Mengusir Penyakit Malas
oleh: Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman
hafidzahullah
Iman seseorang pastilah mengalami pasang surut naik dan turun sesuai dengan kadar ketaatan. Semakin kuat dan semangat dalam ketaatan, maka hal itu sebagai indikasi imannya sedang naik. Sebaliknya, iman akan berkurang dengan kemaksiatan. Jiwa manusia sifatnya bagaikan anak kecil, harus terus dilatih agar terbiasa dengan ketaatan. Nah, ketika rasa malas menghampiri dalam jiwa, harus ada usaha menepisnya, agar tidak terus-menerus terkurung dalam rasa malas yang tiada henti. Bagaimanakah cara jitu untuk menepis rasa malas yang menghampiri? Ikutilah kajian berikut ini.
DEFINISI MALAS
Malas dalam bahasa Arab disebut dengan al-kaslu yang bermakna berat untuk mengerjakan sesuatu dan berhenti dari menyempurnakan sesuatu.[1]
Imam Raghib al-Ashfahani rahimahullah mengatakan, “Malas adalah merasa berat dalam suatu urusan yang seharusnya tidak perlu merasa berat.”
SISI NEGATIF SIFAT MALAS
Barangsiapa yang memperhatikan nash-nash syar’i dalam masalah ini, niscaya dia akan mendapati bahwa agama Islam adalah agama yang mencela sifat malas. Di antara dampak negatif malas adalah:
1. Turunnya adzab
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah suatu desa untuk keluar berperang, tetapi mereka bermalas-malasan dan berat untuk keluar berperang. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menahan hujan untuk mereka, dan itulah adzabnya bagi mereka.[2]
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari sifat malas
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas, dari rasa takut, tua, dan bakhil. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan fitnah hidup dan kematian.”[3]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Adapun malas maka akan melahirkan sifat menyia-nyiakan waktu, berlebihan, tidak mendapat apa pun, dan penyesalan yang sangat parah. Maka hal itu akan menafikan sifat keinginan dan kekuatan yang keduanya merupakan buah dari ilmu. Sesungguhnya apabila seseorang mengetahui bahwa kesempurnaan dan kenikmatannya pada sesuatu tentu akan mencarinya dengan usaha dan keinginan yang kuat. Karena setiap orang akan selalu berusaha untuk menggapai kesempurnaan diri dan kelezatannya. Akan tetapi, kebanyakan mareka salah dalam menempuh jalan karena tidak adanya ilmu. Maka ilmu yang sempurna akan memahamkan seorang hamba bahwa kebahagiaannya adalah dengan ini, maka bagaimana mungkin rasa malas menghampirinya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari rasa malas.”[4]
3. Mewariskan jiwa yang jelek
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ
“Apabila seorang hamba bangun malam, kemudian berdzikir kepada Allah, terlepaslah satu ikatan. Apabila dia berwudhu, terlepaslah satu ikatan lagi. Jika dia shalat, maka akan terlepas seluruh ikatan. Maka pagi harinya jiwanya akan semangat dan bagus. Jika tidak bangun (malam), jadilah jiwanya jelek dan malas.”[5]
Imam Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang malas, akan hilang darinya sifat kemanusiaan. Bahkan dia termasuk dalam golongan hewan. Waspadalah engkau dari sifat malas, karena jika kamu malas maka engkau tidak akan mampu menunaikan sebuah hak. Jika engkau bosan maka engkau tidak akan sabar untuk menunaikan hak. Karena waktu luang itu akan menghilangkan keadaan manusia. Bahkan seluruh anggota badan menusia jika tidak digunakan maka akan rusak.”[6]
4. Meniru sifat orang munafik
Malas adalah sifat dasar orang-orang munafik. Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengisahkan tentang mereka dalam firman-Nya:
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَـٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيل
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya [dengan shalat] di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisâ’ [4]: 142)
Dan sisi negatif lainnya yang sangat banyak dari sifat malas ini. Di dalam buku Mausû’ah Nadhratun Na’îm disebutkan bahwa sifat malas membawa dampak jelek di antaranya:
1) Membawa matinya semangat dan memendam daya pikir
2) Salah satu sebab menuju jalan pintas untuk mengambil harta orang lain
3) Semakin jauh dari Allah
4) Sebagai bentuk nyata kemunduran suatu umat dan masyarakat
5) Pertanda semangatnya sedang jatuh
6) Mewariskan kehinaan dan kerendahan.[7]
MACAM-MACAM MALAS
Sifat malas ada dua macam:
Pertama: Malasnya akal, tidak memakainya untuk berpikir dan merenungi ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla atau bisa juga tidak menggunakan akal untuk sesuatu yang memperbaiki dirinya, berupa dunia dan kehidupannya. Tidaklah kemunduran sebuah kaum kecuali karena sebab malasnya orang-orang yang berakal dan sedikitnya orang yang mau memanfaatkan kekuatan pikiran pemberian Allah ‘Azza wa Jalla ini.
Kedua: Malasnya badan. Yaitu mencakup seluruh anggota badan. Malas ini akan membawa kemunduran individu. Berpengaruh pada keadaan suatu kaum dalam bidang pertanian, industri, dan selain keduanya.[8]
SEBAB-SEBAB MALAS
1. Tabiat manusia itu sendiri
Di antara manusia ada yang terbiasa untuk berjiwa malas. Jiwanya condong untuk menunda-nunda sebuah urusan. Tidak ada semangat untuk mencapai perkara yang sempurna. Hidupnya habis untuk bermalas-malasan, jalan di tempat, dan tidak maju-maju. Allahul Musta’an
2. Pendidikan di rumah
Pendidikan di dalam rumah mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Anak pemalas, bisa jadi karena kebiasaan di rumahnya demikian. Inilah pentingnya menanamkan pendidikan yang benar sejak di dalam rumah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang yang membinasakan anaknya, kelezatan hatinya hanya untuk dunia, sedang dirinya lalai dari kampung akhirat. Tidak mendidik anaknya, malah membantu anak untuk memuaskan nafsunya. Dia menyangka dengan demikian telah berbuat baik dan memuliakan anaknya, bahkan yang benar dia telah menghinakan, dia menyangka menyayangi padahal hakikatnya menzaliminya. Maka hilanglah kesempatan untuk mengambil manfaat dari anaknya, dan hilanglah darinya bagiannya di dunia dan akhirat. Apabila engkau perhatikan kerusakan pada anak, maka engkau akan dapati bahwa sebab umumnya adalah dari seorang bapak.”[9]
3. Lingkungan dan masyarakat
Dua perkara ini punya pengaruh besar dalam perubahan diri seseorang. Seorang yang tumbuh dalam lingkungan yang baik akan melatih jiwa menjadi semangat. Hal ini bagaikan sebuah tanaman yang tumbuh di tanah yang baik. Allah Jalla Jalaluh berfirman:
وَٱلۡبَلَدُ ٱلطَّيِّبُ يَخۡرُجُ نَبَاتُهُ ۥ بِإِذۡنِ رَبِّهِۦۖ وَٱلَّذِى خَبُثَ لَا يَخۡرُجُ إِلَّا نَكِدً۬اۚ ڪَذَٲلِكَ نُصَرِّفُ ٱلۡأَيَـٰتِ لِقَوۡمٍ۬ يَشۡكُرُونَ
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran [Kami] bagi orang-orang yang bersyukur. (QS. Al-A’râf[7]: 58)
4. Sedikitnya pendidik dan teladan yang baik
Hal ini bisa menimpa siapa saja. Orang yang tidak punya teladan dan pendidik yang baik, maka dia akan tumbuh menjadi jiwa yang berkembang sesuai keinginannya. Tumbuh hidup sesuai dengan keinginannya sendiri, tanpa arah dan bimbingan. Ini perlunya mencari teman yang baik atau seorang yang bisa menjadi panutan.
5. Istri dan anak
Bisa jadi seorang istri adalah fitnah bagi suaminya. Menghalanginya dari ibadah, menghalanginya dari menuntut ilmu, menghalanginya dari mencari usaha untuk menggapai perkara yang mulia. Hal itu dikarenakan seorang istri yang terlalu banyak menuntut, meminta bantuan suaminya, dan lain-lain. Demikian pula anak-anak bisa menjadi fitnah bagi ayah dan ibunya. Sangat khawatir akan perkembangan anak di masa akan datang, takut anaknya tidak berhasil, dan lain-lain. Adapun ketika seorang anak menyimpang dari jalan lurus, dirinya malah merasa tenang, cuek, dan tidak peduli. Benarlah firman Allah Jalla jalaluh yang berbunyi:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٲجِكُمۡ وَأَوۡلَـٰدِڪُمۡ عَدُوًّ۬ا لَّڪُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni [mereka] maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taghâbun [64]: 14)
6. Banyak tidur
Banyak tidur membuat hati menjadi kotor. Jiwanya akan merasa malas, tidak punya semangat untuk berbuat kebaikan dalam memanfaatkan waktunya. Waktunya habis di atas kasur, tercegah dari kebaikan yang banyak. Bahkan tidak mustahil perkara yang Allah Jalla jalaluh wajibkan seperti shalat jadi terlalaikan, bahkan juga menjadi sebab percekcokan dalam rumah tangga!!
7. Panjang angan-angan dan sering menunda-nunda
Ini adalah problem besar yang sering menghambat dalam pemanfaatan waktu. Oleh karena itu, Allah Jalla Jalaluhu mengancam dengan ancaman yang keras bagi orang yang sering menunda-nunda dan berangan-angan. Firman-Nya:
ذَرۡهُمۡ يَأۡڪُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلۡهِهِمُ ٱلۡأَمَلُۖ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ
Biarkanlah mereka [di dunia ini] makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan [kosong], maka kelak mereka akan mengetahui [akibat perbuatan mereka]. (QS. Al-Hijr [15]: 3)
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Firman-Nya: ‘dan dilalaikan oleh angan-angan kosong’, yaitu yang menyibukkan mereka dari ketaatan.”[10]
Angan-angan kosong akan membawa rasa malas dari beramal. Menjadikan diri terbuai dalam lamunan, hingga waktunya banyak terbuang dan sia-sia. Karena sering berangan-angan kosong akhirnya dia akan sering menunda-nunda pekerjaan yang ingin ia kerjakan. Jadilah umur dan waktunya habis tanpa meraih tujuan yang ia citakan. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berwasiat:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi, dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.”[11]
SEMANGAT SETIAP SAAT
Semangat adalah mengerahkan segala usaha untuk meraih apa yang bermanfaat dari perkara dunia atau akhirat[12]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Semangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah serta janganlah kamu lemah.”[13]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hendaknya seseorang meninggalkan rasa malas, santai, bahkan hendaknya dia melawan rasa malas. Karena sesungguhnya rasa malas adalah hasil dari sifat penyesalan dan penipuan. Dan sifat sungguh-sungguh akan berbuah manis, baik di dunia maupun di akhirat atau salah satu dari keduanya. Maka orang yang paling berbahagia adalah orang yang paling capek, dan orang yang paling capek adalah orang yang paling bahagia. Menjadi pemimpin adalah di dunia, dan kebahagiaan adalah di akhirat. Tidak akan tercapai kecuali melalui jembatan kelelahan. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, ‘Ilmu tidak diraih dengan badan yang santai.’”[14]
DALAM HAL APA KITA HARUS BERSEMANGAT?
Pertama: Menuntut ilmu
Tidak samar bagi kita akan keutamaan menuntut ilmu. Maka hendaknya bagi seluruh kaum muslimin untuk sabar melatih jiwa agar tetap semangat dalam belajar. Semangat untuk menjaga waktu agar tidak terbuang tanpa faedah. Terus semangat agar tetap istiqamah dalam menghadiri majelis-majelis ilmu. Semangat pantang menyerah jika mengalami kesulitan dalam belajar dan sebagainya.
Kedua: Ibadah dan Istiqamah dalam ketaatan
Para pendahulu kita dari kalangan salaf telah memahami dengan baik akan peritah Allah. Mereka memahami hakikat dunia, hingga tidak terlena dengan kehidupannya. Lambung mereka sangat jauh dari tempat tidur karena lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah Jalla jalaluhu dengan shalat. Allah Jalla Jalaluhu berfirman:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمۡ عَنِ ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّہُمۡ خَوۡفً۬ا وَطَمَعً۬ا وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ يُنفِقُونَ
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. As-Sajdah [32]: 16)
Ayat ini menjelaskan keutamaan mereka yang padahal diri mereka sendiri butuh untuk istirahat dan tidur.[15]
Ketiga: Mencari kebenaran
Betapa banyak kita mendengar berita orang-orang yang mendapat hidayah karena kegigihan mereka dalam mencari kebenaran. Sebab itu, mereka benar-benar ikhlas menjalankan tuntutan kebenaran hingga menjadi orang-orang yang beruntung. Begitulah hendaknya kaum muslimin, semangtlah Anda mencari jalan kebenaran, agama yang benar, agama yang diridhai oleh Allah Jalla Jalaluhu dan Rasul-Nya.
Keempat: Dakwah
Dakwah dan mengajak manusia ke jalan Allah Jalla Jalaluhu adalah amalan mulia. Semangat untuk membimbing manusia agar mengenal jalan kebenaran. Mengerahkan segala kemampuan dalam memberi nasehat kepada orang yang akan didakwahi, sabar dalam menghadapi ujian dalam dakwah. Semangat hingga dia menjadi panutan bagi umatnya. Semangat dan berbahagia bila ada yang menjawab seruan dakwahnya. Inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima: Berjuang di jalan Allah
Keutamaan jihad sangat besar, bahkan puncak tertinggi dalam Islam adalah jihad di jalan Allah. Namun, agungnya perkara jihad dan harumnya ganjaran pahala orang yang berjihad tidak akan bisa dipetik kecuali oleh orang-orang yang semangat berjihad sesuai dengan tuntunan syar’i, sesuai dengan manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berjihad. Tidak cukup hanya bermodalkan semangat yang tinggi namun kosong dari ilmu –sebagaimana peristiwa yang kita lihat akhir-akhir ini. Allahul Musta’an.
TERAPI BILA SIFAT MALAS MENGHAMPIRI
1. Menyadari pentingnya waktu
Waktu adalah nikmat yang besar, ladang untuk menuai kebaikan, dan punya pengaruh yang sangat jelas. Allah Jalla Jalaluhu berfirman:
وَٱلۡعَصۡرِ (١) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِى خُسۡرٍ (٢) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
Demi masa. (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS.al-Ashr [103]: 1-3)
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah berlalu sebuah hari bagi seorang anak Adam kecuali hari itu akan berkata kepadanya, ‘Hai anak Adam, aku adalah harimu yang baru, dan apa yang engkau kerjakan untukku akan menjadi saksi. Apabila aku telha pergi, aku tak akan kembali lagi, kerjakanlah sesukamu dengan segera dan engkau akan menjumpainya di hadapanmu, dan akhirkanlah sesukamu maka dia tidak akan kembali kepadamu.’”[16]
Maka orang yang cerdas adalah yang mampu mengisi hari-harinya dengan amal kebaikan, memanfaatkan sisa hidup yang ada dengan segala perkara yang bermanfaat, sebagai bekal menuju kampung yang abadi. Bukan malah bermalas-malasan yang tidak membawa manfaat sedikit pun!!
2. Bergaul dengan teman yang baik
Teman punya pengaruh yang sangat kuat. Teman yang baik adalah teman yang bisa mengajak kebaikan danmendorong dalam ketaatan. Maka berteman dengan teman yang rajin akan mendorong diri kita untuk meniru dan ikut sepertinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Permisalan teman duduk yang baik dan teman yang jelek bagaikan penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi, engkau akan membelinya atau engkau mendapat bau wanginya. Adapun tukang pandai besi, dapat membakar rumahmu, bajumu atau engkau mendapat baunya yang tidak enak.”[17]
3. Membaca kisah-kisah semangat para salaf
Karena mereka adalah generasi terbaik umat ini. Bagaimana semangat mereka dalam belajar, beribadah, dan istiqamah di atasnya. Membaca kisah-kisah mereka bisa menggugah semangat jiwa yang sedang dilanda rasa malas.
4. Kontinu mengerjakan amal shalih
Karena hal itu akan membawa kebaikan bagi pelakunya. Amalan yang paling dicintai di sisi Allah Jalla Jalaluhu adalah yang kontinu meskipun sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang dikerjakan terus-menerus meskipun sedikit.”[18]
Dan tidak ragu lagi bahwa orang yang senantiasa menghiasi hari-harinya dengan amal shalih, hatinya akan berpaling dari sifat malas, dirinya akan senantiasa semangat, bi idznillah (dengan izin Allah).
5. Isi dengan kegiatan bermanfaat
Bila rasa malas menghampiri maka bersegeralah untuk menepisnya dengan mengerjakan kegiatan yang bermanfaat. Semisal membaca buku-buku islami yang kita senangi, olah raga, dan lain-lain dari kegiatan yang bermanfaat. Tujuan dari (hal) ini adalah agar rasa malas yang sedang kita alami tetap terkendali dengan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, tidak menyalahi aturan agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap amal perbuatan memiliki semangat, dan setiap semangat memiliki masa futur (kurang/lemah semangat). Barangsiapa yang masa futurnya menuju sunnahku, maka dia telah berjalan di atas petunjuk. Dan barangsiapa yang masa futurnya menuju kepada selain sunnahku, maka dia telah binasa.”[19]
6. Do’a
Do’a adalah senjatanya seorang muslim yang paling ampuh dalam menangkal virus malas dan godaan setan. Mintalah selalu kepada Allah –dengan perendahan diri- agar tetap semangat dan jauh dari sifat malas. Beliau mengajarkan do’a:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas; dari rasa takut, tua, dan bakhil. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan fitnah hidup dan kematian.”[20]
Allahu A’lam.
Sumber: majalah AL FURQON no. 120, edisi 6 Th. Ke-11, Muharram 1433 H, hal. 52-56
Lihat dan Download versi document
[1] Mu’jam Maqâyis al-Lughah 5/175
[2] Ath-Thabari 14/254, dishahihkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 2/118
[3] HR. Bukhari:2668, Muslim: 2706
[4] Miftâh Dâr as-Sa’âdah 1/113
[5] HR. Bukhari: 1142, Muslim: 776
[6] Adz-Dzarî’ah ilâ Makârim asy-Syarî’ah hlm. 269
[7] Nadhratun Na’îm 11/5442
[8] Nadhratun Na’îm 11/5439
[9] Tuhfatul Maudûd hlm. 146-147
[10] Tafsîr al-Qurthubî 10/6
[11] HR. Bukhari: 641
[12] Al-Qaul al-Mufîd 2/367
[13] Muslim: 2664
[14] Tuhfatul Maudûd hlm. 241
[15] Al-Himmah al-Aliyyah hlm. 36, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd
[16] Aina Nahnu min Hâulâ’ 2/16, Abdul Malik al-Qashim
[17] HR. Bukhari: 2101, Muslim: 2628
[18] HR. Bukhari: 6464, Muslim: 1866
[19] Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb no. 56
[20] HR. Bukhari: 2668, Muslim: 2706
Tidak ada komentar:
Posting Komentar