Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 11 Januari 2025

10 GOLONGAN PENGHUNI NERAKA

10 Golongan Orang yang Tidak Dapat Mencium Bau Surga

Surga adalah suatu tempat yang berada di alam akhirat. 
Dipercaya sangat istimewa. Surga menjadi tempat berkumpulnya para roh manusia yang semasa hidupnya sering berbuat kebajikan sesuai yang diajarkan oleh agama Islam.

Saking istimewanya, banyak yang mengidam-idamkan surga. Tetapi tidak semua orang dapat masuk dan tinggal di sana. Bahkan untuk mencium bau surga saja, hanya bagi orang-orang yang beruntung.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut beberapa golongan yang tidak dapat mencium bau surga:

1. Orang yang sombong
Orang yang sombong adalah orang yang tidak dapat mencium bau surga kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi:

 مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَفِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ تَحِلُّ لَهُ الْجَنَّةُ أَنْ يَرِيحَ رِيحَهَا وَلَا يَرَاهَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ يُقَالُ لَهُ أَبُو رَيْحَانَةَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّ الْجَمَالَ وَأَشْتَهِيهِ حَتَّى إِنِّي لَأُحِبُّهُ فِي عَلَاقَةِ سَوْطِي وَفِي شِرَاكِ نَعْلِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ ذَاكَ الْكِبْرُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ وَلَكِنَّ الْكِبْرَ مَنْ سَفِهَ الْحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ بِعَيْنَيْهِ.

Artinya: “Tidaklah seorang laki-laki meninggal dunia, dan ketika ia meninggal di dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari sifat sombong, akan haram baginya mencium bau surga atau melihatnya.” Lalu seorang laki-laki dari suku Quraisy yang bernama Abu Raihanah berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, saya benar-benar menyukai keelokan dan menggemarinya hingga pada gantungan cemetiku dan juga pada tali sandalku!” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Itu tidaklah termasuk Al Kibr (sombong), sesungguhnya Allah 'azza wajalla itu Indah dan menyukai keindahan. Akan tetapi Al Kibr itu adalah siapa yang bodoh terhadap kebenaran kemudian meremehkan manusia dengan kedua matanya.” (HR. Ahmad)

2. Orang yang mencari ilmu akhirat untuk tujuan duniawi
Menuntut ilmu adalah hal yang penting. Bahkan Islam juga memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu, terutama ilmu akhirat. Namun, jika ilmu akhirat dicari hanya untuk duniawi, maka orang tersebut terancam tidak akan mendapatkan bau surga.

Seperti sabda Rasulullah ﷺ:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
قَالَ أَبُو الْحَسَنِ أَنْبَأَنَا أَبُو حَاتِمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ.

Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk Allah, namun ia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat ia tidak akan mendapatkan bau surga." Abu Al Hasan berkata; telah memberitakan kepada kami Abu Hatim berkata, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur berkata, telah menceritakan kepada kami Fulaih bin Sulaim lalu ia menyebutkan sebagaimana hadits di atas.” (HR. Ibnu Majah)

3. Menisbatkan nasab bukan kepada ayahnya 
Nasab merupakan salah satu hal yang dijaga. Orang yang mengaku sebagai anak orang lain yang memang bukan ayahnya, akan mendapat ancaman yakni tidak bisa mencium bau surga. Karenanya Islam tidak membolehkan umatnya menisbatkan nama kepada nama orang tua angkat. Rasulullah ﷺ bersabda:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ.

Artinya: “Barang siapa yang mengaku-ngaku memiliki hubungan nasab kepada selain ayahnya, maka surga menjadi haram baginya, padahal bau surga dapat dicium sepanjang jarak perjalanan lima ratus tahun.” (HR. Ibnu Majah)

4. Wanita yang berpakaian tapi telanjang
Zaman sekarang banyak sekali tren pakaian yang digunakan. Namun tidak semua pakaian yang boleh dipakai oleh umat muslim. Terlebih lagi perempuan yang harus menutupi seluruh bagian tubuhnya. Karena berkembangnya zaman, banyak sekali pakaian yang tidak seharusnya digunakan bagi perempuan muslim. Contohnya menggunakan pakaian yang ketat hingga terlihat lekuk tubuhnya. Hal ini sangat dibenci oleh Allah. Seperti sabda Rasulullah:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: “Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.” (HR. Muslim)

5. Orang yang menyemir rambutnya, khususnya dengan warna hitam
Hal yang dianggap sepele, tetapi besar mudharatnya bagi umat muslim yang melakukannya. Bagi mereka yang menyemir rambut dengan menggunakan warna hitam, maka tidak akan merasakan bau surga. Seperti sabda Rasulullah:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Pada akhir zaman nanti akan ada orang-orang yang mengecat rambutnya dengan warna hitam seperti warna mayoritas dada merpati, mereka tidak akan mendapat bau surga.” (HR. Abu Daud)

6. Wanita yang minta cerai tanpa alasan
Perceraian adalah perkara yang sangat dibenci oleh Allah. Terlebih lagi jika ada perempuan yang meminta perceraian kepada suaminya dengan tanpa alasan. Sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun wanita yang meminta cerai kepada suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Daud)

7. Orang yang membunuh kafir mu’ahad
Kesetiaan dan perdamaian yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam sudah diatur dalam syariat. Dengan itu, Islam melindungi hak-hak manusia yang hendaknya dipenuhi. Oleh sebab itu, seorang muslim tidak boleh membunuh orang kafir yang terikat perjanjian dengan pemerintah Islam (kafir mu’ahad). Jika seorang muslim membunuh kafir mu’ahad, ia terancam tidak bisa mencium bau surga.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدَةً بِغَيْرِ حِلِّهَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ أَنْ يَشُمَّ رِيحَهَا

Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang membunuh orang kafir mu'ahid tidak pada waktu halalnya maka Allah mengharamkan baginya untuk mencium bau Surga.” (HR. Nasa`i)

Boleh membunuh kafir karena tiga alasan

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: (لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بإِحْدَى ثَلاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّاركُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ للجمَاعَةِ) رَوَاهُ اْلبُخَارِي وَمُسْلِمٌ.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Tidak halal darah seorang muslim (untuk ditumpahkan) kecuali karena salah satu dari 3 perkara: tsayyib (orang yang sudah menikah) yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash) dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin).” (HR al Bukhari dan Muslim).

Mengerjakan kebaikan terhadap orang kafir/Muamalah tidak dilarang. 

Surat Al-Mumtahanah Ayat 8

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ


Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

8.Orang yangmenyakiti kedua orang tua

ثلاثةٌ لا ينظرُ اللَّهُ عزَّ وجلَّ إليهم يومَ القيامةِ: العاقُّ لوالِدَيهِ، والمرأةُ المترجِّلةُ، والدَّيُّوثُ،
رواه السيوطي. 

ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ

“Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan AD DAYYUTS, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya” (HR. Ahmad no. 5372, dishahhihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ no.3052).

Kemudian kita lihat juga penjelasan para ulama. Al Munawi mengatakan:

أن الديوث ذلل حتى رأى المنكر بأهله فلا يغيره

“Ad dayyuts adalah sebuah kerendahan, sehingga ketika ia melihat anak-istrinya melakukan kemungkaran ia tidak cemburu” (Faidhul Qadir, 3/327).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

والديوث: الذي لا غيرة له

“Ad Dayyuts adalah lelaki yang tidak punya rasa cemburu” (Majmu’ Al Fatawa, 32/141).

Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan:

قال العلماء : الديوث الذي لا غيرة له على أهل بيته

“Para ulama mengatakan: ad dayyuts adalah orang yang tidak punya rasa cemburu terhadap anak-istrinya” (Az Zawajir, 2/347).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

الديوث هو الذي يرضى الفاحشة في أهله، يرضى بأن تزني يرضى بفعلها الفاحشة هذا هو الديوث الذي يرضى بالمعصية والشر في أهله أي الفساد في أهله يقرهم على ذلك

“Ad Dayyuts adalah orang yang ridha ketika anak-istrinya berbuat fahisyah, misalnya ia ridha anak-istrinya berzina atau melalukan fahisyah. Inilah dayyuts. Juga yang ridha ketika anak-istrinya melakukan maksiat dan keburukan, intinya dia menyetujui kerusakan yang dilakukan anak-istrinya” 

عَنْ عَمَّارٍ بْنِ يَاسِرٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُوْنَ الجَنَّةَ أَبَدًا: الدَّيُّوْثُ وَالرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ وَمُدْمِنُ الخَمْرِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا مُدْمِنُ الخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَمَا الدَّيُّوْثُ؟ قَالَ الَّذِيْ لَا يُبَالِيْ مَنْ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ قُلْنَا فَمَا الرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ قَالَ: الَّتِيْ تَشَبَّهَ باِلرِّجَالِ.

Dari Ammar bin Yasir dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Ada tiga orang yang tidak akan masuk surga selamanya: dayyuts, ar-rajulatu minan-nisa’, dan pecandu khamer (minuman memabukkan).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau pecandu khamer kami sudah paham, kalau dayyuts?”Rasulullahﷺmenjawab, “Dayyuts adalah yang tidak peduli siapa-siapa yang masuk menemui keluarganya.”Para sahabat kembali bertanya, “Kalauar-rajulatu minan-nisa’?”Rasulullah menjawab, “Perempuan yang menyerupai laki-laki.”

 Takhrij Hadits:

al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 10310, dan ath-Thabrani.Dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2071,2361)

قال -صلى الله عليه وسلم-: (من شرب الخمرَ لم تُقبلْ له صلاةٌ أربعين صباحًا، فإن تاب تاب اللهُ عليه...)

9.Perempuan yang kufur terhadap suaminya. 

Imam Muslim dalam salah satu riwayatnya menjelaskan hadits Nabi SAW tentang penghuni neraka. 
Berikut sabda Rasulullah

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Artinya: "Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. 
Dan aku lihat ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita." Mereka bertanya, "Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Disebabkan kekufuran mereka." Ada yang bertanya kepada beliau, "Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?" Beliau menjawab, "(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, 'Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu'." (HR Bukhari).


10. Wanita yang meninggalkan shalat, bisa karena bertele2 adus dari haid dll. 


كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (38) إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (39) فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ (40) عَنِ الْمُجْرِمِينَ (41) مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (44) وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ (45) وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ (46) حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ (47)

Artinya: "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian." (QS Al-Muddatstsir ayat 38-47)

Diriwayatkan dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan juga kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman] .

Diriwayatkan dari Buraidah bin al-Hushaib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka ia benar benar telah kafir.” [HR. Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Mâjah dan Imam Ahmad)

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat
___________________________

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat boleh, ora sholat boleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. 
Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  
Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. 
Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. 

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. 
Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. 
Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah 
[Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. 
Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. 
Dan mereka tidak meninggalkan secara total. 
Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. 
Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. 
Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. 
Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. 
Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. 
Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman. 

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. 
Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. 
Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

عن يَزِيدَ بْنِ قَوْذَرٍ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ شُرَيْحٍ ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: " أَوْصَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِّعْتُمْ ، أَوْ حُرِّقْتُمْ ، أَوْ صُلِّبْتُمْ ، وَلَا تَتْرُكُوا الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدِينَ ، فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْمِلَّةِ ، وَلَا تَقْرَبُوا الْخَمْرَ فَإِنَّهَا رَأْسُ الْخَطَايَا ) .
وهذا إسناد ضعيف ، يزيد بن قوذر : مجهول الحال ، ذكره البخاري في "التاريخ" (8/353) ، وابن أبي حاتم في "الجرح والتعديل" (9/ 284) ولم يذكرا فيه جرحا ولا تعديلا .
وسلمة بن شريح قال الذهبي في "الميزان" (2/190) : " لا يعرف " ، وأقره الحافظ في "اللسان" (3/69) .
والحديث ضعفه الشيخ الألباني رحمه الله في " ضعيف الترغيب والترهيب "(300) .

وفي معناه أيضا : حديث أَبِي الدَّرْدَاءِ ، 
قَالَ: " أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ: 
( لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَإِنْ قُطِّعْتَ وَحُرِّقْتَ ، 
وَلَا تَتْرُكْ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا ، فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ ، 
وَلَا تَشْرَبِ الْخَمْرَ ، فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ) .
رواه ابن ماجة (4034) من طريق شهر بن حوشب قال الحافظ ابن حجر رحمه الله : " وفي إسناده ضعف" انتهى من "تلخيص الحبير" (2/148) ، وحسنه الألباني في "صحيح ابن ماجة" .

Toyyib itulah sobat muslim,sifat wanita yang dilaknat Allah, semoga bermanfaat dan pesan admin kepada seluruh muslimah di dunia “jahui 10 sifat tersebut semoga Allah menjadikan kalian wanita shalihah dan bahagia dengan suami kalian di dunia dan Akhirat”.

_______________________

Hukum Pembatalan Shalat untuk Penyelamatan Diri dari Bencana dll.

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, saya mau bertanya soal pembatalan shalat karena terjadi bencana yang dapat membahayakan jiwa orang yang sedang shalat, seperti kebakaran, gempa bumi, letusan gunung merapi, banjir bandar, longsor, dan bencana lainnya. Mohon penjelasan terkait ini. Terima kasih. Wassalamu 'alakum wr. wb. (Hamba Allah/Brebes).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pertama sekali yang harus dipahami adalah bahwa shalat dan ibadah lainnya merupakan aktivitas mulia yang menjadi tujuan penciptaan manusia di dunia.

Pembatalan shalat dan ibadah lainnya di tengah jalan tanpa sebab tertentu yang dibenarkan secara syariat merupakan bentuk sikap yang mencederai kehormatan terhadap ibadah itu sendiri sebagaimana keterangan Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah berikut ini:

قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، لأنَّ قَطْعَهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ عَبَثٌ يَتَنَافَى مَعَ حُرْمَةِ الْعِبَادَةِ، وَوَرَدَ النَّهْيُ عَنْ إِفْسَادِ الْعِبَادَةِ، قَال تعَالَى: وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ، أَمَّا قَطْعُهَا بِمُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ فَمَشْرُوعٌ، فَتُقْطَعُ الصَّلاَةُ لِقَتْل حَيَّةٍ وَنَحْوِهَا لِلأَمْرِ بِقَتْلِهَا، وَخَوْفِ ضَيَاعِ مَالٍ لَهُ قِيمَةٌ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ، وَلإِغَاثَةِ مَلْهُوفٍ، وَتَنْبِيهِ غَافِلٍ أَوْ نَائِمٍ قَصَدَتْ إِلَيْهِ نَحْوَ حَيَّةٍ، وَلاَ يُمْكِنُ تَنْبِيهُهُ بِتَسْبِيحٍ

Artinya, “Penghentian atau pembatalan ibadah wajib di tengah keberlangsungannya tanpa alasan yang membolehkannya menurut syariat tidak diperkenankan berdasarkan kesepakatan ulama. Penghentian ibadah tanpa alasan yang syari adalah sebentuk main-main yang menafikan kehormatan ibadah. Larangan terkait merusak ibadah disebut dalam Surat Muhammad ayat 33, ‘Jangan kalian membatalkan amal kalian.’ Sedangkan penghentian atau pembatalan ibadah dengan alasan yang membolehkannya secara syar’i diatur memang disyariatkan. Shalat boleh dibatalkan karena ingin membunuh ular atau sejenisnya yang diperintahkan dalam syariat untuk dibunuh, karena khawatir kehilangan harta benda berharga dan harta lainnya, karena menyelamatkan orang yang minta tolong, memperingatkan orang lalai atau orang tidur yang sedang didekati oleh ular dan sejenisnya di mana tidak mungkin mengingatkannya hanya dengan kalimat tasbih,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz XXXIV, halaman 51).

Namun demikian, pada situasi genting atau situasi darurat tertentu shalat atau ibadah lainnya boleh bahkan wajib dibatalkan atau dihentikan seperti situasi di mana seseorang berteriak meminta pertolongan atau mengetahui seseorang tengah mengalami kecelakaan tenggelam di air, dan situasi darurat lainnya.

قد يجب قطع الصلاة لضرورة، وقد يباح لعذر. أما ما يجب قطع الصلاة له لضرورة فهو ما يأتي: تقطع الصلاة ولو فرضاً باستغاثة شخص ملهوف، ولو لم يستغث بالمصلي بعينه، كما لو شاهد إنساناً وقع في الماء، أو صال عليه حيوان، أو اعتدى عليه ظالم، وهو قادر على إغاثته

Artinya, “Shalat sekali waktu wajib dihentikan atau dibatalkan dan terkadang boleh dibatalkan karena sebuah alasan. Adapun alasan yang mewajibkan penghentian shalat karena darurat adalah sebagai berikut, yaitu pembatalan shalat wajib sekalipun karena menyelematkan orang yang minta tolong sekalipun permintaan tolong itu tidak ditujukan secara khusus untuk orang yang sedang shalat contohnya orang shalat yang menyaksikan orang lain terjatuh ke dalam air dalam, atau seseorang yang sedangkan diserang oleh binatang tertentu, atau seseorang yang sedang dianiaya oleh orang zalim, sementara orang yang sedang shalat itu mampu menolongnya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Selain penyelamatan jiwa baik manusia maupun hewan, pembatalan atau penghentian ibadah juga boleh dilakukan untuk menyelamatkan harta benda berharga tertentu. Bila dalam perhitungan orang yang shalat bahwa seorang tunanetra atau anak kecil akan terjerumus ke dalam sebuah sumur atau sesuatu akan terbakar, maka orang yang shalat harus membatalkan shalat demi melakukan langkah penyelamatan.

وتقطع الصلاة أيضاً إذا غلب على ظن المصلي خوف تردي أعمى، أو صغير أو غيرهما في بئر ونحوه. كما تقطع الصلاة خوف اندلاع النار واحتراق المتاع ومهاجمة الذئب الغنم؛ لما في ذلك من إحياء النفس أوالمال، وإمكان تدارك الصلاة بعد قطعها، لأن أداء حق الله تعالى مبني على المسامحة

Artinya, “Shalat juga wajib dibatalkan bila dalam pandangan orang yang shalat muncul kekhawatiran yang kuat jatuhnya orang penyandang tunanetra, anak kecil, atau selain keduany jatuh ke dalam sumur atau lainnya. Shalat juga wajib dibatalkan ketika khawatir pada jilatan api, terbakarnya harta benda tertentu, atau terkaman srigala kepada ternak kambing karena pembatalan shalat karena untuk menolongnya itu merupakan bagian dari penyelamatan jiwa atau harta benda dan memungkinkan mengulang shalat tersebut setelah pembatalan. Penunaian kewajiban terhadap Allah berpijak pada kelonggaran,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa pembatalan atau penghentian ibadah tanpa alasan syari tidak dibenarkan. Tetapi pada kondisi genting atau situasi darurat tertentu, seseorang dibenarkan bahkan diharuskan menghentikan atau membatalkan shalat atau ibadah lainnya untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan termasuk penyelamatan diri sendiri karena Islam sangat menghormati nyawa makhluk hidup, terlebih lagi jiwa manusia.

Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar