengadzani bayi setelah dilahirkan adalah makruh. Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menulis:
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي زَيْدٍ فِي كِتَابِ الْجَامِعِ مِنْ مُخْتَصَرِ الْمُدَوَّنَةِ: وَكَرِهَ مَالِكٌ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الصَّبِيِّ الْمَوْلُودِ
“Syekh Abu Muhammad bin Abi Zaid berkata dalam kitab Al-Jami’ min Mukhtasharil Mudawwanah: Imam Malik menghukumi makruh dikumandangkannya adzan pada telinga bayi yang baru dilahirkan” (Muhammad bin Muhammad Al-Hattab, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashari Khalil, juz 3, h. 321).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengadzani bayi. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syaf’i, dan ulama mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Maliki menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menganggapnya makruh.
Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang mensunnahkan adzan pada bayi yang baru dilahirkan merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh beberapa hadits, yaitu hadits riwayat Abu Rafi’:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِى أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ.
“Dari Abi Rafi, ia berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadzani telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah, dengan adzan shalat” (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim).
Imam Al-Hakim menilai hadits tersebut sebagai hadits yang shahih. Sedangkan imam At-Tirmizy mengkategorikannya sebagai hadits yang ‘hasan shahih’. Jika imam At-Tirmizy menyebut kata ‘hasan shahih’, maka ada dua kemungkinan: Pertama, jika hadits tersebut memiliki dua sanad, maka salah satu sanadnya dihukumi hasan, sedangkan sanad yang lain dihukumi shahih. Kedua, jika hadits tersebut hanya memiliki satu sanad, maka artinya hadits itu dihukumi hasan menurut sebagian ulama, dan dihukumi shahih menurut sebagian ulama yang lain (lihat: Mahmud At-Thahhan, Taysiru Musthalahil Hadits, h. 48).
Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i juga menshahihkan hadits ini, sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Majmu’ (lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 8, h. 442).
Selain hadits di atas, pendapat ini juga diperkuat oleh hadits riwayat Husein bin Ali:
عَنْ حُسَيْنٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Dari Husein, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang bayi, lalu dia mengazani telinganya sebelah kanan, dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, maka ia tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan (jin pengganggu anak kecil)” (HR. Abu Ya’la Al-Mushili).
Mengomentari hadits tersebut, imam Al-Mubarakfuri menerangkan, hadits ini bisa dijadikan sebagai penguat atau syahid dari hadits riwayat Abi Rafi’ di atas. (Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’it Tirmidzi, juz 5, h. 89).
Wallahu A’lam.
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam : " Semalam terlahir seorang anak bagiku, kunamai dengan nama bapakku, Ibraahiim ". (HR Muslim).
Sunnahnya memberi nama anak pada hari ketujuh dari kelahirannya, atau pada hari lahirnya. Dianjurkan memberi nama anak pada hari ketujuh, dan boleh sebelum hari ketujuh dan boleh setelah hari ketujuh, banyak hadits-hadits shahih dalam hal ini. Pemberian nama pada hari ketujuh adalah pendapatnya Al Hasan Bisri, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad san selain mereka.
Ashab syafi'i berkata : dan tidak masalah memberi nama anak pada hari sebelumnya.
Muhamad bin Sirrin, Qatadah, dan Al Auza'i : ketika telah terlahir dengan sempurna. jika mau, boleh dinamai saat itu juga .
Ibnu Mundzir : pemberian nama pada hari ketujuh adalah baik. dan kapanpun mau, boleh memberinya nama.
Ibnu Hazm : dinamai pada ahri lahirnya, jika di akhirkan pemberian nama sampai hari ketujuh maka baik.
Ibnu Mahlab : boleh memberi nama ketika dilahirkan dan setelahnya, kecuali jika bernia akekah pada hari ketujuh, maka sunnahnya mengakhirkan pada hari ketujuh. Pendapat Ibnu Mahlab ini mengambil dari pendapatnya Imam Bukhari. Wallohu a'lam.
شرح النووي على مسلم ج 14 ص 470
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلَامٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ
وَفِيهِ جَوَازُ تَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ وِلَادَتِهِ ، وَجَوَازُ التَّسْمِيَةِ بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ وَسَلَامُهُ
الأذكار ص 286
السنة أن يُسَمَّى المولودُ في اليوم السابع من ولادته ، أو يوم الولادة
المجموع ج 8 ص 415
قال أصحابنا وغيرهم : يستحب أن يسمى المولود في اليوم السابع ، ويجوز قبله ، وبعده ، وقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة في ذلك
طرح التثريب ج 5 ص 203-204
وبهذا قال الحسن البصري ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم
قال أصحابنا: ولا بأس أن يسمى قبله.
وقال محمد بن سيرين وقتادة والأوزاعي: إذا ولد وقد تم خلقه سمى في الوقت إن شاءوا.
وقال ابن المنذر: تسميته يوم السابع حسن، ومتى شاء سماه.
وقال ابن حزم: يسمى يوم ولادته، فإن أخرت تسميته إلى السابع فحسن.
وقال ابن المهلب: يجوز تسميته حين يولد وبعده إلا أن ينوي العقيقة عنه يوم سابعه، فالسنة تأخيرها إلى السابع، وأخذ ذلك من قول البخاري في تبويبه (باب تسمية المولود غداة يولد لمن لم يعق)
Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Hukum Tahnik
Terdapat perbedaan pendapat ulama apakah tahnik itu sunnah atau kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, tidak bagi umatnya. Ulama yang menyatakan tahnik itu sunnah berdalil dengan beberapa hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tahnik, sedang ulama yang menyatakan tahnik adalah kekhususan beliau berdalil dengan alasan:
Tahnik dilakukan untuk mencari keberkahan dari air liur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini khusus pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pada jasad beliau ada keberkahan (selama masih hidup)
Tidak ada riwayat para sahabat membawa anak bayi mereka orang shalih seperti ke Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat lainnya untuk dilakukan tahnik pada anak bayi mereka yang baru lahir. Sekiranya hal ini Sunnah, maka para sahabat yang paling pertama dan semangat melakukannya.
Baca Juga: Inilah Tinjauan Bayi Prematur dalam Islam
Penjelasan Tahnik Adalah Kekhususan Nabi
An-Nawawi mengklain bahwa tahnik ini Sunnah dan ‘mengklaim’ menjadi ijma’ ulama, beliau berkata:
اتفق العلماء على استحباب تحنيك المولود عند ولادته بتمر ، فإن تعذر فما في معناه وقريب منه من الحلو
“Ulama bersepakat sunnahnya tahnik pada anak ketika baru lahir dengan kurma. Apabila tidak ada kurma, maka boleh dengan yang manis lainnya.” [Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim 14/122-123]
Beliau menyatakan Sunnah berdasarkan beberapa hadits berikut:
Dari Abu Musa, beliau berkata,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Pernah dikaruniakan kepadaku seorang anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan sebuah kurma.”[HR. Bukhari & Muslim]
Dari Aisyah, beliau berkata,
أتى النبى صلى الله عليه و سلم بصبى يحنكه فبا ل عليه فأ تبعه الماء
“Didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang bayi laki-laki beliau mentahniknya, lalu bayi itu mengencinginya, kemudian beliau memercikkannya dengan air”[HR. Bukhari]
Salah satu ulama yang menyatakan tahnik adalah perbuatan khusus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Asy-Syathibi, beliau juga menyatakan ijma’ para sahabat untuk meninggalkan tahnik dan tabarruk dalam hal ini. Beliau berkata,
إجماعَ الصحابةِ رضي الله عنهم على تركِ ذلك التبرُّكِ فيما بينهم حيث يقول: «وهو إطباقُهم ـ أي: الصحابة ـ على الترك؛ إذ لو كان اعتقادُهم التشريعَ لَعَمِل به بعضُهم بعده
“Ijma’ para sahabat untuk meninggalkan tabarruk jenis ini di antara mereka. Penerapan para sahabat, yaitu meninggalkan (tahnik). Apabila mereka menyakini ini Sunnah, maka mereka akan mengamalkannya satu dengan yang lain (saling mentahnik anak mereka).” [Al-I’tisham 2/10]
Sikap Pertengahan Dalam Masalah Tahnik
Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin menjelaskan adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Beliau bersikap pertengahan, apabila ada yang melakukan tahnik maka tidak mengapa (jangan dicela dan menyalahkan). Apabila tidak melakukan tahnik juga tidak mengapa (jangan dicela juga karena dianggap tidak mau melakukan sunnah menurut mereka). Intinya saling menghormati karena hal ini adalah ikhtilaf mu’tabar (yang teranggap) di antara para ulama. Beliau lebih memilih tidak melakukannya lebih selamat, karena hukum asal ibadah itu adalah haram sampai ada dalil yang membolehkan. Perhatikan perkataan beliau:
التحنيك يكون حين الولادة حتى يكون أول ما يطعم هذا الذي حنك إياه ، ولكن هل هذا مشروع لغير النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم ؟ فيه خلاف : فمن العلماء من قال : التحنيك خاص بالرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم للتبرك بريقه عليه الصلاة والسلام ليكون أول ما يصل لمعدة هذا الطفل ريق النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم الممتزج بالتمر ، ولا يشرع هذا لغيره ، ومنهم من قال : بل يشرع لغيره ؛ لأن المقصود أن يطعم التمر أول ما يطعم ، فمن فعل هذا فإنه لا ينكر عليه ، أي من حنك مولودا حين ولادته فلا حرج عليه ، ومن لم يحنك فقد سلم ” انتهى
“Tahnik dilakukan ketika baru lahir dan hendaknya menjadi yang pertama kali masuk (ke mulut bayi), akan tetapi apakah tahnik disyariatkan kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Terdapat perbedaan pendapat ulama. Ada ulama yang menyatakan bahwa tahnik adalah kekhususan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertabarruk dengan air liurnya, agar yang pertama kali masuk adalah air liur beliau ke perut bayi melalui kurma yang dikunyah. Tahnik tidak disyariatkan untuk selain beliau. Ada ulama juga yang menyatakan bahwa hal ini disyariatkan kepada selain beliau karena tujuannya adalah memberikan kurma sebagai yang pertama kali masuk. Bagi yang melakukan maka tidak diingkari yaitu melakukan tahnik kepada bayi yang baru lahir, hal ini tidak mengapa. Bagi yang tidak melakukan tahnik maka telah selamat.” [Fatwa Nur ‘Alad Darb 6/228]
Catatan Penting
Mengqiyaskan mencari berkah kepada orang shalih dengan air liur mereka adalah hal yang tidak dibenarkan karena tidak bisa diqiyaskan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang diperbolehkan adalah meminta didoakan kepada orang shalih. Syaikh Ali Firkus menjelaskan:
عليه، فإنَّ القولَ بجوازِ التبرُّك برِيقِ الصالحين ولُعابهم مِن جهةِ التحنيك هو القولُ بجوازِ التبرُّك بذواتِ وآثارِ الصالحين قياسًا على النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم، ولا يخفى أنَّ مِثْلَ هذا القياسِ فاسِدُ الاعتبار لمُقابَلته للإجماع المنقولِ عن الصحابة رضي الله عنهم في تركِهم لهذا الفعلِ مع غيرِ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم، ولو كان خيرًا لَسَبَقونا إليه.
“Bagi yang menyatakan bolehnya tabarruk dengan air liur orang shalih, bisa jadi mereka beralasan dengan bolehnya tabarruk dengan zat dan atsar (misalnya sisa air minum mereka) orang shalih berdasarkan qiyas kepada perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak samar lagi bahwa ini adalah qiyas fasid (qiyas yang tidak benar).”
Hukum Memotong Rambut Bayi Baru Lahir Menurut Islam, Moms Sudah Tahu?
Inilah adab memotong rambut bayi sesuai anjuran Islam
Bagikan
Artikel ditulis oleh Zarah Amala
Disunting oleh Intan Aprilia
Memotong rambut bayi merupakan salah satu tradisi yang tetap dilakukan sampai sekarang, bahkan dalam agama Islam, hal ini termasuk ke dalam anjuran.
Dilansir dari A-Z Islam, cara memotong rambut bayi menurut Islam pun tak sembarangan, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan.
Contohnya yaitu melakukan aqiqah di hari ke-7 setelah bayi dilahirkan, tapi ada juga yang melakukannya di hari ke-40.
Ini dilakukan guna menunjukkan iman kita sebagai umat Islam kepada Allah SWT.
Adapun hadis tentang mencukur rambut bayi dan melakukan aqiqah, yaitu:
“Seorang anak yang baru lahir tergadai dengan aqiqahnya, disembelih darinya (kambing) pada hari ketujuh kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberi nama,” (HR. An-Nasa’I, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
“Setiap anak ada aqiqahnya, sembelihlah aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya,” (HR. Bukhari).
قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـعَـقِـيْقَتةُ تُـذْبَحُ لِسَـبْعٍ وَلِأَرْبَعَ عَشَرَةَ
وَلِإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ
“Aqiqah pada hari ketujuh atau keempat belas atau dua puluh satu,” (HR. Thabrani).
Secara umum, aqiqah dalam Islam memang dilakukan pada hari ke-7 setelah kelahiran bayi.
Namun, jika saat itu orang tua tidak mampu secara finansial mengadakan aqiqah, maka dapat ditunda sampai benar-benar stabil secara finansial.
Cara Memotong Rambut Bayi Laki-laki dan Perempuan Menurut Islam
Foto: shutterstock.com
Baik bayi laki-laki maupun perempuan, dianjurkan untuk dipotong rambutnya, bahkan hingga gundul.
Namun, khusus untuk bayi perempuan, tidak masalah jika orang tua tidak memotongnya sampai gundul.
Setelah itu, timbang berat seluruh potongan rambut bayi tadi. Sebab, ini akan dijadikan perak dan disedekahkan. Ibnu Abdil Bar mengatakan:
“Buah kotoran dari bayi adalah mencukur rambutnya,” (Al-Istidzkar, 5/315).
Sementara itu, dalam ensiklopedi fikih dinyatakan mayoritas ulama yaitu malikiyah, syafi’iyah dan hambali berpendapat sebagai berikut:
“Mencukur rambut kepala bayi pada hari ketujuh. Dan bersedekah seberat rambut berupa emas atau perak.”
Bagaimana Jika Belum Dicukur Setelah Hari ke-7 Kelahiran?
Foto: shutterstock.com
Ibnu Hajar Al-Haytami meriwayatkan bahwa ia menyarankan untuk mencukur rambut bayi dan memberikan sedekah sesuai dengan berat rambut yang dicukur.
Dia juga menjelaskan tentang rambut bayi yang belum dicukur di bawah ini:
مَنْ لَمْ يُفْعَلْ بِشَعْرِهِ مَا ذَكَرَهُ يَنْبَغِي لَهُ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ أَنْ يَفْعَلَهُ هُوَ بِهِ بَعْدَ بُلُوغِهِ إنْ كَانَ شَعْرُ الْوِلَادَةِ بَاقِيًا وَإِلَّا تَصَدَّقَ بِزِنَتِهِ يَوْمَ الْحَلْقِ فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ احْتَاطَ وَأَخْرَجَ الْأَكْثَرَ
“Untuk yang rambutnya tidak ditangani seperti yang disebutkan (dicukur dan amal) maka disarankan untuk melakukan pencukuran rambut setelah kedatangannya di usia tua jika rambutnya dibawa sejak lahir. Jika beratnya tidak teridentifikasi, ia harus berhati-hati, dengan memberi sedekah sedikit lagi (atau melebihkannya).” (Tuhfat al Muhtaj).
Itulah cara memotong rambut bayi menurut Islam yang harus Moms dan Dads ketahui.
HUKUM KHITAN
DEFINISI KHITAN
Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli bahasa mengkhususkan lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan khifadh. [1]
Adapun dalam istilah syariat, dimaksudkan dengan memotong kulit yang menutupi kepala zakar bagi laki-laki, atau memotong daging yang menonjol di atas vagina, disebut juga dengan klitoris bagi wanita.[2]
KHITAN, SYARIAT NABI IBRAHIM ALAIHISSALLAM
Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai “kalimat” (perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah menjalankan perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai panutan dan imam seluruh alam. Dalam surat al Baqarah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim”. [al Baqarah : 124].
Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis”.[3]
Di dalam Musnad Ahmad dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : ”Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebagian dari fitrah adalah: berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air dari hidung), mencukur kumis, siwak, memotong kuku, membersihkan lipatan pada badan, mencabut bulu ketiak, istihdad, khitan dan bersuci”.[4]
Maksud dari fitrah adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia telah menganjurkannya demi kesempurnaan sifat mereka. Pada dasarnya sifat-sifat tersebut tidak memerlukan perintah syariat dalam pelaksanaannya, karena hal-hal tersebut disukai dan sesuai oleh fitrah.
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang berhubungan dengan hati dan dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai serta mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang kedua, fitrah amaliah dan dia hal-hal yang disebut di atas. Yang pertama mensucikan ruh dan membersihkan kalbu, sedangkan yang kedua mensucikan badan, dan keduanya saling membantu serta saling menguatkan. Dan pokok fitrah badan adalah khitan.[6]
Khitan bermula dari ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada seorangpun yang berkhitan [7]. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ibrahim berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”.[8]
Setelah Nabi Ibrahim Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tradisi dan sunnah khitan berlanjut bagi semua rasul dan para pengikut mereka, sampai kepada al Masih, bahwa dia juga berkhitan. Orang Nashrani mengakui dan tidak mengingkari khitan tersebut, sebagaimana mereka mengakui haramnya daging babi, haramnya uang penghasilan hari Sabat, mereka mengakui shalat menghadap Shakhrah (sebuah batu sebagai kiblat Yahudi di Masdjid al Aqsha, Pen), dan mereka mengakui untuk tidak berpuasa lima puluh hari, yang puasa tersebut mereka namakan dengan “puasa besar”.[9]
HIKMAH DAN FAIDAH KHITAN[10]
1. Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin, menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek moyang bagi keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan merupakan celupan dan tanda Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةًَ
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?” [al Baqarah : 138].
2. Sebagai tanda ‘ubudiah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dahulu, bahwa memberi tanda pada telinga atau badan pada budak sahaya sebagai pertanda penghambaan diri mereka kepada majikannya. Jika budak tersebut lari dari majikannya, ia dikembalikan kepadanya melalui perantara tanda tersebut. Maka tidak ada yang mengingkari, barangsiapa yang telah berkhitan dengan memotong kulit tersebut, berarti dia telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga semua orang mengetahui, barangsiapa yang melakukan khitan, berarti dia adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi hambaNya yang hanif.
4. Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan nafsu syahwat. Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan perilaku hewan. Dan jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama dengan benda mati, tidak mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita mendapatkan, orang yang tidak berkhitan, baik dia laki-laki maupun perempuan, tidak puas dengan jima` (hiperseks). Dan sebaliknya, kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat membuatnya menjadi dingin terhadap laki-laki.
5. Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan memuaskan pasangan.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ
“Dalam hadits Ummu `Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan lebih dicintai suami” [11]
6. Setan berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada kulit yang tidak berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia tiup pada orang yang berkhitan.
HUKUM KHITAN
Para ulama berselisih dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat Pertama : Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat ini merupakan mazhab Syafi`iyah [12], Hanabilah [13] dan sebagian Malikiyah [14] rahimahullah, dan dari ulama terkemuka dewasa ini, seperti pendapat Syaikh al Albani.[15]
Pendapat Kedua : Khitan itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan mazhab Hanafiyah [16], pendapat Imam Malik [17] dan Ahmad, dalam satu riwayat [18] rahimahullah.
Pendapat Ketiga : Khitan wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita. Pendapat ini merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad [19], sebagian Malikiyah[20] dan Zhahiriyah [21] rahimahullah.
DALIL-DALIL
Dalil pendapat Pertama, yang mengatakan khitan wajib. Mereka berdalil dengan Kitab, Sunnah, atsar dan akal.
a. Dalil dari Kitab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ … الأية
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)”.[al Baqarah : 124].
Catatan: Sesungguhnya, khitan termasuk kalimat yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai bentuk ujian kepada Ibrahim Alaihissallam, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas; dan ujian, secara umum berlaku dalam hal yang wajib.[22]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan”.
Catatan: Khitan termasuk ajaran Ibrahim Alaihissallam, sehingga hal itu termasuk dalam keumuman perintah untuk diikuti. Dan asal dari perintah adalah wajib, sampai ada dalil lain yang memalingkannya [23].
b. Dalil dari Sunnah.
Hadits `Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Aku telah masuk Islam,” Nabi bersabda,”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah [24]”.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “berkhitanlah”, adalah ‘amr (perintah); dan ‘amr, hukum asalnya wajib, ia menunjukkan wajibnya berkhitan. Perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada satu orang, juga mencakup yang lainnya, hingga ada dalil pengkhususan.[25]
Dan juga mereka berdalil sebagaimana yang diriwayatkan dari Zuhri, bahwa ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah, sekalipun sudah dewasa'[26].”
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka hendaklah berkhitan”, adalah ‘amr; dan asal hukum ‘amr, wajib dengan sighat (bentuk syarat) pada sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang masuk Islam”, lafadznya umum, mencakup laki-laki dan perempuan.
c. Atsar Salaf.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Al aqlaf (yaitu orang yang belum berkhitan), tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan sembelihannya”[27].
d. Dalil Aqli.
Mereka berdalil dengan teori dan qiyas. Secara teori, dapat dilihat dari beberapa aspek.
Pertama : Diperbolehkan membuka aurat saat dikhitan. Jika khitan bukan merupakan hal yang wajib, niscaya tidak diperbolehkan; karena hal itu bukan hal yang bersifat darurat dan bukan pula untuk berobat.[28]
Kedua : Kulit zakar dapat menahan najis, padahal membuang najis merupakan kewajiban ketika beribadah. Dan tidak ada cara menghilangkan kulit itu, kecuali dengan khitan. sehingga jadilah hukum hokum itu wajib, karena apa yang tidak bisa sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka jatuh hukumnya wajib [29].
Ketiga : Orang tua sebagai penyebab si anak merasakan sakit ketika dikhitan, dapat menyebabkan kematian jika sampai tetanus, serta sang ayah mengeluarkan hartanya untuk biaya tabib dan pengobatan. Jika hal itu tidak wajib, maka hal-hal tersebut tidak diperbolehkan [30].
Keempat : Sesungguhnya dengan berkhitan mendatangkan sakit yang luar biasa, tidak disyariatkan kecuali tiga keadaan: untuk mashlahat, atau hukuman, atau untuk melaksanakan sebuah kewajiban. Dalam khitan tidak mungkin karena dua yang pertama, sehingga jadi tersisa yang ketiga, yaitu untuk sebuah kewajiban.[31]
Sedangkan istidlal (dalil) dengan qiyas.
Pertama. Khitan adalah pemotongan yang disyariatkan rawan tetanus, jadilah wajib seperti memotong tangan pencuri [32]
Kedua. Sesungguhnya khitan merupakan syiar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib sebagaimana hukum syiar Islam yang lain [33].
Dalil pendapat kedua, yang menyatakan khitan sebagai sunnah dan bukan hal yang wajib. Mereka berdalil dengan Sunnah.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda: “Fitrah ada lima, di antaranya berkhitan …”. [34]
Catatan : Maksud dari fitrah adalah sunnah. Oleh karenanya, hukum khitan sunnah dan tidak wajib. Oleh karena khitan disejajarkan dengan yang bukan wajib seperti istihdad (mencukur bulu kemaluan).[35]
Sebagaimana yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita” [36].
Catatan : Hadits ini menjadi nash dalam permasalahan bahwa khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita.
Dalil pendapat ketiga, mereka lebih memerinci sebagian dalil yang dikatakan oleh pendapat pertama, yaitu yang mengatakan wajib berkhitan bagi laki-laki dan wanita.
Mereka berkata,”Khitan bagi laki-laki lebih tegas, karena kalau dia tidak berkhitan, maka kulit yang menjulur pada ujung zakar dapat menghalanginya dari bersuci, sedangkan wanita lebih ringan. Maka jatuhnya wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi wanita.”[37]
KESIMPULANNYA.
Pertama. Secara umum, setiap dalil tidak lepas dari kritikan, sebagaimana yang telah disebutkan bantahan, setiap pendapat terhadap pendapat lainnya oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahn[38].
Kedua. Pendapat pertama dan ketiga mempunyai persamaan dalam hukum khitan laki-laki, sedangkan hukum khitan perempuan sama-sama memiliki dalil yang sama-sama kuat.
Ketiga. Laki-laki diwajibkan berkhitan. Yang demikian ini merupakan pendapat jumhur, sebagaimana terdapat pada pendapat pertama dan ketiga. Dan pendapat ini yang lebih menenangkan hati, dari pendapat yang mengatakan khitan wanita itu sunnah, wallahu a`lam.
Sedangkan apa yang disebutkan oleh pendapat kedua pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, maka dapat kita jawab, jika kita menerima alasan mereka bahwa makna fitrah adalah sunnah, bukan berarti khitan tidak diwajibkan. Karena lafadz sunnah ada yang hukumnya wajib dan ada yang bukan wajib. Ia mencakup semua maknanya yang terkandung dalam syariat. Sedangkan membedakan antara sunnah dengan wajib, ini merupakan istilah baru.[39]
Keempat. Sedangkan khitan perempuan -yang menenangkan hati saya- hukumnya wajib, karena wanita adalah syaqa-iq (saudara sederajat) dengan laki-laki dalam hukum.
Alasan yang membuat penulis menyatakan hukum tersebut wajib, karena dengan berkhitan, seorang wanita dapat menetralkan syahwat. Hal itu dapat membantu untuk iffah (menjaga kehormatan). Dan menjaga kehormatan sangat dituntut secara syariat. Sebagaimana kesucian zhahir menjadikan khitan itu wajib atas laki-laki, begitu juga kesucian jiwa, menjadikan khitan itu wajib atas wanita.[40]
WAKTU KHITAN
Pelaksanaan khitan terbagi dalam tiga waktu.[41]
Pertama : Waktu yang diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia baligh, tatkala dia telah diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan sebelum itu [42].
Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata: “Abdullah bin Abbas ditanya ‘Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal?’, ia menjawab,’Aku waktu itu baru berkhitan, dan mereka tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat baligh’.[43]
Kedua : Waktu yang dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar [44], yakni masa ketika seorang anak sudah dianjurkan untuk shalat.
Ketiga : Waktu yang diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di atas.
Para ulama berselisih berkhitan pada hari ketujuh dari kelahiran, apakah dianjurkan atau dimakruhkan? Sebagian memakruhkan khitan pada hari ketujuh. Demikian pendapat Hasan Basri, Ahmad dan Malik rahimahullah. Dalil mereka sebagai berikut.
Pertama : Tidak adanya nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya tentang khitan bayi? Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun khabar (dalil)”.
Kedua : Tasyabbuh (meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad): “Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?” Beliau memakruhkannya sambil berkata: “Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah” [47].
Sebagian membawanya kepada istihbab (dianjurkan), dan ini pendapat Wahab bin Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak menyakitkan bagi bayi. Sedangkan sebagian lagi membawanya kepada hukum asal, yaitu boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Syaikh kami (Ibnu Taymiah) berkata,’Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan mengkhitan Isma’il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah (tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak cucunya.Wallahu a’lam’.”
ORANG YANG TIDAK PERLU DIKHITAN
Ada empat keadaan seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.
Pertama : Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang seperti ini tidak perlu dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama. Hanya sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) berkata: “Dianjurkan pisau melewati tempat khitan, karena itu yang dapat dia lakukan, dan Nabi telah bersabda,’Jika aku perintahkan, maka lakukan semampu kalian”. [48]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Yang benar, perbuatan ini makruh. Tidak perlu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya. Dan tidak perlu beribadah dengan semisalnya. Dan syariah berlindung dari hal itu, karena merupakan perbuatan sia-sia yang tidak ada faidahnya. Melewati pisau bukanlah tujuan. Akan tetapi sebagai sarana untuk sebuah tujuan. Jika tujuan telah tercapai, maka tidak ada artinya bagi sarana.”[49]
Kedua : Jika seseorang tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan, sebab sakit atau sudah tua, dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap dirinya kebinasaan dan kelemahan tersebut berlanjut, maka dalam keadaan seperti ini, ia diperkenankan untuk tidak berkhitan.
Ketiga : Seseorang masuk Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa karenanya; maka hukum khitan jatuh darinya menurut jumhur.
Keempat : Seseorang yang meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka tidak perlu dikhitankan, karena khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan itu telah hilang dengan kematian, maka tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.[50]
BEBERAPA KESALAHAN DAN KEMUNKARAN SEPUTAR PERMASALAHAN KHITAN
1. Mengadakan acara kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan mubadzir, bahkan bid’ah.
2. Menguliti sebagian seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara atau wilayah.
3. Kurang teliti memilih tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi masa depannya.
4. Menakut-nakuti anak yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak aqidah sang anak.
5. Lalainya sebagian orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
Wa shalallahu wa sallam ‘ala Muhammadin tasliman katsira, wa akhiru da’wana, al hamdulillahi Rabbil ‘alamin
_______
Footnote
[1]. Lisanul Arab (13/137), Tartibul Qamus (2/15)
[2]. Tharhut Tatsrib, Iraqi (2/75), Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/340)
[3]. HR Muslim dalam Minhaj (1/541) dan Bukhari dalam Fathul Bari (10/334)
[4]. HR Ahmad (4/264), Ibnu Majah, no. 294. Hadits hasan. Lihat Shahih Jami`, al Albani, no. 5782.
[5]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/339)
[6]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 100.
[7]. Ahkamul Qur`an, Ibnul Arabi (1/36)
[8]. HR Bukhari dalam Fathul Bari (11/88) dan Muslim (7/97)
[9]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayim, hlm. 98.
[10]. Lihat Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayim, hlm. 46-49.
[11]. HR Abu Dawud, no. 5271, haditsnya hasan, karena jalannya yang banyak. Lihat Silsilah Shahihah, no. 722.
[12]. Al Majmu`, Nawawi (1/300)
[13]. Al Inshaf, al Mardawi (1/123), al Mubdi`, Ibnu Muflih (1/103,104).
[14]. Al Qawanin al Fiqhiyah, Ibnu Jizzi, 167, Tharhut Tastrib, al Iraqi (2/75).
[15]. Lihat Tamamul Minnah, al Albani, hlm. 69
[16]. Al Mabsuth, Sarkhasi (1/156)
[17]. Al Qawanin al Fiqhiyah, Ibnu Jizzi, 167
[18]. Al Inshaf, al Mardawi (1/123), al Mubdi`, Ibnu Muflih (1/104)
[19]. Al Inshaf, al Mardawi (1/123), al Mubdi`, Ibnu Muflih (1/104), dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Qudamah t . Lihat al Mughni (1/85).
[20]. Al Fawakih ad Dawani, Nafrawi (1/461).
[21]. Al Muhalla, Ibnu Hazm (2/218) dan dinisbatkan oleh al Iraqi kepada mazhab Syafi`iyah.
[22]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/342)
[23]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 101.
[24]. Hadits hasan. HR Ahmad (3/415), Abu Dawud (1/148). Lihat Irwa`ul Ghalil, al Albani (1/120).
[25]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/341).
[26]. Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim t dan beliau berkata: “Hadits ini, sekalipun mursal, tetapi layak digunakan untuk penguat”. Lihat Tuhfatul Maudud, hlm. 101.
[27]. Disebutkan riwayatnya oleh Ibnul Qayyim di dalam Tuhfah, hlm. 119.
[28]. Al Majmu`, Nawawi (1/300), Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/341).
[29]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 103 dan Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/341)
[30]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 103 dan Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/341)
[31]. Istidlal ini dinukilkan oleh al Hafidz Ibnu Hajar t dari Imam Mawardi. Lihat Fathul Bari (10/342)
[32]. Al Mughni, Ibnu Qudamah (1/85). Juga disebutkan qiyas ini oleh Ibnul Qayyim di Tuhfatul Maudud, hlm. 129,130.
[33]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 103 dengan sedikit perubahan, dan Fathul Bari, Ibnu Hajar (10/341).
[34]. Telah berlalu takhrijnya.
[35]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 103 dan Nailul Authar, Syaukani (1/146).
[36]. HR Ahmad (5/75) dan Baihaqi (8/325).
[37]. Al Mughni, Ibnu Qudamah (1/85,86).
[38]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm.100-110.
[39]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 108.
[40]. Ahkamul Jirahah at Tibbiyah, Muhammad Mukhtar asy Syinqithi, hlm. 168.
[41]. Syaukani berpendapat, bahwa tidak ada waktu tertentu untuk berkhitan. Beliau menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur. Nailul Authar (1/144).
[42]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 110.
[43]. HR Bukhari dalam Fathul Bari (11/88).
[44]. Waktu itsghar, yaitu ketika gigi susu seorang anak berganti dengan gigi dewasa.
[45]. Al Fawakih ad Dawani (1/461). Beliau menisbatkannya kepada Malik rahimahullah, Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 112
[46]. Tuhfatul Maudud, hlm. 112.
[47]. Ibid.
[48]. HR Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337.
[49]. Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 120, Tharhut Tatsrib, al Iraqi (2/76).
[50]. Lihat Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim, hlm. 120-121.
DALIL TENTANG AQIQAH
Ayat AlQuran Tentang Aqiqah
Berbicara aqiqah memang tidak ada ketentuannya dalam kitab sucial-Qur’an. Dalil yang berbicara mengenai aqiqah kebanyakan terdapat dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi wa ahli baitih.Ayat al-Qur’an tentang aqiqah sendiri tidak tertulis secara rinci.Ayat al-Qur’an tentang aqiqah menjelaskan secara eksplisit tentang adanya aqiqah. Baik dari makna, sejarah dan juga ibrah yang didapat dari melaksanakan aqiqah. Untuk lebih jelasnya simak ulasan di bawah ini.
Ayat al-Qur’an tentang Ibrah Aqiqah
Ketika seorang muslim melaksanakan aqiqah, maka manfaat atauibrahyang bisa ia ambil adalah dari surat Al-Isra’ ayat 24-27.Di mana manfaat dari beraqiqah adalah seorang muslim bisa berbagi dengan sesama muslim. Aqiqah juga bisa meningkatkan silaturrahim antar sesama muslim.
Surat Al-Isra’ ayat 24
Dan hendaknya rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan lalu ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua (orang tua)telah mendidikku waktu kecil”.
Surat Al-Isra’ ayat 25
Tuhan-Mulebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu ; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguh-Nya Dia Tuhan yang Pengampun bagi orang-orang yang mau bertaubat.
Surat Al-Isra’ ayat 26
Dan hendaknya berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan juga orang yang sedang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu dengan boros.
Surat Al-Isra’ ayat 27
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudaranya parasyaithan. Dan sayaithan adalah makhluk yangsangat ingkar kepada Tuhan-Nya.
Dari surat Al-Isra’ ayat 24-27 tersebut telah begitu jelas menerangkan bahwa aqiqah sama halnya menyisihkan sebagian harta kepada orang-orang yang berhak. Aqiqah adalah kewajiban bagi orang tua atas tergadainya anak sejak lahir.
Hadits Shahih tentang Aqiqah
Aqiqah dianjurkan untuk dilaksanakan pada hari ke-7 (tujuh) dengan ketentuan jumlah kambing untuk bayi laki-laki adalah 2 ekor dan untuk bayi perempuan 1 ekor. Selain itu si bayi juga perlu diberi nama dan dicukur rambutnya pada saat aqiqah dilaksanakan. Berikut adalah beberapa hadits yang menjadi dasar pelaksanaan aqiqah:
عَنْ يُوْسُفَ بْنِ مَاهَكٍ اَنَّهُمْ دَخَلُوْا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمنِ فَسَأَلُوْهَا عَنِ اْلعَقِيْقَةِ، فَاَخْبَرَتْهُمْ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَهُمْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. الترمذي
Dari Yusuf bin Mahak bahwasanya orang-orang datang kepada Hafshah binti ‘Abdur Rahman, mereka menanyakan kepadanya tentang ‘aqiqah. Maka Hafshah memberitahukan kepada mereka bahwasanya ‘Aisyah memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para shahabat (agar menyembelih ‘aqiqah) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. [HR. Tirmidzi juz 3, hal. 35, no. 1549]
.عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى. البخارى 6: 217
Dari Salman bin ‘Amir Adl-Dlabiy, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak itu ada ‘aqiqahnya. Maka sembelihlah binatang ‘aqiqah untuknya dan buanglah kotoran darinya (cukurlah rambutnya)“. [HR. Bukhari juz 6, hal. 217]
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ. احمد 2: 604، رقم: 2725
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berkehendak untuk meng’aqiqahkan anaknya maka kerjakanlah. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding dan untuk anak perempuan satu ekor kambing“. [HR. Ahmad juz 2, hal. 604, no. 2725]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: عَقَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ اْلحَسَنِ وَ اْلحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَ سَمَّاهُمَا وَ اَمَرَ اَنْ يُمَاطَ عَنْ رُؤُوْسِهِمَا اْلاَذَى. الحاكم فى المستدرك 4: 264، رقم: 7588
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah ber’aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)“. [HR. Hakim, dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 264, no. 7588]
Keterangan : Hasan dan Husain adalah cucu Rasulullah SAW
.عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى. ابو داود 3: 106، رقم: 2838
Dari Samurah bin Jundab, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap anak tergadai (tergantung) dengan ‘aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ke-7, di hari itu ia dicukur rambutnya dan diberi nama“. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 106, no. 2838]
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَ يُحْلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى. ابن ماجه 2: 1056، رقم: 3165
Dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165]
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّيكُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تَذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu awud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165 dll dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Syaikh al-Albani dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab al-Insyirah Fi Adabin Nikah hlm. 97]
Itulah beberapa keterangan Shahih tentang Aqiqah yang menjadi dasar pelaksanaan aqiqah.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar