Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi
Senin, 31 Mei 2021
Hukum Menikah
Doa Agar Terpelihara Dalam Kandungan
Doa Agar Terpelihara Anak dalam Kandungan 🤲🏻😊
اللَّهُمَّ احْفَظْ وَلَدِيْ مَادَامَ فِى بَطْنِيْ وَاشْفِهِ أَنْتَ شَافٍ لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
Ya Allah, peliharalah anakku selama dia berada di dalam perutku, dan sihatkanlah dia, Engkaulah yang menyembuhkan, tidak ada penyembuhan selain penyembuhan-Mu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.
اللَّهُمَّ صَوِّرْهُ فِى بَطْنِيْ صُورَةً حَسَنَةً وَثَبِّتْ قَلْبَهُ إِيمَانًا بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ
Ya Allah, rupakanlah/bentukkanlah dia yang berada di dalam perutku dengan rupa yang baik dan tetapkanlah dalam hatinya akan keimanan kepada-Mu dan Rasul-Mu.
اللَّهُمَّ اخْرُجْهُ مِنْ بَطْنِيْ وَقْتَ وِلَادَتِيْ سَهْلًا وَتَسْلِيْمًا
Ya Allah, keluarkanlah dia dari perutku, di kala waktu bersalin, dengan mudah dan selamat.
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلًا وَعَاقِلًا حَاذِقًا عَالِمًا عَامِلًا
Ya Allah, jadikanlah dia anak yang sihat, dan berakal, pandai, alim (dan) beramal.
اللَّهُمَّ طَوِّلْ عُمْرَهُ وَصَحِّحْ جَسَدَهُ وَحَسِّنْ خُلُقَهُ وَأَفْصِحْ لِسَانَهُ وَأَحْسِنْ صَوْتَهُ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالْحَدِيْثِ بِبَرَكَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Ya Allah, panjangkanlah umurnya, jadikanlah jasadnya utuh, kurniakanlah budi pekerti yang baik padanya, kurniakanlah lisan yang fasih, kurniakanlah baginya suara yang indah untuk membaca Al Quran dan hadis dengan keberkatan Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa sallam, dan segala puji bagi Allah.
Semoga Bermanfa'at.
Minggu, 30 Mei 2021
Empat Bahaya Makan Tak Halal
Cerai sebelum di Setubuhi
Status mahar apabila pasangan tersebut bercerai sebelum terjadinya hubungan suami-istri?, Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), halaman 236, menjelaskannya sebagai berikut: ويسقط بالطلاق قبلَ الدخول بها نصفُ المهر Artinya: “Gugur sebab talak sebelum berhubungan, separuh mahar.” Hal ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 237: وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ... Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu” Meskipun demikian, apabila pihak suami merelakan keseluruhan mahar, hal tersebut tetap diperbolehkan, dan bahkan lebih baik, sebagaimana kelanjutan ayatnya: إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى Artinya: “Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” Demikian, semoga bisa dipahami dengan baik, dan bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.
Jumat, 28 Mei 2021
Ayat-Ayat Hukum Terancam Expiried
Ayat-ayat Hukum Terancam Expired?
Kaidah Ushuliyyah (Islamic Legal Maxim) yang berbunyi :
تغير الأحكام بتغير الزمان والمكان
Hukum berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
Seringkali difahami oleh sebagian orang bahwa hukum Allah bisa berubah seiring dengan kebutuhan dan maslahat setiap masa dan lingkungan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat hukum dalam Qur'an sudah expired untuk diaplikasikan pada zaman sekarang.
Keberadaan kaidah ini seolah menjadi legitimasi terhadap segala jenis kebiasaan dan hukum yang berlaku di masyarakat untuk bisa lebih aplikatif daripada apa-apa yang telah ditetapkan secara eksplisit baik dalam Al-Qur’an, hadist, dan Ijma’.
Lantas bagaimana pendapat para ulama terkait Kaidah tersebut?
Imam Al-Qarrafi dalam menanggapi hal ini telah menjelaskan dalam kitabnya Al-furuq:
أَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُتَرَتِّبَةَ عَلَى الْعَوَائِدِ تَدُورُ مَعَهَا كَيْفَمَا دَارَتْ وَتَبْطُلُ مَعَهَا إذَا بَطَلَتْ كَالنُّقُودِ فِي الْمُعَامَلَاتِ فَإِذَا تَغَيَّرَتْ الْعَادَةُ فِي النَّقْدِ وَالسِّكَّةِ إلَى سِكَّةٍ أُخْرَى حُمِلَ الثَّمَنُ فِي الْبَيْعِ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ عَلَى السِّكَّةِ الَّتِي تَجَدَّدَتْ الْعَادَةُ بِهَا دُونَ مَا قَبْلَهَا
Sesungguhnya Hukum yang tersusun atas kebiasaan maka akan eksis sebagaimana kebiasaan tersebut, dan akan batal sebagaimana kebiasaan itu pula, seperti uang tunai dalam muamalat. Maka apabila adat dalam pembayaran telah berubah kepada bentuk mata uang yang lain, maka metode dan pembayarannya pun turut berubah kepada yang telah diperbaharui[1].
Tak kalah pentingnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam karyanya yang fenomenal, I’lamul Muwaqi’in, turut berpendapat dalam hal ini, beliau mengatakan:
وقد اتفقت كلمة فقهاء المذاهب على أن الأحكام التي تتبدّل بتبدّل الزمان وأخلاق الناس هي الأحكام الاجتهادية من قياسية ومصلحية، أي: التي قررها الاجتهاد بناء على القياس أو على دواعي المصلحة، وهي المقصودة بالقاعدة الآنفة الذكر: "لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان". أمّا الأحكام الأساسية التي جاءت الشريعة لتأسيسها وتوطيدها بنصوصها الأصلية الآمرة الناهية كحرمة المحرمات المطلقة، فهذه لا تتبدَّل بتبدُّل الأزمان بل هي الأصول التي جاءت بها الشريعة لإصلاح الأزمان والأجيال
Dan pendapat seluruh ulama madzhab telah sepakat bahwa hukum syariat yang bisa berubah dengan berubahnya zaman dan perilaku manusia, adalah hukum-hukum yang bersifat ijtihadi yang berlandaskan analogi dan maslahat, atau: yang ditetapkan karena ijtihad yang berlandaskan qiyas dan maslahat, maka inilah maksud daripada kaidah “tak diingkari perubahan hukum dengan perubahan zaman”. Sedangkan hukum asasi yang dengannya satang syariat sebagai pondasinya melalui nushus (quran dan haidst) yang asli menunjukkan perintah dan larangan seperti keharaman mendekati hal-hal yang diharamkan secara mutlak, maka itu semua tidak boleh berganti hanya dengan perubahan zaman akan tetapi dia tetap berdiri sebagai pondasi yang datang syariat dengannya untuk mengevaluasi zaman dan generasi[2].
Begitupula Dr. Muhammad Mushthafa Az-Zuhaily dalam kitabnya al qawaid al fiqhiyyah menjelaskan tentang kaidah tersebut:
قد يكون بعض الأحكام الشرعية يبنى على عرف الناس وعاداتهم، فإذا اختلفت العادة عن زمان قبله، تتغير كيفية العمل بمقتضى الحكم، وأما ما أصله على غير ذلك فلا تتغير
Kadang-kadang sejumlah hukum syariat berlandaskan kepada kebiasaan manusia dan adat istiadatnya. Maka apabila telah berubah adat tersebut dari adat pada zaman sebelumnya, berbubah pulalah teknis dan hukumnya, sedangkan hukum-hukum syariat yang asalnya bukan berdasarkan adat dan kebiasaan manusia tidak berubah[3].
Dari pendapat ulama-ulama salaf dan ulama kontemporer ini dapat kita simpulkan dan wajib kita sepakati bahwa maksud dari kaidah tersebut hanya berlaku pada hukum syariat yang berdiri berlandaskan kepada adat dan kebiasaan manusia, sementara hukum-hukum syariat dengan redaksi yang eksplisit terhadap suatu perkara baik bentuknya perintah ataupun larangan, maka hal itu tidak bisa berubah dengan hanya karena berubahnya zaman, tempat, dan kebiasaan manusia.
Logikanya saja, jika lafadz yang berkonotasi hukum mutlaq dalam al-qur’an bisa berganti karena perubahan zaman dan tempat, maka wahyu dan Firman Allah saat ini hanya berfungsi sebatas bacaan tanpa menjadi tuntunan lagi. Bahkan hukum Allah akan dimodifikasi di setiap zamannya, semau manusia.
Lalu muncul pertanyaan: Bukankah Hukum Islam itu ditegakkan di Era Jahiliyah sehingga hukumnya disesuaikan dengan nilai kepantasan yang dianut oleh era tersebut? sebut saja hukum potong tangan, kebolehan poligami, dan perbudakan, itu adalah hukum yang cocok diterapkan di era tersebut, tapi tidak untuk zaman sekarang, maka sah saja hukum-hukum itu dihapus di era saat ini.
Statemen bahwa Islam datang pada era Jahiliyah sepertinya perlu ditelaah ulang, mengingat masa diutusnya nabi bukanlah dinamakan masa jahiliyah, namun masa risalah. Syauqi Abdussalam dalam bukunya menuliskan bahwa masa jahiliyah adalah masa sepanjang 150 tahun sebelum lahirnya Rasulullah[4].
Selanjutnya, Jika syariat itu berdiri berdasarkan kepantasan, harus ditegaskan kembali kepantasan yang versi siapa? Jangan sampai kelak ada klaim bahwa shalat lima waktu itu pantas untuk orang-orang terdahulu dan tidak pantas untuk zaman ini karena kesibukan kerja kantoran yang menguras banyak tenaga dan menyita waktu. Jika kepantasan versi manusia itu menjadi tolak ukur bersyariat, maka benar saja, ayat-ayat hukum dan hadist-hadist yang berkonotasi hukum secara perlahan akan mengalami disfungsi.
Sebelum berbicara tentang eksistensi hukum potong tangan, poligami, dan perbudakan, selayaknya kita berbicara dahulu tentang maqashid syariah yang tak lain adalah ujuan-tujuan dari berdirinya syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannnya. Pasti ada tujuan di balik hukum potong tangan, poligami, dan perbudakan. Imam Asy-Syathibi mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
هذه الشريعة المعصومة ليست تكاليفها موضوعة حيثما اتفق لمجرد إدخال الناس تحت سلطة الدين، بل وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
Sesungguhnya pembebanan syariat yang terjaga ini bukan tercipta untuk memasukkan manusia dalam kekangan agama. Namun ia ditetapkan bertujuan justru untuk mewujudkan kemashlahatan manusia itu sendiri di dunia dan Akhirat[5].
Lalu apa maslahat di balik potong tangan, poligami, dan perbudakan?
Pada hukum potong tangan, demi menjaga tujuan syariat dalam hal menjaga harta setiap manusia, maka perlu dibuat efek jera terhadap pelaku tindakan kriminal pencurian dengan konsekuensi potongan tangan. Hal ini selain membuat jera, juga menimbulkan efek takut terhadap mereka yang berniat mengambil harta orang lain secara dzhalim. Bila dibandingkan dengan hukuman ta’zir seperti penjara, akan sangat memungkinkan pelakunya mengulang kembali tindakan kriminal serupa. Pada poin inilah maslahat penjagaan terhadap harta teraplikasikan dengan baik.
Selanjutnya pada hukum kebolehan poligami, sebenarnya sebelum Islam datang orang-orang terdahulu sudah melakukan hal serupa namun tanpa aturan dan batas seperti yang tertera dalam Islam. mereka bebas memilih menikahi wanita yang manapun, dengan jumlah berapapun sesukanya, mereka juga bisa menikahi dua wanita yang bersaudara. Bahkan bisa juga menikahi janda bapaknya, baik karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hal ini disebutkan di dalam Tafsir Alquran dalam surat An-Nisa: 22-23.
Orang-orang terdahulu juga gampangan menikahi wanita sebanyak mungkin, seperti fir’aun yang memiliki banyak istri dan di antaranya adalah Asiyah yang mengadopsi sayyiduna Musa Alaihissalam, bisa dibaca dalam tafsir surat Al-Qashas: 9.
Lalu ketika masa risalah, orang-orang yang mau masuk Islam dan sebelumnya memiliki istri lebih dari empat, diperintahkan untuk beristri maksimal empat dan menceraikan yang lainnnya. Di antaranya adalah Qaits bin Harits, dalam sebuah riwayat dikatakan:
عَنْ قَيسِ بْنِ اْلحَارِثِ قَالَ: اَسْلَمْتُ وَ عِنْدِى ثَمَانُ نِسْوَةٍ، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص فَذَكَرْتُ ذلِكَ لَهُ، فَقَالَ: اِخْتَرْ مِنْهُنَّ اَرْبَعًا.
Dari Qais bin Harits, ia berkata : Aku masuk Islam sedang aku memiliki delapan istri, lalu aku menghadap Nabi SAW, kemudian aku terangkan kepadanya hal itu, lalu beliau bersabda, "Pilihlah empat diantara mereka". [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum poligami yang diatur oleh Islam bukan sekedar karena pantas dan tidaknya, tapi juga adanya unsur maslahat terhadap harga diri wanita, dan demi menjaga nasab atau garis keturunan agar terjaga baik. Bukan syariat Islam yang menciptakan poligami, justru sebaliknya, syariat islamlah yang menekan, memperketat, dan membatasinya.
Bagaimana dengan perbudakan? Tak jauh berbeda, dulu bangsawan-bangsawan sebelum datangnya Islam membiasakan peraturan jika seseorang tak mampu membayar hutangnya maka akan diperbudak seumur hidupnya. Islam datang mempersempit pintu perbudakan dengan membuka lebar-lebar pintu kemerdekaan bagi setiap orang.
Tidak percaya?
Coba lihat kaffarah dari orang-orang yang melanggar sumpah, melanggar nadzar, melakukan ila’, melakukan dzihar, melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, membunuh seorang muslim secara tidak sengaja, dan lain-lain. di antara kaffarah atau dendanya adalah memerdekakan budak. Hikmahnya adalah agar secara bertahap perbudakan di atas dunia terhapuskan. Buktinya, saat ini perbudakan tak lagi terdengar. Jadi Islam telah menghapus perbudakan dengan rapih dan terstruktur. kurang keren gimana syariat agama ini?
Redaksi Ayat Hukum Apakah Hanya Berlaku Pada Objek di Era itu Saja?
Ayat disyariatkannya berjilbab oleh sebagian orang dipercaya berlaku hanya untuk istri nabi dan muslimah di era itu saja, karena lafadznya dalam al quran tertuju kepada dua objek tersebut.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Sejumlah orang juga bersandar kepada asbab nuzul ayat di atas di mana yang menjadi bahan obrolan adalah istri nabi dan muslimat di era tersebut, maka mereka percaya bahwa syariat berjilbab hanya berlaku bagi mereka dan tidak bagi yang lain.
Menanggapi hal ini, ulama ushul telah memformulasikan sebuah kaidah dimana asbab nuzul dan objek redaksi ayat dalam hukum tidak membatasi eksistensinya kepada muslim yang lain. kaidah tersebut berbunya:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Hukum itu karena keumuman lafaz, bukan dari kekhususan sebab
Dijelaskan dalam kitab Raudlatun Nadzir bahwa bila muncul lafadz perintah yang umum atas sebuah kejadian yang khusus maka keumuman hukumnya tetap berlaku dan terus eksis[6].
Maka setidaknya ada tiga elemen yang dihasilkan dari kaidah ini[7]:
Latar belakang peristiwa tidak menjadi landasan objek hukum
Ayat-ayat berkonotasi hukum berlaku untuk seluruh ummat di seluruh zaman
Lafazh haruslah diberlakukan secara umum, hingga ada dalil lain yang mengharuskannya dipahami secara khusus.
Kesimpulannya, adalah bahwa ayat-ayat yang berkonotasi hukum tidak akan pernah berstatus expired layaknya makanan dan minuman instan yang harus dibuang dan diganti baru. Memahami syariat Islampun jangan hanya melihat dari sisi potong tangan dan qishas saja sehingga melihat agama ini sebagai agama yang menyeramkan. Lihat juga esensi zakat, qurban, sodaqoh, jual beli yang fair, hingga keharusan berbuat baik pada semua orang tanpa melihat agamanya. Itu juga bagian dari islam yang indah, yang kadang tertutup hanya karena pemhaman sempit dan kurang ngaji.
Wallahu a’lam bisshowab.
[1] Imam Al-Qarrafi. Al Furuq. 1/176
[2] Ibnu Qayyim Al Jauziyah. I’lamul Muwaqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin. 1/49
[3] Muhammad Mushthafa Az-Zuhaili. Al Qawaid al-fiqhiyyah wa tathbiqaatuhaa fil madzahib al arba’ah. 1/353
[4] Lihat: Ahmad Syauqi Abdussalam. Tarikh-ul-adab al-araby al ashru al jahiliy. Darul Maarif. 38
[5] As-Syathibi. Al Muwafaqot (bab Al Muqaddimah). 5
[6] Ibnu Qudamah al Maqdisiy. Raudlatun-Nadzir wa Junnatu-l-manadzir. 2/36
[7] Dr. Nu’man Jughaim. Turuqul Kasyfi ‘an Maqashidi Syari’. Darul Nafais. Jordan. 102
Hukum Makan Belut
Bolehkah Orang Islam Memakan Belut?
Belut memang mirip dengan ular secara tampilannya,bagaimana Islam memandangnya?...
Seorang warga menangkap belut berukuran lebih dari satu meter memiliki berat tiga kilogram di pinggir Muara Kali Cisadane, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Belut banyak ditemukan di bumi Nusantara, tidak terkecuali di Indonesia. Kita bahkan menjumpai banyak orang berjualan belut di jalan-jalan sebagaimana mereka berjualan ikan.
Lalu apa sebenarnya hukum memakan belut dalam Islam?
Menurut para ulama, belut hukumnya boleh dimakan.
Ini karena belut termasuk bagian dari jenis ikan yang bernafas dengan ingsang, bukan bagian dari jenis hewan melata seperti ular.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut:
والحكم الخاص بحل الجزء المبان من السمك يشمل جميع أنواع السمك ومنه الجريت بكسر المعجمة وتشديد المهملة وهو سمك اسود مدور
Artinya: "Hukum kehalalan yang berlaku pada bagian potongan tubuh dari ikan, mencakup pada seluruh species jenis-jenis ikan yang ada, di antaranya adalah belut, yaitu ikan yang berwarna hitam dan berbentuk bulat."
Selain itu disebutkan di dalam kitab Al-Nihayah di Gharibil Atsar, bahwa suatu hari Sayyidina Ali menyuruh orang agar jangan membeli belut di pasar. Penting digarisbawahi, larangan Sayidina Ali ini bukan menunjukkan bahwa belut haram, namun beliau tidak suka dengan belut karena memang di tanah Arab belut tidak ada sehingga beliau tidak terbiasa memakannya.
Riwayat tersebut bersumber dari Ammar, dia mengatakan demikian:
في حديث علي رضي اللّه عنه أنه بعث إلى السوُّق فقال : لا تأكلوا الأنْكَلِيس هو بفتح الهمزة وكسرها : سمك شبيه بالحيَّات ردِئ الغذاء وهو الذي يسمى الْمَارْمَاهِي . وإنما كرِهه لهذا لا لأنه حرام
Artinya: "Dalam hadis Sayidina Ali, beliau mengutus seseorang ke pasar kemudian beliau berkata; “Janganlah memakan belut”. Belut ialah hewan yang mirip ular yang buruk makanannya, ia disebut juga dengan memarahinya. Sayyidina Ali melarang belut karena ini, (mirip ular dan buruk makanannya), bukan karena belut haram."
Kesimpulannya: memakan dan mengkonsumsi belut hukumnya boleh. Islam tidak mengharamkan umatnya untuk makan belut.
Wallahu A'lam.
Selasa, 25 Mei 2021
Khutbah Shalat Gerhana
KhutbahGerhanaBulan
*EMPAT HIKMAH BERHARGA DALAM PERISTIWA GERHANA*
Oleh: *KH Husni Thamrin*
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْــمَلِكِ الْحَقِّ الْــمُبِيْن، اَلَّذِي أَرْسَلَ آيَاتِهِ عِبْرَةً لِلْمُعْتَبِرِيْن، وَأَظْهَرَ شَيْئًا مِنْ قُدْرَتِهِ هِدَايَةً لِلْمُهْتَدِيْن. فَسُبْحَانَهُ مِنْ رَبٍّ عَظِيْم، مَالِكِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ بِغَيْرِ قَرِيْن، وَمُجْرِي السَّحَابِ وَالرِّيَاحِ بِغَيْرِ مُعِيْن.
وأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَه إِلَهُ اْلأَوَّلِيْن وَالْآخِرِين، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحمّداً عَبدُهُ ورَسُولُهُ الْــمَبْعُوثُ رَحْمَةً لِلْعَالَــــمِيْن، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّين.
فَقَدْ قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: "وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ."
Jama'ah Shalat Gerhana Rahimakumullah
Di kesempatan yang sangat menakjubkan ini, mari kita lantunkan syukur kita kepada Allah ‘azza wajalla yang telah menciptakan siang dan malam, yang telah menciptakan matahari dan bulan, yang telah menciptakan tumbuhan dan bebatuan, yang telah menciptakan darat dan lautan, yang telah menciptakan gunung-gunung dan jurang, yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini.
Dialah Allah yang Maha Esa. Dialah Allah yang Maha Perkasa. Dialah Allah ‘azza wajalla yang Maha Mencipta, Dialah Allah ‘azza wajalla Yang Maha Menghidupkan. Dialah Allah ‘azza wajalla yang Maha mematikan. Dialah Allah ‘azza wajalla yang Maha Menghidupkan untuk kedua kalinya.
Dialah Allah ‘azza wajalla yang telah mengatur seluruh pergerakan alam semesta ini dengan ketelitian yang sempurna. Tak ada cacat sedikit pun sebab Dialah Allah ‘azza wajalla yang Maha Sempurna. Sehingga seluruh benda-benda di jagat raya ini berada pada posisinya masing-masing dengan sangat serasi, selaras dan indah.
Jama'ah Shalat Gerhana Rahimakumullah
Pada kesempatan yang sangat langka ini, di mana Allah ‘azza wajalla menakdirkan terjadinya gerhana bulan dengan durasi yang cukup lama, mari sejenak kita merenung mentadaburi ayat-ayat Allah ‘azza wajalla yang sangat mulia. Tiada satu makhluk pun di alam semesta ini yang mampu menandingi ayat-ayat Allah ‘azza wajalla.
Gerhana bulan (disebut khusuf) terjadi saat sebagian atau keseluruhan penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Itu terjadi bila Bumi berada di antara Matahari dan Bulan pada satu garis lurus yang sama, sehingga sinar Matahari tidak dapat mencapai Bulan karena terhalangi oleh Bumi
Gerhana matahari (disebut kususf) terjadi ketika posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari sehingga terlihat menutup sebagian atau seluruh cahaya matahari di langit bumi
Jama'ah Shalat Gerhana Rahimakumullah
Setidaknya ada empat hikmat yang dapat kita petik saat terjadinya peristiwa gerhana.
Pertama. Untuk memperkuat keimanan kepada Allah SWT.
Sebagian besar kita memandang, begitu kata “ayat-ayat Allah” disebutkan maka yang tergambar hanya teks Al-Qur’an. Padahal, Allah menciptakan ayat bukan semata huruf-huruf atau lafal-lafal suci. Ayat secara bahasa berarti tanda. Apa itu tanda? Tanda adalah sarana yang dianggap representasi dari kehadiran sesuatu. Allah menciptakan tanda akan keberadaan Diri-Nya bukan melalui Al-Qur’an saja. Alam semesta dan diri kita pun adalah bagian dari tanda alias ayat-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
َ سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Kami (Allah) akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS Fushshilat [41]:53 )
Dari sinilah kemudian muncul istilah ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat qauliyah berupa ayat Al-Qur’an yang bisa kita baca dan ucapkan, sementara ayat kauniyah berupa realitas ciptaan di luar itu, seperti penciptaan manusia dan hewan, pergantian siang dan malam, serta fenomena alam lainnya. Termasuk segenap hal yang ada dalam diri manusia: tentang metabolisme tubuh, emosi, pikiran, perasaan, dan lain-lain.
Ayat atau tanda tersebut bisa menjadi pelajaran (ibrah) bila dibaca dengan merenungkan (tafakur) dan menghayatinya (tadabur) secara mendalam.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya, Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS Ali Imran [3]:190-191).
Baik Gerhana matahari atau gerhana bulan yang kita alami malam ini adalah bagian dari ayat kauniyah. Penanda tentang keagungan dan kekuasaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Subhânallâh. Peristiwa gerhana bulan total ini merupakan momentum tepat bagi kita semua untuk merenungkan dahsyatnya kekuasaan Penguasa Alam Raya ini. Ini juga momentum seorang hamba untuk meningkatkan kualitas iman akan keberadaan Allah Pencipta alam semesta.
Jama'ah Shalat gerhana Rahimakumullah
Kedua. Peristiwa gerhana adalah kesempatan untuk beramal ibadah.
Saat terjadi gerhana sebagian orang ada yang masih terpengaruh keyakinan khurafat jahiliyah sebagian lagi ada yang hanya sebatas menikmati keindahan alam saja.
Kaum muslimin menjadikannya sebagai momen beramal saleh sesuai dengan sunah rasul. Yaitu memperbanyak doa dan takbir, melaksanakan shalat sunah dan mengeluarkan sadaqah.
Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أَحَدٍ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبَّرُوْا وَصَلُّوْا وَتَصَدَّقُوْا
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bagian dari tandatanda (keagungan) Allah. Keduanya tidakmemunculkan gerhana lantaran peristiwa kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana itu, lekaslah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dan dirikanlah shalat, dan bersedakahlah.” (HR Bukhari)
Jama'ah Shalat gerhana Rahimakumullah
Ketiga. Peristiwa Gernahan sebagai momen muhasabah (intropeksi diri)
Bila Matahari, bulan dan bumi yang begitu besar dan dahsiat semua tunduk kepada Allah SWT. Apakah diri kita yang lemah ini, mahluk kecil bagai sebutir pasir di pantai lautan dibanding dengan besar dan luasnya alam semesta ini mau bertakbir, mengagungkan Allah sang Maha pencipta?, ataukah kita masih mengagungkan diri kita, harta kita, jabatan kita, nafsu ego kita ??. Masihkah kita tak mau ruku dan sujud kepada Allah Swt Sang Maha pencipta seluruh alam semesta?
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah terjadinya malam dan siang, terbitnya matahari dan bulan. Maka, janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, tetapi sujudlah kepada Allah, Dzat yang Menciptakan semuanya itu, jika kalian benar-benar hanya beribadah kepada-Nya.” [Q.s. Fushilat: 37]
Jama'ah Shalat gerhana Rahimakumullah
Keempat. Terjadinya Gerhana matahari mengingatkan kita akan dekatnya hari kiamat
Gerhana matahari dan bulan bukan hanya tanda-tanda kekuasaan Allah biasa, tetapi juga merupakan tanda-tanda Hari Kiamat. Allah SWT berfirman:
﴿يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ، وَخَسَفَ الْقَمَرُ، وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ، يَقُولُ الْإِنسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ، كَلَّا لَا وَزَرَ، إِلَىٰ رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ﴾ [سورة القيامة: 6-12]
“Ia berkata, “Bilakah hari kiamat itu?", maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya [mengalami gerhana], ketika matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, “Ke manakah tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.” [Q.s. al-Qiyamah: 6-12]
Itulah mengapa, saat terjadinya gerhana, sikap yang ditunjukkan Nabi saw. adalah takut, gemetar, dan bergegas, sambil mengangkat jubahnya, menuju ke rumah Allah. Seolah-olah, langit dan bumi akan digulung, dan kiamat pun tiba. Dalam riwayat Bukhari, dari Abu Musa al-Asy’ari, dinyatakan:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
“Jika kalian melihat hal itu, maka bersegeralah dengan gemetar [penuh rasa takut] untuk mengingat-Nya, berdoa kepada-Nya dan meminta ampun kepada-Nya.” [Hr. Bukhari)
Nabi saw. juga bersabda:
وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
“Demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”
Nabi saw. telah ditunjukkan oleh Allah SWT betapa dahsyatnya huru-hara Hari Kiamat, karena itu baginda saw. pun banyak menangis. Meski Nabi saw. telah diampuni segala kesalahannya, baik yang telah, sedang maupun yang akan datang, tetapi baginda saw. tetap memohon ampunan tak kurang dari 100 kali dalam sehari semalam. Air mata baginda saw. pun tumpah, hingga membasahi lantai, untuk meminta ampunan dari Rabb-nya.
Jama'ah Shalat gerhana Rahimakumullah
melalui mimbar khutbah shalat gerhana ini, marilah kita bertobat kepada Allah ‘azza wajalla dengan sebenar-benarnya tobat. Marilah kita memohon ampun kepada Allah ‘azza wajalla atas segala salah dan dosa kita, dosa yang tampak dan yang tersembunyi, dosa yang disengaja atau pun yang tak disengaja. Perbanyaklah menangis, kurangilah tertawa.
Mari kita berdoa kepada Allah SWT:
بِسْـمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ، اَلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ، وَيُـدَافِعُ نِقَمَهُ وَيُكَافِئ مَزِيْدَهُ يَارَبَّـنَا لَكَ الحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُـلْطَانِك.
اللَّهُمَّ يَارَبِّ، زَلَّتْ بِنَا الأَقْدَامُ، وَغَرِقْنَا فِي لُجَجِ الْمَعَاصِي وَالآثامِ، وَإِنّا مُقِرُّونَ بِالإِسَاءَةِ عَلَى أَنْفُسِنَا، نَرْجُو عَظِيمَ عَفْوِكَ الّذِي عَفَوْتَ بِهِ عَنْ الْخَاطِئِينَ، وَها نَحْنُ بِبابِكَ وَاقِفُونَ، وَمِنْ عَذَابِكَ خَائِفُونَ، وَلِثَوابِكَ مُؤَمِّلُونَ.. قَدْ تَعَرَّضْناَ لِعَفْوِكَ وَثَوابِكَ، فَارْحَمْ خُضُوعَنا، وَاجْبُرْ قُلُوبَنا، وَاغْفِرْ ذُنُوبَنا، وَتُبْ عَلَيْنا.
اللَّهُمَّ اخْتِمْ بِالصّالِحاتِ أَعْمالَنا، وَعافِنا وَاعْفُ عَنّا وَسامِحْنا، وَتَجاوَزْ عَنْ سَيّئاتِنا، وَأَبْدِلْ سَيِّئاتِنا حَسَناتٍ، فَأَنْتَ وَلِّي ذَلِكَ وَالقَّادِرُ عَلَيْهِ، وَأَنْتَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ. اللَّهُمَّ قَدْ دَعَوْناكَ طالِبِينَ، وَرَجَوْناكَ رَاغِبِينَ فَلاَ تَرُدَّنا خَائِبِينَ وَلاَ مَحْرُومِينَ يا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْياءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا صَالِحَ الأَعْمَالِ وَاجْعَلهَا خَالِصةً لِوَجْهِكَ الكَرِيمِ..
وَصَلِّ اللَّهُمَّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيِنِ، وَالحَمْدُ لله رَبِّ العَالَمِيِنَ.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
*Khadim* *PP Raudhotul Fata*
Menikahi Ibu Kandung Menantu
Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu, Bolehkah?
Menurut hukum Islam, selama calon istri itu bukan termasuk wanita yang haram dinikahi, maka boleh dan sah untuk dinikahi. Wanita yang haram dinikahi biasanya disebut mahram. Meski wanita yang haram dinikahi tidak hanya karena mahram.
Dalam kasus seorang ayah mertua menikahi ibu kandung dari menantu, apakah boleh?
Jawabnya adalah sebuah pertanyaan, dari sudut pandang calon suami; apakah calon istrinya termasuk wanita yang haram dinikahi?
Jika tidak termasuk wanita yang haram dinikahi, maka pernikahannya sah menurut hukum Islam. Meski hukum sah dan tidak, tak selalu berbanding lurus dengan pantas atau tidak pantas. Karena kepantasan itu relatif.
Kita akan bahas lebih detail dahulu sebelum menjawab boleh atau tidak. Ada 3 jalur sebab seseorang menjadi mahram; karena nasab, persusuan, dan pernikahan.
Bahasa yang sering digunakan untuk larangan karena sebab pernikahan adalah mushaharah (مُصَاهَرَة). Mushaharah sendiri berasal dari kata as-shihru (الصهر) yang berarti kerabat karena pernikahan (Majma' al-Lughat al-Arabiyyah, al-Mu'jam al-Wasith, hal. 527).
Dalam Al-Qur'an disebutkan:
... وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ ...
… ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu... (QS. An-Nisa : 23).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاء سَبِيلاً
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa' : 22)
Maka, mahram karena hubungan pernikahan itu adalah:
1. Ibu dari istri (mertua wanita).
Kemahraman ini meski istrinya telah meninggal dunia atau telah putus ikatan perkawinannya, misalnya karena cerai dan seterusnya, tetapi mantan ibu mertua adalah wanita yang menjadi mahram selama-lamanya.
2. Anak wanita dari istri (anak tiri).
Bila seorang laki-laki menikahi seorang janda beranak perawan, maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya itu. Keharamannya bersifat selama-lamanya, meski pun ibunya telah wafat atau bercerai.
Kecuali bila pernikahan dengan janda itu belum sampai terjadi hubungan jimak suami istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari janda itu masih boleh untuk dinikahi. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
(dan haram menikahi) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (QS. An-Nisa' : 23)
3. Istri dari anak laki-laki (menantu).
Keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meski pun wanita itu barangkali sudah tidak lagi menjadi menantu.
4. Istri dari ayah (ibu tiri).
Para wanita yang telah dinikahi oleh ayah, maka haram bagi puteranya untuk menikahi janda-janda dari ayahnya sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai ibu, meski hanya ibu tiri.
Selain empat pihak ini, maka statusnya bukan mahram. Jika bukan mahram, maka hukumnya seperti orang lain pada umumnya.
Maka, bolehkah ayah mertua menikahi ibu kandung dari menantu? Jawabnya boleh. Karena bukan termasuk wanita yang haram dinikahi karena hubungan pernikahan. Pantas atau tidak? Sangat relatif.
Jumat, 21 Mei 2021
Adzan Jum'at Satu Kali
Adzan Dua Kali Untuk Shalat Jumat Tidak Sesuai Sunnah Nabi?
Pertanyaan :
Bagaimana hukum adzan dua kali ketika shalat Jumat apakah sudah sesuai dengan sunnah Nabi SAW?...
Bukankah kita harus ikuti sunnah Nabi saja? Bagaimana bisa azan 2 kali ketika salat jumat dikatakan demikian hukumnya menurut ushul fiqh?...
Bagaimana masalah dua adzan ini di Saudi Arabia sebagai pusat Islam?
Jawaban :
Di tengah umat Islam kita melihat ada perbedaan dalam jumlah adzan Jumat. Sebagian masjid mengumandangkan adzan Jumat dua kali, dan sebagian lagi mengumandangkan adzan Jumat hanya sekali.
Perbedaan pendapat itu berangkat dari cara memahami nash hadits shahih berikut ini dengan cara yang berbeda.
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ
Dari As-Saib bin Yazid ra berkata, "Dahulu panggilan adzan hari Jumat awalnya pada saat imam duduk di atas mimbar, di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhuma. Ketika masuk masa Utsman dan manusia bertambah banyak, ditambahkan adzan yang ketiga di atas Zaura'.Tidak ada di zaman Nabi SAW muazzdin selain satu orang. (HR. Bukhari)
Zaura' adalah sebuah tempat yang terletak di pasar kota Madinah saat itu. Al-Qurthubi mengatakan bahwa Utsman ra. memerinahkan untuk dikumandangkan adzan di suatu rumah yang disebut Zaura'.
1. Adzan Satu Kali
Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka yang berpendapat bahwa adzan Jumat cukup satu kali.
a. Sunnah Rasulullah SAW
Mereka yang berpendapat bahwa adzan Jumat cukup satu kali saja berargumen bahwa kita harus mengikuti Rasulullah SAW dan bukan mengikuti shahabatnya.
Sebab yang wajib untuk diikuti adalah Rasulullah SAW, dimana beliau SAW adalah Nabi yang ma'shum dan dijaga oleh Allah SWT. Sedangkan selain Rasulullah SAW adalah manusia biasa, yang tidak luput dari salah dan alpa.
Maka dari hadits shahih di atas, pendapat ini memandang bahwa yang benar adalah adzan satu kali saja, sebagaimana yang dilakukan di masa Rasulullah SAW.
b. Tujuan Adzan Tambahan
Argumentasi yang kedua dari kalangan ini adalah tujuan dikumandangkannya adzan dua kali di masa khalifah Utsman adalah untuk memanggil orang-orang yang masih sibuk di tempat kerja. Dan adzan itu sendiri tidak dilakukan di dalam masjid, melainkan di pasar atau di zaura', yaitu tempat yang tinggi.
Maka untuk saat ini kita sudah tidak lagi membutuhkan adanya dua kali adzan. Sebab tujuannya sama sekali tidak ada relevan. Apalagi jarak antara kedua adzan itu hanya sebentar sekali, dan keduanya dikumandangkan di dalam masjid.
Pendapat ini salah satunya disuarakan oleh Nashiruddin Al-Albani :
العلة التي من أجلها زاد عثمان الأذان الأول هي: كثرة الناس وتباعد منازلهم عن المسجد النبوي، وقد زالت هذه العلة الآن نظراً لكثرة الجوامع وانتشار مكبرات الصوت
Alasan penambahan adzan oleh Utsman karena banyak jumlah orang dan saling berjauhannya rumah mereka dari masjid. Namun di masa sekarang ini alasan itu sudah tidak relevan, sebab jumlah masjid sangat banyak dan sudah ada pengeras suara.
2. Adzan Dua Kali
Pendapat yang mengatakan bahwa yang lebih utama dikerjakan adalah adzan dua kali melandaskannya dengan beberapa argumentasi :
a. Perintah Nabi Untuk Mengikuti Shahabat
Adzan dua kali yang dilakukan di masa Utsman ibnu Affan radhiyallahuanhu bukan sesuatu yang salah, keliru atau bid'ah, sebab Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para shahabat Nabi SAW. Hal itu sesuai dengan sabda beliau SAW :
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بسنتي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
Siapa di antara kalian yang hidup sesudah masaku, akan menyaksikan ikhtilaf yang banyak. Maka kalian harus berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan yang lurus. (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa mengikuti para khalifah rasyidah itu juga termasuk perintah Rasulullah SAW. Dan Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu disepakati oleh seluruh umat Islam sedunia sebagai salah satu dari empat khalifah yang mendapat petunjuk dan lurus.
Kalau tindakan itu dikatakan bid'ah, berarti para shahabat Nabi yang mulia itu pelaku bid'ah. Kalau mereka pelaku bid'ah, maka haram hukumnya bagi kita untuk meriwayatkan semua hadits. Padahal tidak ada satu pun hadits Nabi yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat.
Maka seluruh ajaran Islam ini menjadi batal dengan sendirinya kalau demikian. Sebab semua dalil, baik ayat Al-Quran maupun semua hadits Nabi SAW, ternyata tidak ada yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat yang dituduh tela melakukan tindakan bid'ah itu.
Maka mengatakan bahwa adzan 2 kali sebagai bid'ah sama saja dengan mengatakan bahwa para shahabat Nabi SAW seluruhnya sebagai pelaku bid'ah. Dan kalau semuanya pelaku bid'ah, maka agama Islam ini sudah selesai sampai di sini.
Yang benar, praktek adzan Jumat 2 kali ini bagian dari sunnah yang utuh dalam syariah Islam, bukan bid'ah yang melahirkan dosa dan adzab. Karena telah dilakukan secara sadar oleh semua shahabat Nabi SAW radhiyallahuanhum.
b. Ijma' Para Shahabat
Selain itu, seluruh shahabat yang masih hidup di zaman Amirul Mukminin Utsman bin Al-Affan ridhwanullahi'alaihim juga menamini adzan dua kali pada hari Jumat. Tidak ada satu pun dari mereka yang menentang adzan dua kali.
Padahal di masa Ustman, para shahabat yang ulama dan agung masih hidup dan ikut melakukan shalat Jumat dengan dua adzan. Ini berarti shalat Jumat dengan dua adzan bukan semata-mata dikerjakan oleh Ustman saja, melainkan dilakukan oleh hampir semua shahabat Nabi SAW yang tinggal di Madinah saat itu.
c. Praktek Seluruh Dunia Islam
Dan di seluruh dunia Islam, baik di pusat pemerintahan atau pun di wilayah-wilayah yang jauh, adzan shalat Jumat selalu dikumandangkan dua kali. Sebab semua masjid di dunia ini mengacu kepada apa yang dipraktekkan di masjid An-Nabawi Madinah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh Asy-Syaukani di dala kitabnya Nailul Authar mengatakan bahwa praktek adzan 2 kali ini dilakukan bukan hanya oleh Khalifah Utsman ra saat itu saja, melainkan oleh semua umat Islam dimana pun. Bukan hanya di Madinah, melainkan di seluruh penjuru dunia Islam, semua masjid melakukan 2 kali adzan shalat Jumat.
والذي يظهر أن الناس أخذوا بفعل عثمان في جميع البلاد إذ ذاك، لكونه خليفة مطاع الأمر، وما قيل من أنه بدعة يراد أنه لم يكن زمن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ، وليس كلُّ ما لم يكن في زمنه مذمومًا
Kenyataannya seluruh muslim telah mempraktekkan perbuatan Ustman (dua adzan Jumat) di seluruh dunia saat itu. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bid'ah, atau menuduh bahwa hal itu tidak ada di zaman Nabi SAW. Dan tidak semua yang belum ada di zaman Nabi itu tercela.[1]
Praktek Dua Adzan di Saudi Arabia
Anda bertanya tentang bagaimana praktek dua adzan ini di Saudi Arabia. Sebenarnya tidak ada kaitannya dengan masalah ini, sebab Saudi Arabia tidak secara otomatis bisa dijadikan rujukan primer dalam masalah hukum syariah.
Namun kalau kita teliti lebih jauh, setidaknya untuk rujukan sekunder, di Saudi Arabia sendiri kita menemukan para ulama berfatwa untuk melaksanakan dua adzan dalam shalat Jumat, di antaranya fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan Syeikh Sholeh Fauzan.
- Fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz
وذلك أخذا بهذه السنة التي فعلها عثمان رضي الله عنه لاجتهاد وقع له ونصيحة للمسلمين ولا حرج في ذلك
(Adzan dua kali) itu mengambil sunnah yang dilakukan oleh Utsman radhiyallahu anhu yang beliau ijtihadkan dan nashihat muslimin. Tidak ada masalah dengan (dua adzan) itu.
فلهذا أخذ بها أهل السنة والجماعة ولم يروا بهذا بأساً لكونها من سنة الخلفاء الراشدين عثمان وعلي ومن حضر من الصحابة ذلك الوقت رضي الله عنهم جميعاً
Oleh karena itulah ahli sunnah wal jamaah memakainya (dua adzan) dan memandang tidak mengapa. Karena dua adzan itu termasuk sunnah khulafa' rasyidin, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan semua shahabat yang ada saat itu ridwanullahi ajma'in.[1]
- Fatwa Syeikh Shalih Fauzan
الأذان الأول سنة الخلفاء الراشدين، فقد أمر به عثمان رضي الله عنه في خلافته لما كثر الناس وتباعدت أماكنهم، فصاروا بحاجة إلى من ينبههم لقرب صلاة الجمعة، فصار سنة إلى يومنا هذا، والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين. وعثمان من الخلفاء الراشدين وقد فعل هذا وأقره الموجودون في خلافته من المهاجرين والأنصار، فصار سنة ثابته.
Adzan pertama adalah sunnah khulafaurrasyidin yang telah diperintahkan oleh Utsman ra di masa kepemimpinannya. Hal itu dilakukan ketika penduduk semakin banyak dan rumah-rumah semakin berjauhan, maka dibutuhkan orang yang mengingatkan bahwa waktu shalat Jumat hampir tiba, hingga menjadi sunnah di masa kita sekarang. Dan Nabi SAW bersabda,"Peganglah sunnahku dan sunnah khualfa' rasyidin. Dan Ustman termasuk khulafa' rasyidin, Beliau telah melakukannya dan disetujui oleh semua shahabat saat itu, dari muhajirin dan anshar. Maka jadilah sunnah yang tetap.
والذي نراه أن الأمر واسع فمن أذن أذانا واحداً فهو بذلك متأسٍ برسول الله صلى الله عليه وسلم ومقتدٍ بأبي بكر وعمر ، ومن أذن أذانين فهو بذلك مقتد بالخليفة الراشد عثمان بن عفان ومن وافقه من المهاجرين والأنصار
Kami memandang masalah ini luas. Mereka yang adzan satu kali tetap berpegang pada Nabi, Abu Bakar dan Umar. Dan yang adzan dua kali, juga mengikuti Utsman bin Affan dan semua shahabat muhajiriin dan anshar.
Dalam kenyataannya, baik di masjid Al-Haram Mekkah maupun di masjid An-Nabawi Madinah, praktek ini tetap bisa kita saksikan sampai sekarang ini. Justru yang adzannya hanya satu malah kita temukannya bukan di Saudi Arabia, melainkan banyak dilakukan di masjid-masjid di Jakarta sini.
Tetapi keduanya sama-sama punya rujukan dari sumber yang shahih. Tinggal satu satu saja masalah, apakah kita mau terus-menerus perang cuma gara-gara meributkan satu adzan dan dua adzan Jumat ini? Padahal masalah ini tetap menjadi khilafiyah di tengah umat. Tidak ada yang lebih mulia atau jadi terhina karena memilih salah satunya.
Demikian paparan sekelumit perbedaan pendapat ulama tentang hukum adzan Jumat, sekali saja ataukah dua kali. Semoga bermanfaat dan bisa dijadikan bahan pelajaran serta penambahan ilmu.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[1] Asy-Syaukani, Nailul Authar, jilid 3 hal. 278-279
[2] Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Nurun Al Ad-Darbi, 2/1038