Ayat-ayat Hukum Terancam Expired?
Kaidah Ushuliyyah (Islamic Legal Maxim) yang berbunyi :
تغير الأحكام بتغير الزمان والمكان
Hukum berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
Seringkali difahami oleh sebagian orang bahwa hukum Allah bisa berubah seiring dengan kebutuhan dan maslahat setiap masa dan lingkungan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat hukum dalam Qur'an sudah expired untuk diaplikasikan pada zaman sekarang.
Keberadaan kaidah ini seolah menjadi legitimasi terhadap segala jenis kebiasaan dan hukum yang berlaku di masyarakat untuk bisa lebih aplikatif daripada apa-apa yang telah ditetapkan secara eksplisit baik dalam Al-Qur’an, hadist, dan Ijma’.
Lantas bagaimana pendapat para ulama terkait Kaidah tersebut?
Imam Al-Qarrafi dalam menanggapi hal ini telah menjelaskan dalam kitabnya Al-furuq:
أَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُتَرَتِّبَةَ عَلَى الْعَوَائِدِ تَدُورُ مَعَهَا كَيْفَمَا دَارَتْ وَتَبْطُلُ مَعَهَا إذَا بَطَلَتْ كَالنُّقُودِ فِي الْمُعَامَلَاتِ فَإِذَا تَغَيَّرَتْ الْعَادَةُ فِي النَّقْدِ وَالسِّكَّةِ إلَى سِكَّةٍ أُخْرَى حُمِلَ الثَّمَنُ فِي الْبَيْعِ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ عَلَى السِّكَّةِ الَّتِي تَجَدَّدَتْ الْعَادَةُ بِهَا دُونَ مَا قَبْلَهَا
Sesungguhnya Hukum yang tersusun atas kebiasaan maka akan eksis sebagaimana kebiasaan tersebut, dan akan batal sebagaimana kebiasaan itu pula, seperti uang tunai dalam muamalat. Maka apabila adat dalam pembayaran telah berubah kepada bentuk mata uang yang lain, maka metode dan pembayarannya pun turut berubah kepada yang telah diperbaharui[1].
Tak kalah pentingnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam karyanya yang fenomenal, I’lamul Muwaqi’in, turut berpendapat dalam hal ini, beliau mengatakan:
وقد اتفقت كلمة فقهاء المذاهب على أن الأحكام التي تتبدّل بتبدّل الزمان وأخلاق الناس هي الأحكام الاجتهادية من قياسية ومصلحية، أي: التي قررها الاجتهاد بناء على القياس أو على دواعي المصلحة، وهي المقصودة بالقاعدة الآنفة الذكر: "لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان". أمّا الأحكام الأساسية التي جاءت الشريعة لتأسيسها وتوطيدها بنصوصها الأصلية الآمرة الناهية كحرمة المحرمات المطلقة، فهذه لا تتبدَّل بتبدُّل الأزمان بل هي الأصول التي جاءت بها الشريعة لإصلاح الأزمان والأجيال
Dan pendapat seluruh ulama madzhab telah sepakat bahwa hukum syariat yang bisa berubah dengan berubahnya zaman dan perilaku manusia, adalah hukum-hukum yang bersifat ijtihadi yang berlandaskan analogi dan maslahat, atau: yang ditetapkan karena ijtihad yang berlandaskan qiyas dan maslahat, maka inilah maksud daripada kaidah “tak diingkari perubahan hukum dengan perubahan zaman”. Sedangkan hukum asasi yang dengannya satang syariat sebagai pondasinya melalui nushus (quran dan haidst) yang asli menunjukkan perintah dan larangan seperti keharaman mendekati hal-hal yang diharamkan secara mutlak, maka itu semua tidak boleh berganti hanya dengan perubahan zaman akan tetapi dia tetap berdiri sebagai pondasi yang datang syariat dengannya untuk mengevaluasi zaman dan generasi[2].
Begitupula Dr. Muhammad Mushthafa Az-Zuhaily dalam kitabnya al qawaid al fiqhiyyah menjelaskan tentang kaidah tersebut:
قد يكون بعض الأحكام الشرعية يبنى على عرف الناس وعاداتهم، فإذا اختلفت العادة عن زمان قبله، تتغير كيفية العمل بمقتضى الحكم، وأما ما أصله على غير ذلك فلا تتغير
Kadang-kadang sejumlah hukum syariat berlandaskan kepada kebiasaan manusia dan adat istiadatnya. Maka apabila telah berubah adat tersebut dari adat pada zaman sebelumnya, berbubah pulalah teknis dan hukumnya, sedangkan hukum-hukum syariat yang asalnya bukan berdasarkan adat dan kebiasaan manusia tidak berubah[3].
Dari pendapat ulama-ulama salaf dan ulama kontemporer ini dapat kita simpulkan dan wajib kita sepakati bahwa maksud dari kaidah tersebut hanya berlaku pada hukum syariat yang berdiri berlandaskan kepada adat dan kebiasaan manusia, sementara hukum-hukum syariat dengan redaksi yang eksplisit terhadap suatu perkara baik bentuknya perintah ataupun larangan, maka hal itu tidak bisa berubah dengan hanya karena berubahnya zaman, tempat, dan kebiasaan manusia.
Logikanya saja, jika lafadz yang berkonotasi hukum mutlaq dalam al-qur’an bisa berganti karena perubahan zaman dan tempat, maka wahyu dan Firman Allah saat ini hanya berfungsi sebatas bacaan tanpa menjadi tuntunan lagi. Bahkan hukum Allah akan dimodifikasi di setiap zamannya, semau manusia.
Lalu muncul pertanyaan: Bukankah Hukum Islam itu ditegakkan di Era Jahiliyah sehingga hukumnya disesuaikan dengan nilai kepantasan yang dianut oleh era tersebut? sebut saja hukum potong tangan, kebolehan poligami, dan perbudakan, itu adalah hukum yang cocok diterapkan di era tersebut, tapi tidak untuk zaman sekarang, maka sah saja hukum-hukum itu dihapus di era saat ini.
Statemen bahwa Islam datang pada era Jahiliyah sepertinya perlu ditelaah ulang, mengingat masa diutusnya nabi bukanlah dinamakan masa jahiliyah, namun masa risalah. Syauqi Abdussalam dalam bukunya menuliskan bahwa masa jahiliyah adalah masa sepanjang 150 tahun sebelum lahirnya Rasulullah[4].
Selanjutnya, Jika syariat itu berdiri berdasarkan kepantasan, harus ditegaskan kembali kepantasan yang versi siapa? Jangan sampai kelak ada klaim bahwa shalat lima waktu itu pantas untuk orang-orang terdahulu dan tidak pantas untuk zaman ini karena kesibukan kerja kantoran yang menguras banyak tenaga dan menyita waktu. Jika kepantasan versi manusia itu menjadi tolak ukur bersyariat, maka benar saja, ayat-ayat hukum dan hadist-hadist yang berkonotasi hukum secara perlahan akan mengalami disfungsi.
Sebelum berbicara tentang eksistensi hukum potong tangan, poligami, dan perbudakan, selayaknya kita berbicara dahulu tentang maqashid syariah yang tak lain adalah ujuan-tujuan dari berdirinya syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannnya. Pasti ada tujuan di balik hukum potong tangan, poligami, dan perbudakan. Imam Asy-Syathibi mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
هذه الشريعة المعصومة ليست تكاليفها موضوعة حيثما اتفق لمجرد إدخال الناس تحت سلطة الدين، بل وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
Sesungguhnya pembebanan syariat yang terjaga ini bukan tercipta untuk memasukkan manusia dalam kekangan agama. Namun ia ditetapkan bertujuan justru untuk mewujudkan kemashlahatan manusia itu sendiri di dunia dan Akhirat[5].
Lalu apa maslahat di balik potong tangan, poligami, dan perbudakan?
Pada hukum potong tangan, demi menjaga tujuan syariat dalam hal menjaga harta setiap manusia, maka perlu dibuat efek jera terhadap pelaku tindakan kriminal pencurian dengan konsekuensi potongan tangan. Hal ini selain membuat jera, juga menimbulkan efek takut terhadap mereka yang berniat mengambil harta orang lain secara dzhalim. Bila dibandingkan dengan hukuman ta’zir seperti penjara, akan sangat memungkinkan pelakunya mengulang kembali tindakan kriminal serupa. Pada poin inilah maslahat penjagaan terhadap harta teraplikasikan dengan baik.
Selanjutnya pada hukum kebolehan poligami, sebenarnya sebelum Islam datang orang-orang terdahulu sudah melakukan hal serupa namun tanpa aturan dan batas seperti yang tertera dalam Islam. mereka bebas memilih menikahi wanita yang manapun, dengan jumlah berapapun sesukanya, mereka juga bisa menikahi dua wanita yang bersaudara. Bahkan bisa juga menikahi janda bapaknya, baik karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hal ini disebutkan di dalam Tafsir Alquran dalam surat An-Nisa: 22-23.
Orang-orang terdahulu juga gampangan menikahi wanita sebanyak mungkin, seperti fir’aun yang memiliki banyak istri dan di antaranya adalah Asiyah yang mengadopsi sayyiduna Musa Alaihissalam, bisa dibaca dalam tafsir surat Al-Qashas: 9.
Lalu ketika masa risalah, orang-orang yang mau masuk Islam dan sebelumnya memiliki istri lebih dari empat, diperintahkan untuk beristri maksimal empat dan menceraikan yang lainnnya. Di antaranya adalah Qaits bin Harits, dalam sebuah riwayat dikatakan:
عَنْ قَيسِ بْنِ اْلحَارِثِ قَالَ: اَسْلَمْتُ وَ عِنْدِى ثَمَانُ نِسْوَةٍ، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص فَذَكَرْتُ ذلِكَ لَهُ، فَقَالَ: اِخْتَرْ مِنْهُنَّ اَرْبَعًا.
Dari Qais bin Harits, ia berkata : Aku masuk Islam sedang aku memiliki delapan istri, lalu aku menghadap Nabi SAW, kemudian aku terangkan kepadanya hal itu, lalu beliau bersabda, "Pilihlah empat diantara mereka". [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum poligami yang diatur oleh Islam bukan sekedar karena pantas dan tidaknya, tapi juga adanya unsur maslahat terhadap harga diri wanita, dan demi menjaga nasab atau garis keturunan agar terjaga baik. Bukan syariat Islam yang menciptakan poligami, justru sebaliknya, syariat islamlah yang menekan, memperketat, dan membatasinya.
Bagaimana dengan perbudakan? Tak jauh berbeda, dulu bangsawan-bangsawan sebelum datangnya Islam membiasakan peraturan jika seseorang tak mampu membayar hutangnya maka akan diperbudak seumur hidupnya. Islam datang mempersempit pintu perbudakan dengan membuka lebar-lebar pintu kemerdekaan bagi setiap orang.
Tidak percaya?
Coba lihat kaffarah dari orang-orang yang melanggar sumpah, melanggar nadzar, melakukan ila’, melakukan dzihar, melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, membunuh seorang muslim secara tidak sengaja, dan lain-lain. di antara kaffarah atau dendanya adalah memerdekakan budak. Hikmahnya adalah agar secara bertahap perbudakan di atas dunia terhapuskan. Buktinya, saat ini perbudakan tak lagi terdengar. Jadi Islam telah menghapus perbudakan dengan rapih dan terstruktur. kurang keren gimana syariat agama ini?
Redaksi Ayat Hukum Apakah Hanya Berlaku Pada Objek di Era itu Saja?
Ayat disyariatkannya berjilbab oleh sebagian orang dipercaya berlaku hanya untuk istri nabi dan muslimah di era itu saja, karena lafadznya dalam al quran tertuju kepada dua objek tersebut.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Sejumlah orang juga bersandar kepada asbab nuzul ayat di atas di mana yang menjadi bahan obrolan adalah istri nabi dan muslimat di era tersebut, maka mereka percaya bahwa syariat berjilbab hanya berlaku bagi mereka dan tidak bagi yang lain.
Menanggapi hal ini, ulama ushul telah memformulasikan sebuah kaidah dimana asbab nuzul dan objek redaksi ayat dalam hukum tidak membatasi eksistensinya kepada muslim yang lain. kaidah tersebut berbunya:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Hukum itu karena keumuman lafaz, bukan dari kekhususan sebab
Dijelaskan dalam kitab Raudlatun Nadzir bahwa bila muncul lafadz perintah yang umum atas sebuah kejadian yang khusus maka keumuman hukumnya tetap berlaku dan terus eksis[6].
Maka setidaknya ada tiga elemen yang dihasilkan dari kaidah ini[7]:
Latar belakang peristiwa tidak menjadi landasan objek hukum
Ayat-ayat berkonotasi hukum berlaku untuk seluruh ummat di seluruh zaman
Lafazh haruslah diberlakukan secara umum, hingga ada dalil lain yang mengharuskannya dipahami secara khusus.
Kesimpulannya, adalah bahwa ayat-ayat yang berkonotasi hukum tidak akan pernah berstatus expired layaknya makanan dan minuman instan yang harus dibuang dan diganti baru. Memahami syariat Islampun jangan hanya melihat dari sisi potong tangan dan qishas saja sehingga melihat agama ini sebagai agama yang menyeramkan. Lihat juga esensi zakat, qurban, sodaqoh, jual beli yang fair, hingga keharusan berbuat baik pada semua orang tanpa melihat agamanya. Itu juga bagian dari islam yang indah, yang kadang tertutup hanya karena pemhaman sempit dan kurang ngaji.
Wallahu a’lam bisshowab.
[1] Imam Al-Qarrafi. Al Furuq. 1/176
[2] Ibnu Qayyim Al Jauziyah. I’lamul Muwaqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin. 1/49
[3] Muhammad Mushthafa Az-Zuhaili. Al Qawaid al-fiqhiyyah wa tathbiqaatuhaa fil madzahib al arba’ah. 1/353
[4] Lihat: Ahmad Syauqi Abdussalam. Tarikh-ul-adab al-araby al ashru al jahiliy. Darul Maarif. 38
[5] As-Syathibi. Al Muwafaqot (bab Al Muqaddimah). 5
[6] Ibnu Qudamah al Maqdisiy. Raudlatun-Nadzir wa Junnatu-l-manadzir. 2/36
[7] Dr. Nu’man Jughaim. Turuqul Kasyfi ‘an Maqashidi Syari’. Darul Nafais. Jordan. 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar