Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 28 Agustus 2016

Menggabung Qurban dan Aqiqah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman. Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat. Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).[1] Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[2] Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.”[3] Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[4] Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[5] Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah. Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah. Point Penting dalam Penggabungan Niat Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat: Kesamaan jenis. Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya. Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ “Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).”[7] Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas. Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas. Jalan Keluar dari Masalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak? Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya. Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[8] Kesimpulan Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada. Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban. Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan). Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.

Wallahu a’lam bish showab..

Aqiqah dipake prasmanan

Aqiqah Untuk Prasmanan dan Jangka Waktu Disunnahkan Aqiqah

PERTANYAAN :

Benar ga daging akikah ga boleh utk bikin acara prasmanan? makasih..
Oya kang..di Jakarta kan biasanya klu pake prasmanan gitu, nanti tetamu datang bawain amplop..sebagai hadiah pada yg acara, cuma amplop ini semacam keharusan, nah..kata tetangga ngarepin duit amplop dgn daging akikah ini yg ga boleh..ditanya si ga pake kitab, dalilnya pake perasaan.. jadi kata mereka seperti rumah makan saja, pake dihargain dengan amplop..hmm

JAWABAN :

Boleh, namun yang lebih baik memang dikirim / dihantarkan pada fakir miskin dalam bentuk sudah di masak dagingnya. Keterangan diambil dari :
ويندب لمن تلزمه نفقة فرعه أن يعق عنه من وضع إلى بلوغ وهي كضحية ولا يكسر عظم والتصدق بمطبوخ يبعثه إلى ...الفقراء أحب من ندائهم إليها ومن التصدق نيئا..
Disunahkan bagi orang yang wajib menafkahi anaknya untuk menyembelih aqiqah mulai masa kelahiran hingga dewasa/baligh, aqiqah seperti halnya udhiyyah/qurban, jangan dipecah tulangnya, mensedahkannya dalam bentuk dimasak dan diantarkan pada orang-orang fakir lebih disukai ketimbang mengundang mereka atau memberikannya dalam bentuk mentah. [ Fath al-Mu’iin II/336 ].
حكم اللحم كالضحايا، يؤكل من لحمها، ويتصدق منه، ولا يباع شيء منها. ويسن طبخها، ويأكل منها أهل البيت وغيرهم في بيوتهم، وكره عند المالكية عملها وليمة يدعو الناس إليها. ويجوز عند المالكية: كسر عظامها، ولا يندب. وقال الشافعية والحنابلة:يجوز اتخاذ الوليمة، ولا يكره كسر العظام، إذ لم يثبت فيه نهي مقصود، بل هو خلاف الأولى، ويستحب أن تفصل أعضاؤها، ولا تكسر عظامها، تفاؤلاً بسلامة أعضاء المولود، لما روي عن عائشة، أنها قالت: «السنة شاتان مكافئتان عن الغلام، وعن الجارية شاة تطبخ جُدولاً (2) ،
HUKUM DAGING AQIQAH
Hukumnya seperti halnya daging qurban boleh dimakan dagingnya (bila tidak berupa aqiqah wajib/nadzar) dan disedekahkan sebagiannya, jangan ada yang dijual, disunahkan memasak dagingnya dimakan sekeluarga dan lainnya dalam rumah. Menurut kalangan Malikiyyah makruh hukumnya menjadikan aqiqah sebagai bentuk walimah dengan mengundang orang menikmatinya namun menurut kalangan ini boleh memecah tulang-tulang binatang aqiqah tapi tidak disunahkan. Menurut kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah boleh dijadikan walimah karena tidak terdapat dalil pelarangan tentangnya hanya saja hukumnya Khilaaf Aula (menyalahi keutaman) tapi tulang hewan aqiqahnya jangan dipecah sebagai bentuk penghapan baik atas keselamatan anggauta tubuh anak yang dilahirkan berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah ra “Yang sunah untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama sedang anak perempuan seekor kambing dengan di masak per anggauta badan”. [ Fiqh al-Islaam wa Adillatuhu IV/287 ]. Wallahu A’lamu bis Showaab.
AMPLOP yang dibawa oleh tamu-tamu tersebut tidak mengurangi pahala orang yang mengadakan acara aqiqah tadi menurut Al-Ghozali kecuali bila niat awal mengadakan aqiqah tersebut memang bertujuan mencari amplop maka pahalanya bisa berkurang.
وَمِنْهَا : اخْتَلَفَ الْغَزَا...لِيُّ وَابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ فِيمَنْ قَصَدَ بِعَمَلِهِ الرِّيَاءَ وَالْعِبَادَةَ ، فَقَالَ الْغَزَالِيُّ : إنْ غَلَبَ بَاعِثُ الدُّنْيَا فَلَا ثَوَابَ لَهُ ، أَوْ بَاعِثُ الْآخِرَةِ فَلَهُ الثَّوَابُ وَإِنْ تَسَاوَيَا تَسَاقَطَا فَلَا ثَوَابَ أَيْضًا ، وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ : لَا ثَوَابَ مُطْلَقًا لِلْأَخْبَارِ السَّابِقَةِ كَخَبَرِ : { مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ هُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ } .
Az-Zawaajir 'an Iqtiraaf al-Kabaair I/108

Wallohu a'lam...

Penjelasan tentang QURBAN

Qurban dalam Islam

Ibadah ber-qurban adalah bagian dari syiar Islam yang disyariatkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad dan ijmak ulama. Qurban hukumnya sunnah dilakukan dengan niat untuk beribadah mendekatkan diri pada Allah.

DEFINISI DAN PENGERTIAN QURBAN (KURBAN)

Qurban atau Kurban (bahasa Arab الأضحية,التضحية), secara harfiah berarti hewan sembelihan. Dalam terminologi syariah, Qurban (kurban) adalah hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha karena sebab lebaran dengan niat ibadah mendekatkan diri pada Allah. Ibadah kurban dilakukan pada tanggal 10 (hari nahar) bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha dan 11,12 dan 13 (hari tasyrik) bulan Hijriah.

DALIL DASAR QURBAN

- QS Al Kautsar 108:2 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
- Hadits sahih riwayat Muslim

خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم مهلين بالحج ، فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك في الإبل ، والبقر ، كل سبعة منا في بدنة
Artinya: Kami keluar bersama Rasulullah berihram haji, lalu Nabi memerintahkan kami untuk patungan (kurban) dari hewan unta dan sapi. Setiap 7 (tujuh) orang dari kami berkurban 1 unta.

- Hadits riwayat jamaah (segolongan ahli hadits)

نحرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم البقرة عن سبعة ، والبدنة عن سبعة
Artinya: Kami berkurban sapi bersama Nabi Muhammad untuk 7 (tujuh) orang dan 1 (satu) unta untuk 7 (tujuh) orang.

- Hadits

ويذبح عن كل واحد منهم شاة أو يذبح بقرة أو بدنة عن سبعة

Artinya: Kambing atau domba hanya untuk kurban satu orang. Sedang sapi dan unta untuk 7 orang.

- Hadits sahih Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih)

أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده وسمى وكبر

- Hadits sahih riwayat Bukhari

كان النبي صلى الله عليه وسلم يذبح وينحر بالمصلى

HUKUM QURBAN

Hukum berkurban itu sunnah muakkad (sangat dianjurkan) menurut jumhur (mayoritas ulama).

Sebagian ulama yang lain menganggap hukum berkurban itu wajib bagi orang yang kaya, dan tidak wajib bagi yang miskin. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi'ah, Al-Auza'i, Hanifah, Ahmad dalam satu riwayat dan sebagian madzhab Maliki dengan dasar QS Al-Kautsar ayat 2 di atas dan berdasar hadits di mana Nabi bersabda: ( من وجد سعة فلم يضح فلا يقربن مصلانا)

WAKTU PENYEMBELIHAN QURBAN

- Waktu menyembelih hewan kurban mulai setelah terbitnya matahari pada tanggal 10 Dzulhijjah atau lebaran Idul Adha setelah selesainya shalat Idul Adha dan khutbahnya.
- Waktu utama untuk menyembelih hewan kurban adalah hari raya Idul Adha sebelum tergelincirnya matahari (sebelum Dzuhur)
- Penyembelihan qurban berlaku sejak pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah atau hari raya Idul Adha sampai terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah atau hari terakhir hari tasyrik (tashriq).

Jadi waktu menyembelih qurban ada 4 hari yaitu tanggal 10 Dzulhijjah sampai sebelum terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah.

BACAAN DOA DAN NIAT SEBELUM MENYEMBELIH QURBAN
Yang terpenting saat akan menyembelih adalah membaca bismillah (lihat, QS. Al-An'am: 118 dan 121) selain itu bacaan doa dan niat di bawah hukumnya sunnah.

Saat akan menyembelih qurban, penyembelih hendaknya membaca doa dan niat berikut (berdasarkan hadits sahih riwayat Abu Daud:

Doa sebelum menyembelih (saat di depan hewan kurban):
إني وجهتُ وجهيَ للذي فطر السماوات والأرض حنيفاً على ملة إبراهيم، وما أنا من المشركين، قل إن صلاتي ونُسُكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين، لا شريك له، وبذلك أمرِتُ، وأنا أولُ المسلمين، اللهم منك ولك

Doa saat akan menyemeblih hewan (pisau sudah dekat leher hewan) apabila menyembelih sendiri :
بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، هَذَا عَنِّي

Artinya: Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ini kurban dariku.

Doa/niat saat akan menyembelih hewan apabila mewakili orang lain
بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، هَذَا عَنْ ...

Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ini kurban dari ... (sebutkan namanya).

Doa/niat saat akan menyembelih hewan apabila untuk diri sendiri dan mewakili orang lain

بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، هَذَا عَنِّي
َاَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلَانٍ وَآلِ فُلَانٍ

Artinya: Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ini kurban dariku.
Ya Allah, terimalah kurban dari fulan dan keluarga fulan," (dengan menyebut namanya).

HEWAN TERBAIK UNTUK QURBAN

- Hewan hewan lebih baik dari yang kurus.
- Hewan warna putih lebih baik daripada yang hitam atau kelabu.
- Sunnah yang bertanduk.
- Urutan jenis hewan yang paling utama untuk kurban adalah: unta, sapi, kambing, domba.
- Binatang jantan normal lebih baik dari yang dikebiri atau yang betina

HIKMAH BERKURBAN

- Sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah atas nikmat-nikmat yang diberikan.
- Untuk memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim.
- Melapangkan dada

HUKUM QURBAN NADZAR

Orang yang bernadzar untuk berqurban, maka hukumnya menjadi wajib untuk melaksanakannya. Di samping itu, harus diingat 2 poin penting berikut:

1) Untuk nadzar kurban wajib membagikan seluruh daging hewan qurbannya dan yang berkurban tidak boleh memakan dagingnya menurut madzhab Syafi'i, Hanafi, dan sebagian madzhab Hanbali.

2) Apabila hewan qurban nadzar beranak, maka anaknya ikut menjadi korban nadzar menurut madzhab Syafi'i dan Hanbali.

ORANG YANG DISUNNAHKAN BERKURBAN

- Orang yang mampu membeli hewan qurban dan melebihi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan keluarga yang wajib dinafkahi pada hari Idul Adha, hari Tashriq (Tasyrik).
- Sunnah bagi musafir, dan haji.
- Anak kecil tidak sunnah berkurban.

USIA MINIMUM HEWAN QURBAN

- Kambing: sempurna berusia 1 (satu) tahun dan masuk usia (dua) tahun.
- Domba: sempurna berusia 6 (enam) bulan dan masuk bulan ke-7 (tujuh).
- Sapi: sempurna berusia 2 (dua) tahun dan masuk tahun ketiga.
- Unta usempurna berusia 5 (lima) tahun, masuk tahun ke-6.

HUKUM KURBAN KOLEKTIF (GABUNGAN)

Hukumnya boleh berkurban secara kolektif atau gabungan lebih dari satu orang untuk satu ekor hewan sapi, kerbau atau unta dengan rincian sebagai berikut:

- 1 (satu) ekor unta dapat dibuat kurban untuk 7 (tujuh) orang.
- 1 (satu) ekor sapi atau kerbau dapat dibuat kurban untuk 7 (tujuh) orang.
- 1 ekor kambing/domba untuk kurban tidak boleh dimiliki oleh lebih dari 1 orang tapi boleh diniatkan pahalanya untuk 2 orang atau lebih. Lihat rinciannya di bawah.

PENDAPAT BAHWA KAMBING BOLEH UNTUK LEBIH DARI 1 (SATU) ORANG

Mayoritas ulama berpendapat bahwa kambing atau domba hanya untuk kurban 1 (satu) orang. Tidak boleh untuk 2 (dua) orang atau lebih. Tapi ada pendapat ulama fiqih klasik yang membolehkan dengan argumen dan dalil sbb:

- Hadits sahih riwayat Abu Daud

سألت أبا أيوب الأنصاري كيف كانت الضحايا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال كان الرجل يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته يأكلون ويطعمون حتى تباهى الناس فصارت كما ترى

Artinya: Aku bertanya pada Abu Ayyub Al-Anshari bagaimana kurban pada zaman Rasulullah. Al Anshari menjawab: ...seorang laki-laki berkurban dengan kambing untuk dirinya sendiri dan keluarga (ahli bait)-nya...

- Hadits sahih riwayat Hakim كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يضحي الشاة الواحدة عن جميع أهله

Artinya: Rasulullah pernah berkurban dengan satu kambing untuk seluruh umatnya.

- Hadits أنه ذبح كبشا عن أمته
Artinya: Bahwa Nabi Muhammad menyembelih (kurban) seekor kambing untuk umatnya.

- Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakpuri dalam Tuhfadzul Ahwadzi syarah Abu Daud mengatakan (mengomentari hadits di atas) bahwa dari ketiga hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa kambing atau domba boleh untuk dijadikan hewan kurban lebih dari 1 (satu) orang. Ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Laits dan Auza'i (lihat kitab Atta'liq almumjid التعليق الممجد)

- Imam Malik dalam Al-Muwatta' mengatakan:

وهو نص صريح في أن الشاة الواحدة تجزئ عن الرجل وعن أهل بيته وإن كانوا كثيرين وهو الحق

Artinya: hadits di atas adalah nash yang jelas bahwa kambing satu sah untuk dijadikan kurban bagi satu orang laki-laki dan keluarganya walaupun keluarganya banyak.

- Asy-Syaukani dalam Nailul Autar
وَالْحَقُّ أَنَّ الشَّاةَ الْوَاحِدَةَ تُجْزِئُ عَنْ أَهْلِ الْبَيْتِ , وَإِنْ كَانُوا مِائَةَ نَفْسٍ أَوْ أَكْثَرَ كَمَا قَضَتْ بِذَلِكَ السُّنَّةُ

Intinya: kurban satu kambing boleh diperuntukkan untuk satu orang dan keluarganya (ahlul bait) atau orang lain tapi harus di bawah kepemilikan 1 orang artinya tidak boleh 2 orang atau lebih saweran/kongsi untuk membeli 1 kambing.

Pendapat jumhur ulama, kambing hanya untuk satu orang. Menurut ulama yang berpandangan bahwa kambing hanya untuk kurban satu orang, hadits di atas berlaku dalam segi pahalanya. Tapi kurbannya tetap untuk satu orang.

wallahu a'lam...

Hewan beranak manusia


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

Ma'af pak ustadz ganggu saya mau tanya?,,
Pertanyaannya?,,

Gimana hukum nya klo ada hewan/kambing punya anak manusia apa boleh d jadikan Qurban ??

JAWABAN :

Boleh,,
=========

حاشية إعانة الطالبين (1/ 113)

فإن نزا مأكول على مأكولة فولدت ولدا على صورة الآدمي فإنه طاهر مأكول، فلو حفظ القرآن وعمل خطيبا وصلى بنا عيد الاضحى جاز أن يضحى به بعد ذلك

jika pejantan hewan yg halal dimakan berhubungan intim dengan hewan betina yg halal dimakan dagingnya kemudian melahirkan anak berbentuk manusia maka hukumnya anak tadi juga halal dimakan
jika anak tersebut hafal alqur’an dan jadi khotib dan ikut sholat idul adha bersama kita maka tetap diperbolehkan menjadikan ia sebagai kurban setelah sholat ied
———-—
Pertanyaan:

Klo manusia it lahir dri anjing/ babi boleh kah dia jadi imam?,,
=========

Jawaban:

Boleh

ﻭﺷﻤﻞ ﻛﻼﻣﻪ ﺍﻟﻤﺘﻮﻟﺪ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻭﺁﺩﻣﻲ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ
ﺻﻮﺭﺓ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﻓﻨﺠﺲ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺻﻮﺭﺓ ﺁﺩﻣﻲ
ﻓﻄﺎﻫﺮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺮﻣﻠﻲ ﻭﻧﺠﺲ ﻣﻌﻔﻮ ﻋﻨﻪ ﻋﻨﺪ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ
ﻓﻴﺼﻠﻲ ﻭﻟﻮ ﺍﻣﺎﻣﺎ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﻳﺨﺎﻟﻂ ﺍﻟﻨﺎﺱ
ﻭﻻﻳﻨﺠﺴﻬﻢ ﺑﻠﻤﺴﻪ ﻣﻊ ﺭﻃﻮﺑﺔ

ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺒﺎﺟﻮﺭﻱ ﺹ 104 ﺷﺮﻛﺔ ﺍﻟﻤﻌﺎﺭﻕ

komentar mushonnif itu bisa mencakup pada Anak adam Jima’ dengan Anjing dan Melahirkan berupa Anjing maka hukumnya Najis dan apabila berupa Manusia/anak adam maka Hukumnya Suci menurut Imam Romli adapun Menurut Imam Ibnu Hajar hukumnya Najis yang di Ma’fu dan Wajib Sholat baginya meskipun menjadi Imam dan Boleh Masuk Masjid serta berkumpul dengan Manusia lainnya serta tidak Menajiskan jika bersentuhan dengan badannya meski dalam keadaan Basah.

والله اعلم بالصواب....

Qurban dengan hewan betina

Jumat, 26 Agustus 2016

Bagi waris

Bagi Waris dalam islam

Dalam hukum waris Islam, apabila semua ahli waris berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya ada 5 (lima) orang yaitu anak kandung (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu, istri (janda), suami (duda). Sedang ahli waris lain tidak mendapat apa-apa. Ini adalah prinsip dasar hukum waris Islam yang perlu diketahui oleh kalangan awam. Apabila kelima orang di atas tidak lengkap, maka ahli waris lain punya peluang untuk mendapat warisan seperti uraian dalam artikel ini.

Juga, anak angkat (adopsi) bukan termasuk ahli waris dan tidak mendapat warisan dalam situasi apapun. Alternatifnya, orang tua angkatnya hendaknya memberi mereka hibah atau wasiat sebelum meninggal agar anak angkat mendapat bagian harta.

Bagi yang ingin konsultasi masalah waris, lihat panduannya di sini.

Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts (الإرث) atau al-mirats (الميراث) secara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit).

Ashabul Furudh dan Bagiannya
Bagian 1/2 (Setengah)
Bagian 1/4 (Seperempat)
Bagian 1/8 (Seterdelapan)
Bagian 2/3 (Dua pertiga)
Bagian 1/3 (Sepertiga)
Bagian 1/6 (Seperenam)

DEFINISI DAN PENGERTIAN WARISAN (FARAID)

Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts (الإرث) atau al-mirats (الميراث) secara umum bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit).

Secara etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu (a) tetap dan (b) berpindahnya sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-materi.

Sedang menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta seorang (yang mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah ditentukan oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.

I. DALIL DASAR HUKUM WARIS

Hukum waris dalam Islam berdasarkan pada nash (teks) dalam Al-Quran sebagai berikut:

- QS An-Nisa' 4:11-12
"يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَييْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (ayat 11).

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sdsudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.(ayat 12)

- QS An-Nisa' 4:176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلْ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنْ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

KEWAJIBAN AHLI WARIS KEPADA PEWARIS

Sebelum harta dibagi, ahli waris punya kewajiban terdadap pewaris yang wafat sbb:

a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;"
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

*Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

SYARAT WARISAN ISLAM

Syarat waris Islam ada 3 (tiga) yaitu:

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

RUKUN WARIS ISLAM
Rukun waris ada 3 (tiga) yaitu:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris.
3. Harta warisan.

NAMA AHLI WARIS DAN BAGIANNYA

Dari seluruh ahli waris yang tersebut di bawah ini, yang paling penting dan selalu mendapat bagian warisan ada 5 yaitu anak kandung (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu, istri, suami.
Artinya apabila semua ahli waris di bawah berkumpul, maka yang mendapat warisan hanya kelima ahli waris di atas.

Sedangkan ahli waris yang lain dapat terhalang haknya (hijab/mahjub) karena bertemu dengan ahli waris yang lebih tinggi seperti cucu bertemu dengan anak.

Daftar nama ahli waris dan rincian bagian harta warisan yang diperoleh dalam berbagai kondisi yang berbeda.

BAGIAN WARIS ANAK LAKI-LAKI

Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah dibagikan pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-laki selalu mendapat bagian terbanyak karena keberadaannya dapat mengurangi bagian atau menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman) hak dari ahli waris yang lain.

Dalam ilmu faraidh, anak laki-laki disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan diri sendiri)

BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN

- Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila (a) sendirian (anak tunggal) dan (b) tidak ada anak laki-laki.
- Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu dan (b) tidak ada anak laki-laki.
- Anak perempuan mendapat bagian asabah (sisa) apabila ada anak laki-laki. Dalam keadaan ini maka anak perempuan mendapat setengah atau separuh dari bagian anak laki-laki. (QS An-Nisa' 4:11)

BAGIAN WARIS AYAH

- Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.
- Ayah Mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila ada keturunan pewaris yang laki-laki seperti anak atau cucu laki-laki dan kebawah.
- Ayah mendapat bagian asabah dan bagian pasti sekaligus apabila ada keturunan pewaris yang perempuan saja yaitu anak perempuan atau cucu perempuan dan kebawah. Maka, ayah mendapat 1/6 (seperenam) dan asabah.
- Ayah mendapat bagian waris asobah atau siswa apabila pewaris tidak memiliki keturunan baik anak atau cucu ke bawah.

*Yang terhalang (mahjub) karena ayah adalah saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu. Semua tidak mendapat warisan karena adanya Ayah atau Kakek.

BAGIAN WARIS IBU

- Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) warisan dengan syarat (a) tidak ada keturunan pewaris yaitu anak, cucu, dst; (b) tidak berkumpulnya beberapa saudara laki-laki dan saudara perempuan; (c) tidak adanya salah satu dari dua masalah umroh.

- Ibu mendapat 1/6 (seperenam) apabila (a) pewaris punya keturunan yaitu anak, cucu, kebawah; (b) atau adanya dua saudara laki-laki dan perempaun atau lebih.

- Ibu mendapat 1/3 (seperti) sisanya dalam masalah umaritain (umar dua) yaitu:
-- Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu), ibu 1/3 sisa (satu), yang lain untuk bapak (dua).
-- Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa 1/3 (satu), sisanya untuk bapak (dua).

*Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi bagian bapak karena keduanya sederajat dari awal dan supaya laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari perempuan. (QS An-Nisa' 4:11)

BAGIAN WARIS SUAMI (DUDA)

- Suami atau duda yang ditinggal mati istri mendapat 1/2 (setengah) apabila istri tidak punya keturunan yang mewarisi yaitu anak laki-laki dan perempuan, cucu lak-laki dan kebawah, sedang cucu perempuan tidak menerima warisan.

- Suami mendapat 1/4 apabila ada keturunan yang mewarisi, baik mereka berasal dari hubungan dengan suami yang sekarang atau suami yang lain.

BAGIAN WARIS ISTRI (JANDA)

- Istri atau janda yang ditinggal mati suami mendapat 1/4 (seperempat) bagian apabila tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan perempuan, cucu laki-laki dan kebawah.
- Istri mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian apabila suami punya keturunan yang mewarisi baik dari istri sekarang atau istri yang lain.
- Istri yang lebih dari satu harus berbagi dari bagian 1/4 atau 1/8 tersebut. (QS An-Nisa' 4:12)

BAGIAN WARIS KAKEK

- Kakek mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) adanya keturunan yang mewarisi; (b) tidak ada bapak.

- Kakek mendapat bagian asabah (siswa) apabila (a) mayit atau pewaris tidak punya keturunan yang mewarisi (anak kandung laki perempuan; cucu laki dan kebawah); (b) tidak ada bapak.

- Kakek mendapat bagian pasti dan asabah sekaligus apabila (a) ada keturunan yang mewarisi yang perempuan yaitu anak perempuan dan cucu perempuan anak laki (bintul ibni).

- Apabila ada bapak, maka kakek tidak mendapat apa-apa.

* Kakek yang mendapat warisan adalah yang tidak ada hubungan perempuan antara dia dan mayit seperti bapaknya bapak. Bagiannya seperti bagian warisnya bapak kecuali dalam masalah umariyatain dalam kasus terakhir maka ibu bersama kakek mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta sedangkan apabila bersama ayah mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikannya bagian suami/istri.

BAGIAN WARIS NENEK

- Nenek satu atau lebih mendapat 1/6 (seperenam) dengan syarat tidak ada ibu.

* Nenek terhalang (mahjub) alias tidak mendapat apa-apa apabila ada ibu.
* Nenek yang mendapat warisan adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya kakek dan keatas dari perempuan, dua dari arah ayah dan satu dari arah ibu.

BAGIAN WARIS CUCU LAKI-LAKI

Cucu laki-laki dari anak laki-laki mendapat bagian warisan dengan syarat dan ketentuan berikut:

- Bagian yang didapat adalah sisa tirkah (peninggalan) setelah dibagi dengan ahli waris lain yang mendapat bagian pasti (ashabul furudh)
- Tidak ada anak dari mayit yang masih hidup. Kalau ada anak pewaris yang masih hidup, maka cucu tidak mendapat hak waris karena terhalang (mahjub) oleh anak.

BAGIAN WARIS CUCU PEREMPUAN ANAK LAKI (BANATUL IBNI)

- Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) satu atau lebih mendapat bagian asabah apabila berkumpul bersama saudaranya yang sederajat yaitu cucu laki-laki dari anak laki (ibnul ibni)
- Bintul ibni mendapat 1/2 (setengah) apabila (a) tidak ada saudara laki-laki sederajat; (b) sendirian atau tidak ada bintul ibni yang lain; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan anak perempuan.
- Cucu perempuan dua atau lebih mendapat 2/3 (dua pertiga) dengan syarat (a) ada dua cucu perempuan dari anak laki atau lebih; (b) tidak ada ahli waris asabah (ibnul ibni - cucu laki dari anak laki) yaitu saudara laki-lakinya; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak laki dan anak perempuan.
- Cucu perempuan dari anak laki satu atau lebih mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila (a) tidak ada ahli waris asabah atau cucu laki-laki; (b) tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak kecuali anak perempuan (binti) yang mendapat 1/2.

* Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) mendapat 1/6 apabila bersama anak perempuan yang mendapat 1/2 (separuh). Begitu juga, hukumnya cicit perempuan (bintu ibni ibni) bersama cucu perempuan (bintul ibni), dan seterusnya ke bawah.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI KANDUNG

- Saudara laki-laki kandung mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat apabila (a) tidak ada anak laki-laki; (b) tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki; (c) tidak ada bapak; (d) tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat). Apabila ada para ahli waris ini, maka ia tidak mendapat warisan sama sekali karena terhalang (mahjub).

BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

- Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 (setengah) dengan syarat (a) sendirian alias tidak ada saudara perempuan kandung yang lain; (b) tidak ada saudara kandung laki-laki; (c) tidak ada bapak atau kakek; (d) tidak ada anak, atau cucu.

- Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) lebih dari satu; (b) tidak ada anak / cucu; (b) tidak ada bapak atau kakek; (c) tidak ada saudara kandung.

- Mendapat bagian asabah (sisa) apabila (a) bersamaan dengan saudara kandung laki-laki; (b) bersamaan dengan anak perempuan. Lihat, QS An-Nisa' 4:176

- Tidak mendapat bagian (mahjub) apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI SEBAPAK

- Saudara laki-laki sebapak mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat apabila (a) tidak ada saudara laki-laki kandung; (b) tidak ada anak laki-laki; (c) tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki; (d) tidak ada bapak; (e) tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat).

BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN SE-BAPAK (SE-AYAH) - UKHTI LI ABI

- Saudara perempuan se-bapak/se-ayah atau ukhti li abi mendapat bagian 1/2 (setengah) dengan syarat (a) sendirian alias tidak bersamaan dengan ukhti li abi yang lain; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya; (c) tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi; (d) tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu); (e) tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.

- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) mendapat bagian 2/3 (dua pertiga) dengan syarat (a) bersamaan dengan ukhti li abi yang lain; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya; (c) tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi; (d) tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu); (e) tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.

- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) bersamaan dengan saudara perempuan kandung (ukhti syaqiqah) satu yang mendapat bagian pasti; (b) tidak ada ahli waris asabah atau saudara lakinya; (c) tidak ada keturunan yang mewarisi (anak, cucu); (d) tidak ada orang tua (aslul waris) yang mewarisi dari pihak laki seperti ayah, kakek, dst; (e) tidak ada saudara kandung satu atau lebih.

- Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian asabah dengan syarat (a) apabila bersama dengan ahli waris asabah yaitu saudara lakinya, maka yang laki mendapat dua kali lipat; (b) bersamaan dengan keturunan yang mewarisi dari pihak perempuan seperti anak perempuan.

*Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek, saudara kandung, maka Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) tidak mendapat bagian waris apapun.

BAGIAN WARIS SAUDARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SE-IBU - AKHI/UKHTI LI UMMI

- Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat (a) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst; (b) tidak ada orang tua laki-laki yaitu bapak, kakek, dst; (c) sendirian.

- Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian 1/3 dengan syarat (a) dua atau lebih; (b) tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst; (c) tidak ada orang tua yang mewarisi dari pihak laki yaitu bapak, kakek, dst. (QS An-Nisa' 4:12).

Paman (Ammu Syaqiq - Saudara Laki-laki Kandung Ayah)

Ingat! Dalam bahasa Arab paman ada dua yaitu Ammu dan Kholi. Ammu adalah paman sebagai saudara kandung ayah sedang kholi adalah paman sebagai saudara kandung ibu. Yang mendapat warisan adalah Ammu.

- Ammu adalah saudara kandung dari ayah pewaris. Mendapat asabah atau sisa. Apabila ada kelebihan setelah pembagian ahli waris dari yang mendapat bagian pasti (ashabul furud) dan tidak ada penghalang (mahjub) maka ia mendapat seluruh sisa.
- Apabila sendiri maka ia mendapat seluruh harta warisan.
- Paman tidak dapat warisan sebab terhalang (mahjub) oleh adanya (a) anak laki-laki (ibnu), (b) cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibnul ibni), (c) bapak, (d) kakek (ibul jad), (e) saudara kandung (akhu syaqiq), (f) saudara seayah (akhu li abi), (g) anak lelaki saudara seayah (ibnul akhi li abi).

Bibi (Ammah - Saudara Perempuan Kandung Ayah)

- Bibi saudara dari ayah (ammah) Termasuk ahli waris dzawil arham.
- Ada perbedaan ulama apakah bibi mendapat waris atau tidak, pendapat yang rajih ia dapat.
- Ia baru mendapat warisan apabila tidak ada ahli waris bagian pasti dan asobah. Misalnya, apabila seseorang meninggal yang ada hanya bibi, maka ia berhak atas seluruh warisan.

AHLI WARIS DAN BAGIAN WARISAN

Dalam ilmu faraidh (faroidh) ada 2 istilah yang paling dikenal yaitu al-furudh al-muqaddarah (bagian yang ditentukan) dan asabah atau bagian yang tidak ditentukan.

A. Al-Fardhu al-Muqaddarah (Bagian yang ditentukan).
Yaitu jumlah atau porsi bagian warisan yang ditentukan oleh syariah yaitu 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3 (sepertiga), 1/6 (seperenam).

B. Ashabah (At-Tanshib)
Yaitu orang yang mendapatkan harta warisan yang belum ditetapkan atau ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu.

AHLI WARIS ADA 3 (TIGA) MACAM
Ahli waris ada 3 macam yaitu ashabul furudh yang memiliki bagian yang sudah ditentukan seperti 1/2, 1/3, 2/3, dst, ahli waris ashabh yang tidak memiliki bagian yang ditentukan dan ahli waris gabungan keduanya sesuai dengan kondisi dan situasi ada atau tidak adanya ahli waris yang lain.

AHLI WARIS ASHABUL FURUDH

(i) Ashabul Furudh/Dzawil Furudh saja yaitu Ahli waris dengan bagian tertentu yaitu ibu, saudara laki seibu, saudara perempuan seibu, nenek dari ibu atau bapak, suami, istri.

AHLI WARIS ASHABAH

(ii) Ahli waris asabah saja artinya ahli waris yang menerima bagian sisa yaitu anak laki, cucu ke bawah, saudara laki kandung, saudara sebapak, anak saudara laki kandung, anak saudara laki sebapak ke bawah, paman kandung dari ayah (العم الشقيق), paman kandung dari ayah sebapak ( العم لأب) dan ke atas, anak laki paman kandung dari ayah (إبن العم الشقيق), anak laki paman dari ayah sebapak ( إبن العم لأب) dan ke bawah.

AHLI WARIS GABUNGAN FURUDH DAN ASHABAH

(iii) Ahli waris dengan bagian tertentu dan ashabah sekaligus atau salahsatunya yaitu bapak, kakek, (b) ahli waris ashabul furudh atau ashabah yaitu anak perepuan satu atau lebih, cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن) satu atau lebih, saudara perempuan satu atau lebih, saudara perempuan sebapak satu atau lebih.

AHLI WARIS ASHABUL/DZAWIL FURUDH DAN BAGIANNYA

Ahli waris dzawil furudh/ashabul furudh dan bagian-bagian yang telah ditentukan untuk mereka adalah sbb:

A. Bagian 1/2 (setengah)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/2 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Suami apabila istri tidak punya anak.
(ii) Anak perempuan apabila sendirian (anak tunggal) dan tidak ada anak laki-laki (alias saudara kandung).
(iii) Cucu perempuan dari anak laki ( بنت إبن) apabila sendirian serta tidak adanya anak perempuan atau ahli waris anak laki-laki.
(iv) Saudara perempuan kandung dalam situasi kalalah[1] dan sendirian serta tidak ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن).
(v) Saudara perempaun sebapak dalam situasi kalalah dan sendirian serta tidak adanya anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن), dan saudara perempuan kandung.

B. Bagian 1/4 (seperempat)
Ahli waris yang mendapat bagian 1/4 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Suami apabila ada ahli waris anak laki-laki dari istri.
(ii) Istri apabila tidak ada anak laki-laki.

C. Bagian 1/8 (Seperdelapan)
Yaitu istri apabila ada ahli waris anak laki-laki.

D. Bagian 2/3 (Dua Pertiga)

Yang mendapat bagian 2/3 adalah ahli waris yang mendapat bagian 1/2 (setengah) apabila berkumpul lebih dari satu yaitu
(i) Dua anak perempuan atau lebih.
(ii) Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih.
(iii) Dua saudara perempuan kandung atau lebih
(iv) Dua saudara perempaun sebapak atau lebih.

E. Bagian 1/3 (Sepertiga)

Ahli waris yang mendapat bagian 1/3 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Ibu apabila tidak ada anak laki-laki dan saudara laki tidak lebih dari satu.
(ii) Dua atau lebih dari saudara laki-laki atau saudara perempuan yang seibu
apabla tidak ada anak laki dan tidak ada bapak/kakek dari pihak laki-laki.

F. Bagian 1/6 (Seperenam)

Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 dengan syarat tertentu adalah sbb:

(i) Bapak apabila ada anak laki-laki.
(ii) Kakek apabila ada anak laki-laki dan tidak ada ayah.
(iii) Ibu apabila ada anak laki-laki atau saudara laki yang lebih dari satu.
(iv) Nenek sebapak atau seibu apabila tidak ada ibu.
(v) Saudara laki atau saudara perempuan seibu apabila tidak ada salah satunya serta tidak adanya anak atau bapak/kakek dari pihak laki-laki.
(vi) Cucu perempuan dari anak laki (بنت الإبن) apabila bersamaan dengan anak perempuan yang mendapatkan bagian 1/2 serta tidak adanya cucu laki-laki dari anak laki (ابن الإبن).
(vii) Saudara perempuan sebapak apabila bersamaan dengan saudara perempuan kandung yang mendapat bagian 1/2 serta tidak adanya saudara laki sebapak.

AL-MAHJUB PENGHALANG AHLI WARIS MENDAPAT WARISAN

Sebagian ahli waris terhalang haknya untuk mendapat warisan karena keberadaan ahli waris yang lain yang lebih tinggi kedudukannya. Mereka adalah sbb:

AHLI WARIS LAKI-LAKI

1. Cucu dari anak laki tidak mendapat warisan apabila ada anak laki-laki.
2. Kakek tidak mendapat warisan apabila ada Bapak; kakek yang lebih dekat.
3. Saudara sekandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek (menurut beberapa pendapat).
4. Saudara laki-laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek (menurut beberapa pendapat); saudara laki-laki kandung; saudara perempuan kandung jika menjadi ashabah dengan anak perempuan.
5. Saudara laki-laki seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki atau perempuan; cucu laki atau perempuan dari anak laki-laki; bapak; kakek.
6. Anak saudara laki-laki kandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek; saudara laki kandung; saudara laki seayah, dan saudara perempuan kandung atau seayah jika menjadi ashabah.
7. Anak saudara laki seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 6, ditambah anak saudara sekandung.
8. Paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 7, ditambah anak saudara seayah.
9. Paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 8, ditambah paman kandung.
10. Anak paman kandung tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah paman seayah.
11. Anak paman seayah tidak mendapat warisan apabila ada penghalang dalam poin 9, ditambah anak paman kandung.
12. Pemilik yang membebaskan budak tidak mendapat warisan apabila ada Semua ashabah nasabiyah.

AHLI WARIS PEREMPUAN

1. Cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; dua anak perempuan.
2. Nenek tidak mendapat warisan apabila ada ibu.
3. Saudara perempuan kandung tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek.
4. Saudara perempuan seayah tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki; cucu laki-laki dan anak laki-laki; bapak; kakek; saudara laki kandung; saudara perempuan kandung jika menjadi ashabah dengan anak perempuan; dua saudara perempuan kandung, apabila saudara perempuan seayah tidak memiliki saudara laki.
5. Saudara perempuan seibu tidak mendapat warisan apabila ada Anak laki-laki atau perempuan; cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki; bapak; kakek.
6. Mu’tiqah (perempuan pembebas budak) tidak mendapat warisan apabila ada semua ashabah nasabiyah.

PENGGUGUR HAK WARIS
Ada 5 (lima) faktor yang menyebabkan ahli waris tidak dapat mendapatkan warisan yaitu

1. Pembunuhan. Ahli waris membunuh yang mewarisi.
2. Beda agama.
3. Budak.
4. Ahli waris meninggal terlebih dahulu dari pewaris.
5. Mah}jub, yaitu hilangnya (terhijabnya) hak waris seseorang karena adanya ahli waris yang lebih kuat kedudukannya. Misal, cucu laki-laki tidak mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.

PERBEDAAN MAHJUB DAN MAHRUM

Persamaan kedua istilah tersebut adalah keduanya sama-sama bermakna terhalangnya ahli waris untuk mendapatkan warisan.

Perbedaaannya adalah kalau mahjub ahli waris tidak mendapat warisan karena adanya ahli waris yang lebih tinggi posisinya. Seperti cucu tidak mendapat warisan karena adanya anak laki-laki.

Sedangkan mahrum ahli waris tidak jadi mendapat warisan karena ahli waris memiliki kecacatan hukum yang menyebabkan hilangnya haknya untuk mendapat warisan. Seperti membunuh pewaris, beda agama, dll.

DZAWIL ARHAM (KERABAT NON AHLI WARIS)

Dawil Arham (ذوو الأرحام) dalam istilah ahli fiqih adalah kalangan kerabat yang bukan Ahli Waris Ashabul Furudh atau Ahli Waris Asabah ; baik laki-laki atau perempuan. Seperti, cucu laki-laki dari anak perempuan (waladul binti); cicit laki-laki dari anak perempuannya anak laki-laki (waladu bintil ibni), kakek dari ibu, anak saudara lelaki seibu (waladul akhi lil-ummi) dan anak saudara perempuan secara mutlak (waladul akhawat), anak perempuannya saudara lelaki (bintul akhi), paman seibu (al-amm li umm).

Detailnya ada 11 golongan Dzawil Arham yaitu:

1. Cucu dari anak perempuan (waladul banat) dan cicit dari anak perempuan (walad banat al-ibni) dan ke bawah.
2. Anak saudara perempuan (walad al-akhowat) baik kandung atau seibu.
3. Anak perempuan saudara laki-laki (banatul ikhwah) baik kandung atau sebapak.
4. Anak perempuan dari paman (banatul a'mam) kandung atau sebapak.
5. Anak saudara lelaki seibu (awlad al-ikhwah min al-umm) baik laki-laki atau perempuan.
6. Paman saudara ayah dari ibu (al-amm min al-umm) baik pamannya mayit atau paman bapaknya mayit atau paman kakeknya mayit.
7. Bibi saudara ayah (al-ammat) baik kandung atau sebapak atau seibu. Sama saja bibinya mayit, bibi bapaknya mayit, bibi kakek mayit ke atas.
8. Paman (akhwal) dan bibi (kholat) yakni saudara lelaki dan saudara perempuan ibu baik kandung atau sebapak atau seibu. Begitu juga paman dan bibi bapaknya mayit, paman dan bibi ibunya mayit, bibi kakeknya mayit ke atas sebelum bapak dan ibu.
9. Bapaknya ibu (abul umm) dan bapaknya abul umm, dan kakeknya abul umm ke atas.
10. Setiap nenek yang berkaitan dengan bapak di antara dua ibu seperti ibunya bapaknya ibu (umm abil umm), atau berkaitan dengan bapak yang lebih tinggi dari kakek seperti ibunya bapak bapak bapak mayit
11. Orang yang berkaitan dengan mereka di atas seperti bibinya bibi (ammatul ammah, kholatul kholah), bibi seibu (ammatul amm li umm) dan saudaranya dan pamannya seayah (ammuhu li abihi), bapak bapaknya ibu (abu abil umm) dan pamannya (ammuhu, kholuhu).

MASALAH WARIS

Ada sejumlah permasalahan dalam hukum waris yang terjadi dalam sejumlah kasus yang diperinci dalam uraian di bawah.

MASALAH UMARIYATAIN (UMAR DUA - العمريتين)

Ada dua kasus yang disebut dengan umaroyatain atau gharawain di mana ibu mendapat 1/3 dari sisa jadi bukan 1/3 dari keseluruhan harta. Contoh kasus adalah sbb:

KASUS PERTAMA:

Seorang perempuan wafat dan ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu suami, ibu dan bapak.

Dalam kasus ini, maka suami mendapat 1/2 (setengah harta), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa yakni 1/3 dari sisa yang setengah setelah diambil suami. Sedang bapak mendapat asabah (sisa).

KASUS KEDUA:

Seorang laki-laki wafat sedang ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu istri, ibu dan bapak.

Maka dalam kasus ini istri mendapat bagian 1/4 (seperempat), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa setelah diambil istri. Sedang bapak mendapat bagian seluruh sisanya (asabah).

PERBEDAAN ULAMA DALAM MASALAH UMARIYATAIN

Ada dua perbedaan besar tentang berapa bagian ibu dalam masalah Umariyatain ini sbb:

- Pendapat Zaid bin Tsabit dan Umar bin Khattab bahwa ibu mendapat bagian 1/3 (sepertiga) dari sisa. Pendapat ini didukung oleh jumhur (mayoritas) ulama.

- Pendapat Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas bahwa ibu mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta warisan.

ASAL ISTILAH:

Asal dari istilah umariyatain atau gharawain. Disebut umariyatain karena yang memutuskan perkara ini pertama kali adalah Umar bin Khatab saat menjadi Khalifah Kedua. Disebut gharawain dari bentuk tunggal gharra' karena sangat populer seperti bintang (al-kawkab al-aghar' - الكوكب الأغر).

MASALAH KALALAH

Kalalah adalah jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (QS An-Nisa' 4:176)

MASALAH AUL DAN RAD

Dalam masalah waris adalah masalah yang disebut dengan aul dan radd. Uraiannya lihat rincian di bawah:

MASALAH AUL

Aul artinya bertambah, maksudnya bertambahnya asal masalah (kpk) dikarenakan jumlah bagian Ahlul furudh melebihi jumlah asal masalah.

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.

Ketiga pokok masalah yang dapat di-aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

Contoh Aul: [1]
a.Asal masalah (kpk): 12
- suami -> 1/4 x 12 = 3/12
- 2 anak pr -> 2/3 x 12 = 8/12
- ibu -> 1/6 x 12 = 2/12
Jumlah 3+8+2 = 13/12

Disebabkan jumlah bagian melebihi kpk, maka kpk dijadikan 13.
- Suami 3/12 dirubah menjadi 3/13 x 52.000=6000;-
- Dua anak pr 8/12 dirubah menjadi 8/13x52.000=6000;-
- Ibu 2/12 dirubah menjadi 2/13x52.000=4000;-

b. Asal masalah (kpk): 6
- suami -> 1/2x6=3
- ibu -> 1/6x6=1
- 2 sdr pr sekandung -> 2/3x6=4
Jumlah (3+1+4=8)8.

kpk 6 dijadikan 8
-Suami 3/6 dirubah menjadi 3/8x240.000=90.000;-
-Ibu 1/6 dirubah menjadi 1/8x240.000=30.000;-
-dua sdr pr sekandung 4/6 dirubah menjadi 4/8x240.000=120.000;-

MASALAH RADD

Rad[2] adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.

Dengan kata lain, Apabila ada kelebihan harta warisan padahal semua ahli waris sudah mendapat bagian, maka kelebihan itu dikembalikan (radd) pada ahli waris yang ada; masing-masing menurut kadar bagiannya kecuali suami atau istri yang tidak mendapatkan bagian dari radd ini. Kelebihan harta hanya dikembalikan pada ahli waris lain selain suami atau istri.

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

Syarat Terjadinya Radd

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat yaitu (a) adanya ashhabul furudh; (b) tidak adanya 'ashabah; (c) ada sisa harta waris.

Penerima Bagian Pasti yang Bisa Mendapatkan Radd

Penerima bagian pasti yang dapat menerima Radd ada 8 yaitu: anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, bu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, saudara laki-laki seibu

Keadaan Terjadinya Masalah Radd ada 4 (Empat)

a. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri

Cra pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Contoh, (i) seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan. (ii) seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan

b. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri

Cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu.

c. adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikan pokok masalahnya dari penerima bagian pasti yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala. Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.

d. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Contoh, Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.

Contoh riil masalah Radd dan Solusinya

(a) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah anak perempuan dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.

Cara Penyelesaian:

Bagian anak perempuan 1/2 (setengah) sedangkan ibu 1/6 (seperenam). Asal masalah adalah 6 (enam).

Anak Perempuan = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4

Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka solusi dengan radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Caranya sebagai berikut:

Anak perempuan = 3/4 x 40 Juta = Rp. 30.000 (tigapuluh juta)
Ibu = 1/4 x 40 Juta = Rp. 10.000 (sepuluh juta)

(b) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.
Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri = 1/4 x 12 = 3
2 saudara = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9

Karena ada istri sedangkan istri tidak mendapakatkan bagian radd, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diberikan lebih dahulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi. Caranya sebagai berikut:

Bagian untuk istri = 3/12 x Rp. 40 Juta = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta).

Sisa warisan setelah diberikan pada istri adalah Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta) dibagi untuk 2 orang saudara laki-laki seibu dan ibu. Cara membaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :

2 Saudara = 4/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 20.000.000 (dua puluh juta)
Ibu = 2/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta)
Jumlah = Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta)

Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 10.000.000
2 sdr = Rp. 20.000.000
Ibu = Rp. 10.000.000
Jumlah = Rp. 40.000.000 (empat puluh juta)

Semua ashabul furudh dapat memperoleh bagian radd kecuali suami/istri.

APABILA TIDAK ADA AHLI WARIS

Apabila ahli waris yang tersebut di atas tidak ada, kepada siapa harta itu diberikan? Ada dua pendapat. Pendapat pertama, diberikan kepada Dzawil Arham atau kerabat nonahli waris , ini adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama termasuk Sahabat dan Tabi'in, madzhab Hanafi, Hanbali dan Syafi'i.[3] Namun, madzhab Syafi'i memberi syarat apabila tidak ada Baitul Mal (Kementerian Keuangan) yang mengatur soal ini. Apabila ada maka harus diberikan ke Baitul Mal. Pendapat kedua, Dzawil Arham tidak dapat warisan sama sekali walaupun ahli waris lain yakni Ashabul Furud dan Ashabul Asabah tidak ada. Ini pendapat sebagian Sahabat seperti Zaid bin Tsabit dan Said bin Jubair serta madzhab Maliki dan Syafi'i apabila ada Baitul Mal yang mengatur.[4]

ASAL MASALAH DALAM HITUNGAN HARTA WARISAN

Dalam membagi warisan, maka diperlukan mencari asal masalah penyebutnya untuk memudahkan proses pembagian harta waris. Berikut istilah, dan rumus yang dipakai dalam mencari asal masalah.

ISTILAH RUMUS DALAM ASAL MASALAH

Berikut beberapa istilah tipe asal masalah yang dipakai oleh ulama faraidh:

A. TABAYUN

Tabayun adalah terjadinya dua angka yang dapat dikalikan secara langsung sehingga tidak terjadi pecahan, seperti antara 1/3 dengan 1/2 maka 3 x 2 = 6. Jadi, asal masalahnya adalah 6. Demikian juga antara 1/3 dengan 1/4, maka 3 x 4 = 12. Jadi, asal masalahnya adalah 12. Karena itu, antara 3 dengan 2 dan 3 dengan 4 disebut “ Tabayun” .

B. TADAKHUL

Tadakhul adalah mengambil angka yang terbesar dari salah satu bentuk ke-1 atau ke- 2, seperti 1/2 dengan 1/8 asal masalah adalah 8, karena kedua angka itu berada pada bentuk ke- 2. Hal sama terjadi antara 1/3 dengan 1/6 = 6, karena kedua angka tersebut berada pada bentuk ke-1. Demikian juga antara 1/2 dengan 1/4 yang menjadi asal masalah adalah angka penyebut terbesar yaitu 4, karena kedua angka itu berada pada bentuk ke-1.

C. TAMASUL

Tamasul adalah dua angka atau penyebutnya sama, karenanya cukup mengambil salah satu dari penyebutnya. Misal antara 1/3 dengan 2/3, maka untuk asal masalahnya 3, karena penyebut sama. Demikian juga antara ½ dengan ½, asal masalahnya ada 2.

D. TAWAFUQ

Tawafuq adalah dua penyebut sama hasil perkaliannya setelah dibagi dua dan dikalikan dengan penyebut satu sama lainnya. Misalnya bilangan 1/6 dengan 1/8. 6: 2 = 3 x 8 = 24 begitu juga 8 : 2 = 4 x 6 = 24 sehingga sama-sama menghasilkan 24. Demikian juga dengan 1/2 dengan 1/6. 2 : 2 = 1 x 6 = 6. 6 : 2 = 3 x 2 = 6. Cara ini disebut Tawafuq. Hasil perkalian itulah yang digunakan sebagai asal masalah untuk membagi harta.

CARA MEMBAGI HARTA WARIS DENGAN CARA ASAL MASALAH

1. Bila bilangan itu datang dari bentuk ke-1, maka asal masalahnya adalah bagian yang terkecil. Misalnya:
1/3 dengan 1/6 = 6
2/3 dengan 1/6 = 6

2. Bila ada angka ½ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 6. Misalnya
½ dengan 1/3 = 6
½ dengan 2/3 = 6
½ dengan 1/6 = 6

3. Bila ada angka ¼ bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 12. Misalnya:
¼ dengan 1/3 = 12
¼ dengan 2/3 = 12
¼ dengan 1/6 = 12

4. Bila ada angka 1/8 bergabung dengan bentuk ke- 1 maka asal masalahnya adalah 24. Misalnya:
1/8 dengan 1/3 = 24
1/8 dengan 2/3 = 24
1/8 dengan 1/6 = 28

MASALAH MUNASAKHAH

DEFINISI MUNASAKHO

Munasakhah dalam istilah waris Islam adalah أَنْ يَنْتَقِلَ نَصِيْبُ بَعْضِ الْوَرَثَةِ قَبْلَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِإِلَى مَنْ يَرِثُ مِنْهُ
Artinya: Berpindahnya bagian penerimaan ahli waris karena kematiannya sebelum pelaksanaan pembagian tirkah (yang seharusnya ia terima) kepada para ahli warisnya. (Yusuf Musa dalam Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, hlm. 371)

Atau, Berpindahnya bagian salah seorang ahli waris kepada ahli waris lain,karena mati sebelm pelaksanaan pembagian warisan. (Wahab Afifi dalam 103)

MUNASAKHAH ADA 2 MACAM

Munaasakhah itu mempunyai dua bentuk yaitu:

Munasakhoh tipe Pertama:

Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang meninggal belakangan (kedua) adalah juga termasuk ahli waris yang meninggal dunia terdahulu (pertama).

Contoh kasus:

Pewaris meninggalkan harta warisan Rp900.000,00 (Sembilan ratus ribu rupiah). Ahli warisnya 4 anak kandung 2 anak laki-laki yaitu Hasan dan Husein, dan 2 anak perempuan, yaitu Alia dan Talia. Sebelum harta warisan dibagi kepada empat anak tersebut, Hasan wafat, sehingga ahli waris tinggal tiga yaitu Husein, Alia, dan Talia. Dalam kasus seperti ini pembagian cukup sekali saja. Uang tersebut dibagikan kepada ketiga orang tersebut dengan perbandingan 2:1:1 (ashabah bil ghair).
Dengan demikian,penerimaan masing-masing adalah:
1) Husein mendapat 2/4 x Rp900.000,00 = Rp450.000,00
2) Alia mendapat ¼ x Rp900.000,00 = Rp225.000,00
3) Talia mendapat ¼ x Rp900.000,00 = Rp225.000,00
Jumlah= Rp900.000,00

Seandainya si Hasan juga meninggalkan harta warisan sebesar Rp100.000,00 dan tidak mempunyai ahli waris selain ketiga saudara itu, maka harta pusaka peninggalan si Hasan di satukan dengan harta pusaka si mayit pertama hingga menjadi Rp 900.000,00 + Rp100.000,00 = Rp 1.000.000,00.

Apabila demikian, perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1) Husein mendapat 2/4xRp1.000.000,00 = Rp500.000,00
2) Alia mendapat 1/4xRp1.000.000,00 =Rp250.000,00
3) Talia mendapat 1/4xRp1.000.000,00 =Rp250.000,00

Munasakhah tipe Kedua:

Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang meninggal belakangan (kedua) adalah bukan ahli waris dari orang yang meninggal terdahulu (pertama). Dalam hal ini, maka dilakukan pembagian warisan dua kali. Pertama pembagian warisan pewaris pertama, lalu dilakukan pembagian warisan pewaris kedua.

Contoh kasus:

Seorang lelaki bernama Jalal wafat. Ahli warisnya adalah dua anak kandung laki-laki dan perempuan bernama Riza dan Lina. Harta waris yang ditinggalkan sebesar Rp300.000,00.

Sebelum dilakukan pembagian harta warisan kepada kedua anaknya Riza meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak perempuan (Mira), yakni cucu dari Jalal. Maka dalam hal ini, dilakukan dua kali tahap pembagian warisan.

Penyelesaian tahap pertama:
1. Anak laki-laki (Riza) = 2:2/3xRp300.000 = Rp 200.000
2. Anak perempuan (Lina) = 1 :1/3xRp300.000,00 = Rp 100.000
Jumlah =Rp300.000.

Penyelesaian tahap kedua:
Bagian Riza sebesar Rp200.000 dibagikan kepada ahli warisnya yaitu Mira (anak perempuan) dan Lina (saudara kandung perempuan), perolehan masing-masing ahli waris adalah:
1. Anak perempuan (Mira) anak dari (riza) 1/2x2= 1
2. Saudari kandung (Lina) 2-1 = 1
Jumlah: = 2

Jadi bagian mereka masing-masing:
1. Anak perempuan (Mira) 1/2 x Rp. 200.000 = Rp. 100.000
2. Saudari (Line) 1/2 x Rp. 200.000 = Rp. 100.000

Wallahu a'lam...

Kamis, 25 Agustus 2016

Jangan percaya dengan HARI SIYAL DLL

Safar/rebo wekasan
Keutamaan Bulan Shafar

Bulan Shafar adalah salah satu bulan Allah yang mulia. Di bulan ini Allah SWT menurunkan berbagai bala' dan coba'an serta musibah di bumi. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa  musibah-musibah tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan Qadha' dan Qadar Allah SWT.

Bulan Shafar adalah salah satu bulan Allah yang mulia. Di bulan ini Allah SWT menurunkan berbagai bala' dan coba'an serta musibah di bumi. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa  musibah-musibah tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan Qadha' dan Qadar Allah SWT.  Bukan karena sesuatu yang lain dari berbagai makhluk Allah SWT. Akan tetapi semua hal tersebut adalah sesuai dengan Qadha' dan Qadar Allah SWT.  Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa kita tidak boleh mempercayai suatu penyakit itu menular karena ditularkan oleh penyakit itu  sendiri. Akan tetapi penyakit yang menular tersebut tidak lain adalah atas kehendak Allah SWT serta Qadha' dan Qadar-Nya. Hadist tersebut adalah sebagai berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال : " لا عدوى و لا هامة و لا صفر "  فقال أعرابي : يا رسول الله فما بال الإبل تكون في الرمل كأنها الظباء فيخالطها البعير الأجرب فيجربها ؟ فقال رسول الله صلى اللهعليه و سلم : فمن أعدى الأول ؟ "  رواه البخاري ومسلم

Dari Abi Hurarah RA dari Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya beliau bersabda:"Tiada kejangkitan, dan juga tiada mati penasaran, dan tiada juga Safhar", kemudian seorang badui Arab berkata: "Wahai Rasulullah SAW, onta-onta yang ada di padang pasir yang bagaikan sekelompok kijang, kemudian dicampuri oleh Seekor onta betina berkudis, kenapa menjadi tertular oleh seekor onta betina yang berkudis tersebut ?". Kemudian Rasulullah SAW menjawab: "Lalu siapakah yang membuat onta yang pertama berkudis (siapa yang menjangkitinya)?". HR Buhari dan Muslim

لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.”

(HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Daud 3911, Ahmad (II/327))
Hadits ini telah disepakati keshahihannya.

Adapun maksud dari kalimat (العدوى )  Al-'Adwa dalam Hadist ini adalah penyakit yang menular kepada orang lain yang mulanya sehat. Bangsa Arab di zaman dahulu meyakini hal ini pada berbagai penyakit seperti kudis dll, maka dari itu seorang badui Arab bertanya kepada Rasulullah SAW: "Kenapa sekelompok onta yang asalnya sehat, di kumpuli oleh seekor onta yang berpenyakit kudis, onta tersebut menjadi berkudis juga? kemudian Rasulullah SAW menjawab: "Lalu siapa yang membuat onta pertama berkudis?" maksudnya: onta yang pertama tidak akan berkudis kecuali karena Qadha' dan Qadar Allah SWT bukan karena penyakit tersebut.

Jadi seorang muslim tidak boleh meyakini suatu penyakit yang menjangkit orang sehat bahwa yang menularkan adalah penyakit itu sendiri akan tetapi Qadha' dan Qadar Allahlah yang membuat orang tersebut tertular oleh penyakit. Seperti yang telah ditunjukkan dalam sebuah
Ayat Al-Qur'an :

( ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأها ) [ الحديد : 22].

"Setiap bencana yang menimpa di bumi  dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya". Qs Al-Hadid: 22
 
Sabda Rasul SAW yang berbunyi : ( لا هامة )  La Haamata adalah menafikan keyakinan orang-orang jahiliyah yang mengatakan bahwa orang yang sudah mati, arwah dan tulangnya menjadi penasaran, sehingga beterbangan bagaikan burung. Keyakinan ini menyerupai keyakinan ahli Tanaasukh  yang mengatakan bahwa Arwah-arwah mayit berpindah pada tubuh hewan-hewan tanpa digiring dan dibangkitkan kembali atau yang disebut Reinkarnasi. Semua    keyakinan-keyakinan tersebut tidaklah benar menurut syareat islam. Adapun yang sesuai dengan Aqidah islamiyah adalah (Bahwa Arwah-arwah para syuhada'  berada pada tubuh burung hijau, memakan buah-buahan yang datang dari sungai Surga, hingga Allah SWT mengembalikan Arwah tersebut kepada pemiliknya di hari kiyamat kelak). Dan di riwayat lain dikatakan: "Arwah atau jiwa seorang mukmin menjadi seekor burung yang bergelantungan di pohon Surga sampai Allah SWT mengembalikannya kepada jasadnya di hari kiyamat ".

Adapun sabda Rasul SAW yang berupa : ( ولا صفر )  Wala shafara maka para ulama' berbeda pendapat dalam menafsirkan kalimat ini. Ulama'-ulama' Mutaqaddimin  berpendapat: bahwa yang dimaksud dengan Shafara adalah penyakit yang ada di dalam perut, dikatakan: itu merupakan cacing besar seperti ular yang hidup di dalam perut, mereka meyakini hal tersebut sebagai penjangkit, kemudian Rasulullah SAW meniadakan keyakinan tersebut. Sedangkan  Ulama' lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Shafara di sini adalah bulan Shafar. Kemudian mereka berbeda pendapat dalam penafsiran bulan Shafar menjadi dua penafsiran: Pertama : Maksud dari kalimat ini adalah meniadakan keyakinan orang Jahiliyah yang telah  mengakhirkan bulan Muharram sampai bulan Shafar dalam memuliyakannya. Yaitu Dengan menghalalkan bulan Muharram dan mengharamkan bulan Shafar sebagai pengganti Muharram.
Kedua : Maksud dari kalimat tersebut bahwa orang jahiliyah dahulu berpesimis atas datangnya
bulan Shafar. Dan mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan pembawa sial. Kemudian Rasulullah SAW membatalkan keyakinan tersebut. Pendapat inilah yang paling benar menurut kebanyakan Ulama'.

Kita lihat sebagian orang meyakini hal tersebut dengan menganggap bahwa bulan Shafar adalah bulan pembawa sial, sehingga menanggalkan bepergian di bulan ini. Padahal hal tersebut adalah perbuatan yang termasuk syirik yang dilarang oleh syari'ah. Selain perbuatan tersebut dilarang di bulan Syafar dilarang juga dibulan-bulan atau hari-hari lain seperti Syawal atau hari rabu. Orang jahiliyah di zaman dahulu berpesimis pada bulan Syawal dan meyakini bahwa bulan Syawal bulan pembawa sial, yang asalnya bahwa penyakit lepra datang di bulan ini sehingga menyebabkan banyak pengantin yang meninggal dunia. Kemudian datanglah syari'at islam membatalkan keyakinan tersebut. Bahkan Raslulullahpun Menikahi Aisyah dan juga Ummu Salamah di bulan Syawal. Seperti dalam Hadist Riwayat sayidah Aisyah: "Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan mengumpuliku di bulan Syawal... begitu juga menikahi Ummu salamah di bulan Syawal  " .

Kita lihat di sebagian daerah di indonesia (di jawa contohnya) penduduk meyakini bahwa bulan Muharram (bulan suro) adalah bulan yang sial, maka dari itu jarang sekali orang tua menikahkan anaknya di bulan ini. Dengan keyakinan bahwa kebanyakan orang yang menikah di bulan ini, pernikahannya tidak akan berlangsung lama atau cepat meninggal dunia atau cerai. Padahal keyakinan tersebut adalah tidak benar dan dilarang oleh syari'at, karena itu termasuk (Atthiroh)  yang dilarang oleh syari'at sebagaimana dalam Hadist Nabi SAW:

عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال: " لا طيرة " و في حديث : " من ردته الطيرة فقد قارف الشرك " 

Dari Rasulullah SAW, beliyau bersabda: "Tiada Kesialan" dalam Hadist lain: " Barangsiapa menanggalkan suatu Perjalanan Karena Pesimis (bekeyakinan akan sial) maka telah melakukan perbuata syirik".

و في حديث ابن مسعود المرفوع : " الطيرة من الشرك و ما منا إلا  و لكن الله يذهبه بالتوكل ".

Dan di Hadist Ibnu Mas'ud marfu': "Pesimis (meyakini akan sial) termasuk perbuatan syirik dan kebanyakan dari kita telah melakukannya akan tetapi Allah SWT menghilangkannya dengan Tawakkal ".

Dalam kitab "Bidayatul hidayah" diceritakan tentang kepercaya'an rakyat Mesir terhadap sungai Nil. Dahulu sungai ini tidak akan mengalirkan air yang banyak kecuali dengan memberikan seorang tumbal. Setelah negara Mesir dibuka oleh 'Amr bin 'Ash RA dia melarang mereka untuk memberikan seorang tumbal buat sungai ini. Kemudian dia meminta pendapat kepada Khalifah Umar RA dengan mengirim surat kepadanya yang berisi bahwa sungai nil tidak mengalirkan air yang cukup untuk kebutuhan rakyat Mesir kecuali dengan memberikan tumbal. Kemudian Sayyidina Umar bin Khattab menullis surat untuk sungai Nil yang berbunyi: "Wahai sungai Nil jika kamu mengalir karena Allah SWT maka mengalirlah, dan jika kamu mengalir karena selain Allah SWT maka janganlah mengalir". Semenjak itu pula sungai Nil selalu mengalirkan Air yang sangat banyak dan tidak pernah kering.

Dari kisah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kepercaya'an – kepercaya'an yang tidak ada dasar atau dalil dari syari'at islam adalah kepercaya'an yang batil. Dan seorang muslim tidak diperbolehkan untuk mempercayainya. Cara agar seorang muslim terhindar dari Atthiroh adalah dengan membaca:

"اللهم لا طير إلا طيرك و لا خير إلا خيرك و لا إله غيرك ".

Allah SWT melarang kita untuk menghususkan hari atau bulan tertentu sebagai bulan sial atau membawa kesedihan atau yang lain. Semua bulan adalah sama, yaitu bulan bulan Allah SWT. Setiap bulan yang disitu seorang mu'min mengerjakan kebaikan dan beribadah maka bulan itu adalah bulan yang membawa berkah baginya. Setiap waktu yang dibuat seseorang untuk mengerjakan maksiat, maka waktu tersebut adalah waktu yang membawa kesialan dan dosa. jadi Hakekat dari pada kesialan atau (الشؤم ) Assyu'mu adalah maksiat kepada Allah SWT, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud RA: "Jika kesialan terdapat pada sesuatu maka ada di lidah" . karena lidah adalah salah satu indera manusia yang sering dibuat maksiat. Adiy bin Hatim juga berkata: "Beruntung dan sialnya sesuatu itu tergantung pada lidahnya".

Di sebuah Hadist yang dari Ali RA dikatakan :

من حديث علي مرفوعا : " باكروا بالصدقة فإن البلاء لا يتخطاها "

"Bersegeralah untuk bersedekah sesungguhnya balak tidak akan melewatinya", HR At-tabrani.
Di Hadist lain :

" إن لكل يوم نحسا فادفعوا نحس ذلك اليوم بالصدقة "

"Sesunggunya pada tiap-tiap hari mempunyai musibah, maka tolaklah musibah itu dengan sedekah

( ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأها ) [ الحديد : 22].

"Setiap bencana yang menimpa di bumi  dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya". Qs Al-Hadid: 22

أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.(QS.Az-zumar 52)

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴿٣﴾

Artinya : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut : 2 – 3)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)

Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)

Ibnu Qudamah menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya bahwa Rasulullah saw bersabda,”…Maka barangsiapa yang bersabar terhadap musibah sehingga dia menghadapinya dengan sikap yang baik (maka) Allah tuliskan baginya tiga ratus derajat. Antara satu derajat dengan derajat yang lainnya adalah seperti jarak antara langit dan bumi..” (Mukhtashar Minhajil Qoshidin hal 257)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’ Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah)

Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))

Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز

“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))

Allah Ta’ala telah berfirman,

ألم تعلم أن الله يعلم ما فى السـماء والأرض ۗإن ذلك فى كتـب ۚإن ذلك على الله يسر

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)

وعنده, مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ۚ ويعلم ما فى البر والبحر ۚوما تسقـط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة فى ظلمت الأرض ولا رطب ولا يا بس إلا فى كتب مبين

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)

إن الله بكل شيء عليم

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)

(مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ)
[سورة التغابن 11]

Dalam Al-Qur'an Surah At-Taghabun ayat 11 Allah SWT berfirman yang artinya, "Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu." Surah At-Taghabun ayat 11 .

Dari Ali bin Abi Thalib Ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Apabila umatku telah melakukan lima belas perkara, maka halal baginya (layaklah) ditimpakan kepada mereka bencana. Apabila telah berlaku perkara-perkara tersebut, maka tunggulah datangnya malapetaka berupa; taufan merah (kebakaran), tenggelamnya bumi dan apa yang di atasnya ke dalam bumi (gempa bumi dan tanah longsor), dan perubahan-perubahan atau penjelmaan-penjelmaan dari satu bentuk kepada bentuk yang lain.” (HR. Tirmidzi, 2136).

Amalan Kaum muslimin di bulan Shafar.

Ulama'-ulama' shaleh terdahulu mengatakan bahwa: "Allah SWT menurunkan bala' yang sangat besar di hari rabu terakhir dari bulan Shafar dan semua bala' yang akan di bagikan di tahun ini diturunkan di hari itu, maka barang siapa yang ingin selamat dari bala'–bala' tersebut maka hendaklah berdo'a di awal bulan Shafar juga di hari rabu terakhir di bulan ini. Barang siapa berdo'a dengan do'a ini maka InsyaAllah Allah SWT akan menolak segala kejelekan dari pada balak tersebut.

Do'a di awal bulan Shafar:

(بسم الله الرحمن الرحيم ، وصلى الله تعالى على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، أَعوذ بالله من شر هذا الزمان وأهلِه ، وأعوذ بجلالك وجلال وجهك ، وكمال جلال قدسك ، أن تُجِيرَني ووالديَّ وأولادي وأهلي وأحبابي ، وما تحيطه شفقة قلبي من شر هذه السنة ، وقِني شرَّ ما قضيت فيها ، واصرفْ عنِّي شرَّ شهرِ صفر ، يا كريم النظر ، واختم لي في هذا الشهر والدهر بالسلامة والسعادة والعافية لي ولوالدي وأولادي ، ولأهلي ، وما تحوطه شفقة قلبي وجميع المسلمين ،وصلى الله تعالى على  سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم ).

Sebagian orang-orang shaleh mengatakan bahwa: barang siapa membaca do'a ini setiap hari di
bulan Shafar maka maka Allah SWT akan menjaganya dari bala' dan mala petaka di tahun itu sampai Shafar yang akan datang, dan tidak akan terkena bala' sama sekali. do'a itu adalah sbb:

( بسم الله الرحمن الرحيم ، (اللهم ) صل على سيدنا محمد عبدك ونبيك ورسولك النبي الأمي وعلى آله وبارك وسلم ، ( اللهم ) إني أعوذ بك من شر هذا الشهر ، ومن كل شدة وبلاء وبلية قدرتها فيه يا دهر ، يا مالك الدنيا والآخرة ، يا
عالماً بما كان وما يكون ، ومن إذا أراد شيئاً أن يقول له كن فيكون ، يا أزلي يا أبدي ، يا مبدئ يا معيد ، يا ذا الجلال والإكرام ، يا ذا العرش المجيد ، أنت تفعل ما تريد ، ( اللهم ) احرس بعينك نفسي وأهلي  ومالي وولدي ، وديني ودنياي التي ابتليتني بصحبتها ، بحرمة الأبرار والأخيار ، برحمتك يا أرحم الراحمين ، ( اللهم ) يا شديد القوى ، ويا شديد المحال ، يا عزيز ذلت لعزتك جميع خلقك ، اكفني عن جميع خلقك ، يا محسن يا مجمل ، يا مفضل يا منعم يا مكرم ، يا من لا إله إلا أنت برحمتك  يا أرحم الراحمين ، وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم أجمعين
Faidah 1:

Ulama Ahli ma'rifat menyebutkan : bahwa disetiap tahun turun 320 ribu bala', semuanya diturunkan dihari rabu terakhir dari bulan Shafar, maka hari itu menjadi yaumi nahsin mustamir hari yang paling sulit di setiap tahun. Barang siapa melakukan shalat di hari itu sebanyak empat raka'at, setiap raka'at membaca surat Al-Kautsar tuju belas kali, juga surat Al-Ikhlas lima kali serta Ma'udzatain satu kali satu kali, kemudian setelah salam membaca do'a ini maka Allah SWT akan menjaganya dari berbagai macam bala' dan musibah yang diturunkan di hari itu hingga sempurna satu tahun. Adapun do'a yang diagungkan tersebut adalah :

( بسم الله الرحمن الرحيم ، وصلى الله تعالى على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم ، ( اللهم ) يا شديد القوي ويا شديد المحال ، يا عزيز يا ذلت لعزتك جميع خلقك ، اكفني من جميع خلقك  يا محسن يا مجمل ، يا متفضل يا منعم يا
مكرم ، يا من لا إله إلا أنت ، برحمتك يا أرحم الراحمين ، ( اللهم يسر الحسن وأخيه ، وجده وأبيه ، اكفني شر هذا اليوم وما ينزل فيه ، يا كافي ( فسيكفيكهم الله وهو السميع العليم ) وحسبنا الله ونعم الوكيل ، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم ، وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم ) اهـ.

Ulama' shaleh menyebutkan bahwa hari rabu terakhir dibulan Shafar adalah hari musibah yang terus menerus (Yaumi Nahsin Mustamir)...
اخر اربعاء في الشهر يوم نحس مستمر (حديث ضعيف)

Hari rabu terakhir dalam suatu bulan adalah haru sial yang terus menerus...
maka disunahkan untuk membaca surat Yaasin dan jika sampai pada firman Allah SWT ( سلام قولا من رب الرحيم ) mengulanginya sebanyak 313 ( tigaratus tigabelas kali ), kemudian berdo'a dengan do'a sbb:

اللهم صل على سيدنا محمد صلاة تنجينا بها من جميع الأهوال والآفات ، وتقضي لنا جميع الحاجات ، وتطهر بها من جميع السيئات ،وترفعنا بها أعلى الدرجات ، وتبلغنا بها أقصى الغايات ، من جميع الخيرات في الحياة وبعد الممات

Kemudian membaca :

(اللهم ) اصرف عنا شر ما ينزل من السماء ، وما يخرج من الأرض ، إنك على كل شيء قدير ، وصلى الله تعالى على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Kemudian berdo'a dengan meminta sesuatu yang paling penting baik dunia atau akherat kemudian meminta kepada Allah SWT agar diselamatkan.

Faidah 2:

Sebagian dari faidah yang mujarab untuk menolak balak dan menjaga diri adalah menulis ayat-ayat dibawah ini di kertas kemudian merendamnya di dalam air dan meminumnya. Dikatakan dalam kitab "Na't Al-bidayat": "Diriwayatkan bahwa barang siapa shalat sebanyak empat raka'at seperti yang diterangkan di atas, kemudian berdo'a dengan do'a di atas (Yaitu اللهم يا شديد القوى ...الخ) kemudian setelah itu menulis ayat-ayat dibawah ini dan merendamnya di dalam air kemudian meminumnya maka Insya Allah akan diamankan dari bala' di siang itu hingga akhir tahun. Ayat-ayat tersebut adalah sbb:

سلام قولاً من رب الرحيم ) ( سلام على نوح في العالمين) ( سلام على إبراهيم ) ( سلام  على موسى وهارون ) ( سلام على إل ياسين ) ( سلام عليكم طبتم فادخلوها داخلين ) ( من كل أمر ، سلام هي حتى مطلع الفجر )

Versi NU
Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan
Bulan Shafar  adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang  tidak memiliki kehendak dan  berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.

Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,

"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”.

Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.

Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.

Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.

Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.

Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini:

“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).

Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits

Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya:’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).

Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir)  tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.

Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”

Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah.

Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri terus terang belum mengetahui dan meneliti kebenaran nama dan kitab ini, bahkan dalam beberapa tulisan kitab ini disebut dengan Kanzun Najah Was-Suraar Fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi al-Adiyati al-Lati Tasrohu al-Sudur) yang menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah  menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.

Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka Allah  dengan kemurahan-Nya akan menjag a orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):

Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.

Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.

Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:

“Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.

” Wallahu ‘A’lam.