HUKUM BERPINDAH-PINDAH MAZHAB.
Dalam permasalahan boleh tidaknya seseorang berpindah-pindah dalam mengikuti pendapat ulama mazhab, memang ada perbedaan pandangan dikalangan para ulama.
Secara umum terbagi menjadi dua kubu pendapat. Kubu pertama berpendapat berpindah-pindah mazhab adalah perkara yang tidak dibolehkan, terkecuali dengan syarat dan tatacara yang memang membolehkannya.
Sedangkan sebagian ulama lain cendrung membolehkannya secara mutlak.
1. Pendapat yang tidak membolehkan.
Hujjah kalangan yang melarang seseorang berpindah-pindah mazhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam ibadah. Sebab tiap-tiap amaliyah suatu mazhab itu dihasilkan dari sebuah proses penyimpulan hukum (istimbath) yang menggunakan kaidah yang pakem.
Sehingga apabila ada orang yang main oplos begitu saja pendapat mazhab-mazhab fiqih, hal seperti ini bukan lagi produk ibadah orisinil yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tapi akan berubah menjadi ajang hawa nafsu dan cara beragama tanpa kaidah yang berpotensi merusak.
Sehingga menurut kalangan ini, berpindah-pindah mazhab semaunya adalah praktek terlarang.
Namun, jika diteliti lebih dalam, ternyata kalangan ini bukan mutlaq melarang seseorang berpindah pendapat fiqih. Yang dilarang itu ternyata adalah berpindah-pindah mazhab dengan tujuan mencari -cari perkara yang mudah dalam satu permasalahan agama.
Misalnya dalam tatacara wudhu ia berwudhu dengan cara Malikiyah yang tidak mengharuskan tertib (mazhab ini membolehkan dibolak balik, misalnya membasuh kaki dulu, lalu muka dll) namun ketika membasuhkan air ia menggunakan mazhab syafi'i yang tidak mengharuskan adanya gosokan. (Mazhab Maliki mewajibkan anggota tubuh yang dibasuh digosok dengan tangan).
Niatannya dia melakukan itu untuk tujuan mencari-cari yang mudah, itulah yang dilarang.
Adapun berpindah-pindah mazhab jika bukan talfiq. (Talfiq adalah mengoplos pendapat mazhab dalam 1 permasalahan ibadah) ternyata mayoritas kelompok pendapat pertama ini membolehkan. Sekalipun niatannya untuk mencari-cari yang mudah-mudah dari pendapat fiqih,
Misalnya seseorang berwudhu dengan mazhab Maliki, shalat dzuhur dengan mazhab Syafi'i, lalu shalat ashar dengan mazhab lain lagi. Ini dibolehkan karena bukan termasuk talfiq.
Dalam mazhab Syafi'i, keterangan ini bisa kita dapatkan dalam kitab : I’anah at-Thalibin, (4/217) juga dalam Fath al-Mu’in, hal. 138:
Kesimpulan pendapat pertama :
Dianjurkan berpegang disatu pendapat mazhab, berpindah -pindah mazhab perkara mubah atau bisa makruh. Yang diharamkan adalah melakukan talfiq dengan tujuan mencari hukum yang mudah.
Imam al-Ghazali menjelaskan alasan dilarangnya praktik talfiq karena condong pada mengikuti hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa nafsu.
Pendapat pertama ini dianut oleh mayoritas ulama mazhab.
2. Kalangan yang membolehkan secara mutlak.
Sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa berpindah pendapat mazhab bukanlah hal yang dilarang. Baik secara talfiq ataupun bukan.
Hujjah kalangan ini adalah tidak adanya dalil yang memerintahkan seseorang untuk berpegang disatu pendapat. Yang ada hanya perintah dari Allah :
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)
Ayat diatas hanya mengisyaratkan seorang muslim bertanya kepada ulama mengenai urusan agama. Dan Allah tidak membatasi hanya kepada satu dua ulama, sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dahulu juga tidak membatasi orang-orang untuk bertanya dalam urusan agama kepada satu sahabat saja. Tapi beliau membolehkan siapapun sahabat kala itu untuk dijadikan rujukan persoalan agama.
Yang secara lantang membolehkan praktek berpindah mazhab secara talfiq sekalipun adalah kalangan mazhab Hanafiyah diantaranya imam Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid/Ibn Humam (750-808 H) demikian juga ini diamini oleh sebagian kalangan Malikiyah.
Khatimah.
Mazhab adalah sarana untuk memudahkan kita dalam mengamalkan agama secara baik dan benar. Bukan untuk membuat ribet dan repot, meskipun disaat yang sama berfungsi untuk mengatur agar hukum agama tidak dijalankan seenak perutnya orang.
Kalangan yang melarang, bukanlah melarang seseorang berpindah-pindah mazhab secara mutlaq. Yang dilarang adalah talfiq, karena berpotensi menjadi ajang mengamalkan agama semau dan sekenanya.
Demikian juga kalangan yang membolehkan secara mutlak gonta-ganti pendapat fiqih. Yang dibolehkan adalah mengikuti pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan mengikuti hawa nafsu dan selera pribadi.
Jika kita bisa memahami tujuan dan maksud baik dua kubu pendapat ini, kita akan bisa memadukan keduanya dalam sebuah prinsip sederhana : Sebaiknya memang bermazhab, tapi jangan fanatik.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar