Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Senin, 27 Januari 2025

APAKAH ROSULULLAH MELIHAT ALLAH KETIKA ISRO MI'ROJ

Apakah Rasulullah Melihat Allah Ketika Isra Miraj ?...

Peristiwa Isra’ Miraj adalah peristiwa yang sangat penting bagi umat islam. Isra’ adalah perjalanan malam dari Makkah menuju masjid al-Aqsa sedangkan Miraj adalah perjalanan dari masjid al-Aqsa menuju Sidratul Muntaha.


Perjalanan Isra’ Miraj adalah perjalanan yang agung di mana Rasulullah melihat secara langsung keadaan orang-orang yang disiksa di neraka serta keadaan orang-orang yang berada di surga. Selain itu, Rasulullah juga dipertemukan dengan para nabi terdahulu serta mendapatkan perintah sholat lima waktu.


Peristiwa demi peristiwa ini terangkai dalam waktu yang singkat menurut manusia biasa padahal Rasulullah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Puncak Isra’ Miraj adalah pertemuan Rasulullah dengan Allah di Sidratul Muntaha. Lantas, apakah pertemuan ini berarti Rasulullah melihat Allah secara langsung tanpa perantara? Dalam hal ini para sahabat nabi terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:


Pertama, menurut sayyidah ‘Aisyah Rasulullah tidak melihat Allah di Sidratul Muntaha tetapi ia melihat malaikat Jibril. Hal ini dikuatkan dengan hadits:

عن مسروق قال دخلت على عائشة قلت هل رأى محمد ربه؟ فقالت لقد تكلمت بشيء قف له شعري قلت رويدا ثم قرأت لقد رأى من آيات ربه الكبرى قالت إنما هو جبريل


Artinya, “Diceritakan Masruq bahwa beliau mengatakan, ‘Aku masuk ke (rumah) Aisyah, aku bertanya 'Apakah Muhammad (pernah) melihat Tuhannya?’ Aisyah menjawab ‘Sungguh engkau menanyakan sesuatu yang membuat kulitku merinding.’ Aku (Masruq) mengatakan, ‘Tunggu sebentar.’ Kemudian aku (Masruq) membacakan ayat ‘Sungguh, dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesarannya) Tuhannya yang paling besar,’ (Qs An-Najm ayat 18). Aisyah menjawab, ‘Sungguh dia (yang dilihat nabi Muhammad) adalah Jibril,’” (HR Turmudzi).

Kedua, menurut sahabat Ibnu Abbas Rasulullah melihat Allah secara langsung dengan hatinya. Hal ini dikuatkan dengan hadits:

عن ابن عباس في قوله ما كذب الفؤاد ما رأى قال رآه بقلبه

Artinya, “Diceritakan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya,’ (Qs An-Najm ayat 11), beliau (Ibnu Abbas) mengatakan, ‘Ia (Muhammad) melihatnya (Allah) dengan hatinya,’” (HR Daruquthni).

Praktiknya adalah Allah menjadikan penglihatan nabi Muhammad di dalam hatinya atau Allah menciptakan hati dalam penglihatan Nabi Muhammad. Walhasil, Nabi Muhammad melihat Allah dengan hati dan penglihatannya adalah sesuai dengan firman Allah, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya,” (Qs An-Najm ayat 11). Dan tidak mustahil bagi Allah menjadikan hati nabi Muhammad sebagai alat untuk melihat Allah sebagaimana Allah menciptakan penglihatan sebagai alat melihat bagi manusia pada umumnya. (Ar-Razi Fakhruddin, Mafatihul Ghaib [Beirut: Dar Ihya Turats, 2010 M], juz XXVIII, halaman 246).


Perlu diketahui bahwa Nabi Muhammad melihat Allah ketika Isra’ Miraj memiliki beberapa catatan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu:

1. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah menetap ataupun menyatu dengan Sidratul Muntaha karena Allah tidak mungkin membutuhkan pada Sidratul Muntaha yang merupakan ciptaan-Nya sebagai tempat menetap.

Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Qiyamuhu bi Nafsihi, Allah berdiri sendiri tanpa membutuhkan bantuan makhluk ciptaan-Nya. Seandainya Allah membutuhkan Sidratul Muntaha sebagai tempat menetap niscaya hal ini akan merusak sifat Qiyamuhu bi Nafsihi.

2. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbatasi oleh jihah (arah mata angin) karena tidak mungkin Allah terbatasi dengan jihah (arah mata angin) sebagaimana makhluk-Nya. Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah lil Hawadits, Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya.

Seandainya Allah terbatasi dengan jihah (arah mata angin) sebagaimana manusia yang bisa dipastikan menetapnya di arah tertentu seperti arah selatan atau utara niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits.

3. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbentuk dari jism (bentuk tubuh) karena tidak mungkin Allah berbentuk jism (bentuk tubuh) sebagaimana makhluknya. Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah lil Hawadits, Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya. Seandainya zat Allah berupa cahaya berwarna putih atau memiliki anggota tubuh dan sejenisnya sebagaimana makhluk-Nya niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits. (Ad-dardir Ahmad, Syarh Qishah al-Isra’ wal Miraj [Kairo: Maktabah Azhar li Turats, 1999 M], halaman 24).

Nabi Muhammad melihat Allah tidaklah sama dengan proses manusia biasa seperti kita melihat. Akan tetapi, Allah memberikan kemampuan khusus bagi Nabi Muhammad ketika itu sehingga beliau dapat melihat langsung kepada Allah. Hal ini dikarenakan Allah memberikan kemampuan melihat kepada hambanya tidak terbatas dengan perangkat mata kepala saja. Allah memberikan kemampuan melihat kepada hamba-Nya di waktu dan tempat yang telah Allah tentukan. (Al-Laqqani Abdussalam, Ithaf al-Murid Syarh Jauhar at-Tauhid [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2002] hal.202)

Dan melihat Allah adalah sesuatu yang mungkin terjadi (jaiz) karena Allah adalah zat yang maujud (ada), sedangkan perkara yang maujud (ada) mungkin untuk dilihat. Akan tetapi, Allah tidak mengizinkan bagi manusia biasa untuk melihat-Nya ketika di dunia kecuali Nabi Muhammad ketika berada di Sidratul Muntaha.

Hal ini dikuatkan dengan hadits:

قال رسول الله تعلموا أنه لن يرى أحد منكم ربه حتى يموت.

Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Ketahuilah kalian semua bahwa tidaklah salah satu diantara kalian meilhat Tuhannya hingga ia mati,’” (HR Muslim).

Menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, nantinya orang-orang yang beriman melihat Allah di Hari Kiamat dengan jelas tanpa penghalang sedikitpun sebagaimana seseorang melihat rembulan di waktu purnama. Hal ini dikuatkan dengan hadits.

عن جرير بن عبد الله قال كنا جلوسا عند رسول الله إذ نظر ليلة البدر فقال لنا إنكم سترون ربكم كما ترون هذا القمر.

Artinya, “Diceritakan dari Jarir bin Abdullah bahwa beliau mengatakan, ‘(suatu ketika) Kami duduk bersama Rasulullah ketika melihat bulan purnama, kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sungguh kalian akan melihat tuhan kalian (di hari kiamat) sebagaimana kalian melihat rembulan ini,’’” (HR Daruquthni).

Simpulan di sini adalah peristiwa nabi Muhammad melihat Allah ketika malam Isra’ Miraj adalah peristiwa yang diperdebatkan oleh para sahabat nabi. Akan tetapi, perbedaan pendapat ini tidak sampai menjadikan para sahabat nabi saling mengkafirkan maupun membid’ahkan ataupun menganggap sesat kepada kelompok yang berbeda pendapat.

Hal ini menjadi bukti bahwa melihat Allah adalah hal yang mungkin terjadi secara akal. Berbeda halnya dengan pendapat Mutazilah yang mengatakan bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi baik di dunia maupun di akhirat.(Ar-Razi, 2010: XIII/103).

Allahu A'lam.

Kamis, 23 Januari 2025

QUNUT DISETIAP SHALAT FARDHU

Sudah maklum bahwa ketika melaksanakan salat Subuh, kita disunahkan untuk melakukan doa qunut. Bahkan dalam mazhab Syafii, doa qunut termasuk bagian dari sunah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. 
Jika kita lupa melakukan doa qunut, maka kita dianjurkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi. 
Namun bagaimana dengan salat selain salat Subuh, Apakah boleh melakukan doa qunut ?...

Dalam kitab Almajmu, Imam Nawawi menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat terkait hukum melakukan doa qunut pada salat selain salat Subuh. 
Ada tiga pendapat terkait masalah ini :

Pertama, boleh melakukan doa qunut di setiap salat fardu ketika terjadi musibah yang melanda kaum Muslim. 
Ini adalah pendapat yang masyhur dan diikuti kabanyakan ulama. 
Jika terjadi musibah yang menimpa kaum Muslimin seperti wabah, gempa, tsunami atau lainnya, maka kita dianjurkan melakukan doa qunut di setiap salat fardu dalam rangka mendoakan keselamatan bagi mereka. Sebaliknya, jika tidak terjadi musibah, maka kita tidak dianjurkan melakukan doa qunut kecuali dalam salat Subuh saja.

Kedua, boleh melakukan doa qunut di setiap salat fardu, baik sedang terjadi musibah atau tidak. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Hamid dan sebagian ulama yang lain.

Ketiga, selain salat Subuh tidak boleh melakukan doa qunut, baik sedang terjadi musibah atau tidak. Ini adalah pendapat Imam Syaikh Abu Muhammad Aljuwaini.

Dari ketiga pendapat ulama di atas, maka pendapat pertama adalah yang paling sahih dan diikuti oleh kebanyakan ulama. 
Hal ini karena Nabi Saw,pernah melakukan doa qunut nazilah selain salat Subuh ketika para sahabat penghafal Alquran dibunuh.

Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Albaihaqi dari Ibnu Abbas, dia berkata;

قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالعَصْرِ وَالمَغْرِبِ وَالعِشَاءِ وَصَلاَةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَه

“Rasulullah Saw. membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada salat Zuhur, Asar, Maghrib, dan Isya pada (rakaat) terakhir dari setiap salat. Apabila telah mengucapkan “ami’allahu liman hamidah” pada rakaat terakhir, beliau mendoakan (kehancuran) atas beberapa suku dari Bani Sulaim, yaitu Ri’l, Dzakwan, dan ‘Ushaiyyah. Sedangkan (para makmum) di belakang beliau mengucapkan amin.”

BACAAN AL-HAYYUL QOYYUMU DAN AL-HAYYAL QOYYUMA

Al-Hayyul Qayyumu atau Al-Hayyal Qayyuma?...

Al-Hayyul Qayyumu atau Al-Hayyal Qayyuma?
Assalamualaikumwarahmatullah wa barakaatuh, 
Ustadz yang budiman yang dimuliakan oleh Allah SWT. Saya izin bertanya. Saya sering memperhatikan orang orang di kampung saya ketika sedang wirid ada yang membaca lafal astaghfirullâhal 'adhîm alladzî lâ ilâha illâ huwal hayyul qayyûm wa atûbu ilaih. Sementara itu, di lain pihak ada yang membaca dengan lafal astaghfirullâhal 'adhim allazî lâ ilâha illâ huwal hayyal qayyûma wa atûbu ilaih. Satu membaca dengan “hayyal” satu lagi membaca “hayyul”. Manakah dari kedua lafal tersebut yang lebih afdhal bagi kita, ustadz? Mohon penjelasannya! Asykurukum syukran masykûran! (Anonim)

Jawaban

Wa’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Saudara penanya yang budiman. Semoga Allah SWT senantiasa menaungi kita dengan rahmat dan maunah-Nya sehingga kita bisa menjalankan aktivitas kita sehari-hari!

Saudara penanya yang budiman, manusia dalam kesehariannya tidak lepas dari perbuatan salah dan dosa. Sebagai hamba Allah SWT yang baik, maka tentu ia harus senantiasa memohon ampunan kepada Allah SWT lewat istighfar. Di dalam kitab Riyâdlush ShâlihiIn, Rasulullah ﷺ bersabda:

وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ ﷺ يقول: (والله إني لأستغفر اللَّه وأتوب إليه في اليوم أكثر من سبعين مرة) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Artinya: Abu Hurairah radliyallâhu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada Allah di dalam sehari lebih banyak dari 70 kali. (Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Riyâdlush ShâlihiIn, No. Hadits 1870)

وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من لزم الاستغفار جعل الله له من كل ضيق مخرجا ومن كل هم فرجا ورزقه من حيث لا يحتسب رواه أبو داود

Artinya: Ibnu Abbâs radliyallâhu ‘anhumâ berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah jadikan baginya untuk setiap kesempitan adanya jalan keluar, dan untuk setiap kesusahan ada kebahagiaan, dan Allah akan menganugerahinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangkanya. HR. Abu Dawud. (Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Riyâdlush ShâlihiIn, No. Hadits 1873)

Saudara penanya yang budiman, kedua hadits di atas hanya sekelumit dari banyak hadits yang menunjukkan keutamaan beristighfar dan bertaubat. Bila Rasulullah ﷺ yang sudah ma’shum saja senantiasa beristighfar, apalagi kita sebagai insan biasa yang sehari-harinya banyak berbuat kesalahan apalagi dosa. Tentu lebih berhak untuk beristighfar, bukan?

Penanya yang budiman. Ada beberapa riwayat hadits yang berbicara tentang lafadh istighfar yang saudara tanyakan. Masing-masing memiliki shighat lafadh yang berbeda. Di antara hadits-hadits tersebut antara lain sebagai berikut:

وعن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ ﷺ: (من قال أستغفر اللَّه الذي لا إله إلا هو الحيَّ القيومَ وأتوب إليه، غفرت ذنوبه وإن كان قد فرّ من الزحف) رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالْتِّرْمِذِيُّ والحاكم وقال حديث صحيح على شرط البخاري ومسلم.

Pada hadits di atas, shighat lafadh الحي القيوم dibaca dengan harakat fathah sehingga dibaca الحيَّ القيومَ. Hadits dengan dibaca menurut qira’ah semacam juga ditemukan pada kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah yang menukil sebuah hadits yang diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dengan nomor hadits 1517 dan 1521, Al-Tirmidzy dengan nomor hadits 3577 dan al-Nasai dengan nomor hadits 414, 415, 416 dan 417 dengan sanad marfu’ hasan. Adapun segi derajat hadits, Al-Hakim menilainya sebagai hadits marfu’ shahih menurut standart al-jarh wa al-ta’dil al-Bukhary dan Muslim. Dalam Kitab Riyadhu al-Shâlihîn, Imam Nawawi meriwayatkan dari Abu Dawud dengan Nomor Hadits: 1874. Semua hadits di atas dibaca dengan qiraah fathah pada lafadh الحي القيوم.

Adapun hadits yang meriwayatkan dengan shighat الحيُّ القيومُ antara lain adalah sebagai berikut: 

رواه الحاكم من طريق مُحَمَّد بن سَابِقٍ البغدادي ومُحَمَّد بن يُوسُفَ الفِرْيَابِيّ، كلاهما عن إِسْرَائِيل، عَنْ أَبِي سِنَانٍ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَالَ: أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ثَلَاثًا، غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ، وَإِنْ كَانَ فَارًّا مِنَ الزَّحْفِ, هذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ

Hadits di atas dikomentari oleh Al-Hakim sebagai hadits shahih menurut syarat Syaikhain (Bukhari-Muslim).

عَنْ إسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ، عَنْ أَبِي الأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : "مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِي لاَ إلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إلَيْهِ ثَلاثًا غُفِرَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ"، موقوفاً

Hadits ini statusnya mauquf, dan dengan derajat jalur sanad hasan. Nama Israil yang terdapat dalam sanad adalah orang yang terkenal صدوق (orang yang jujur).

Dalam Jalur riwayat yang lain, Al-Hakim juga meriwayatkan hadits yang sama, namun dari jalur sanad Ismail bin Yahya al-Syaibany dengan disandarkan pada Ibnu Mas’ud dengan rupa hadits mauquf. Ismail bin Yahya al-Syaibany ini adalah seorang yang متهم بالكذب (terduga bohong). 

Berangkat dari semua keterangan adanya hadits yang maurud di atas, maka disimpulkan bahwa semua bentuk shighat lafadh baik dengan الحيَّ القيومَ atau dengan shighat lafadh الحيُّ القيومُ adalah sama-sama wârid (datang) dari Baginda Rasulillah ﷺ dan para sahabat beliau. Oleh karena itu, mengenai pertanyaan saudara penanya, manakah yang lebih afdlal, maka keduanya adalah sama-sama afdlal apalagi hal tersebut diajarkan dan langsung meniru lisan Rasulillah ﷺ. Untuk itu tidak patut bagi kita untuk membedakan keduanya baik dari segi fadlilahnya. Kita yakin bahwa Rasulullah ﷺ adalah bersifat tabligh yang senantiasa mengajarkan apa yang berasal dari Allah ﷺ. 

وماينطق عن الهوى إن هو إلا وحيٌ يوحى

Artinya: “Tiada ia berbicara dari dorongan nafsu, melainkan ia berasal dari wahyu yang diwahyukan.” (QS. Al-Najm: 3-4)

Apakah kedua shighat di atas, salah bila ditinjau dari sisi nahwu? 

Kita lihat pada shighat pertama dengan harakat fathah. Lafadh الحي القيوم dengan harakat fathah berkedudukan menjadi tamyiz dari lafadh الله, yang mana lafadh الله dibaca dengan nashab karena ia berkedudukan sebagai maf’ul bih dari fi’il muta’addy dari lafadh أستغفر. Aslinya الحي االقيوم adalah shifat maushuf dari الله. Namun, sifat yang lebih dari satu dalam nahwu berubah kedudukannya menjadi tamyiz dan harakatnya tetap wajib sama dengan maushufnya. 

Adapun lafadh الحي القيوم yang dibaca dengan harakat dlammah, maka ia berkedudukan sebagai kalam baru karena jatuh setelah lafadh istitsna’, yaitu إلا. Tepatnya, ia menjadi khabar dari kalimat dlamir هو. Sebagai khabar, ia wajib dibaca rafa’ kecuali bila ada كان وأخواتها. 

Kesimpulan tinjauan dari sisi nahwu, kedua shighat الحيُّ القيومُ dan الحيَّ القيومَ adalah sama-sama benarnya. Jadi, silahkan dipilih salah satu dari keduanya menurut kemantaban saudara penanya!

Demikian, semoga jawaban singkat kami ini dapat menjawab permasalahan saudara penanya! Wallaahua’lam bish shawab.

EMPAT MISI ISRO MIROJ

EMPAT MISI DALAM PERISTIWA ISRA DAN MI'RAJ NABI SAW

Khutbah Pertama.

  اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ أمَّا بَعْدُ فَيَاعِبَادَ الله أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ ، فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ  

Segala puji dan syukur bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang menghidupkan dan mematikan. Yang Maha Pemberi Nikmat dan Karunia. Yang memberi petunjuk jalan kebenaran lewat Rasul-Nya, baginda Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahlimpah kepada Beliau SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan umatnya, sampai akhir zaman.

Marilah kita bertakwa kepada Allah, baik dalam kondisi suka maupun duka, sedih atau gembira, lapang atau sempit. Kapan pun dan di mana pun kita berada. Semoga kita semua dikelompokan sebagai golongan muttaqin.

Ma’asyiral muslimin, Rahimakumullah

Salah satu peristiwa besar di bulan Rajab yang dimuliakan adalah terjadinya peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Besar Muhammad SAW. Yaitu diperjalankanya Nabi Saw dari masjid Al Haram ke Majidil Aqsha. Kemdian dinaikan ke Sidratul Muntaha. Kedua peristiwa tersebut disebutkan dalam surat dalam Qur'an Surat al Isra' ayat 17 dan surat An Nazm ayat 13-14.

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ 

  Artinya: Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat (QS Al-Isra: 1).

وَلَقَدۡ رَاٰهُ نَزۡلَةً اُخۡرٰىۙ عِنۡدَ سِدۡرَةِ الۡمُنۡتَهٰى
Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, (yaitu) di Sidratul Muntaha, (QS. An-Najm Ayat 13-14)

Ma’asyiral muslimin, Rahimakumullah

Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya “Refleksi Sejarah Terhadap Dakwah Masa Kini”, menjelaskan tentang misi Isra' dan miraj, sebagi berikut; 

Pertama. Tujuan Politik. Fakta kekuasaan politik Jazirah Arab saat Nabi diutus ada pada dominasi agama Yahudi dan Nasrani dengan sistem yang rusak dan kepemimpinan yang zalim, hal ini 
menuntut adanya pergantian. Diantaranya karena mereka sudah berani meruba isi kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Allah Swt. berfirman,

وَيۡلٞ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنٗا قَلِيلٗاۖ فَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ ۝ 

“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri) kemudian berkata, Ini dari Allah, (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka karena tulisan tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah: 79)

Dalam perjalanan Isra, sebelum ke Baitul Maqdis (Masjid Aqsha) nabi mampir ke Yatsrib (Madinah), Madyan, Thursina (Mesir) dan Betlehem (Palestina). Tempat-tempat tersebut menjadi bisyarah (kabar wahyu) kelak akan menjadi wilayah kekuasaan Islam. Terbukti 2 th pasca Isra' Mi'raj Nabi hijrah ke Yatsrib dan menjadi pemimpin di sana yang di kemudian hari jazirah arab ada dalam kekuasaan beliau. 

Kedua. Memperteguh kejiwaan Nabi. 
Sebelum Isra' Miraj Nabi mengalami tekanan mental luar biasa dari orang-orang kafir terutama pada saat dua pendukung dan pelindung beliau yaitu paman dan istrinya wafat. Bullyan, intimidasi dan perskusi kian mengancam. Maka melalui Isra' Mi'raj Allah mengajak nabi untuk melihatkan secara visual sebagian tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya Agar kejiwaan dan mental nabi semakin kokoh. 

Hal ini diungkap langsung dalam Q.S. Al-Isra' ayat 1 dan An-Najm ayat 18).

لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا۝

“Agar Kami dapat menunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.” (Q.S. Al-Isra': 1)

لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَىٰ۝

“Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (Q.S. An-Najm: 13-18)

Ketiga. Seleksi keimanan manusia (Q.S. (17):60). Keimanan perlu diuji apakah sebatas pengakuan atau ketundukan. Setelah Nabi saw. menyampaikan peristiwa yang beliau alami, orang kafir makin kencang kekafirannya, orang yang sejak awal imannya tidak serius mulai bergeser kepada kekufuran. 

وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ ۝

“Dan Kami tidak menjadikan rukyah (penglihatan nyata) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Q.S. Al-Isra: 60)

Akan tetapi mereka yang imannya totalitas tanpa ada keraguan sedikitpun membenarkan semua yang disampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Sikap Abu Bakar mewakili orang-orang yang beriman secara total. Saat beliau ditanya tentang peristiwa Isra' Mi'raj dimana sebagian orang meragukannya, dia menjawab dengan tegas.
فَما يُعجِبكم من ذٰلك فوَاللهِ إنهُ لَيُخبِرني أنَّ الْخبرَ ليَأتِيه ( مِن الله ) مِن السَّماءِ إلى الأرضِ في ساعةٍ من ليلٍ أو نهارٍ فأُصَدقُه ٠ فهذا أبعدُ مما تعجِبون منه . 
“Apa yang mesti kalian herankan dari peistiwa tersebut? Demi Allah, ia (Rasulullah saw.) malah telah mengabarkan kepadaku suatu kabar (Wahyu) berasal dari langit (dari Allah Swt.) ke bumi hanya dalam tempo sekejap, baik waktu malam ataupun siang, dan aku membenarkannya. Ketahuilah, kejadian itu jauh lebih mengherankan dari peristiwa yang kalian tanyakan ini!“ (H.R. Hakim) 

Karena itu peristiwa Isra' Mi'raj termasuk perkara sam'iyyah, seperti halnya keyakinan pada alam akhirat, surga dan neraka, semua berdasar informasi dari Qur'an dan Hadits Rasulullah Saw. 

Keempat. Misi universal kemasyarakatan. Disebutkan bahwa di Baitul Maqdis Nabi mengimami shalat berjamaah yang makmumnya para nabi dan rasul sejak nabi Adam As. Ini menunjukkan pengakuan akan misi syari'at Muhammad saw. untuk seluruh manusia. Berbeda dengan para utusan sebelumnya yang terbatasi oleh zona bangsa tertentu. 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۝

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujuraat: 13)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menguatkan makna di atas dalam sabdanya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa.” (H.R. Ahmad dan al-Bazzar)

Ma’asyiral muslimin, Rahimakumullah

Demikianlah misi dibalik peristiwa besar isra wal mi'raj Nabi Agung Muhammad SAW.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم،أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْم.

Khutbah Ke Dua
 

اَلْحَمْدُلِلّهِ حَمْدًاكَثِيْرًاكَمَااَمَرَ. وَاَشْهَدُاَنْ لاَاِلهَ اِلاَّللهُ وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ. اِرْغَامًالِمَنْ جَحَدَبِهِ وَكَفَرَ. وَاَشْهَدُاَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُاْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ مَااتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ

اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَفِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ.

فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَاصَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. في ِالْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌمَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ

اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

 اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ

رَبَّنَااَتِنَافِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَالله اِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوااللهَ الْعَظِيْمِ يذكركم وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ

Senin, 20 Januari 2025

HUKUM KRIDIT MOBIL/MOTOR

Kredit motor merupakan salah satu bentuk pembiayaan yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk membeli kendaraan bermotor secara mencicil.

Meskipun mempermudah dalam memiliki motor tanpa harus membayar penuh di awal, ada pertanyaan yang sering muncul di kalangan umat Islam: Apakah kredit motor termasuk riba?

Sebagai kebutuhan masyarakat mayoritas Muslim

Sepeda motor telah menjadi sarana mobilitas yang sangat vital bagi masyarakat di Indonesia. Dengan populasi yang besar dan infrastruktur jalan yang sering kali padat, sepeda motor menawarkan solusi transportasi yang efisien dan terjangkau.

Bagi banyak orang, sepeda motor adalah alat transportasi utama yang memungkinkan mereka untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan layanan penting lainnya dengan lebih cepat dibandingkan dengan kendaraan lain. Selain itu, sepeda motor juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis dalam hal konsumsi bahan bakar dan biaya perawatan menjadikannya populer di kalangan berbagai lapisan masyarakat.

Saat ini berbagai jenis pilihan motor sangat beragam. Namun, sebanding dengan fitur dan spesifikasi yang ditawarkan, harga sepeda motor terbilang mahal saat ini.

Oleh karena itu opsi pembelian dengan sistem kredit pun ditawarkan, banyak showroom ataupun brand sepeda motor yang bekerja sama dengan leasing dalam menjalankan sistem kredit untuk para konsumen.

Namun, dalam praktiknya perusahaan leasing, khususnya konvensional, menetapkan bunga untuk setiap cicilan yang dilakukan. Bunga inilah yang termasuk ke dalam unsur riba dan tidak diizinkan secara syariat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Definisi kredit motor

Kredit motor adalah sistem pembelian kendaraan bermotor secara cicilan dengan melibatkan pihak ketiga, biasanya lembaga pembiayaan atau bank. Dalam sistem ini, pembeli membayar uang muka (down payment) dan melunasi sisa harga motor dalam bentuk cicilan bulanan yang telah ditentukan. Pada umumnya, cicilan ini dikenakan bunga sebagai keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman.

Riba dalam Perspektif Islam

Riba dalam Islam diartikan sebagai penambahan nilai yang diambil secara tidak adil dalam transaksi pinjaman atau jual beli. Riba dilarang keras dalam Al-Qur'an dan Hadis karena dianggap merugikan dan menindas salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةًۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 130)

Ayat ini menegaskan larangan terhadap riba, terutama dalam bentuk pengambilan keuntungan berlebih dari pinjaman yang diberikan.

Adapula dituliskan dalam surah Al-Baqarah:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (Q.S Al-Baqarah: 275).

Selain itu, ditegaskan juga dalam surah An-Nisa ayat 161:

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 161).

Haram-nya riba dijelaskan pula dalam kitab Al Musaqqah, Rasulullah bersabda :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ


“Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”(H.R Muslim)

Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa dalam Islam, setiap bentuk penambahan atas pokok utang yang disebabkan oleh faktor waktu dianggap sebagai riba dan dengan demikian, diharamkan.

Apakah Kredit Motor Termasuk Riba?

Dalam praktik kredit motor, terdapat dua skema yang umumnya digunakan, yaitu kredit dengan bunga dan kredit tanpa bunga. Kredit dengan bunga adalah skema yang paling banyak digunakan, di mana pihak pembeli diwajibkan membayar cicilan dengan bunga yang telah ditentukan oleh lembaga pembiayaan.

1. Kredit dengan Bunga:

Dalam kredit motor dengan bunga, terdapat tambahan biaya yang dikenakan kepada pembeli berupa bunga atas pinjaman yang diberikan. Bunga ini dianggap sebagai riba oleh sebagian ulama karena merupakan tambahan yang tidak dibenarkan dalam Islam, sesuai dengan definisi riba sebagai keuntungan tambahan dari suatu transaksi yang merugikan pihak lain.

Pendapat ini berdasarkan pada prinsip bahwa setiap penambahan yang diambil dari pinjaman dianggap sebagai riba. Oleh karena itu, jika kredit motor melibatkan bunga, maka hal itu termasuk dalam kategori riba yang dilarang dalam Islam.

2. Kredit Tanpa Bunga:

Ada juga lembaga pembiayaan yang menawarkan kredit motor tanpa bunga, di mana pembeli hanya membayar cicilan sesuai dengan harga asli motor tanpa ada tambahan bunga. Skema ini tidak termasuk riba, karena tidak ada unsur tambahan yang merugikan pihak pembeli. Namun, biasanya lembaga pembiayaan menerapkan biaya administrasi atau margin keuntungan yang tetap sesuai kesepakatan awal, yang masih dianggap halal oleh sebagian ulama jika dilakukan dengan transparansi dan tanpa unsur penipuan.

Para ulama memiliki pandangan yang beragam tentang kredit motor. Sebagian besar ulama sepakat bahwa kredit motor dengan bunga masuk dalam kategori riba, karena melibatkan tambahan yang tidak sah. Namun, ada juga ulama yang membolehkan kredit motor selama dilakukan dengan skema tanpa bunga dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, seperti adanya keadilan, transparansi, dan tidak merugikan salah satu pihak.

Sebagai seorang Muslim, penting untuk mempertimbangkan hukum Islam dan mencari alternatif pembiayaan yang tidak mengandung unsur riba agar tetap sesuai dengan ajaran agama.

Wallahu A'lam

Minggu, 19 Januari 2025

HUKUM MEMAKAN KURA KURA

Hukum Mengonsumi Daging Kura-kura, Halal Atau Haram?

Di Indonesia, kura-kura termasuk hewan yang dilindungi oleh negara. Karena itu, kura-kura tidak boleh dipelihara untuk diperdagangkan, juga tidak boleh dibunuh untuk dikonsumsi atau lainnya. Menurut para ulama, sebenarnya bagaimana hukum mengonsumsi daging kura-kura, apakah halal atau haram?

Menurut ulama Syafiiyah, mengonsumsi daging kura-kura, baik kura-kura laut maupun kura-kura darat, hukumnya adalah haram. Kura-kura tidak boleh dikonsumsi karena kura-kura termasuk jenis hewan yang bisa hidup di lautan dan daratan.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar berikut;

يحرم الضفدع و السرطان و السلحفاة على الراجح

Haram makan kodok, ketam dan kura-kura menurut pendapat yang unggul (di kalangan ulama Syafiiyah).

Dalam kitab Raudhatut Thalibin, Imam Nawawi memasukkan kura-kura sebagai bagian dari jenis yang bisa hidup di lautan dan daratan, seperti buaya, kodok dan lainnya. Karena itu, menurut pendapat yang paling shahih, mengonsumsi kura-kura hukumnya adalah haram. Beliau berkata sebagai berikut;

الضرب الثاني ما يعيش في الماء والبر أيضا..ويحرم التمساح على الصحيح والسلحفاة على الأصح

Bagian kedua adalah hewan yang hidup di air dan daratan juga. Maka buaya hukumnya adalah haram menurut pendapat yang shahih, dan kura-kura (juga haram) menurut pendapat yang lebih shahih.

Adapun menurut ulama Hanabilah dan ulama Malikiyah, kura-kura laut hukumnya halal dimakan namun dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu. Sementara kura-kura darat, menurut ulama Hanabilah, adalah haram dimakan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah;

و يحرم اكل السلحفاة برية كان او بحرية و هى المعروفة بالترسة لانها تعيش فى البر و البحر.الحنابلة و المالكية قالويحل اكل السلحفاة البحرية الترسة بعد ذبحها. اما السلحفاة البرية فالراجح عند حنابلة حرمتها

Haram makan kura-kura, baik kura-kura darat atau laut, yaitu yang dikenal dengan penyu, karena bisa hidup di darat dan laut. Ulama Hanabilah dan Malikiyah berkata bahwa halal makan kura-kura laut setelah disembelih. Adapun kura-kura darat, maka pendapat yang kuat di kalangan ulama Hanabilah adalah haram."
 Allahu A'lam... 

Jumat, 17 Januari 2025

HUKUM ANAK ANGKAT/ADOPSI

Hukum Anak Angkat Mencium Orang Tua Angkatnya dalam Islam. 

Ciuman merupakan bentuk kasih sayang yang sering ditunjukkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Ciuman juga bisa menjadi bentuk ungkapan terima kasih, rasa sayang atau tanda hormat. Di Indonesia, ciuman biasanya dilakukan di pipi atau kening. Lalu, bagaimana hukum anak angkat mencium orang tua angkatnya? Apakah ada aturan hukum yang mengatur hal tersebut?
 
Di Indonesia, hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat diakui secara hukum. Pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 ayat 9 disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
 
Lebih lanjut, penjelasan anak angkat juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam [KHI], Pasal 171 huruf h, bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
 
Adapun dalam Islam, adopsi anak tidak menghilangkan nasab asli anak tersebut. Anak angkat tetap memiliki nasab dari orang tuanya yang kandung. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam Al-Qur'an:

 
وَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ

 
Artinya, “Dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS Al-Ahzab: 4).

 
Dalam ayat tersebut, Allah swt menjelaskan bahwa status anak angkat dalam Islam tidak sama dengan anak kandung. Anak angkat tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya. Hal ini berarti bahwa anak angkat tidak dapat menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya, tidak dapat mewarisi harta orang tua angkatnya. 

 
Lebih dari itu, Allah swt juga memerintahkan agar anak angkat dinasabkan kepada bapak-bapak kandungnya. Hal ini berarti bahwa anak angkat tetap memiliki hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, dalam kitab Tafsir As-Sam’ani:
 
فِي الْآيَة نسخ التبني، وَقد كَانَ الرجل فِي الْجَاهِلِيَّة يتبنى الرجل ويجعله ابْنا لَهُ مثل الابْن الْمَوْلُود، وعَلى ذَلِك تبنى رَسُول الله زيد بن حَارِثَة، فنسخ الله تَعَالَى ذَلِك

 
Artinya, “Dalam ayat tersebut, Allah menghapuskan hukum adopsi (melekatkan nasab anak pada orang tua angkat). Pada masa Jahiliyah, seorang laki-laki dapat mengadopsi seorang anak laki-laki dan menjadikannya anak kandungnya sendiri, sama seperti anak kandungnya sendiri. Rasulullah saw juga pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah. Namun, Allah swt menghapuskan hukum tersebut. (Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, Tafsir As-Sam'ani, [Riyadh, Darul Wathan: 1997], jilid II, halaman 258.

 
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak angkat tetaplah sebagai anak dari orang yang melahirkannya, bukan dari orang yang mengangkatnya sebagai anak. Hal ini karena anak angkat tidak memiliki hubungan darah, hak waris, dan tidak memiliki nasab yang tersambung.

 
Untuk mendukung argumen ini, terdapat juga hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, di mana ia menceritakan bahwa pada masa awal Islam, orang-orang biasa memanggil Zaid bin Haritsah dengan nama Zaid bin Muhammad, karena ia adalah anak angkat Nabi Muhammad. 

 
Namun, setelah turunnya ayat Al-Qur'an Al-Ahzab ayat 5, orang-orang mulai memanggil Zaid dengan nama aslinya, yaitu Zaid bin Haritsah. Simak hadis Nabi saw berikut:

 
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

 
Artinya, “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Dulu kami memanggil Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah saw, dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun ayat Al-Qur'an yang artinya: “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Setelah ayat itu turun, maka kami pun memanggilnya dengan nama Zaid bin Haritsah.”

 
Dengan demikian, dalam Islam anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya. Karena itu, mereka tidak dianggap sebagai mahram. Mahram adalah orang-orang yang tidak boleh dinikahi, termasuk ibu, ayah, saudara kandung, dan seterusnya.

 
Berdasarkan hal tersebut, hukum anak angkat mencium orang tua angkatnya dalam Islam adalah seyogianya dihindari karena bukan mahram. terlebih jika sudah mengarah ke pada fitnah.

 
Lantas bagaimana solusinya jika ingin anak angkat menjadi mahram (boleh bersentuhan dan haram dinikahi)? Ulama memberikan dua solusi.
 

Pertama, solusi yang paling mudah dan praktis, yatiu dengan mengangkat anak dari kerabat yang masih mahram, maka anak angkat tersebut akan langsung menjadi mahram bagi orang tua angkat. Misalnya, jika suami ingin mengangkat anak angkat perempuan, maka bisa mengangkat anak perempuan dari saudara kandungnya. 
Karena saudara kandung adalah mahram, maka anak angkat perempuan tersebut juga menjadi mahram bagi suami.

 
Terkait susunan mahram, sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an Q.S an-Nisa' ayat 4;

 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

 
Artinya, “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 
Kedua, dengan menyusui anak angkat. Persusuan dapat menjadikan anak angkat menjadi mahram selama memenuhi syarat. 
Menurut Syekh Zainuddin Al-Malibari penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan yang memenuhi lima syarat: (1) susu berasal dari perempuan yang sudah mencapai usia haid; (2) susu masuk ke dalam rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun; (3) masuknya susu harus secara yakin, bukan dugaan; (4) masuknya susu harus sebanyak lima kali; (5) masuknya susu harus secara ’urf, yaitu sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

 
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, maka penyusuan yang hanya satu kali tahapan, meskipun hanya setetes, juga sudah dihitung sebagai satu kali penyusuan. Hal ini karena penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan yang sudah masuk ke dalam rongga bayi, meskipun hanya sedikit.

 
الرضاع المحرم وصول لبن آدمية بلغت سن حيض ولو قطرة أو مختلطا بغيره وإن قل جوف رضيع لم يبلغ حولين يقينا خمس مرات يقينا عرفا 

 
Artinya, “Persusuan yang mengharamkan nikah adalah sampainya susu putri Adam yang sudah mencapai usia haidh, meski hanya setetes atau bercampur dengan lainnya, meski sedikit, ke rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun secara yakin, sebanyak lima kali dengan yakin secara ’urf.” (Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, jilid III, halaman 286).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dapat disimpulkan bahwa anak angkat dengan orang tua angkatnya adalah bukan mahram. Artinya, mencium atau bersentuhan dengan orang tua angkatnya dalam Islam seyogianya dihindari, terlebih jika sampai menimbulkan fitnah. 

Akan tetapi ulama punya solusi jika ingin menjadi mahram dengan anak angkatnya. 
Pertama, seyogianya anak angkat berasal dari anak mahramnya. 
Ataupun kedua, diangkat ketika masih kecil, sehingga bisa menjadi ibu susuan dari anak angkatnya. 
Wallahu a'lam.

Sabtu, 11 Januari 2025

10 GOLONGAN PENGHUNI NERAKA

10 Golongan Orang yang Tidak Dapat Mencium Bau Surga

Surga adalah suatu tempat yang berada di alam akhirat. 
Dipercaya sangat istimewa. Surga menjadi tempat berkumpulnya para roh manusia yang semasa hidupnya sering berbuat kebajikan sesuai yang diajarkan oleh agama Islam.

Saking istimewanya, banyak yang mengidam-idamkan surga. Tetapi tidak semua orang dapat masuk dan tinggal di sana. Bahkan untuk mencium bau surga saja, hanya bagi orang-orang yang beruntung.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut beberapa golongan yang tidak dapat mencium bau surga:

1. Orang yang sombong
Orang yang sombong adalah orang yang tidak dapat mencium bau surga kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi:

 مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَفِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ تَحِلُّ لَهُ الْجَنَّةُ أَنْ يَرِيحَ رِيحَهَا وَلَا يَرَاهَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ يُقَالُ لَهُ أَبُو رَيْحَانَةَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّ الْجَمَالَ وَأَشْتَهِيهِ حَتَّى إِنِّي لَأُحِبُّهُ فِي عَلَاقَةِ سَوْطِي وَفِي شِرَاكِ نَعْلِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ ذَاكَ الْكِبْرُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ وَلَكِنَّ الْكِبْرَ مَنْ سَفِهَ الْحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ بِعَيْنَيْهِ.

Artinya: “Tidaklah seorang laki-laki meninggal dunia, dan ketika ia meninggal di dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari sifat sombong, akan haram baginya mencium bau surga atau melihatnya.” Lalu seorang laki-laki dari suku Quraisy yang bernama Abu Raihanah berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, saya benar-benar menyukai keelokan dan menggemarinya hingga pada gantungan cemetiku dan juga pada tali sandalku!” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Itu tidaklah termasuk Al Kibr (sombong), sesungguhnya Allah 'azza wajalla itu Indah dan menyukai keindahan. Akan tetapi Al Kibr itu adalah siapa yang bodoh terhadap kebenaran kemudian meremehkan manusia dengan kedua matanya.” (HR. Ahmad)

2. Orang yang mencari ilmu akhirat untuk tujuan duniawi
Menuntut ilmu adalah hal yang penting. Bahkan Islam juga memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu, terutama ilmu akhirat. Namun, jika ilmu akhirat dicari hanya untuk duniawi, maka orang tersebut terancam tidak akan mendapatkan bau surga.

Seperti sabda Rasulullah ﷺ:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
قَالَ أَبُو الْحَسَنِ أَنْبَأَنَا أَبُو حَاتِمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ.

Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk Allah, namun ia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat ia tidak akan mendapatkan bau surga." Abu Al Hasan berkata; telah memberitakan kepada kami Abu Hatim berkata, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur berkata, telah menceritakan kepada kami Fulaih bin Sulaim lalu ia menyebutkan sebagaimana hadits di atas.” (HR. Ibnu Majah)

3. Menisbatkan nasab bukan kepada ayahnya 
Nasab merupakan salah satu hal yang dijaga. Orang yang mengaku sebagai anak orang lain yang memang bukan ayahnya, akan mendapat ancaman yakni tidak bisa mencium bau surga. Karenanya Islam tidak membolehkan umatnya menisbatkan nama kepada nama orang tua angkat. Rasulullah ﷺ bersabda:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ.

Artinya: “Barang siapa yang mengaku-ngaku memiliki hubungan nasab kepada selain ayahnya, maka surga menjadi haram baginya, padahal bau surga dapat dicium sepanjang jarak perjalanan lima ratus tahun.” (HR. Ibnu Majah)

4. Wanita yang berpakaian tapi telanjang
Zaman sekarang banyak sekali tren pakaian yang digunakan. Namun tidak semua pakaian yang boleh dipakai oleh umat muslim. Terlebih lagi perempuan yang harus menutupi seluruh bagian tubuhnya. Karena berkembangnya zaman, banyak sekali pakaian yang tidak seharusnya digunakan bagi perempuan muslim. Contohnya menggunakan pakaian yang ketat hingga terlihat lekuk tubuhnya. Hal ini sangat dibenci oleh Allah. Seperti sabda Rasulullah:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: “Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.” (HR. Muslim)

5. Orang yang menyemir rambutnya, khususnya dengan warna hitam
Hal yang dianggap sepele, tetapi besar mudharatnya bagi umat muslim yang melakukannya. Bagi mereka yang menyemir rambut dengan menggunakan warna hitam, maka tidak akan merasakan bau surga. Seperti sabda Rasulullah:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Pada akhir zaman nanti akan ada orang-orang yang mengecat rambutnya dengan warna hitam seperti warna mayoritas dada merpati, mereka tidak akan mendapat bau surga.” (HR. Abu Daud)

6. Wanita yang minta cerai tanpa alasan
Perceraian adalah perkara yang sangat dibenci oleh Allah. Terlebih lagi jika ada perempuan yang meminta perceraian kepada suaminya dengan tanpa alasan. Sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun wanita yang meminta cerai kepada suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Daud)

7. Orang yang membunuh kafir mu’ahad
Kesetiaan dan perdamaian yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam sudah diatur dalam syariat. Dengan itu, Islam melindungi hak-hak manusia yang hendaknya dipenuhi. Oleh sebab itu, seorang muslim tidak boleh membunuh orang kafir yang terikat perjanjian dengan pemerintah Islam (kafir mu’ahad). Jika seorang muslim membunuh kafir mu’ahad, ia terancam tidak bisa mencium bau surga.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدَةً بِغَيْرِ حِلِّهَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ أَنْ يَشُمَّ رِيحَهَا

Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang membunuh orang kafir mu'ahid tidak pada waktu halalnya maka Allah mengharamkan baginya untuk mencium bau Surga.” (HR. Nasa`i)

Boleh membunuh kafir karena tiga alasan

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: (لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بإِحْدَى ثَلاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّاركُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ للجمَاعَةِ) رَوَاهُ اْلبُخَارِي وَمُسْلِمٌ.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Tidak halal darah seorang muslim (untuk ditumpahkan) kecuali karena salah satu dari 3 perkara: tsayyib (orang yang sudah menikah) yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash) dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin).” (HR al Bukhari dan Muslim).

Mengerjakan kebaikan terhadap orang kafir/Muamalah tidak dilarang. 

Surat Al-Mumtahanah Ayat 8

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ


Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

8.Orang yangmenyakiti kedua orang tua

ثلاثةٌ لا ينظرُ اللَّهُ عزَّ وجلَّ إليهم يومَ القيامةِ: العاقُّ لوالِدَيهِ، والمرأةُ المترجِّلةُ، والدَّيُّوثُ،
رواه السيوطي. 

ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ

“Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan AD DAYYUTS, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya” (HR. Ahmad no. 5372, dishahhihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ no.3052).

Kemudian kita lihat juga penjelasan para ulama. Al Munawi mengatakan:

أن الديوث ذلل حتى رأى المنكر بأهله فلا يغيره

“Ad dayyuts adalah sebuah kerendahan, sehingga ketika ia melihat anak-istrinya melakukan kemungkaran ia tidak cemburu” (Faidhul Qadir, 3/327).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

والديوث: الذي لا غيرة له

“Ad Dayyuts adalah lelaki yang tidak punya rasa cemburu” (Majmu’ Al Fatawa, 32/141).

Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan:

قال العلماء : الديوث الذي لا غيرة له على أهل بيته

“Para ulama mengatakan: ad dayyuts adalah orang yang tidak punya rasa cemburu terhadap anak-istrinya” (Az Zawajir, 2/347).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

الديوث هو الذي يرضى الفاحشة في أهله، يرضى بأن تزني يرضى بفعلها الفاحشة هذا هو الديوث الذي يرضى بالمعصية والشر في أهله أي الفساد في أهله يقرهم على ذلك

“Ad Dayyuts adalah orang yang ridha ketika anak-istrinya berbuat fahisyah, misalnya ia ridha anak-istrinya berzina atau melalukan fahisyah. Inilah dayyuts. Juga yang ridha ketika anak-istrinya melakukan maksiat dan keburukan, intinya dia menyetujui kerusakan yang dilakukan anak-istrinya” 

عَنْ عَمَّارٍ بْنِ يَاسِرٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُوْنَ الجَنَّةَ أَبَدًا: الدَّيُّوْثُ وَالرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ وَمُدْمِنُ الخَمْرِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا مُدْمِنُ الخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَمَا الدَّيُّوْثُ؟ قَالَ الَّذِيْ لَا يُبَالِيْ مَنْ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ قُلْنَا فَمَا الرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ قَالَ: الَّتِيْ تَشَبَّهَ باِلرِّجَالِ.

Dari Ammar bin Yasir dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Ada tiga orang yang tidak akan masuk surga selamanya: dayyuts, ar-rajulatu minan-nisa’, dan pecandu khamer (minuman memabukkan).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau pecandu khamer kami sudah paham, kalau dayyuts?”Rasulullahﷺmenjawab, “Dayyuts adalah yang tidak peduli siapa-siapa yang masuk menemui keluarganya.”Para sahabat kembali bertanya, “Kalauar-rajulatu minan-nisa’?”Rasulullah menjawab, “Perempuan yang menyerupai laki-laki.”

 Takhrij Hadits:

al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 10310, dan ath-Thabrani.Dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2071,2361)

قال -صلى الله عليه وسلم-: (من شرب الخمرَ لم تُقبلْ له صلاةٌ أربعين صباحًا، فإن تاب تاب اللهُ عليه...)

9.Perempuan yang kufur terhadap suaminya. 

Imam Muslim dalam salah satu riwayatnya menjelaskan hadits Nabi SAW tentang penghuni neraka. 
Berikut sabda Rasulullah

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Artinya: "Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. 
Dan aku lihat ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita." Mereka bertanya, "Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Disebabkan kekufuran mereka." Ada yang bertanya kepada beliau, "Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?" Beliau menjawab, "(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, 'Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu'." (HR Bukhari).


10. Wanita yang meninggalkan shalat, bisa karena bertele2 adus dari haid dll. 


كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (38) إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (39) فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ (40) عَنِ الْمُجْرِمِينَ (41) مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (44) وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ (45) وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ (46) حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ (47)

Artinya: "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian." (QS Al-Muddatstsir ayat 38-47)

Diriwayatkan dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan juga kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman] .

Diriwayatkan dari Buraidah bin al-Hushaib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka ia benar benar telah kafir.” [HR. Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Mâjah dan Imam Ahmad)

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat
___________________________

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat boleh, ora sholat boleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. 
Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  
Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. 
Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. 

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. 
Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. 
Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah 
[Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. 
Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. 
Dan mereka tidak meninggalkan secara total. 
Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. 
Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. 
Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. 
Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. 
Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. 
Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman. 

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. 
Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. 
Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

عن يَزِيدَ بْنِ قَوْذَرٍ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ شُرَيْحٍ ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: " أَوْصَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِّعْتُمْ ، أَوْ حُرِّقْتُمْ ، أَوْ صُلِّبْتُمْ ، وَلَا تَتْرُكُوا الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدِينَ ، فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْمِلَّةِ ، وَلَا تَقْرَبُوا الْخَمْرَ فَإِنَّهَا رَأْسُ الْخَطَايَا ) .
وهذا إسناد ضعيف ، يزيد بن قوذر : مجهول الحال ، ذكره البخاري في "التاريخ" (8/353) ، وابن أبي حاتم في "الجرح والتعديل" (9/ 284) ولم يذكرا فيه جرحا ولا تعديلا .
وسلمة بن شريح قال الذهبي في "الميزان" (2/190) : " لا يعرف " ، وأقره الحافظ في "اللسان" (3/69) .
والحديث ضعفه الشيخ الألباني رحمه الله في " ضعيف الترغيب والترهيب "(300) .

وفي معناه أيضا : حديث أَبِي الدَّرْدَاءِ ، 
قَالَ: " أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ: 
( لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَإِنْ قُطِّعْتَ وَحُرِّقْتَ ، 
وَلَا تَتْرُكْ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا ، فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ ، 
وَلَا تَشْرَبِ الْخَمْرَ ، فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ) .
رواه ابن ماجة (4034) من طريق شهر بن حوشب قال الحافظ ابن حجر رحمه الله : " وفي إسناده ضعف" انتهى من "تلخيص الحبير" (2/148) ، وحسنه الألباني في "صحيح ابن ماجة" .

Toyyib itulah sobat muslim,sifat wanita yang dilaknat Allah, semoga bermanfaat dan pesan admin kepada seluruh muslimah di dunia “jahui 10 sifat tersebut semoga Allah menjadikan kalian wanita shalihah dan bahagia dengan suami kalian di dunia dan Akhirat”.

_______________________

Hukum Pembatalan Shalat untuk Penyelamatan Diri dari Bencana dll.

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, saya mau bertanya soal pembatalan shalat karena terjadi bencana yang dapat membahayakan jiwa orang yang sedang shalat, seperti kebakaran, gempa bumi, letusan gunung merapi, banjir bandar, longsor, dan bencana lainnya. Mohon penjelasan terkait ini. Terima kasih. Wassalamu 'alakum wr. wb. (Hamba Allah/Brebes).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pertama sekali yang harus dipahami adalah bahwa shalat dan ibadah lainnya merupakan aktivitas mulia yang menjadi tujuan penciptaan manusia di dunia.

Pembatalan shalat dan ibadah lainnya di tengah jalan tanpa sebab tertentu yang dibenarkan secara syariat merupakan bentuk sikap yang mencederai kehormatan terhadap ibadah itu sendiri sebagaimana keterangan Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah berikut ini:

قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، لأنَّ قَطْعَهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ عَبَثٌ يَتَنَافَى مَعَ حُرْمَةِ الْعِبَادَةِ، وَوَرَدَ النَّهْيُ عَنْ إِفْسَادِ الْعِبَادَةِ، قَال تعَالَى: وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ، أَمَّا قَطْعُهَا بِمُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ فَمَشْرُوعٌ، فَتُقْطَعُ الصَّلاَةُ لِقَتْل حَيَّةٍ وَنَحْوِهَا لِلأَمْرِ بِقَتْلِهَا، وَخَوْفِ ضَيَاعِ مَالٍ لَهُ قِيمَةٌ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ، وَلإِغَاثَةِ مَلْهُوفٍ، وَتَنْبِيهِ غَافِلٍ أَوْ نَائِمٍ قَصَدَتْ إِلَيْهِ نَحْوَ حَيَّةٍ، وَلاَ يُمْكِنُ تَنْبِيهُهُ بِتَسْبِيحٍ

Artinya, “Penghentian atau pembatalan ibadah wajib di tengah keberlangsungannya tanpa alasan yang membolehkannya menurut syariat tidak diperkenankan berdasarkan kesepakatan ulama. Penghentian ibadah tanpa alasan yang syari adalah sebentuk main-main yang menafikan kehormatan ibadah. Larangan terkait merusak ibadah disebut dalam Surat Muhammad ayat 33, ‘Jangan kalian membatalkan amal kalian.’ Sedangkan penghentian atau pembatalan ibadah dengan alasan yang membolehkannya secara syar’i diatur memang disyariatkan. Shalat boleh dibatalkan karena ingin membunuh ular atau sejenisnya yang diperintahkan dalam syariat untuk dibunuh, karena khawatir kehilangan harta benda berharga dan harta lainnya, karena menyelamatkan orang yang minta tolong, memperingatkan orang lalai atau orang tidur yang sedang didekati oleh ular dan sejenisnya di mana tidak mungkin mengingatkannya hanya dengan kalimat tasbih,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz XXXIV, halaman 51).

Namun demikian, pada situasi genting atau situasi darurat tertentu shalat atau ibadah lainnya boleh bahkan wajib dibatalkan atau dihentikan seperti situasi di mana seseorang berteriak meminta pertolongan atau mengetahui seseorang tengah mengalami kecelakaan tenggelam di air, dan situasi darurat lainnya.

قد يجب قطع الصلاة لضرورة، وقد يباح لعذر. أما ما يجب قطع الصلاة له لضرورة فهو ما يأتي: تقطع الصلاة ولو فرضاً باستغاثة شخص ملهوف، ولو لم يستغث بالمصلي بعينه، كما لو شاهد إنساناً وقع في الماء، أو صال عليه حيوان، أو اعتدى عليه ظالم، وهو قادر على إغاثته

Artinya, “Shalat sekali waktu wajib dihentikan atau dibatalkan dan terkadang boleh dibatalkan karena sebuah alasan. Adapun alasan yang mewajibkan penghentian shalat karena darurat adalah sebagai berikut, yaitu pembatalan shalat wajib sekalipun karena menyelematkan orang yang minta tolong sekalipun permintaan tolong itu tidak ditujukan secara khusus untuk orang yang sedang shalat contohnya orang shalat yang menyaksikan orang lain terjatuh ke dalam air dalam, atau seseorang yang sedangkan diserang oleh binatang tertentu, atau seseorang yang sedang dianiaya oleh orang zalim, sementara orang yang sedang shalat itu mampu menolongnya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Selain penyelamatan jiwa baik manusia maupun hewan, pembatalan atau penghentian ibadah juga boleh dilakukan untuk menyelamatkan harta benda berharga tertentu. Bila dalam perhitungan orang yang shalat bahwa seorang tunanetra atau anak kecil akan terjerumus ke dalam sebuah sumur atau sesuatu akan terbakar, maka orang yang shalat harus membatalkan shalat demi melakukan langkah penyelamatan.

وتقطع الصلاة أيضاً إذا غلب على ظن المصلي خوف تردي أعمى، أو صغير أو غيرهما في بئر ونحوه. كما تقطع الصلاة خوف اندلاع النار واحتراق المتاع ومهاجمة الذئب الغنم؛ لما في ذلك من إحياء النفس أوالمال، وإمكان تدارك الصلاة بعد قطعها، لأن أداء حق الله تعالى مبني على المسامحة

Artinya, “Shalat juga wajib dibatalkan bila dalam pandangan orang yang shalat muncul kekhawatiran yang kuat jatuhnya orang penyandang tunanetra, anak kecil, atau selain keduany jatuh ke dalam sumur atau lainnya. Shalat juga wajib dibatalkan ketika khawatir pada jilatan api, terbakarnya harta benda tertentu, atau terkaman srigala kepada ternak kambing karena pembatalan shalat karena untuk menolongnya itu merupakan bagian dari penyelamatan jiwa atau harta benda dan memungkinkan mengulang shalat tersebut setelah pembatalan. Penunaian kewajiban terhadap Allah berpijak pada kelonggaran,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa pembatalan atau penghentian ibadah tanpa alasan syari tidak dibenarkan. Tetapi pada kondisi genting atau situasi darurat tertentu, seseorang dibenarkan bahkan diharuskan menghentikan atau membatalkan shalat atau ibadah lainnya untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan termasuk penyelamatan diri sendiri karena Islam sangat menghormati nyawa makhluk hidup, terlebih lagi jiwa manusia.

Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


MEMAHAMI IJTIHAD,TAQLID,TALFIQ DAN ITTIBA

MEMAHAMI IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA'

Sumber Hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. 
Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. 
Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. 
Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). 
Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. 
Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. 
Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
 
A. IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD (اجتهاد) 

Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. 
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at”.
Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas.
TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

JENIS-JENIS IJTIHAD

ijma'
Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara'
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya sepakat para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Kehujjahan Ijma’

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. 
Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. 
Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

Qiyâs

Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. 
Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi)

1.        Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.

2.        Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.

3.        Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.

2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. 
Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. 
Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.

2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.

3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

Istihsan
Beberapa definisi Istihsân

1.        Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.

2.        Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

3.        Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

4.        Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

5.        Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.

Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan

MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA

Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad.
Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :

-            Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.

-            Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).

Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat :

-            Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.

-            Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat yaitu Mengetahui apa yang ada pada Tuhan dan mengetahui/percaya adanya Rasul & apa yang dibawanya juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.

Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Qur’an, tentang Sunnah, tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). 
Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.

TINGKATAN MUJTAHID

1.         Mujtahid mutlaq, yaitu 
seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, 
Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.

2.        Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.

MACAM-MACAM IJTIHAD

Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam;

Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.

Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.

Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.

B. TAQLID

Secara bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ(yuqollidu) – تَقْلِيْدًا(taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. 
Ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. 
Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. 
Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. 
Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).

Hukum Taqlid

Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: 

Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.

Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. 
Taqlid ini ada tiga macam :

a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.

b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

Taqlid yang dibolehkan

Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. 
Taqlid ini sifatnya sementara. 
Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. 
Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:

a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.

Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid?...
 ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya”
Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. 
Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا.

“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34)
lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. 
Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. 
Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

Taqlid yang Berkembang

Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ.

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-Zukhruf[43] : 22-24)

Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’

Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba’ diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”

Kedua, Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”

Ketiga, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah saw, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”
Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.

Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”
Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka
lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.
Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.

C. ITTIBA`

Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ)yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.

2. Macam-Macam Ittiba`

a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).

3. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

Ittiba’
Kepada siapa kita wajib ittiba’?
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’ kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,

قال الله تعالى : ﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴾
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr[59]: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Ittiba’ kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dst – dengan alasan karena beliau saw meyakininya.
Ittiba’ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : .....صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ...(رواه البخاري)

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sedangkan ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.

Hukum Ittiba’

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.

قال الله تعالى : ﴿ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali lmran[3]: 32).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurat[49]:1).
Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

قال الله تعالى : ﴿ وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا ﴾

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’[4]: 115).

Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:

1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
    Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."

Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Allah swt berfirman:

قال الله تعالى : ﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran[3]: 31).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."

Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قال الله تعالى : ﴿ أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴾

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62).
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.

D. TALFIQ

Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.
Menurut istilah, Talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. 
Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. 
Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. 
Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
Pendapat-Pendapat tentang Talfiq
Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.

Ruang Lingkup Talfiq

Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah(perkara yang belum diketahui secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma’, yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.

Hukum Talfîq

Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. 
Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan.
Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan.
Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.

Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:

1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.

2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim adanya ijma' adalah bathil.
Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq).”
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: ”Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma', pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga....”
Dalil Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:
Alasan Pertama
Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. 
Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri?

Alasan Kedua
Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.

Alasan Ketiga
Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:
“Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan.
Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Allah swt. Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?
Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu member kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw:
“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. 
Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.
Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah:
‘Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat.


Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.      Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.

2.      Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,

3.      Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. 
Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379). 
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. 
Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. 
Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. 
Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.Wallohu A'lam
Terima kasih kami haturkan pada segenap mahasiswa dan dosen ushul kami serta segala pihak yang telah menunjang terselesaikannya makalah ushul fiqih ini. 
Mohon maaf atas segala khilaf dan salah. 
Dalam isi makalah ini yan tidak lain adalah copy paste dari beberapa website yang kami jadikan referensi. 

Terimakasih
Wallohul Muwafiq ila aqwamit Thoriq.