Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 02 Mei 2021

Hukum memberi zakat pada Ustadz dan Kiayi

Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia terutama di desa-desa menjelang Idul Fitri seperti saat ini masyarakat berbondong-bondong memberikan zakat fitrah, termasuk kepada kiai, tokoh agama atau ustadz.

Lantas bagaimana fikih Islam memandang hal ini ? Bolehkah memberikan zakat fitrah kepada Kiai, tokoh agama atau ustadz ?

Menjawab hal ini Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa kiai atau ustadz termasuk dalam ketegori Sabilillah atau mereka yang berjuang di jalan Allah SWT :

وَفِي سَبِيْلِ اللّٰهِ وَهُمْ فِي رَأْيِ الْجُمْهُوْرِ الْغُزَّاةُ المُجَاهِدُوْنَ الَّذِيْنَ لَا حَقَّ لهُم فِي دِيْوَانِ الْجُنْدِ

“Dan golongan Sabilillah. Menurut mayoritas ulama mereka adalah pasukan perang jihad yang tidak memiliki bagian hak dalam buku catatan tentara.” (Tafsir al-Munir, X/273)

Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa Kiai atau ustadz berhak menerima zakat karena telah berjihad dengan mendakwahkan Islam kepada masyarakat, dengan syarat mereka tidak mendapatkan gaji dari pemerintah.

Sebaliknya apabila Kiai atau ustadz tersebut mendapat gaji dari pemerintah, misalnya karena seorang PNS maka ia bukan termasuk Sabilillah dan tidak berhak menerima zakat.

Bagaimana jika kiai atau ustadz tersebut adalah orang yang mampu ?
Memang banyak ulama memberikan syarat tokoh agama atau kiai boleh menerima zakat hanya jika mereka termasuk golongan orang miskin atau tidak mampu.

Namun Imam al-Kharsyi dalam Syarh Mukhtashar Khalil berpendapat bahwa tetap diperbolehkan memberikan zakat kepada Kiai atau ustad walaupun mereka terbilang mampu.

Hal ini dikarenakan kontribusi mereka yang begitu bagi masyarakat terutama kaum muslimin, berikut cuplikan penjelasan Imam al-Kharsyi :

يَجُوْزُ إِعْطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيْهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ الدِّيْنِ

“Boleh memberikan zakat kepada ahli qiraat, orang alim, pengajar, dan orang yang bermanfaat bagi kaum muslimin meskipun mereka terbilang mampu. Hal ini dikarenakan manfaat mereka yang bersifat umum serta dapat melestarikan agama.” (Syarh Mukhtashar Khalil, II/216).

Keterangan ini juga dikuatkan oleh Imam Ad-Darimi ketika membahas zakat kepada para penuntut ilmu agama atau santri, bahwa mereka boleh menerima zakat disebabkan ilmu tersebut nantinya dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.

Keterangan imam Ad-Darimi ini ditermukan dalam Al-Majmu’ Syarah Muhazzab karya Imam An-Nawawi, dengan redaksi sebagai berikut :

وَالثَّالِثُ إِنْ كَانَ نَجِيْباً يُرْجَى تَفَقُّهُهُ وَنَفْعُ المُسْلِمِيْنَ بِهِ اِسْتَحَقَّ

“Bagian ketiga : andaikan dia (penuntut ilmu) bisa diharapkan ke-faqihan-nya dan bisa memberi manfaat kepada orang-orang islam dengan ilmunya, maka dia berhak menerima zakat“

Apa jenis Zakat kepada kiai atau ustadz ?
Madzhab Maliki berpendapat hukum di atas hanya untuk zakat mal (harta) tidak zakat fitrah, karena zakat fitrah yang diperuntukkan bagi fakir dan miskin. karenanya kiai atau ustadz yang mampu tidak boleh menerima zakat.

Namun hal ini dibantah oleh Prof. Dr. Wahbah Az-zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat tidak dibedakan antara zakat mal (harta) dan zakat fitrah.

Wallahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar