Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 10 Januari 2025

12 Sifat wanita Yang Dilaknat Masuk Neraka

12 Wanita Yang Dilaknat Allah
Ini Sifat-Sifatnya

12 Sifat wanita yang dilaknat Allah 
Agama Islam sangat memuliakan wanita sampai-sampai Allah buatkan satu surat dengan nama النساء (wanita-wanita). Islam membuat aturan yang begitu sempurna untuk melindungi kaum wanita, sampai-sampai untuk bersafar harus ada mahram dari laki-laki yang menemaninya.

Tapi ada beberapa sifat buruk yang menyebabkan wanita mendapat laknat atau murka dari Allah. 
Kaum hawa wajib mengetahuinya, supaya bisa menjahui sifat-sifat tersebut:

1. Wanita yang tidak mensyukuri pemberian suaminya
Seorang suami memang memiliki kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya. 
Bahkan ulama menjelaskan bahwa memberi makan hingga masuk ke dalam mulut istri adalah kewajiban suami.

Namun sebagai seorang istri tidak boleh menuntut lebih dari kemampuan suami. Istri harus bisa menerima berapapun pemberian suami selagi sang suami sudah berusaha semampunya.

Jika ada seorang istri tidak mensyukuri pemberian suami dan merasa kurang maka dia termasuk wanita yang dilaknat Allah sebagaimana riwayat hadits berikut:

Rasulullah saw bersabda:

لا ينظرُ اللَّهُ إلى امرأةٍ لا تشكُرُ لزوجِها وَهيَ لا تستَغني عنهُ

“Allah tidak akan melihat (dengan pandangan kasih sayang di akhirat) kepada wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan ia tidak merasa cukup dari pemberian suaminya” (HR. An Nasa’i no. 9086 dan Al Baihaqi Kitab Sunanul Kubra 7/294.)

Imam Muslim dalam salah satu riwayatnya menjelaskan hadits Nabi SAW tentang penghuni neraka. 
Berikut sabda Rasulullah

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Artinya: "Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. 
Dan aku lihat ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita." Mereka bertanya, "Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Disebabkan kekufuran mereka." Ada yang bertanya kepada beliau, "Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?" Beliau menjawab, "(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, 'Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu'." (HR Bukhari).

2. Wanita yang suka mengadu domba
Seorang wanita terlahir untuk banyak bicara, tapi jika tidak berhati-hati bisa menyebabkan mereka berdosa dan mendapat murka Allah. Salah satu sifat yang dibenci oleh Allah adalah suka mengadu domba antar sodara.

Dari Hudzaifah, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka namimah (adu domba).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

3. Istri yang menggugat cerai tanpa alasan
Jika tidak mau menjadi wanita yang dilaknat Allah jangan pernah meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang jelas (sesuai syariat Allah) sebagaimana sabda Rasulullah saw:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Jika ada wanita meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya bau surga“ HR. Ahmad

4. Wanita yang berpakaian tipis dan ketat
Seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat yang orang lain tidak boleh melihatnya kecuali suami. 
Maka kalau ada wanita yang berpakaian tipis atau ketat sehingga terlihat lekuk-lekuk tubuhnya oleh orang lain maka Allah murka padanya.

5. Wanita yang memakai wewangian dan berlenggak-lenggok.
Selain berpakaian tipis atau ketat, bejalan lenggak-lenggok menampakkan aurat lekuk tubuhnya juga salah satu sifat wanita yang dilaknat Allah.

6. Wanita yang kepalanya menyerupai punuk unta
Maksudnya adalah seorang wanita yang mengikat rambutnya hingga menjulang ke atas menyerupai punuk unta. Walaupun dia menutupinya dengan kerudung atau hijab maka tetap tidak boleh, karena tetap menampakkan auratnya.

Dalil dari sifat nomer 4, 5 dan 6 sebagaimana berikut:

Abu Hurairah ra, berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“2 sifat dari penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia (suka menyiksa manusia) dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” HR. Muslim no. 2128.

7. Wanita yang mengaku-mengaku marga selain ayahnya
Ada Hadits Rasulullah yang berbunyi:

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفاً وَلاَ عَدْلاً

“Barangsiapa yang mengaku ayah kepada selain ayahnya atau bersandar kepada yang bukan walinya, maka laknat Allah, juga para Malaikat dan semua manusia menimpa mereka, dan pada hari Kiamat, Allah tidak akan menerima dari mereka, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Shahih Muslim no. 467 (1370)

Hadits ini melarang seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Bagaimana keadaan ayah kandung maka seorang anak wajib benasab kepadanya.

8. Wanita yang menyemir rambutnya dengan warna hitam

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullahsaw bersabda: “Pada akhir zaman nanti akan ada orang-orang yang mengecat rambutnya dengan warna hitam seperti warna mayoritas dada merpati, mereka tidak akan mendapat bau surga.” HR. Abu Dawud no. 3679

Pada dasarnya hukum mewarnai rambut dengan warna hitam itu haram bagi semua muslim yang laki-laki maupun perempuan.

9. Istri yang tidak taat kepada suaminya
Sifat wanita yang dilaknat Allah berikutnya hampir mirip dengan sifat yang pertama namun hal ini lebih kepada masalah ketaatan kepada suami. Islam mewajibkan kepada seorang istri untuk patuh kepada suami melebihi bapak kandungnya.

Dalam salah satu riwayat hadits Nabi saw juga menjelaskan bahwa kalau saja manusia boleh bersujud kepada manusia, maka seorang istri sangat pantas untuk bersujud kepada suaminya. Artinya ketaatan istri kepada suami adalah wajib mutlak kecuali dalam hal-hal yang haram.

Nah jika ada wanita yang tidak mau taat pada suaminya maka dia akan mendapat laknat Allah.

Rasulullah saw bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471.

Hadits ini menyebutkan bahwa kalau ada seorang wanita dia benar-benar taat kepada suaminya maka akan masuk surga dari pintu manapun yang dia mau.

Maka diambil pemahaman sebaliknya jika ada wanita tidak taat kepada suami maka dia tidak diperbolehkan masuk ke dalam surga.

10. Wanita yang menyerupai laki-laki
Manusia tidak bisa menolak takdir Allah khusunya tentang jenis kelamin mereka. Terlahir laki-laki atau perempuan itu semua adalah ketetapan Allah dan ketetapan-Nya pasti terbaik untuk manusia.

Maka tugas manusia hanyalah bersyukur, menerima apa yang telah menjadi takdirnya. 
Haram bagi mereka merubah-rubah ciptaan Allah dalam hal ini merubah tampilan atau jenis kelamin.

Laki-laki haram berdandan atau merubah kelaminnya menjadi wanita dan begitu pula wanita haram hukumnya berdandan atau merubah kelaminnya menjadi laki-laki.

Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah saw melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”. HR. Bukhari, no. 5885

11. Wanita yang tidak bisa menjaga lisannya

Dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari mencatat hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menggambarkan ahli ibadah yang terancam masuk neraka. 
Silahkan simak haditsnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةً تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، وتفعلُ، وتصدقُ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا خَيْرَ فِيهَا، هِيَ من أهل النار
قَالُوا: وَفُلَانَةٌ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، وَتَصَّدَّقُ بِأَثْوَارٍ، وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Dikatakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan shalat malam, gemar puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah, tapi sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.”

Mereka (para sahabat) berkata (lagi): “Fulanah (lainnya hanya) mengerjakan shalat wajib, dan bersedekah dengan beberapa potong keju, tapi tidak (pernah) menyakiti seorang pun.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dia adalah penghuni surga.” (Imam al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h. 54-55)

12. Wanita yang meninggalkan shalat karena bertele2 adus haid


كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (38) إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (39) فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ (40) عَنِ الْمُجْرِمِينَ (41) مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (44) وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ (45) وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ (46) حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ (47)

Artinya: "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian." (QS Al-Muddatstsir ayat 38-47)

Diriwayatkan dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan juga kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman] .

Diriwayatkan dari Buraidah bin al-Hushaib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka ia benar benar telah kafir.” [HR. Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Mâjah dan Imam Ahmad)

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. [Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman. [Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

عن يَزِيدَ بْنِ قَوْذَرٍ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ شُرَيْحٍ ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: " أَوْصَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِّعْتُمْ ، أَوْ حُرِّقْتُمْ ، أَوْ صُلِّبْتُمْ ، وَلَا تَتْرُكُوا الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدِينَ ، فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْمِلَّةِ ، وَلَا تَقْرَبُوا الْخَمْرَ فَإِنَّهَا رَأْسُ الْخَطَايَا ) .
وهذا إسناد ضعيف ، يزيد بن قوذر : مجهول الحال ، ذكره البخاري في "التاريخ" (8/353) ، وابن أبي حاتم في "الجرح والتعديل" (9/ 284) ولم يذكرا فيه جرحا ولا تعديلا .
وسلمة بن شريح قال الذهبي في "الميزان" (2/190) : " لا يعرف " ، وأقره الحافظ في "اللسان" (3/69) .
والحديث ضعفه الشيخ الألباني رحمه الله في " ضعيف الترغيب والترهيب "(300) .

وفي معناه أيضا : حديث أَبِي الدَّرْدَاءِ ، 
قَالَ: " أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ: 
( لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَإِنْ قُطِّعْتَ وَحُرِّقْتَ ، 
وَلَا تَتْرُكْ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا ، فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ ، 
وَلَا تَشْرَبِ الْخَمْرَ ، فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ) .
رواه ابن ماجة (4034) من طريق شهر بن حوشب قال الحافظ ابن حجر رحمه الله : " وفي إسناده ضعف" انتهى من "تلخيص الحبير" (2/148) ، وحسنه الألباني في "صحيح ابن ماجة" .

Toyyib itulah sobat muslim,sifat wanita yang dilaknat Allah, semoga bermanfaat dan pesan admin kepada seluruh muslimah di dunia “jahui 10 sifat tersebut semoga Allah menjadikan kalian wanita shalihah dan bahagia dengan suami kalian di dunia dan Akhirat”.

Semoga bermanfaat.
Allahu A'lam

_______________________

Hukum Pembatalan Shalat untuk Penyelamatan Diri dari Bencana dll.

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, saya mau bertanya soal pembatalan shalat karena terjadi bencana yang dapat membahayakan jiwa orang yang sedang shalat, seperti kebakaran, gempa bumi, letusan gunung merapi, banjir bandar, longsor, dan bencana lainnya. Mohon penjelasan terkait ini. Terima kasih. Wassalamu 'alakum wr. wb. (Hamba Allah/Brebes).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pertama sekali yang harus dipahami adalah bahwa shalat dan ibadah lainnya merupakan aktivitas mulia yang menjadi tujuan penciptaan manusia di dunia.

Pembatalan shalat dan ibadah lainnya di tengah jalan tanpa sebab tertentu yang dibenarkan secara syariat merupakan bentuk sikap yang mencederai kehormatan terhadap ibadah itu sendiri sebagaimana keterangan Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah berikut ini:

قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، لأنَّ قَطْعَهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ عَبَثٌ يَتَنَافَى مَعَ حُرْمَةِ الْعِبَادَةِ، وَوَرَدَ النَّهْيُ عَنْ إِفْسَادِ الْعِبَادَةِ، قَال تعَالَى: وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ، أَمَّا قَطْعُهَا بِمُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ فَمَشْرُوعٌ، فَتُقْطَعُ الصَّلاَةُ لِقَتْل حَيَّةٍ وَنَحْوِهَا لِلأَمْرِ بِقَتْلِهَا، وَخَوْفِ ضَيَاعِ مَالٍ لَهُ قِيمَةٌ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ، وَلإِغَاثَةِ مَلْهُوفٍ، وَتَنْبِيهِ غَافِلٍ أَوْ نَائِمٍ قَصَدَتْ إِلَيْهِ نَحْوَ حَيَّةٍ، وَلاَ يُمْكِنُ تَنْبِيهُهُ بِتَسْبِيحٍ

Artinya, “Penghentian atau pembatalan ibadah wajib di tengah keberlangsungannya tanpa alasan yang membolehkannya menurut syariat tidak diperkenankan berdasarkan kesepakatan ulama. Penghentian ibadah tanpa alasan yang syari adalah sebentuk main-main yang menafikan kehormatan ibadah. Larangan terkait merusak ibadah disebut dalam Surat Muhammad ayat 33, ‘Jangan kalian membatalkan amal kalian.’ Sedangkan penghentian atau pembatalan ibadah dengan alasan yang membolehkannya secara syar’i diatur memang disyariatkan. Shalat boleh dibatalkan karena ingin membunuh ular atau sejenisnya yang diperintahkan dalam syariat untuk dibunuh, karena khawatir kehilangan harta benda berharga dan harta lainnya, karena menyelamatkan orang yang minta tolong, memperingatkan orang lalai atau orang tidur yang sedang didekati oleh ular dan sejenisnya di mana tidak mungkin mengingatkannya hanya dengan kalimat tasbih,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz XXXIV, halaman 51).

Namun demikian, pada situasi genting atau situasi darurat tertentu shalat atau ibadah lainnya boleh bahkan wajib dibatalkan atau dihentikan seperti situasi di mana seseorang berteriak meminta pertolongan atau mengetahui seseorang tengah mengalami kecelakaan tenggelam di air, dan situasi darurat lainnya.

قد يجب قطع الصلاة لضرورة، وقد يباح لعذر. أما ما يجب قطع الصلاة له لضرورة فهو ما يأتي: تقطع الصلاة ولو فرضاً باستغاثة شخص ملهوف، ولو لم يستغث بالمصلي بعينه، كما لو شاهد إنساناً وقع في الماء، أو صال عليه حيوان، أو اعتدى عليه ظالم، وهو قادر على إغاثته

Artinya, “Shalat sekali waktu wajib dihentikan atau dibatalkan dan terkadang boleh dibatalkan karena sebuah alasan. Adapun alasan yang mewajibkan penghentian shalat karena darurat adalah sebagai berikut, yaitu pembatalan shalat wajib sekalipun karena menyelematkan orang yang minta tolong sekalipun permintaan tolong itu tidak ditujukan secara khusus untuk orang yang sedang shalat contohnya orang shalat yang menyaksikan orang lain terjatuh ke dalam air dalam, atau seseorang yang sedangkan diserang oleh binatang tertentu, atau seseorang yang sedang dianiaya oleh orang zalim, sementara orang yang sedang shalat itu mampu menolongnya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Selain penyelamatan jiwa baik manusia maupun hewan, pembatalan atau penghentian ibadah juga boleh dilakukan untuk menyelamatkan harta benda berharga tertentu. Bila dalam perhitungan orang yang shalat bahwa seorang tunanetra atau anak kecil akan terjerumus ke dalam sebuah sumur atau sesuatu akan terbakar, maka orang yang shalat harus membatalkan shalat demi melakukan langkah penyelamatan.

وتقطع الصلاة أيضاً إذا غلب على ظن المصلي خوف تردي أعمى، أو صغير أو غيرهما في بئر ونحوه. كما تقطع الصلاة خوف اندلاع النار واحتراق المتاع ومهاجمة الذئب الغنم؛ لما في ذلك من إحياء النفس أوالمال، وإمكان تدارك الصلاة بعد قطعها، لأن أداء حق الله تعالى مبني على المسامحة

Artinya, “Shalat juga wajib dibatalkan bila dalam pandangan orang yang shalat muncul kekhawatiran yang kuat jatuhnya orang penyandang tunanetra, anak kecil, atau selain keduany jatuh ke dalam sumur atau lainnya. Shalat juga wajib dibatalkan ketika khawatir pada jilatan api, terbakarnya harta benda tertentu, atau terkaman srigala kepada ternak kambing karena pembatalan shalat karena untuk menolongnya itu merupakan bagian dari penyelamatan jiwa atau harta benda dan memungkinkan mengulang shalat tersebut setelah pembatalan. Penunaian kewajiban terhadap Allah berpijak pada kelonggaran,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).

Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa pembatalan atau penghentian ibadah tanpa alasan syari tidak dibenarkan. Tetapi pada kondisi genting atau situasi darurat tertentu, seseorang dibenarkan bahkan diharuskan menghentikan atau membatalkan shalat atau ibadah lainnya untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan termasuk penyelamatan diri sendiri karena Islam sangat menghormati nyawa makhluk hidup, terlebih lagi jiwa manusia.

Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar