Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi
Minggu, 26 Juli 2020
Status Anak hasil Zina
Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah
Saudara Rudi (nama samara) yang dirahmati Allah swt. Para ulama berbeda pendapat, bolehkan menikahi wanita yang hamil. Para ulama dari kalangan madzhab maliki dan hambali berpandangan tidak boleh menikahi wanita yang hamil karena zina. Baik yang menikahi itu lelaki yang menghamili atau bukan. Bila keduanya menikah, tidak boleh berhubungan dan harus akad lagi ketika anak dalam kandungan itu lahir. Pendapat ini berdasarkan pada teks eksplisit ayat yang menyebutkan bahwa ‘iddah wanita hamil itu sampai melahirkan.
Para ulama ini juga berhujjah dengan hadist Rasulullah saw, “Tidak boleh melakukan hubungan dengan wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan.” Sedangkan ulama dari kalangan madzhab syafii berpandangan boleh menikahi wanita yang hamil karena zina, sebab air mani yang ada dalam wanita itu tidak memiliki kemuliaan sehingga dianggap tidak ada. Jadi boleh menikah dengannya.
Apabila lelaki dan wanita yang hamil karena zina itu menikah, sedangkan anaknya itu hasil dari hubungan keduanya sebelum menikah, para ulama berbeda pendapat. Sebagian besar ulama berpandangan bahwa anak itu dinisbatkan kepada ibunya. Ia tidak saling mewarisi dengan ayahnya. Ayahnya juga tidak bisa menjadi wali. Hubungan keduanya seperti hubungan ayah tiri, walau pun secara biologis anak itu adalah darah dagingnya. Para ulama tersebut berhujjah dengan hadist Rasulullah saw,
“AL-WALAD LILFIRASY WALIL’AHIRI AL-HAJR (ANAK ADALAH MILIK ORANG YANG BERHAK ATAS WANITA YANG MENJADI IBU BAGI ANAK ITU DAN PELAKU ZINA TIDAK MENDAPATKAN APA-APA)”
Jadi, lelaki yang berhak secara sah terhadap wanita itulah yang berhak atas anaknya. Karena lelaki berzina itu tidak berhak atas wanita yang ia hamili, maka ia tidak berhak atas nasab anaknya.
Di samping itu, para ulama tersebut berhujjah dengan hadits Rasulullah SAW,
“…DAN APABILA (ANAK ITU) BUKAN DARI WANITA YANG BUKAN MILIKNYA ATAU DARI WANITA YANG IA ZINAI, MAKA (ANAK ITU) TIDAK DINISBATKAN KEPADANYA DAN TIDAK PULA MEWARISINYA…” (HR AHMAD, ABU DAWUD, IBNU MAJAH DAN AD-DARAMI.) SYAIKH AL-BANI MENGHASANKAN DERAJAT HADITS INI.
Sebagian ulama berpandangan bila lelaki yang menikahi itu adalah lelaki yang menghamili, maka anak itu bisa dinisbatkan kepada ayahnya secara biologis. Menurut mereka, hadits yang menyatakan bahwa “al-walad lilfirasy (anak adalah milik orang yang berhak atas wanita yang menjadi ibu bagi anak itu)” berlaku ketika terjadi sengketa atas nasab anak. Apabila tidak ada sengketa, nasab bisa dinisbatkan kepada orang yang mengakuinya sebagai anak. Jadi bila lelaki itu menikahi wanita yang hamil karena dirinya, maka anak itu bisa dinisbatkan kepadanya.
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa pendapat yang kedua ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri berdasarkan para riwayat Ishaq ibnu Rahawaih. Hujjah atau dalil para ulama yang mengikuti pendapat ini adalah : kebijakan Umar bin Khattab menetapkan nasab orang-orang yang pernah hidup di masa jahiliah berdasarkan pada pengakuan mereka. Jadi, ketika A mengaku bahwa B adalah anaknya, maka Umar menetapkan B sebagai anak A.
BACA JUGA: HUKUM BERZINA PADA SIANG HARI BULAN RAMADHAN
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang anak yang lahir dari zina tidak akan mendapatkan hak nasab ayah biologisnya. Menurut hemat saya, untuk konteks Indonesia, bila seseorang menikahi wanita yang pernah berzina dengannya dan mengandung anak biologisnya, lalu keduanya menikah sebelum anak itu lahir, secara administrasi ia bisa menjadi anak kandung atas ayahnya. Hanya saja, dalam hal perwalian nikah dan hak waris mengikuti nasab ke ibunya. Untuk perwalian nikah, yang menjadi wali adalah hakim. Sedangkan untuk warisan, ayahnya bisa memberikan bagian pada anak tersebut lewat wasiat atau hibah. Dengan begitu, kehorm
matan keluarga tetap terjaga tanpa mengorbankan unsur kehati-hatian.
Akan tetapi, bila orang tersebut mengikuti pendapat yang kedua, menjadikan anak itu sebagai nasab anak hasil zina yang sah, hal tersebut tidak bisa kita larang atau kita sikapi dengan negative. Dan memang, di antara ulama besar ada yang berpandangan seperti pendapat yang kedua di atas.
Wallahu a’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar